KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI (Analisis Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Abdul Khoir NIM: 106044101375
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI (Analisis Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Abdul Khoir NIM: 106044101375
Dibawah bimbingan :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.H.Umar Haddad, MA NIP. 196 809 041 994 011 001
Dr.Hj.Mesraini, MA NIP. 197 602 132 003122 001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman, Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Konsep Adil dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974)”. Lantunan shalawat dan salam tak lupa penulis kepada Nabi besar kita Muhammad Saw semoga selalu tercurahkan, yang telah membawa umat-Nya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang dengan dien yang diridhai oleh Nya.seperti yang dirasakan Ummat-Nya saat ini. Penulis menyadari, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan penulis sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasi kepada penulis, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyah dan Kama Rusdiana, S.Ag, MH selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr.H.Umar Haddad dan Dr.Hj.Mesraini, MA, Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 4. Dr. Hj. Azizah, MA dan Rosdiana, MA, selaku penguji yang telah memberikan kritik konstruktif dalam penulisan skripsi ini. 5. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi ilmu yang tidak ternilai kepada penulis. 6. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis. 7. Ayahanda H. Khomsi dan Ibunda tercinta Hj. Ummi Kultsum serta kakakkakak & adik-adik tersayang yang telah memberikan motivasi dan doa serta dukungan materiil kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1. 8. Kepada Eva Latifah yang selalu setia mendampingi penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 9. Kepada semua sahabat-sahabatku yang telah memberikan dukungan dan supportnya kepada penulis. Yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan perhatiannya serta teman-teman
seperjuangan, khususnya sahabat-sahabat
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) KOMFAKSYAHUM, temanteman Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006 serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, ii
atas segala bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih yang mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan baik moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdoa semoga Allah membalas semua amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis, mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin.
Jakarta, 30 Agustus 2010 M 20 Ramadhan 1431 H
iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. iv BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5 D. Kerangka Pemikiran ............................................................ 6 E. Metodologi Penelitian .......................................................... 12 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 14
BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM NOMOR
ISLAM 1
DAN
TAHUN
UNDANG-UNDANG 1974
TENTANG
PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ........................................................ 15 B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ......................................... 18 C. Pengertian Poligami ............................................................ 20 D. Syarat-Syarat Poligami ........................................................ 22 E. Hak Istri yang Dipoligami ................................................... 26
BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN POLIGAMI A. Kondisi Obyektif ................................................................. 32 B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender .................. 46 C. Jumlah Maksimal Isteri yang Boleh Dipoligami ................. 61 iv
BAB IV : ANALISIS KEADILAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam..64 B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ...... 73 C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun 1974 ......................................................................................76 D. Analisis Penulis ...................................................................80
BAB V
: PENUTUP A.
Kesimpulan .......................................................................... 82
B.
Kritik dan Saran ................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
v
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................ 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 D. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 5 E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 14
BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ........................................................................ 15 B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ......................................................... 18 C. Pengertian Poligami ............................................................................ 21 D. Syarat-Syarat Poligami ....................................................................... 22 E. Hak Istri yang Dipoligami ................................................................... 27
BAB III
: PRO DAN KONTRA PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI
A. Kondisi Obyektif ................................................................................. 33 B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender ................................. 47 C. Jumlah Maksimal Isteri yang Boleh Dipoligami ................................ 62
BAB IV : ANALISS KEADILAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam ................ 65 B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ....................... 74 C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun 1974......... 77
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 71 B. Kritik dan Saran .................................................................................. 72
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. 1 Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan secara bebas tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling suka, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang adanya rasa saling suka dan dengan dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat secara sah menurut syari’at agama Islam. Perkawinan ini, sebagaimana diungkapkan Sayyid Sabiq yang dikutip oleh Abd Rahman Ghazaly, telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar menjadi seseorang yang terhormat. 2 Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakan di bawah naluri keibuan dan kebapakan sebagaimana ladang yang baik nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik 1
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Pustaka Setia, 1997 ), h.39 Abd. Rahman Al-Jaziry, Al-Fqih Ala Madzahibil Arba’ah, (Mesir : Dar Al Ihya, 1969), h.284-285 2
1
2
pula. Dengan pernikahan, ikatan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) antara suami dan istri akan semakin bertambah. Masing-masing merasakan
ketenangan,
kelembutan
dan
keramahan
serta
mendapatkan
kebahagiaan di bawah naungan satu dengan yang lainnya. Suami yang selesai bekerja, kemudian kembali ke rumahnya di sore hari dan berkumpul bersama keluarga, ia akan melupakan semua duka yang ia temui di siang hari dan segala kelelahan yang dirasakannya pada waktu bekerja. Masing-masing dari pasangan suami-istri tersebut satu sama lainnya menemukan ketenangan jiwa pada saat perjumpaannya. Keduanya saling merasakan kedamaian hati dan kegembiraan pada detik-detik pertemuan. Begitupula, anggota keluarga yang lain juga merasa tentram disebabkan perhatian dan tanggung jawab sang ayah. Semua tugas dan peran masing-masing pihak dalam keluarga dijalankan dengan baik sehingga akan senantiasa tercipta keharmonisan dalam hidup. Hal tersebut di atas tidak selamanya terjadi dalam sebuah keluarga, dahsyatnya pengaruh globalisasi yang mewarnai setiap sisi kehidupan manusia telah mengakibatkan terjadinya dekadensi (kemerosotan) moral, lebih-lebih pada hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Setiap saat kita dikejutkan dengan berbagai pemberitaan mengenai perkosaan, perselingkuhan, dan pergaulan bebas. Anak-anak yang tidak berdosa lahir tanpa memiliki status ayah yang legal (sah), aborsi telah menjadi trend dewasa ini sehingga tidak lagi dianggap sebagai perbuatan memalukan. Gelombang WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria
3
Idaman Lain) tidak ada yang bisa menghentikannya. Sementara kejahatan yang bernama pemerkosaan dan perzinaan terus mengalir bak air bah yang sulit dibendung. Islam merupakan agama sempurna, persoalan-persoalan kemanusiaan sebagaimana pemaparan di atas, direspon melalui sebuah syari’at Agama yang disebut dengan poligami, yang dalam pengertian sederhana berarti memiliki istri lebih dari satu 3 . Islam telah menghalalkan seorang suami untuk melakukan poligami apabila ia telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Namun demikian, pelaksanaan poligami ini bukan tanpa hambatan, tantangan maupun resiko yang ada. Melihat bagaimana reaksi sebagian umat Isam ketika melihat da’i panutannya, KH.Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) telah melakukan poligami, mayoritas jama’ahnya menjadi antipati terhadap sang ustadz. Reaksi dari sebagian umat Islam yang merespon negatif pelaksanaan poligami di atas, telah menyiratkan ada suatu gejala psikologis yang terjadi terutama bagi orang-orang yang melakukan poligami. Reaksi berlebihan yang ditunjukkan oleh sebagian umat Islam melalui berbagai media telah menjadikan poligami ini seolah-olah merupakan sesuatu hal yang buruk bahkan terlarang untuk dilakukan. Dalam kaitan ini, poligami yang mensyaratkan adil dalam perspektif kajian adil dalam hukum Islam dan konsep adil dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menarik untuk dikaji lebih komprehensip, sehingga pada 3
Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2006), h.45
4
akhirnya menemukan kesimpulan yang lebih arif dalam menyikapi polemik praktik poligami di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Skripsi ini penulis sajikan sebagai bentuk keikutsertaan dalam menjawab polemik poligami, sehingga pada gilirannya diharapkan menjadi salah satu bahan rujukan seputar poligami. Oleh karenanya penulis menguraikan pendapat-pendapat ulama dan ahli hukum nasional terkait adil sebagai syarat poligami. Berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai poligami terutama berkaitan dengan syarat berpoligami menurut Hukum Islam (Qur’an dan Hadits) maupun hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan).
B. Perumusan Masalah 1.
Perumusan Masalah Pada prinsipnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah
sunnatullah yang diajarkan dalam agama Islam. Perkawinan memiliki nilai ibadah terhadap Allah SWT dan humanisme yang tinggi serta melalui perkawinan pula umat Islam telah melaksanakan sunnah nabi Muhammad. Seperti diketahui bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, pertanyaannya kemudian apakah Islam yang mengenal perkawinan poligami adalah bentuk inkonsistensi ajaran Islam. Masih membahas soal poligami, Islam juga mengharuskan perlakuan adil seorang suami terhadap istri-istri yang dipoligami. Lantas bagaimanakah konsep adil yang diharapkan dalam pelaksanaan poligami, baik ditinjau dari tuntunan ajaran Islam atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
5
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana perkawinan poligami dalam perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974? 2) Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami? 3) Bagaimana konsep adil dalam berpoligami menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pembahasan konsep Adil, yakni perlakuan suami yang menyamaratakan para istri yang dipoligami pada hal-hal yang dapat diukur baik secara materi atau immateri sebagai syarat poligami dalam perspektif hukum Islam dan Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka skripsi ini di susun dengan tujuan untuk: 1.
Mengetahui makna perkawinan poligami menurut Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.
Mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami
3.
Mengetahui konsep adil dalam poligami menurut Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974.
6
D. Kerangka Pemikiran Islam adalah agama Nizham (aturan) hidup paripurna, universal, dan integral. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak tersentuh nilai-nilai kebenarannya. Islam merupakan solusi atas problematika kehidupan, ia bahkan hanya satu-satunya solusi yang ada. Tidak ada aturan yang lebih baik dari aturan Islam untuk memperbaiki permasalahan umat saat ini. Sebagai pedoman hidup, ruang lingkup hukum Islam bersifat menyeluruh. Ia tidak dibatasi hanya pada persoalan hukum sipil, tetapi juga termasuk hukum privat, dan salah satunya adalah tentang perkawinan. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri semua makhluk Allah SWT. Sebagaimana firmanNya dalam surat adz-Dzariyat ayat 49: ⌧ ⌧ “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT” Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 1 :
☯
⌧
7
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...” Dari sekian banyaknya ayat-ayat kebesaran Allah yang tidak terhingga adalah Dia menjadikan manusia berpasangan antara pria dan wanita dan menetapkan jodohnya masing-masing agar tercipta ketenteraman dalam hidupnya. Karena dari kedua jenis manusia ini masing-masing memiliki rasa ketertarikan dan diberi dorongan seksual (syahwat) terhadap lawan jenisnya. Ketertarikan kedua pasangan lawan jenis untuk kemudian dilanjutkan melalui sebuah ikatan perkawinan agar hubungan keduanya menjadi leluasa dan sah. Ajaran Islam sangat menganjurkan pernikahan dan meNomorlak adanya kehidupan membujang (ruhbaniyah). Kehidupan ruhbaniyah yang lurus dan mudah dalam ajaran Islam adalah dengan dianjurkannya suatu pernikahan bagi pemeluknya. Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim, diceritakan ada tiga orang bersilaturahmi ke rumah Rasulullah SAW, dan yang lain lagi berkata, aku akan menjauhi wanita, tidak akan kawin selama hidupku. Rasulullah SAW mendengar pembicaraan ketiga tamunya, kemudian beliau bersabda yang artinya: (ﺲ ِﻣ ِّﻨﻰْ) رواﻩ اﻟﺠﻤﺎ ﻋﺔ وﻣﺴﻠﻢ َ ْﺳ ﱠﻨ ِﺘﻰْ َﻓَﻠﻴ ُ ْﻋﻦ َ ﺐ َ ﻏ ِ ج اِﻟ ّﻨﺴَﺎ َء َﻓ َﻤﻦْ َر ُ َوَأ َﺗ َﺰ ﱠو.... “............... dan aku mengawini kaum wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak suka kepada sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku” 4 .
4
Syaifullah, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung : Fokus Media, 1993), h. 5
8
Pernikahan adalah suatu ketentuan untuk mengikat hubungan lahir dan bathin antara pria dan wanita. Karena itu, pernikahan sesuai dengan fitrah manusia yang
menghajatkan
hubungan
dengan
lawan
jenisnya.
Bahkan
Islam
mengharamkan seorang muslim untuk menahan diri dari perkawinan dengan niat melakukan kehidupan membujang (celibacy). Perbuatan membujang seumur hidup bagi pria dan wanita adalah perbuatan sangat menyimpang dari fitrah kejadian manusia itu sendiri. Pernikahan bukanlah satu ketentuan yang ditimbulkan dari hasil pemikiran manusia, tetapi merupakan bagian yang di syari’atkan dalam Islam untuk mengatur tata hidup dan pergaulan manusia di dunia. Oleh karena itu pernikahan termasuk salah satu bentuk peribadatan kepada Allah yang berarti pula melaksanakan syari’at Islam. Adapun tujuan pernikahan itu menurut Islam adalah untuk: a.
Menegakkan dan menjunjung tinggi syari’at agama
b.
Memelihara berlakunya hubungan biologis
c.
Menjaga fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan
d.
Mencapai ketentraman hidup
e.
Mempererat serta memperluas hubungan persaudaraan
f.
Memelihara kedudukan harta pusaka 5 . Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara
perorangan maupun bermasyarakat, baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan 5
Syaifullah, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung : Fokus Media, 1993), h.21
9
keluarga., karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat bergantung kepada kesejahteraan keluarga, kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya 6 . Dalam kehidupan rumah tangga di mana terjadinya perpaduan antara dua karakter yang berbeda, prinsip hidup yang berbeda pula, dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya yang melatarbelakangi kepribadian suami maupun istrinya, tentu bukan hal yang mustahil apabila terjadi keretakan hubungan di antara keduanya. Selain itu faktor ketersaluran biologis yang tidak sempurna, permasalahan keturunan yang tidak dapat dimiliki dalam sebuah keluarga, sering pula menjadi pemicu terjadinya kerenggangan hubungan dalam ikatan perkawinan. Selain faktor-faktor di atas, realitas sosial dewasa ini juga telah mulai mengalami pergeseran nilai, gelombang demoralisasi telah menumbuhkan budaya-budaya ‘barat’ yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Seorang suami atau istri yang melakukan perselingkuhan bukanlah hal asing yang diceritakan saat ini. Islam sebagai agama samawi terakhir, menawarkan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Adapun solusi yang ditawarkan adalah poligami (ta’addud) bagi mereka yang mampu untuk melakukannya. Bahkan poligami sebenarnya merupakan hukum asal dalam membangun mahligai
6
Abd. Rahman, Adil Terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2005), h.13
10
keluarga bagi yang mampu melakukan keadilan dalam mengatur rumah tangga 7 . Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 yang berbunyi:
☺ “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” . Poligami bukanlah syari’at baru yang diperbolehkan dalam Islam. Poligami merupakan budaya lama yang dimiliki bangsa Arab sebelumnya. Islam datang untuk mengatur dan merapikan masalah poligami, sehingga tidak setiap orang bisa melakukannya tanpa aturan, atau hanya untuk memenuhi syahwatnya belaka 8 . Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam AlQuran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau peNomorlakan terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban kapitalis dan propaganda Barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran yang keji dan busuk. 7 8
Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, (Mesir : Darul Ihya, tth), h. 82 Khalil Abdul Karim, Islam dan Sejarah Arab, (Yogyakarta ; LKIS, 2003), h.32
11
Hanya saja masalah poligami ini mendapat ganjalan dan serangan bertubi-tubi dari musuh-musuh Islam yang tidak memahami hakikat dan hikmah hukum yang digariskan Allah SWT. Bagi yang kontra dengan masalah poligami, beralasan bahwa poligami telah melakukan diskriminasi (pembedaan) antara lakilaki dan perempuan, dengan poligami posisi perempuan seolah menjadi sangat lemah. Apalagi pada zaman sekarang dimana aktivis gender dengan lantang menyuarakan kesetaraan gender, poligami menjadi sebuah perbuatan yang paling salah dimata mereka. Diperlukan pemahaman yang komprehensif dari seluruh umat Islam khususnya dalam memandang persoalan poligami. Poligami bukanlah sebuah “kejahatan” melainkan sebuah kebijaksanaan sesuai tinjauan hukum Islam dan positif. Poligami menjadi masalah yang paling kontroversial. Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami ini adalah bagian dari syari’at Islam, dan karenanya pria boleh mempunyai istri hingga empat orang. Di pihak lain, kaum modernis dan pejuang-pejuang Hak Asasi Wanita berpendapat bahwa poligami dibolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan yang ketat 9 . Umat Islam meyakini bahwa setiap hukum yang digariskan Allah SWT senantiasa mengandung hikmah bagi manusia. Begitu juga dengan poligami, disyariatkannya poligami dalam Islam adalah untuk menjawab problematika sosial keluarga. Hal ini hanya akan terwujud apabila umat Islam itu sendiri menyadari betul hakikat syariat Islam, serta menegakkan hukum-hukum ilahiyah tersebut secara proporsional dan selaras dengan hukum positif. Dalam Undang-Undang perkawinan pada pasal 41 poin (d) disebutkan ketentuan boleh beristri lebih dari satu orang dengan melihat ada atau tidaknya 9
Abu Fikri, Istri-istri Nabi, (Jakarta : Trisedia, 2007), h.70
12
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak dengan pernyataan perjanjian yang dibuat suami dengah bentuk ketetapan untuk itu 10 .
E. Metodologi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori-teori ilmiah atau metode yang berlaku dalam penulisan ilmiah 11 , yaitu sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Pendekatan penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan Nomorrmatif (tinjauan kepustakaan), yaitu dengan meneliti literatur-literatur yang sesuai dengan kajian dalam skripsi ini. Pendekatan Nomorrmatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. 12 2.
Sumber Data a.
Sumber Primer, sumber-sumber utama yang menjelaskan tentang konsep keadilan dalam pernikahan poligami, baik dari sumber-sumber hukum Islam maupun dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari sumber-sumber hukum Islam, sumber primer yang dirujuk adalah penjelasan Al-Quran, Sunnah dan interpretasi terhadap keduanya dari para ulama yang berkompeten. Adapun dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, sumber primer yang dirujuk adalah materi undang-undang tersebut disertai penjelasan-penjelasannya dan peraturanperaturan terkait dengannya.
10 11
h. 43
12
UNDANG-UNDANG Perkawinan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.46 SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III,
SoerjoNomor Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Nomorrmatif; suatu tinjauan singkat (Jakarta, PT Rajawali Press, 1995), cet. IV, h.13-14
13
b.
Sumber Sekunder, yaitu buku-buku yang menunjang tema di atas, antara lain: Buku Hitam Putih Poligami karya Eni Setiati, Poligami Berkah atau Musibah karya Karim Hilmi Farhat Ahmad dan buku Poligami yang tak melukai hati karya Abu Fikri.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data diperoleh melalui kepustakaan (library research), untuk mendapatkan teori-teori yang mendukung tema dalam penulisan ini yang diperoleh dari berbagai literatur 13 . 4.
Analisis Data Analisis merupakan suatu usaha untuk menentukan jawaban atas
pertanyaan dari rumusan masalah yang telah tersusun. Dalam penelitian ini akan menghimpun data-data teoritik mengenai pandangan Islam dan Hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) tentang poligami. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: a.
Proses Satuan (Unityzing) Pada dasarnya satuan adalah alat untuk menghaluskan data satuan, yaitu data yang menganalisa tentang satuan pembahasan dalam skripsi ini.
b.
Penafsiran Data Penafsiran data adalah memberikan penafsiran terhadap data-data yang telah diproses sebelumnya. Penafsiran ini dilakukan sejak pengumpulan data atau selama penelitian. Hasil dari penafsiran data ini nantinya membentuk sebuah
13
h.12
SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III
14
kesimpulan akhir.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut : Bab Pertama berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, perumusan masalah dan pembatasan masalah, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan terakhir sistematika penulisan. Bab Dua berisikan perkawinan poligami dalam perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan uraian mengungkapkan Pengertian Perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, Pengertian poligami, Syarat-syarat poligami, hak istri yang dipoligami. Bab Tiga berisikan pro dan kontra praktik perkawinan poligami dengan uraian kondisi obyektif, praktik poligami versus ketidakadilan gender, Jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami. Bab Empat berisikan analisis keadilan dalam perkawinan poligami perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan uraian analisis sosiologis yuridis poligami dalam hukum Islam, makna adila dalam poligami perspektif hukum Islam, makna adil dalam poligami perspektif UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan analisis penulis. Bab Lima berisikan Penutup dengan uraian kesimpulan, kritik dan saran.
15
BAB II PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Istilah Perkawinan dalam Al-Qur’an biasa menggunakan istilah ”nikah” yang berarti ”berhimpun” dan ”zawwaja-tazwij” yang berarti ”berpasangan”. Dua istilah ini menyiratkan makna kesetaraan secara ekstensial bagi laki-laki dan perempuan, meskipun pada kenyataannya secara biologis mereka berbeda. Para ulama Fiqh tidak membedakan arti zawaaj dan nikah, walaupun keduanya secara etimologis memiliki perbedaan, menurut para ulama fiqh zawaaj dan nikah memiliki arti yang sama yaitu akad perkawinan 1 . Pernikahan secara terminologis didefinisikan sebagai akad yang membolehkan kedua mempelai untuk mendapatkan kesenangan dari masingmasing pasangan, sesuai dengan tuntutan syari’at. 2 Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad h.89
1
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad berpoligami, (Jakarta : PT. Buku Kita, 2007),
2
Arij Binti Abdul Rahman, Poligami, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.30
15
16
(perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya. Pemakaian kata “nikah” yang diartikan dengan “perjanjian perikatan” dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 32, surat Al-Baqarah ayat 221, surat Al-Nisa ayat 21. Perkawinan yang disyari’atkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa segi di antaranya: Pertama, segi ibadah ; perkawinan mempunyai unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agama. Rasullah SAW mencela dengan keras para sahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara; berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk beribadat, hidup menyendiri dan tidak akan kawin, karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya, sebagaimana dalam sabdanya : (ﺲ ِﻣِّﻨﻰْ) رواﻩ اﻟﺠﻤﺎ ﻋﺔ وﻣﺴﻠﻢ َ ْﺳ ﱠﻨ ِﺘﻰْ َﻓَﻠﻴ ُ ْﻋﻦ َ ﺐ َ ﻏ ِ ج اِﻟ ّﻨﺴَﺎ َء َﻓ َﻤﻦْ َر ُ َوَأ َﺗ َﺰ ﱠو.... “............ dan aku mengawini wanita. Maka barang siapa yang membenci
sunnahku bukanlah ia termasuk (umat) ku”. (HR. Jama’ah dan Muslim). 3
Kedua, segi hukum; perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat (QS.Al-Nisa’; 21), dalam arti perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat perkawinan, masingmasing pihak terikat oleh hak dan kewajiban, bagi suami yang hendak berpoligami ditentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi pemutusan hubungan perkawinan harus melalui prosedur dan alasan-alasan kuat.
3
Mustofa M. Imaroh, Jawahirul Bukhari, (Beirut Libanon : Darul Ihya, 1940), h.285-286
17
Ketiga, segi sosial; perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Karena itu Rasulullah Saw melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak kawin yang menyebabkan tidak mendapatkan keturunan, keluarga dan melenyapkan umat. Berdasarkan penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum agama. Dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 4 Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam sebagaimana tercantum di atas, tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Pertalian seorang laki-laki dan perempuan yang dikukuhkan dalam sebuah akad menjadi ciri pokok dalam perkawinan. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat dikatakan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dimana agama dan kepercayaannya tersebut juga tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. 4
UNDANG-UNDANG Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.3
18
Dengan demikian, tentu konsep perkawinan dalam Islam tidak akan berbeda dengan yang tertera dalam undang-undang, yang membedakan hanya dalam detail syarat atau rukunnya saja. Hal ini dimungkinkan karena UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam tetapi juga bagi penganut agama lain. Undangundang mensyaratkan adanya pencatatan melalui petugas dari Kantor Urusan Agama, sedangkan Islam tidak mensyaratkan itu.
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan Al-Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan atau menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara mereka, yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir. Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para istri adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi para istri.
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih yang ditopang saling pengertian di antara suami istri, karena baik suami atau istri menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya perkawinan.
19
Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami istri ada dalam sekufu’ (kafa’ah). Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas yaitu suatu kehidupan suami istri yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa. Perkawinan disamping bertujuan
melestarikan keturunan yang baik,
juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi perpaduan perasaan antara dua jenis kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain. 5 Tujuan perkawinan menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di mana dalam Bab 1 Pasal 1 undang-undang tersebut dikatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka yang perlu untuk dilakukan oleh suami istri adalah saling melengkapi dalam setiap kekurangan, saling menyayangi dan mengasihi. Hal ini tentu dipengaruhi ketika awal mereka memutuskan untuk menikah. Oleh sebab itu, undang-undang juga mengatakan 5
Arij binti Abdul rahman, Adil terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2002), h.32
20
bahwa pernikahan yang terjadi harus dilakukan atas dasar suka sama suka tidak ada paksaan dari pihak manapun. Hikmah perkawinan sangat berkaitan erat dengan tujuan manusia diciptakannya ke muka bumi. Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan untuk memakmurkan bumi, di mana bumi dan segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. Kehidupan manusia laki-laki tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil dan profesional, yaitu tangan-tangan lembut kaum perempuan, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu perkawinan disyari’atkan bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehadiran manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami) melalui perkawinan sangatlah penting.
C. Pengertian Poligami Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia) atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)
21
dan gamos (kawin). Jadi secara harfiah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu
(bersamaan).
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
poligami
didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. 6 Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Adapun lawan kata poligami adalah monogami, yang secara simpel dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). 7 Secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian: 6
DEPDIKBUD, Poligami Aspek yang Dituju, (Jakarta : Dikbud, 2001), h.600 Abdul Aziz Dahlan, et. all ; Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Haove, 2003), h.1185 7
22
1. Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu. 2. Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur hidup. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.
D. Syarat-Syarat Poligami Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunahkan bagi kaum Muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu. Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam alQuran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau penolakan terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban kapitalis dan propaganda barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran yang keji dan busuk. Kebolehan untuk melakukan poligami tentu tidak serta merta seorang suami bebas melakukan poligami tanpa memperhatikan aturan-aturan yang mesti
23
dipenuhinya. Merujuk pada pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: a. Harus ada persetujuan istri pertama b. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material) c. Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). 8 Adapun dalam syari’at agama Islam, syarat bagi seorang suami yang akan melakukan poligami juga tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Pekawinan Nomor 1 Tahun 1974, hal ini tercantum dalam Q.S An-Nisaa Ayat 3:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuanperempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan pembatasanya dengan empat orang datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan yatim. 9 8 9
Eni Setiani, Syarat Poligam, (Jakarta : Pustaka Buana, 2007), h.29 Karan Hilmi Farhat, Poligami Nabi, (Bandung : Logos, 2007), h.21
24
Berkenaan dengan ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW, pada tahun kedelapan Hijriah, yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada batasannya. Ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap Muslim. Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan menjadi syarat bagi kebolehan untuk melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Patut ditegaskan, dalam Fiqh Islam, istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk pada kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Syarat
ini
biasanya
harus
dipenuhi
sebelum
perbuatan
yang
dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis, misalnya, merupakan syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat semacam ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami yang ingin berpoligami. Andai adil merupakan syarat sah poligami, lalu bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi
25
sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan setelah pernikahan. Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian ditakhsîs (diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang dimaksud hanya yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia. Sebagaimana arti surat An Nisa ayat 129 yang berbunyi ”Dan sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun sangat ingin berbuat demikian” . Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 4 dijelaskan pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang yang ingin melakukan poligami apabila terpenuhinya alasan-alasan sebagai berikut, yaitu; 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri 2. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan poligami yang berlaku dalam Islam, di mana Islam hanya mensyaratkan adil sebagai syarat untuk melakukan poligami. Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar kemampuan manusia.
26
Bersikap adil sebagai syarat utama dalam poligami tidak mudah, karena dalam perkawinan poligami terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah terpenuhi apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap yang cukup layak untuk melakukan poligami.
E. Hak Istri yang Dipoligami Poligami merupakan syari’at Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil di antara para istri, sebagaimana tercantum dalam AlQur’an Surat An-Nisa ayat 3:
☺ “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil di sini lawan dari curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan.
27
Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan didalamnya. Dengan kata lain adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya. Seorang suami yang ingin melakukan poligami hendaknya merenungkan hikmah-hikmahnya, memperhatikan keadaannya, dan hajat atau tingkat kebutuhan dirinya, serta sejauh mana kesesuaian poligami tersebut untuk dirinya. Sebab walaupun poligami dalam Islam diperbolehkan tetapi seyogyanya ada syaratsyarat yang mendorong kesana, antara lain: 1. Prilaku istri yang buruk. Adakalanya istri dalam berinteraksi dengan suaminya berprilaku buruk yang mendorong suaminya untuk melakukan poligami daripada menceraikannya. 2. Menginginkan keturunan. Mungkin dikarenakan istrinya tersebut tidak dapat memberikannya keturunan. 3. Kondisi kesehatan istri yang sering sakit-sakitan, sehingga pada titik tertentu tidak dapat melayani kebutuhan seksual suami. Walaupun perlu diperhatikan kebutuhan seksual tersebut bukan semata untuk alasan pemenuhan syahwat duniawi saja. 4. Alasan mencari pahala, ia menikahi perempuan untuk memeliharanya, menjaga kesuciannya, merawatnya dan menjaganya dari tangan-tangan yang mengusiknya dengan keburukan. 10
10
Abu Umar Basyir, Poligami yang Tidak Melukai, (Jakarta : Mizan, 2007), h.44
28
Bagi suami yang telah melakukan poligami, maka ia diwajibkan untuk memenuhi hak-hak istrinya. Adapun diantara hak setiap istri yang dipoligami adalah sebagai berikut: a. Memiliki rumah sendiri Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian”. Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan rumah Nabi SAW dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu 'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?” Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu semua istri mengizinkan untuk dirawat di mana pun beliau menginginkannya, maka dirawat di rumah Aisyah sampai ahirnya wafat di sisi Aisyah. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruhnya dalam keadaan kepala beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Ibnu Qudamah Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya. 11
11
Arij binti Abdul rohman, Adil terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.224
29
Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mengapa. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara keduanya. b. Menyamakan Para Istri dalam masalah Giliran Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri. 12 Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat itu. Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya.
12
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon ; Darul Kutub, 1982), juz III, h.1249
30
Rasulullah SAW, biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu'Anha. Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu gilirannnya. Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya. Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha dalam keadaan terengah-engah, Rasulullah SAW,
31
bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?” Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya. Rasulullah SAW, dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya c. Wajib menyamakan nafkah Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka tidak apa-apa. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu mengabarkan
bahwa
Ummu
Sulaim
mengutusnya
menemui
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk
32
Rasulullah SAW, Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada istriistri beliau segenggam-segenggam. 13
13
Arij binti Abdul Rahman, Adil terhadap Para Istri, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.242
32
BAB III PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN POLIGAMI A. Kondisi Obyektif Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Dalam perkembangannya, isu poligami dijadikan sebagai pintu masuk kelompok liberal untuk ‘membina dan mencerahkan’ masyarakat agar tumbuh semangat perlawanan terhadap syariah Islam. Mereka berupaya membangkitkan emosi umat, khususnya kalangan perempuan, untuk bersama-sama menolak poligami, sebagai salah satu kebolehan dari syariah Islam. Kelompok liberal ini memang sudah lama berupaya untuk memporak-porandakan syariah Islam dari berbagai pintu, termasuk pintu poligami. Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki
32
33
sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. 1 Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan. 2 1. Pengakuan Pelaku Poligami "I am a Second Wife" 3 Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi 'single mother' diusia muda. Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria Muslim Oleh M. Syamsi Ali. Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu Ismil sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam. Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys). 1
Amir Nurudin dan Azhari, Perempuan Korban Poligami, (Solo : Rumah Dzikir, 2004),
2
Karam Hilmi Farhat, Poligami Nabi, (Bandung : Logos, 2007), h.17 Diakses di www.hidayatullah.com, 5 April 2010 pkl. 19.00
h.156 3
34
Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim. Biasanya ketika Ismail menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, ia tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika Ismail tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dst, meluncur lancar dari bibirmya. Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam. “I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi menghidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan. Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.
35
Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dll. Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets). Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya. “Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar Ismail ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun Ismail menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria. Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anakanaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Huda sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu. Suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan
36
jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat. Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Ismail cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Ismail hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri. “I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Ismail segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu. Tapi yang sangat mengejutkan Ismail dan banyak peserta diksusi hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap. Dia seolah berdakwah kepada wanita Bulgaria tadi: “Don’t you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people” ,jelasnya. Huda kemudian menyelah dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita
37
Bulgaria itu. “I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true“, katanya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbanannya bagi kepentingan masyarakat dan agama. Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam. Ismail kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi: “his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari itu. Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Ismail sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika Ismail menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya. “Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you”, nasehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!
38
2. Pengakuan Dr. Gina Puspita : "Anak Ismail Senang Memiliki Ibu yang Banyak" 4 Dr. Gina Puspita, bercerita seputar pengalamannya praktik poligami dengan sang suami, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi. Ini cerita pengalaman indahnya sudah hampir sepekan wacana poligami secara terus-menerus diulas di berbagai media massa. Banyak yang setuju dan tak sedikit yang sinis. Diantara yang sinis, tentu saja para aktivis perempuan dan para pengagum feminisme. Sabtu (9/12) kemarin, Koalisi Perempuan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak praktik poligami. Alasannya, poligami melanggar hak-hak perempuan serta rawan terhadap kekerasan psikis dan fisik. Benarkah? Kali ini hidayatullah.com mewawancarai Dr. Gina Puspita. Sebelum ramai-ramai berkembang wacana poligami, istri pertama Dr. Abdurahman Riesdam Efendi ini boleh jadi diantara sekian Muslimah yang merasakan sendiri pengalaman “dimadu”. Tidak seperti umumnya pria yang ingin menikah lagi, ia mencarikan sendiri calon untuk pasangan suaminya itu. Tahun 1995, Abdurahman menikah lagi untuk yang kedua dengan Basyiroh Cut Mutia. Enam tahun kemudian, ia menikah yang ketiga dengan Siti Salwa asal Malaysia. Dan yang terakhir, menikah dengan Fatimah. Praktis ia memiliki empat orang istri. Jangan keliru, semua istri mudanya ini bukan pilihan sang suami, justru pilihan Gina alias sang istri pertamanya. Tak seperti dugaan aktivis perempuan selama ini, di mana poligami dianggap begitu rendah dan rawan konflik. Mereka
4
Diakses di www.hidayatullah.com, 5 April 2010 pkl. 19.15
39
berempat justru sangat rukun dan bahagia. Bahkan bekerja di kantor yang sama dan tinggal seatap, tanpa ada masalah. ''Kalau suami sedang dengan istri yang lain, kami bertiga ngobrolngobrol di satu kamar,'' tutur kepada sebuah media Jakarta. Bila berada di luar kota, mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. ''Poligami yang didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah.'' tambah mantan Kepala Departemen Structure Optimizition Divisi Riset & Development IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) ini di sebuah harian di Jawa Barat. Apa kabar Anda dan keluarga? Kami sekeluarga alhamdulillah sehat,semoga kesehatan yg dirahmati Allah. Lama tak dengar kabarnya, apa kesibukan Anda terbaru? Selama kurang lebih 2 tahun terkahir kami banyak berada di Malaysia. Alhamdulillah perusahaan yang dipimpin oleh guru kami Abuya Ashaari (pendiri Darul Arqam yang dilarang mantan PM Mahathir Mohammad-- berkembang pesat di sana. Kebetulan Tuhan rizqikan kami untuk ikut serta beraktifitas di sana selama 2 tahun. Setelah di sana terasa manfaatnya untuk kalangan luas, dan perusahaan terus berkembang ke berbagai negara di Asia, Eropa, Timur Tengah, maka mulai 2 bulan belakangan ini kami mulai menguatkan kembali aktifitas perusahaan Rufaqa di Indonesia. Ismail dengar Anda juga punya proyek besar di Malaysia? boleh tahu? Di malaysia bukan proyek Dr. Gina Puspita tapi perusahaan yang dipimpin oleh guru Ismail, Abuya Ashaari Muhammad. Dari tahun 1997 beliau mendirikan perusahaan Rufaqa namanya yang bergerak di berbagai bidang seperti
40
pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, kebudayaan dll. Kalau mau jelas, boleh kunjungi website nya www.rufaqa.com & www.rufaqadaily.com. Sepekan ini banyak orang sibuk mendiskusikan poligami, apa pendapat Anda? Segala kejadian Allah yang menentukan. Diantara sekian banyak hikmahnya, Allah nampaknya mau menunjukkan keadaan masyarakat sekarang ini. Dan kita bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya ada dua kejadian yang terjadi secara serentak. Pertama tentang poligaminya Aa Gym, kedua, monogaminya anggota DPR RI, tapi selingkuh. Tapi yang diramaikan hanya poligaminya. Bahkan poligami mau dilarang segala. Hehehe. Yang menarik, sikap masyarakat terbelah dua. Kasus monogami selingkuh menjadi kasus cukup besar. Tapi poligami, pernikahan secara sah justru yang dikatakan zalim. Padahal menurut Ismail, monogami selingkuh itu jauh lebih menzalimi perempuan. Seperti wanita ini tak ada harganya. Menurut Anda, mengapa masyarakat justru seperti itu? Dr.Gina Puspita tak menyalahkan masyarakat. Itulah keadaan masyarakat yang kita perlu rasakan sebagai peringatan Allah pada kita. Mungkin kita gagal membawa kebaikan di tengah masyarakat ini. Ismail juga maklum kenapa banyak masyarakat awam begitu membenci poligami, kerana memang susah mau mencari poligami yang dapat dijadikan teladan di indonesia sekarang ini. Yang lebih menyedihkan, yang sekarang berlaku bukan sekedar diskusi tapi penafsiranpenafsiran terhadap Rasulullah yang sifatnya merendahkan beliau. Jauh sekali
41
daripada mencari solusi. Lagi pula, mengapa banyak orang sibuk membicarakan poligami atau bahkan terkesan begitu ketakutan. Padahal dalam Islam, poligami haya sekedar satu dari sekian ribu syariat dalam agama kita.. Jadi dia bukan perkara yang wajib. Tapi kok yang biasa-biasa menjadi masalah Negara. Padahal Shalat yang berkali-kali Allah katakan sebagai “tiang agama” pun, Negara tak pernah peduli apakah manusia melakukannya? Anda termasuk diantara pelaku, sebelum banyak orang melakukan. Bisakan bercerita pengalaman poligami? Islam itu adalah “cara hidup”. Selain tentang Allah yang utama, di dalamnya ada juga syariat yang beribu jenisnya, yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Sepertimana janji kita dalam setiap kali shalat, “inna shalolati wa nusuki… (dst), “hidup mati kita untuk Allah, maka tentulah sebagai seorang Muslim, kita perlu wujudkan janji kita dalam kehidupan. Kita atur individu kita, ekonomi kita, pendidikan kita, kebudayaan kita, rumah tangga kita, menurut Islam. Hal ini tidak dapat kita wujudkan sendiri-sendiri. Misalnya untuk mewujudkan pendidikan Islam, perlu guru dan murid. Kalau sendirian mana mungkin dapat terwujud. Itulah yang kami lakukan melalui perusahaan Rufaqa ini. Sama halnya dengan masalah rumah tangga. Setelah kami dididik oleh guru kami, kami (Ismail dan suami) merasakan bahwa Allah mesti dijadikan segalanya. Syariat Islam mesti diperjuangkan. Dengan melihat keluarga guru kami yang memiliki 4 istri dan 37 anak, 200 cucu, namun semua justru menjadi pendukung perjuangan Islam. Maka kami melihat (bukan sekedar membaca buku atau hanya mendengar), bahwa poligami juga
42
dapat kita laksanakan. Atas kesepakatan bersama itulah, Ismail dan suami –tentu saja atas persetujuan guru kami-- maka kami tambahkan anggota keluarga kami dengan mengambil salah seorang staf Rufaqa sebagai istri kedua untuk suami Ismail. Siapa yang mencari dan melamarkannya? Dr. Gina Puspita sendiri yang datang pertama kali dan menjelaskan pada orang tuanya untuk menyampaikan hasrat kami. Apa sih yang ada di perasaan Anda saat mencarikan suami istri lagi? Karena dari awal memang sama-sama berniat (Dr. Gina Puspital, suami dan istri kedua) untuk menguatkan keluarga, maka, masalah-masalah dalam keluarga dapat diatasi dengan baik. Bertambah terasa kehebatan Allah. Ternyata belum lagi kita baik, baru niat mau baik, tapi Allah sangat memberikan bantuanNya. Apakah setelah poligami pernah cekcok? Atau cemburu? Kalau beda pendapat sih dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Jangankan di keluarga yang praktik poligami, dalam rumah tangga monogami pun ada. Tapi karena sama-sama sudah dididik oleh guru yang sama, jadi setiap kali ada masalah, masing-masing berusaha untuk dapat menilai yang baik di sisi Allah. Bila semua mempunyai tujuan yang sama yaitu keridhaan Allah, perkara apapaun selalu jadi mudah. Kami berempat serumah. Kecuali sekarang ini, dua orang sedang bertugas di Malaysia. Menjadi istri "dimadu" apa tak membuat martabat Anda sebagai seorang perempuan terhina?
43
Dr. Gina Puspita hendak mengingatkan kita bahwa dalam menilai sesuatu, karena zaman ini sudah rusak, maka nilai-nilai manusia/moral juga sudah sangat jauh dari kehendak Allah. Contoh saja; para wanita mengatakan dirinya merasa “dihina” dengan poligami. Padahal itu kan memang boleh menurut Islam. Tapi wanita diminta buka aurat, ia menjadi tontonan. Tak satupun menganggap dirinya merasa terhina. Padahal itu adalah keadaan yang sangat menghinakan. Wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman. Poligami itu, bila dijalankan dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasakan bahwa itu sangat baik untuk pendidikan hati kita. Kita akan tahu bahwa kita belum sabar. Maka, kita akan belajar untuk bersabar. Kita bisa tahu bahwa di hati kita ada hasad dan dengki. Cemburu itu adalah hasad dan dengki adalah puncaknya. Lalu kita belajar untuk tidak hasad atau dengki hingga timbul rasa tidak membahagiakan orang lain. Bukankan manusia normal tak menginginkan suaminya jadi rebutan wanita lain? Jadi, bila dikatakan manusia normal tidak mau dipoligami? Manusia normal itu seperti apa? Apakah istri-istri Rasulullah bukan wanita normal? Menurut Dr. Gina Puspita, manusia normal itu adalah manusia yang tahu dirinya hamba dan Allah sebagai Tuhannya. Tentu dia akan sangat mencintai Tuhan Nya. Dan dirinya akan merasakan bahwa syariat Allah adalah yang terbaik. Bahkan sekarang kadang Dr. Gina Puspita merasa malu dengan Allah. Malu, mengapa “orang jahat” seperti Dr. Gina Puspita tapi Allah masih memberi rasa kebaikankebaikan dalam poligami. Kalau ia saja yang menganggap “masih jahat” dan
44
masih diberi banyak kebaikan oleh Allah, bagaiman pula kehebatan keluarga Rasulullah?. Anda tidak takut, rasa cinta suami Anda tak akan seperti di awal pernikahan? Karena akan terbagi? Tidak. Sebab suami dan kami punya cita-cita yang sama. Untuk mencintai Allah. Dan mencintai Allah itulah yang dapat menambah kuat ikatan diantara kami semua. Perlu kita sadari, kerana manusia sudah tidak menganggap Tuhan segalanya, maka bila berumahtangga, dia menganggap suami adalah segala-galanya. Ya dengan kata lain, cinta suami. Padahal, kalau kita membesarkan cinta pada Allah, maka Allah sendirilah yang akan membagi kebahagiaan itu. Bagaimana dengan kebutuhan finansial dan pembagian perhatian terhadap anak-anak Anda suami menikah lagi? Alhamdulillah Allah bukan saja mencukupkan, tapi menambah-nambah. Dan alhamdulillah, anak-anak kami semua justru bersyukur dengan poligami. Kemarin anak Ismail yang berumur 10 tahun diwawancara sebuah majalah. Dia mengatakan, begitu senang memiliki ibu banyak. Banyak tapi Ismailng. Dia pernah melihat seorang aktifis perempuan begitu keras berkata tentang poligami. Anak Ismail mengatakan, “Ini perempuan bercakap bukan dengan akal lagi, tapi dengan nafsu. Sangat emosional. Padahal, kami (anak-anak Ismail maksudnya) suka dengan itu . tak ada penzaliman.” Apakah mungkin seorang suami bisa membagi perhatian tiga orang istri dengan banyak anak berbeda-beda misalnya?
45
Bisa. Bahkan hubungan anak-anak semua sangat baik. Tak ada perbedaan dia dari ibu yang mana. Suami Dr. Gina Puspita baru memiliki 4 orang anak. Tiga darinya dan 1 dari istri kedua. Istri ketiga dan keempat belum dikaruniai anak. Banyak aktivis perempuan mengkritik poligami, apa pandangan Anda menghadapi kritikan itu? Jangankan untuk hal poligami, gerakan kaum feminis hingga sekarang ini, belum mendapatkan kejayaan. Patutnya sekiranya jika mereka melihat gagalnya perjuangan kaum feminis di Prancis yang menjadi sumber awalnya. Ismail pernah 11 tahun di Prancis melihat sampai sekarang, di sana gerakan tersebut boleh dikatakan tidak membuahkan hasil, yang ada justru kesengsaraan bagi kaum wanitanya. Banyak orang berkonsultasi dengan Dr. Gina Puspita. Sebab banyak hal yang diperjuangkannya tidak sesuai dengan fitrah dia. Jadi katakanlah dia mendapatkan apa yang dia mau, tapi ternyata bila sudah mendapatkan, sesungguhnya dia begitu tersiksa. Jadi apa hikmahnya bagi Anda dan kalangan Muslimah dengan berpoligami? Dr. Gina Puspita pernah mengatakan di media massa, “poligami itu indah dan memang perlu.” Perlu bagi wanita dan lelaki sebagai pendidikan hati kita untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah. Karenanya, Dr. Gina Puspita l menghimbau pada semua, mari kita kembali pada Allah, Tuhan kita. Dialah penyelesai segala maslah. Sekarang ini yang jadi masalah sebenarnya bukanlah poligami. Jadi tak perlu sibuk memerangi poligami. Sama halnya sekarang banyak orang shalat tapi masih korupsi. Lantas apakah dengan begitu kita akan
46
memerangi shalat? Banyak masalah lain yang kita perlu selesaikan. Pendidikan kita sedang bermasalah. Ekonomi kita bermasalah. Kebudayaan dan semua aspek kehidupan kita sudah rusak dan itu adalah masalah. Maka mari kita kembali pada Allah. Jadikan Ia segalanya. Bila demikian akan selesailah semua masalah. Mau monogami atau poligami, jika kembali pada Allah, tetap akan membawa kehidupan yang harmoni. [Cholis Akbar]
B. Praktek Poligami Versus Ketidakadilan Gender Sebagaimana disebutkan di atas, pro-kontra senantiasa mewarnai pelaksanaan poligami. Kelompok yang kontra terhadap poligami, mengatakan bahwa poligami lebih memposisikan perempuan dalam kaum tertindas, kaum yang tidak punya pilihan lain selain menerima apa adanya. Lebih tegas mereka menganggap bahwa poligami akhirnya merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Mengutip Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pasal 11, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan-perbuatan tertentu, dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Bahkan sebuah Jurnal Perempuan yang terbit di Bandung memasukkan poligami sebagai kekerasan terhadap perempuan berdasarkan salah satu data LBH APIK Jakarta yang mengungkapkan bahwa poligami telah melahirkan dampak
47
tertentu bagi istri. Dampak yang paling dialami adalah istri tidak lagi diberi nafkah (37 orang), istri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), istri mengalami tekanan psikis (21 orang), istri dianiaya secara fisik (7 orang), pisah ranjang (11), mendapat teror istri kedua (2 orang) dan diceraikan (6 orang). 5 Data tersebut diambil dari istri yang melapor, belum lagi istri yang takut melapor atau istri yang harus manut menerima perlakuan diskriminatif dari suami dalam institusi poligami, bahkan ia tak berani untuk sekedar menyuarakan derita yang terjadi. Di sisi lain, kita tahu, tak sedikit dari kaum laki-laki masih gemar poligami dengan perasaan tak risau, dari mulai rakyat biasa, dosen, pengusaha sampai ulama. Kenapa seseorang mesti poligami? Pertanyaan itu harus diajukan pada semua lelaki yang mulai punya niat berpoligami. Selama ini permasalahan poligami terkesan hanya dipahami dari sudut kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya, para pelaku poligami bersikukuh membela poligami dan mencari pelbagai legitimasi dari aneka sumber. Dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki yang mengaku superior dengan nafsu menguasai perempuan, disisi lain, lagi-lagi faktor biologis atau seksual juga mendominasi bahkan demi prestise tertentu. Dalam hal itu, gairah lelaki (suami) punya peluang membangun siasat untuk memenuhi keinginan dan kepentingannya. Jikapun penolakan istri muncul, ia mesti berhadapan dulu dengan “konsep kepatuhan istri kepada suami” (disobidience to the husband) yang mesti dijalani oleh istri tanpa ruang lebar
5
Diakses di http://www.lbh-apik.or.id/fac-31.htm, 3 April 2010 pkl. 20.00
48
untuk kritis. Melenceng dari itu dalam beberapa kasus tak segan vonis “durhaka” (bahkan kekerasan fisik) mesti ditelan perempuan karena dianggap tidak patuh terhadap suami dan tidak teguh iman menerima “rahmat” poligami. Selain itu, rayuan “jaminan surga”, “sunah Rasul” acap dibalutkan pada pola pikir perempuan. Akibatnya, perempuan tak mampu mendefinisikan dirinya. Logika dominasipun muncul, jika suami bahagia berpoligami, istri harus patuh dan ikut bahagia. Tak heran jika banyak perempuan menerima poligami bahkan bersedia membelanya sekedar ingin kepuasan mendapat citra “perempuan solehah” versi laki-laki yang patuh pada suami, hukum dan tafsir sepihak dalam agama. 6 Argumentasi di atas seakan menegaskan ada yang salah dengan poligami. Sebagai orang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa setiap hal yang diperbolehkan oleh Allah SWT tidak akan me-madharat-kan manusia, penulis berpendapat kalau sekarang poligami ternyata malah menghadirkan sebuah ketakutan besar yang sama sekali tidak terlihat sisi manfaatnya, tentu ada yang salah dengan poligami tersebut, dan menurut hemat penulis kesalahan itu bukan pada hukumnya tetapi pada pemahaman hukum dan penerapannya. Hilaly Basya mengatakan bahwa sebenarnya Nabi punya semangat poligami yang berbeda dengan poligami sekarang. Perempuan yang dinikahi adalah janda punya anak atau yatim. Pada waktu itu, janda dalam masyarakat Arab tidak punya akses apapun ke masyarakat, berbeda dengan janda sekarang. Kini poligami sudah tak sejalan dengan moral Al-Qur`an. Kini poligami lebih berdampak kemadharatan ketimbang kemaslahatan. Bukankah Tuhan tidak
6
Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami Sunnah, (Depok : Pustaka Iman, 2007), h.45-47
49
menyukai hambanya yang senang berlebihan? Sebab poligami kini tak lebih dari tirani birahi laki-laki yang mengeksploitsi perempuan atas nama Tuhan, alih-alih billahi, justeru birahi yang berkedok tafsir agama. 7 Pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat, pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau anakanaknya). Muhammad Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan poligami
secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri
cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara. Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar al mafaasid muqaddam
7
Eni Setiati, Perkawinan dalam Islam, (Jogjakarta : An-Naba, 2007), h.17
50
‘ala jalb al-masholih sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul kekhawatiran tidak adanya keadilan maka hukum poligami adalah haram. 8 Rasyid
Ridha
menambahkan
bahwa
poligami
secara
alamiah
bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk kondisi darurat, seperti dalam situasi perang, selain itu juga disertai syarat yang ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami. 9 Rasyid Ridha juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi perlu pertimbangan multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watak dan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu juga terkait dengan keseimbangan jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan, problem kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau sebaliknya, atau posisi kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut sejarah perkembangan manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki satu pasangan (istri). Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana konsepsi Al-Quran mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan agama dan sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukhshah (dispensasi) yang dibolehkan dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang ketat. 8 9
Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami Sunnah, (Depok : Pustaka Iman, 2007), h.178 Rasyid Ridha, Tafsir Almanar, (Mesir : Darul Manar, 1999), h.284
51
Berpijak dari pertimbangan dan sudut pandang di atas, Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada prinsipnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya dapat dibangun oleh suami yang hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang semestinya dibangun oleh semua orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami sendiri sebetulnya bukanlah potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Meskipun demikian Rasyid Ridha juga memaklumi bahwa poligami tetap punya sisi positif (maslahat), baik bagi individu maupun kolektif. Sebagai contoh kasus, pada pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan poligami ini tak jarang disalahgunakan sebagian kaum laki-laki (suami) hanya
52
untuk melampiaskan keinginan biologisnya tanpa memperhatikan upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran apalagi kewajiban. Menurut Rasyid Ridha, poligami merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih Ismailng (sakinah, mawaddah wa rahmah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri yang tidak membangun pondasi-pondasi luhur berorientasi kepuasan biologis
tersebut dan pasangan yang
semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang
Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sakinah, mawaddah wa ramah 10 . Berdasarkan pendekatan fiqh dan perspektif tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas bahwa poligami adalah hal yang legal menurut doktrin hukum Islam konvensional, oleh karena itu pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami merupakan deviasi dari ketentuan doktrin “syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh sejumlah mufassir modern di atas tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik poligami dan mencegah efek negatif dari penyalahgunaan poligami dalam masyarakat.
10
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000). h.113.
53
Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah negeri muslim untuk menerapkan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik poligami di dalam undang-undang mereka. 1. Pendapat yang Pro Poligami Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga
hari
akhir.
Poligami
diperbolehkan
dengan
syarat
suami
memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, ketentuan ini termaktub pada ayat yang artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." ( Q. S. An-Nisa : 3) Agama Islam mengedepankan kepentingan umum (maslahah ‘ammah) atas kepentingan pribadi (maslahah khassah). Termasuk kepentingan umum dalam hal ini adalah diperbolehkannya poligami. Seandainya Islam tidak memperbolehkan poligami, maka pasti akan banyak anak-anak hasil perzinaan. 11 Islam membolehkan umatnya berpoligami bukanlah tanpa alasan atau tujuan tertentu.
Keharusan
berpoligami
ini
mempunyai
hikmah-hikmah
untuk
kepentingan serta kesejahteraan umat Islam itu sendiri, adapun hikmahnya : 1. Bahwa wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas dan keadaan yang belum betul-betul sehat selepas melahirkan. Dengan berpoligami dapatlah
11
Muhammad Nasir al-Hammid, Dawabit al-‘Adl bain al-Zawjat (Jurnal al-‘Adl, Nomor 33 Muharram 1428). h.32-33.
54
menyelamatkan suami terjerumus ke jurang perzinaan pada saat-saat istri berhalangan. 2. Untuk mewujudkan salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan, yaitu mendapatkan keturunan, ketika istri mandul tidak dapat melahirkan anak atau kerana istri sudah terlalu tua dan sudah putus haidnya. 3. Untuk menjamin kekuatan hukum setiap anak yang lahir, karena memiliki garis nasab yang jelas. Dengan demikian dapat pula menjamin sifat kemuliaan umat Islam. Anak luar nikah mempunyai hukum yang berbeda dari anak yang terlahir dari pernikahan yang sah. Diperbolehkannya poligami tidaklah tepat kalau dikatakan "syaratnya harus adil”, yang benar, adil bukan syarat poligami, melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud dulu sebelum shalat. Maka kalau dikatakan "adil" adalah syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum orang berpoligami. Tentu ini tidak benar, yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong dia untuk menikah dengan satu istri saja. Poligami adalah sunnah para kekasih Allah, para nabi, rasul, dan para wali-Nya. Karena itu, tentulah dalam poligami terdapat hikmah yang luar biasa.
55
Tak mungkin Allah memerintahkan para kekasih-Nya untuk mendzalimi makhluk lain. Salah satunya adalah pendidikan. Tuhan ingin mendidik manusia untuk berlaku adil. Keadilan yang paling utama adalah adil dalam membawa keluarga untuk kenal Tuhan, cinta Tuhan dan takut Tuhan. Suami bertanggung jawab penuh dalam hal tersebut. Bagi para istri, ini benar-benar sebuah ujian berat, cinta suami atau cinta Tuhan? Ujian ini memang amat berat, hanya seorang perempuan yang betul-betul beriman saja yang mampu mengorbankan perasaannya untuk cinta agung Allah Yang Maha Tinggi. Sebenarnya bagi perempuan dengan keimanan yang tinggi, poligami justru sangat menguntungkan karena di saat "giliran" bukan miliknya itulah saat untuk berkasih-kasihan dengan Tuhan. 12 2. Pendapat Yang Kontra Poligami Perkawinan
dirumuskan
secara
leksikal
dalam
undang-undang
Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) Nomor 1 Tahun 1974, sebagai "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirumuskan lebih spesifik, bahwa "perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah". Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan untuk mewujudkan ketentraman diantara mereka. Oleh
12
Diakses di http://www.dt-poligami.or.id , 25 Februari 2010 pkl. 17. 30
56
karenanya perlakuan baik dari seorang suami terhadap istrinya merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini dijelaskan dalam firmannya :
☺ ☺ ⌧ “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu ( Q.S al-Baqarah : 231) Dari ayat ini hanya ada dua pilihan bagi suami yaitu pertama: hidup bersama istri dan memperlakukannya dengan baik atau kedua: menceraikannya dengan cara yang baik pula. Tidak ada pilihan lain. Karena itu, hidup bersama istri dengan menyengsarakannya baik secara lahir maupun batin tidak dikenal dalam ajaran Islam, dan harus memilih dua hal tersebut 13 . Dalam sebuah hadits yang dimuat dalam beberapa kitab hadis yang mu'tabar, antara lain dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dari sumber yang sama, Miswar bin Makhramah, 13
Musdah Mulia, Pandangan Islam tenang Poligami,( Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999) h.10
57
ia berkata, Ismail mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar. Sabda Rasulullah: "Sesungguhnya anak-anak Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan puterinya dengan Ali. Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan puteriku, kemudian menikahi anak mereka". "Sesungguhnya Fatimah bagian diriku. Barangsiapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku. (Shahih Bukhari, Hadits No.4829). Dalam hadits tersebut terungkap sikap Rasulullah SAW terhadap poligami yang akan dilakukan Ali bin Abi Thalib, menantunya, berupa dua pilihan yaitu menikahi perempuan yang ditawarkan Bani Hisyam al-Mughirah atau menceraikan Fatimah, putri Rasulullah. Karena perbuatan Ali mendua istri itu akan menyakiti hati puterinya, sekaligus menyakiti pula hati Rasulullah SAW. Rasulullah melakukan poligami, tetapi beliau tidak merestui menantunya berpoligami. Hal ini terkait dengan sikap adil yang harus dilakukan dalam berpoligami, yang tidak semua orang akan mampu melakukannya, termasuk Ali bin Abi Thalib, padahal ia telah teruji keimanannya dan ternilai kesalihannya, namun sebagai manusia biasa ia tidak akan mampu menjalankan keadilan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Firman Allah dalam Al-Quran menyebutkan :
☺
☺ ☺
⌧
⌧ ⌧
☺ ⌧ ⌧ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
58
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q. S an- Nisa : 129) Dalam suasana ketidakadilan, bagaimana bisa tercapai tujuan perkawinan tersebut, yaitu kesejahteraan spiritual dan material, atau terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin dalam perkawinan itu. Kemungkinan alasan lain, Rasulullah SAW. Tidak mengizinkan menantunya berpoligami adalah karena ketika itu anak-anaknya masih kecil, masih membutuhkan kasih Ismailng dan perhatian yang besar dari kedua orangtuanya. Dengan berpoligami perhatian seorang ayah kepada anak-anaknya akan terbelah. Setelah menikah lagi, seorang suami biasanya mengabaikan istri lama dan anak-anaknya. Perhatian dan kasih Ismailng akan lebih tercurah pada istrinya yang baru. Suami yang berpoligami akhirnya akan terjebak dalam perilaku dzalim dan tidak adil. Oleh karena itu, perkawinan monogami adalah pilihan yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan yang hakiki. 14 Pasal 2 KHI yang memuat ungkapan kalimat miitsaaqan gholiidzan mempertegas kalimat "ikatan lahir batin" yang terdapat dalam Pasal 1 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa perkawinan bukan merupakan perjanjian yang semata-mata bersifat keperdataan saja – sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 KUH Perdata, dan juga seperti perikatan-perikatan yang lain dalam keperdataan tetapi perkawinan merupakan ikatan atau perjanjian yang bersifat lahir dan batin. 15
14
Musdah Mulia, Pandangan Islam tenang Poligami,( Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), h.26 15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), h. 40
59
Dalam kaitan dengan aspek batin inilah, maka seseorang yang bermaksud melaksanakan poligami harus mempertimbangkan dengan matang dan bertanya pada nuraninya, apakah dirinya mampu berlaku adil di antara istri-istrinya dan anak-anaknya, apakah ia mampu mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material mereka. Pertimbangan tidak hanya bersandar pada kekayaan material dan kekuasaan yang menunjukkan keperkasaan (superioritas) dan dominasi lelaki terhadap perempuan, begitu pun pertimbangan alasan memilih poligami sebagai penyaluran hasrat seksual secara halal daripada memilih penyaluran syahwat melalui perbuatan zina, merupakan solusi yang tidak tepat, malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi kaum lelaki dalam melampiaskan keserakahan libidonya, sekaligus merendahkan martabat kaum perempuan, dengan menempatkannya sebagai objek, dan bukannya sebagai subjek yang setara dengan kaum lelaki dalam perkawinan. Dalam sebuah seminar memperingati Hari Kartini 2002 di Yogyakarta, K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa "orang yang membolehkan poligami adalah orang yang tidak tahu ajaran agama". Selanjutnya dikatakan oleh Gus Dur, "konsep keadilan dalam poligami selama ini ditentukan laki-laki (sebagai subjek), padahal seharusnya yang menentukan adalah perempuannya (sebagai objek). 16 Hegemoni kaum lelaki nampak sekali dalam perkawinan di kalangan masyarakat berpola budaya patriarkhi dan feodal. Patriarkhi sebagai hambatan
16
Kompas, 22 Juli 2002
60
terbesar untuk mendapatkan keadilan gender. Perempuan dalam masyarakat ini menempati posisi subordinasi kaum lelaki. 17 Achmad Muthali'in dalam bukunya melukiskan kondisi subordinasi perempuan seperti gelas kaca dan kayu bakar. Pengibaratan dengan gelas kaca, karena perempuanlah yang sering mengalami peristiwa retak dan pecah. Sementara pengibaratan perempuan dengan kayu bakar, karena lelaki sebagai api. Lelakilah yang berpeluang membakar dan menghanguskan kayu bakar. Oleh karena itu, perempuanlah yang berpotensi terbakar menjadi debu yang tidak berarti apa-apa. 18 Analogi atau pengibaratan ini menggambarkan kehidupan seksualitas. Kaum lelaki adalah api nafsu yang bisa membuat gelas kaca pecah, sekaligus menyebabkan kayu bakar hangus menjadi abu yang tidak berguna. Kasus yang digambarkan dalam analogi di atas, senantiasa terjadi dalam kehidupan masyarakat. Adalah sebuah keniscayaan berlangsungnya pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam hubungan suami istri salah satu tujuanya adalah tercipta ketentraman antara kedua belah pihak. Lebih lanjut pernikahan disyariatkan dalam Islam diharapkan mampu mencegah dorongan biologis yang haram dan
menahan kecenderungan laki-laki yang relatif mengumbar nafsu
seksualnya, lantas apakah poligami masih menjalankan koridor tujuan pernikahan dalam Islam?
17
Ashghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, ( Yogyakarta: LKiS, 2003 ), h.4 Achmad Muthali'in, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001), h.35 18
61
Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidatullah Jakarta, Maret 2006, tentang poligami. Umum Sangat Setuju Setuju Abstain Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
1,2 % 32,5 % 6,3 % 53 % 4,4 %
Laki-Laki 1,6 % 45,9 % 8,4 % 40 % 00,7 %
Perempuan 0,7 % 18,8 % 4,1 % 65,9 % 8,2 %
C. Jumlah Maksimal Isteri yang Boleh di Poligami Fokus pembicaraan dalam literatur mazhab fiqh pada umumnya sama sekali tidak mempersoalkan kebolehan poligami. Hal yang diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami ayat Al-Quran yang memuat persoalan poligami (Q.S. An-Nisa: 3). 19 Berbagai ulasan fiqh lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka. Sikap yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik khususnya) ketika memahami pernyataan nash tersebut. Berbagai uraian dalam masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka atas sejumlah pernyataan AlQuran dan As-Sunnah. Di dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3, Allah SWT berfirman yang artinya:
19
Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), h.368
62
☺ “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” Para mufasir sepakat bahwa sebab turun ayat diatas berkaitan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Mayoritas kaum muslimin pada masa hidup nabi berpendapat jumlah maksimal empat istri. Pendapat ini telah ditegaskan AlQur’an dan Sunnah Nabi SAW serta ijma’ para ahli yang berkompeten. Hal ini disebutkan oleh ayat dengan kata matsna, tsulats, dan ruba’ yang pengertian linguistiknya dua, tiga, atau empat istri. 20 Adapun menurut ijma’ yang berkompeten dalam bidang hukum Islam, tidak pernah didengar ada sahabat atau tabi’in yang berpoligami lebih dari empat istri. Kemudian ini menjadi putusan ijma’ mayoritas kaum muslimin dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi, Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama sampai pada satu kata bahwa jumlah maksimal berpoligami ialah empat istri dan berpoligami dengan lebih dari empat istri adalah dispensasi yang khusus diberikan kepada nabi sebagaimana
20
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Mesir : darul Ulum, tanpa tahun), h.403
63
diharamkannya menikahi janda-janda Nabi setelah beliau wafat. Allah SWT berfirman: ⌧
☺ “Tidak ada bagimu hak untuk menyakiti Rasul Allah atau menikahi istriistrinya setelah itu untuk selamanya. Sesungguhnya itu suatu dosa besar di sisi Allah”. (QS. Al-Ahzab : 53) Namun demikian ada kelompok kecil yang menyimpang dari konsensus jama’ah dan bersandar pada dugaan yang tidak berdasar, mengatakan bahwa bilangan (dua, tiga dan empat) dalam al-Qur’an menunjukkan dibolehkannya berpoligami dengan sembilan istri, sebab partikel “waw” dalam ayat tersebut bermakna penjumlahan. Pendapat ini datang dari kaum Rifadhah dan sebagian penganut faham literalis, yaitu orang-orang yang sangat jauh menyimpang pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi ayat yang sama (QS. An-Nisa ayat 3), pendapat lain menyatakan delapan belas istri. Hal ini pernah dibahas oleh al-Qurtubi dalam tafsirnya. 21
21
M. Baltaji, Poligami, (Solo : Lawean, 2007), h.39-40
BAB IV ANALISIS KEADILAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO 1 TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam Istilah hukum Islam sering diidentikkan dengan Syariah dan Fiqh. Ketiga istilah ini dilihat dari asal usulnya sama-sama berdasarkan Al-Qur’an dan AlHadits. Namun bila dilihat dari metodologinya mempunyai perbedaan yang signifikan. Syariah adalah “al-Nushus al-Muqaddasah” (nash-nash hukum atau norma-norma hukum yang tertulis) dalam wahyu Allah dan As–Sunnah alMutawatirah yang sama sekali belum atau tidak tercampuri oleh daya nalar manusia sehingga ia tetap dan tidak bisa berubah dan tidak boleh dirubah karena ia sebagai wahyu Allah. Adapun fiqh adalah pemahaman atau hasil pengembangan interpretasi nalar manusia (ijtihad mujtahid) dari Syariah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) sehingga ia bisa berubah dan berkembang sesuai dengan kapasitas daya nalar mujtahid dan perkembangan zaman. Sedangkan hukum Islam meliputi norma-norma hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (wahyu Allah) yang belum melibatkan daya nalar manusia dan norma-norma hukum yang dihasilkan oleh daya nalar manusia (Fiqh Ijtihadi) sebagai hasil pengembangan pemahaman Al-
64
65
Qur’an dan Al-Hadits yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan daya nalar manusia. 1 Berangkat dari pemikiran diatas, menjadi jelas perbedaan antara syariah dengan fiqh. Syariah adalah wahyu itu sendiri yang belum tercampuri oleh daya nalar manusia. Oleh sebab itu ia bersifat tsubut (tetap) dan tidak berubah. Sementara fiqh adalah hasil dari proses penalaran (pemahaman) mujtahid terhadap wahyu. Karena itu, ia bersifat tathawur (berkembang), bervariasi sesuai dengan tingkat kemampuan daya nalar mujtahid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum Islam lebih luas dari syariah dan fiqh. Hukum Islam sebagai wahyu Allah (belum tercampuri daya nalar manusia) adalah syariah. Hukum Islam sebagai pemahaman terhadap wahyu adalah fiqh. Dalam keterpaduan dua sifat ini (dimensi) inilah hukum Islam bisa bertahan sepanjang masa dan berkembang, tidak kaku dalam berbagai situasi dan kondisi sosial. 1. Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat Poligami Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3, sebagaimana tercantum di bawah ini:
☺
1
H. A. Jazuli, Ilmu Fikih, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 4 -5
66
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuanperempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Ayat 3 Q.S. An-Nisa’ ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 Q.S. An-Nisa’. Adapun kandungan Ayat 2 surat An-Nisa yaitu mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah, sedangkan pada ayat 3 Allah SWT mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beri’tikad baik dan adil dan fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya, ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA waktu ditanya oleh Urwah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 surat An-Nisa’ tersebut. Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya 2 . Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat dzalim terhadap istri 2
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Mesir : Darul Manar, tth), h.344-345
67
yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat dzalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya. Rasyid Ridha lebih lanjut mengemukakan bahwa maksud ayat 3 surat AnNisa’ ialah untuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak wanita yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat tersebut. 3 Sehingga yang melakukan berbagai kajian tentang poligami yang sudah ada dari zaman dahulu sama tuanya sesuai adanya manusia secara sosiologis sudah ada meskibun banyak ragam dan tujuan pelaksanaannya yang mana dalam Islam juga dikenal dengan istilah poligami namun dengan orientasi yang jelas sebagai aspek yuridis guna memuliakan derajat wanita. 2. Poligami dalam Syari’at Islam Ayat 3 QS: An-Nisa sebagaimana tercantum di atas, secara ekplisit menegaskan seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang
3
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Mesir : Darul Manar, tth), h.347-348
68
istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita.4 M. Quraish Shihab lebih lanjut menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syari’at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri atau terjangkit penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Bagaimana jalan keluar bagi seorang suami, apabila menghadapi kemungkinann tersebut? Bagaimana ia menyalurkan nafsu biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus di ingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya 5 . Kebolehan poligami di dalam Al-Qur’an adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat. Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Muh. Abduh 4 5
M. Quraisy Syihab, Waeasan al Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.199 M. Quraisy Syihab, Wawasan al Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.200
69
berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat hamil. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil. 6 Muhammad As’ad mengatakan bahwa kebolehan poligami hingga maksimal empat istri dibatasi dengan syarat, “Jika kamu punya alasan takut, tidak mampu memperlakukan adil terhadap istri, maka kawinilah satu, karena untuk membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa.” 7 Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka 6 7
Khoirudin Nasution, Poligami Apa Monogami, (Jakarta : Gerafika, 1996), h.100 Asghar Ali, Pembebasan perempuan, (Jogjakarta : LKIS, 2003), h.117
70
mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istrinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), istri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. 8 Hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubungan jasmani antara dua jenis hewan, bukan hubungan rohani antara dua malaikat. Perkawinan adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk menyongsong kehidupan dengan segala problemanya. 9 3. ‘Illat Hukum Kebolehan Poligami Illat secara bahasa berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya.” Misalnya, penyakit itu dikatakan illat, karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. 10 Menurut istilah ushul fiqh, yang dinamakan illat hukum adalah suatu sifat yang menjadi motivasi
atau yang
melatarbelakangi terbentuknya hukum. Menentukan illat hukum kebolehan poligami disamping dengan melihat latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (QS. An-Nisa : 3 ), juga dapat dicermati dari peristiwa poligami Nabi SAW. Nabi SAW melakukan poligami
8
Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : H Masagung, 1989), h.12 Rifat Syauqi, Al taaddud, (Mesir : Darul Ulum, tth), h.104 10 Abu Hamid AL-Ghozali, Al-Musytasyfa min ‘Ilmi al-Ushul, (Mesir, Darul Ulum,1995), 9
h.76
71
setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah RA. Rasulullah menikah pada usia 25 tahun, 15 tahun setelah pernikahan beliau dengan Khadijah RA, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini wafat pada tahun ke 10 kenabian beliau. Ini berarti beliau bermonogami selama 25 tahun. Tiga atau empat tahun sesudah meninggalnya Khadijah, baru Nabi SAW melakukan awal poligami dengan Aisyah RA pada tahun kedua atau ketiga hijriyah. 11 Semua istri Nabi selain Aisyah adalah para janda yang berusia di atas 45 tahun. Janda-janda yang dikawin oleh nabi, disamping telah mencapai usia senja yang sudah tidak ada daya tarik memikat, juga dalam keadaan sedang mengalami kesusahan hidup karena ditinggal mati suaminya baik mati dimedan perang, maupun ditinggal mati biasa dan ada pula dicerai oleh suaminya sebab murtad dan ada yang dicerai karena tidak ada kebahagiaan atau ketidakcocokkan dengan suaminya. 12 Melihat latar belakang sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan perilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan manusiawi, dan memperhatikan latar belakang Nabi melakukan poligami sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka illat hukum kebolehan poligami dalam perkawinan Islam, bukan didorong oleh motivasi seks dan kenikmatan biologis, tetapi oleh motivasi sosial dan kemanusiaan. Hal ini dilakukan oleh perkawinan poligami Nabi SAW dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usia seperti Saudah binti Zum’ah (suami 11
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Jogjakarta : PT Buku Kita, 2007), h.107 12 M. Quraisy Syihab, Waeasan al Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.199
72
meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafsah binti Umar (suami gugur di perang Badar), Zaenab binti Khuzaemah (suami gugur di perang Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di perang Uhud). Istri-istri yang lain seperti Ramlah putri Abu Sufyan RA diceraikan oleh suaminya yang murtad di perantauan, Huriyah binti al Haris RA adalah putri kepala suku dan termasuk salah seorang yang ditawan pasukan Islam, yang kemudian nabi menikahinya sambil memerdekaannya, Shafiyah binti Huyai RA, putri pemimpin yahudi dari bani Quraidhah yang ditawan setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang dilakukan oleh nabi SAW, diberi pilihan kepada keluarganya atau tinggal bersama Nabi SAW dalam keadaan bebas merdeka, Ia memilih untuk tinggal hidup bersama Nabi SAW. 13 Menarik yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab, bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah perempuan? Bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki-laki, sedang potensi masa subur lelaki lebih lama daripada potensi masa subur perempuan? Hal ini bukan saja karena mereka mengalami haid, tetapi juga karena mereka mengalami masa manopouse, sedang lelaki tidak mengalami keduanya. Bukankah peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah lebih banyak merenggut nyawa lelaki daripada perempuan? Maka poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun harus di ingat, bahwa poligami bukanlah anjuran apalagi kewajiban.
13
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Mesir : Darul Manar, tth), h.371-372
73
Seandainya poligami merupakan anjuran, pasti Allah SWT menciptakan perempuan lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak adanya menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan tidak tersedia. Allah hanya memberikan wadah bagi orang yang menginginkannya ketika mengahadapi kondisi atau kasus tertentu. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam kedaan emergency tertentu.
B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 menegaskan syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami. Imam Syafi’i, as-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para istri, menurut mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik misalnya mengunjungi istri di malam atau di siang hari. 14 Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memiliki dua syarat : Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hakhak lain. 15 Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang 14 15
Khaerudin Nasution, Riba dan Poligami, (Jakarta : Tiara, 1996), h. 105 Abdurrahman, KHI, (Jakarta : Akedemika Pressindo, 1992), h. 192
74
sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami. Berbagai pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan : “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja” (QS. An-Nisa : 3). Muhammad Abduh menjelaskan, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga. 16 Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman alJaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu
16
Ali Ahmad Jarjawi, Pembebasan Perempuan, (Jakarta : Darul Fallah, 2007), h.10-11
75
yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia. 17 M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat An-Nisa bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat An-Nisa ayat 129:
☺
☺ ☺
⌧
⌧ ⌧
☺ ⌧ ⌧ "Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah adil dalam bidang immaterial (cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu poligami. 18 Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal 17 18
Abdurrahman, KHI, (Jakarta : Akedemika Pressindo, 1992), h.239 M. Quraisy Syihab, Wawasan Al- Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1999 ), h.201
76
yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan.
C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Begitu pentingnya perkawinan, sehingga tidak mengherankan jika agama-agama, tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Di Indonesia masalah perkawinan telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian di atas dapat dimengerti bahwa pada prinsipnya suatu perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 19 . Dua istilah model perkawinan yaitu monogami dan poligami, diakui dan dibolehkan oleh hukum/perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam, Beranjak dari model perkawinan di atas maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19
Undang-Undang Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2000), h.3
77
1974 Tentang Perkawinan sebenarnya menganut asas monogami. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun ketentuan tentang adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama (Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk memutuskan. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
78
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syaratsyarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan: (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 20
20
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h.83.
79
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Persetujuan secara lisan ini nantinya istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. 21 Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istriistrinya dan anak-anak ada beberapa faktor yang menjadi barometer yaitu 1.
Surat keterangan gaji suami yang ditandatangani bendahara tempat bekerja
2.
Surat keterangan pajak penghasilan
3.
Surat keterangan lain yang diterima oleh pengadilan. 22 Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan
pengadilan
21
harus
memanggil
dan
mendengar
istri
yang
bersangkutan.
A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2003) h.34 22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.127
80
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.
D. Analisis Penulis Fenomena praktek poligami di Indonesia mengundang beragam respon dari berbagai kalangan, ada yang pro poligami dan tidak sedikit kalangan yang menolak praktek poligmi. Masing-masing memiliki alasan kuat dalam mempertahankan pendapatnya. Setelah menguraikan berbagai pendapat dari kelompok yang pro dan anti poligami, penulis berpendapat bahwa poligami pada dasarnya merupakan solusi yang ditawarkan Islam terhadap gejala masayarakat jahiliayah pada waktu itu yang merendahkan harkat wanita. Hal ini dapat dilihat dari asbab an-nuzul AlQuran surat An-Nisa ayat 3 yang dilatarbelakangi untuk menjawab prilaku masyarakat arab yang menganggap wanita hanya untuk dieksploitasi dan dianggap harta yang dapat diwariskan. Islam sebagai agama samawi yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme memberikan perhatian lebih terkait permasalahan gender, termasuk poligami di dalamnya. Poligami baik merujuk pada ajaran Islam atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diperbolehkan dengan syarat adil. Konsep adil memang sangat mudah dalam perumusannya, hanya saja dalam prakteknya suami beristri lebih dari satu menemukan kendala yang cukup sulit diselesaikan.
81
Persyaratan adil bagi suami yang berpoligami pada prinsipnya sejalan dengan semangat salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan, ketentraman pasangan suami-istri. Dengan kata lain, suami sah-sah saja melakukan poligami dengan catatan mampu mempraktekkan prilaku adil terhadap para istrinya, baik secara materi atau immateri. Sehingga berpoligami pada akhirnya bukan menjadi problematika sosial, justru merupakan solusi persoalan di tengah-tengah masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan keadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Istri mempunyai hak untuk menolak keinginan suami untuk berpoligami, aturan hukum ini menjadi barometer potensi sikap adil yang dimiliki suami yang hendak berpoligami. Oleh karenanya ada sebagian istri yang rela dimadu bahkan mencarikan pasangan untuk suaminya dalam beberapa kasus poligami. Namun tidak sedikit istri yang tidak rela suaminya berpoligami karena dihawatirkan justru dengan suami berpoligami ketenteraman yang menjadi salah satu hikmah perkawinan jauh dari kenyataan. Jadi sikap adil suami yang beristri lebih dari satu mungkin saja terwujud hanya saja sangat minim yang mampu melakukannya. Menurut paradigma penulis, hal inilah yang melatarbelakangi adanya aturan tentang adanya izin istri bagi suami yang hendak berpoligami.
82
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Hukum Perkawinan poligami dalam perspektif agama Islam diperbolehkan dengan catatan suami mampu bertindak adil terhadap istri-istrinya, hal ini merujuk pada Al-Quran Surat An-Nisa ayat 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi ruang bagi suami yang hendak beristri lebih dari satu sebagaimana diatur dalam pasal 4 (empat) dan 5 (lima).
2.
Praktek poligmi menuai respon beragam dari masyarakat luas, ada yang pro poligami namun ada pula masyarakat yang menolaknya. Bagi kelompok pro poligami, mereka memiliki alasan bahwa polgami merupakan ibadah dan menjalankan aturan agama yang diwahyuhkan Allah, mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah tidak dibenarkan dalam Islam. Kelompok masyarakat anti poligami berargumen kesetaraan gender dan minimnya potensi sikap adil suami terhadap para istri-istrinya.
3.
Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat An-Nisa dan latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (An-Nisa ayat 3). Barometer keadilan yang harus dimiliki suami ketika hendak berpoligami
82
83
menunurt Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 (lima) adalah suami yang berpoligami harus ada persetujuan istri pertama dan adanya kepastiaan mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya (materail) serta suami menjamin akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (immaterial).
B. Kritik dan Saran Fenomena perkawinan poligami yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan dalih dan mengatasnamakan agama serta mengesampingkan aspek semangat disyariatkannya poligami perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini sering terjadi karena dilatarbelakangi oleh keterbatasan wawasan yang cukup seputar poligami. Oleh karenanya menjadi urgen sosialisasi terkait aturan hukum positif yang menjadi acuan hakim untuk mengizinkan poligami terhadap seseorang, sehingga pada akhirnya poligami bukan menjadi media penyaluran kebutuhan biologis lelaki semata, akan tetapi harus mengedepankan sisi positif dari poligami itu sendiri, seperti keadilan dan motivasi kemanusiaan dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kholid ibn, Keutamaan-Keutamaan Poligami, Sajadah Press, Yogyakarta, 2006 Abraham & Ilo Wilar, Poligini Nabi, Pustaka Rihlah, Yogyakarta, 2006 Al-Hufy, Ahmad, Mengapa Rasulullah Berpoligami, Pustaka Azzam, Jakarta, 2001 Ali, Asghar, Pembebasan Perempuan, LKIS, Yogyakarta Al-Jahrani, Musfir, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Pers, Jakarta, 1996 Al-Jaziri, Abd. Al-Rahman, Kitab al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, alMaktabah al-Tijariyyah, Mesir, 1969 Al-Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta, 2003 Al-Qardlawi, Yusuf , Fiqh Maqashid Syari’ah, Pustaka Kautsar, Jakarta 2006 Aminudin, Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999 Anshori, Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, Pustaka Iman, Depok, 2007 As-Sa’dani, As-Sayid bin Abdul Aziz, Isteriku Menikahkanku, Daarul Falah, jakarta, 2007 As Sanan, Ariij Binti Abdur Rahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), Darus Sunah, Jakarta, 2005 Baltaji, Muhammad, Poligami, Media Insani Publishing, Solo, 2007 Basyir, Abu Umar, Poligami; Anugrah yang Terzhalimi, Rumah Dzikir, Solo, 2007 Djazuli, Ahmad, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum, Kencana, Jakarta, 2005 Do’I, Abd. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Rajawali Press, Jakarta 2002 Farhat, Karam Hilmi, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, Tim Pustaka Daarul Haq, Jakarta, 2007
Fathurrohman, Imam, Saya Tak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami; Menelisik Alasan Kenapa Aa Gym Beristeri Dua, Hikmah Populer, Bandung, 2007 Fikri, Abu, Poligami yang Tak Melukai Hati, Mizania, Bandung, 2007 Fuad, Isnaeni, Berpoligami dengan Aman, Lintas Media, Jombang, [t.t] Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006 Gusmian, Islah, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2007 Hudhari, Muhammad Syarif, Hak-Hak Wanita dalam Islam, Mujahid Press, Bandung, 2007 Husein, Imanuddin, Satu Istri Tidak Cukup, Khazanah, Jakarta, 2003 Irawan, Candra Sabtia, Perkawinan dalam Islam; Monogami atau Poligami, AnNaba Islam Media, Jogjakarta, 2007 Jaiz, Hartono Ahmad, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2007 Karim, Khalil Abdul, Syari’ah, LKIS, Yogyakarta, 2003 Karim, Muslih Abdul, Keistimewaan Nafkah Suami dan Kewajiban Isteri, Wawasan Islami, Jakarta, 2007 Khaluk, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh; Kaidah Hukum Islam, Pustaka Amani, Jakarta, 2003 Mubarok, Syaiful Islam, Poligami antara Pro dan Kontra, Syamil, Bandung, 2007 Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta. Mudjib, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001 Mursalim, Supardi, Menolak Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007 Muttahari, Murthadha, Duduk Perkara Poligami, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2007 Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar, 1996
Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, Hukum Perdata di Indonesia, Permada Media, 2004 Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Dar al-Manar, Mesir Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami, Cisera Publishing, Jakarta 2007 Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Mizan, 1999 _______________ , Perempuan, Lentera Hati, Jakarta, 2001 Soerjono, Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003 Tim Penyusun al-Manar, Fiqh Nikah; Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga Islami, PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2006 Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung 2005 Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual; Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2003 Yanggo, Chuzaemah dan Azhari, Hafiz, 1994, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta; PT. Pustakan Firadus. Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989