BAB II PENGATURAN TENTANG ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dalam perspektif hukum Islam, zina adalah hubungan kelamin di antara lakilaki dan perempuan tanpa adanya sebuah ikatan perkawinan yang sah, dilakukan dengansadar dan tanpa adanya unsur syubhat.62 Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi tanpa didasari oleh pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah (syubhat) dan bukan pula karena pemilikan (terhadap hamba).63 Adapun Sayyid Sabiq, menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak bertanggung jawab.64 Para ulama memiliki berbagai definisi tenang zina, di antaranya: 1. Mazhab Malikiyah, zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan. 2. Mazhab Hanafiyah, zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kelamin) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku Hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya. 62
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 1996), hlm. 86-87. Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid, terjermahan Abu Usamah Fakhtur Rokhmin,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 875. 64 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9 , (Kuwait: Dar al-Bayan, 1968), hlm. 90. 63
31
Universitas Sumatera Utara
32
3. Mazhab Syafi’iyyah, zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa adanya syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat. 4. Mazhab Habilah, zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.65 Menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur, yaitu adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya dan tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks.66 Begitu pula pendapat Abdullah Muhammad Qudamah, sebagaimana ditulis Muslich, unsur-unsur perbuatan zina juga terdiri dari dua. Pertama, persetubuhan yang diharamkan (alwath’ul muharram), yaitu persetubuhan zina yang ditandai adanya kesengajaan. Kedua, niat yang melawan (ta’ammudul wath’i atau alqahsrul jinaai).67 Zina merupakan perbuatan yang dilarang dalam Hukum Islam, termasuk juga segala hal yang menghantarkan pada tindakan zina. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran, surat Al-Isra, ayat 32, yaitu: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Hukum Islam mengelompokkan pelaku zina menjadi dua macam untuk menetapkan jenis hukuman yang akan dilaksanakan, yaitu: 1. Zina Muhshan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah baliq, berakal, merdeka dan telah menikah, baik masih terikat perkawinan maupun yang telah
65
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 6-7. Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 340. 67 Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 8. 66
Universitas Sumatera Utara
33
bercerai.68 Bagi pelaku zina muhshan, para ulama telah bersepakat bahwa hukuman yang dikenakan baginya adalah dirajam. Pendapat ini didasarkan atas hadits Rasulullah SAW berikut ini: Artinya: “Abu Hurairah dan Jabir ra., Abu Hurairah berkata: “Ada seorang pria datang kepada Rasulullah SAW., ketika beliau sedang beradadi masjid, hinggabeliau memanggilnya. Maka ia berkata: “Ya Rasulullah, saya telah berzina”. (Mendengar ucapan itu) Rasulullah berpaling darinya, tetapi orang itu mengulang-ulang perkataannya sebanyak empat kali. Tatkala ia mengakui akan dirinya (yang berzina itu), maka Nabi SAW memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau ini gila?” ia menjawab: “Tidak”. Nabi bertanya lagi: “Apakah engkau sudah beristri?” ia menjawab: “Ya (benar)”. Kemudian Nabi SAW bersabda: “Bawalah orang ini,kemudian kenakanlah hukuman rajam!”(HR. Bukhari dan Muslim). Di samping itu, dasar hukuman tersebut juga berdasarkan pada kata-kata Umar bin Khattab dalam sebuah khutbahnya yang berbunyi: Artinya :
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Umar bin Khaththab pernah duduk di mimbar Rasulullah SAW seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan kebenaran dan Allah menurunkan Alquran kepadanya, maka diantara ayat yang Allah turunkan yaitu ayat rajam.Maka, kami membacakan, memahami dan memperhatikannya.Rasulullah SAW menerapkan hukuman rajam dan kami menerapkannya sesudah masa beliau. Namun, saya takut jika suatu zaman yang panjang ditengah umat manusia ada seseorang berkata: “Demi Allah! Kami tidak mendapatkan ayat rajam dalam kitab Allah,” lalu mereka sesat sebab meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Sedangkan hukuman rajam dalam kitab Allah adalah suatu kepastian atas orang yang berzina, apabila dia itu terjaga (sudah berkeluarga) baik laki-laki maupun perempuan, apabila ada saksi yang bisa membuktikan atau ada kehamilan atau pengakuan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
68
Abdul Aziz Dahlan et.al.(Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 2028.
Universitas Sumatera Utara
34
2. Zina Ghairu Muhshan, yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang tidak ada ikatan perkawinan antara keduanya. Hukuman bagi pelakunya adalah hukuman jilid
atau
cambuk sebanyak 100 kali.
Ketentuan ini berdasarkan dalil Alquran berikut ini: Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing mereka seratus kali dera atau cambuk. Janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya menghalangi kamu untuk menjalankan agama Allah, jika memang kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka itu disaksikan oleh sekumpulan orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2)
Di samping mendapatkan hukuman jilid atau cambuk, pelaku zina ghairu muhshan juga diancam dengan hukuman pengasingan. Ketentuan ini berdasarkan dalil hadits Nabi SAW berikut ini: Artinya:
“Dari Ubadah bin Shamit ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sungguh Allah telah memberikan jalan penghukuman bagi mereka.Orang muda dengan orang muda adalah dihukum jilid seratus kali dan pengasingan satu tahun. Orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin adalah dihukum jilid seratus kali dan dirajam dengan batu.” (HR. Muslim)69
Dalam Hukum Islam, para fuqaha memandang bahwa status marietal yang membedakan antara muhshan atau muhshanah dengan ghairu muhshan atau ghairu muhshanah didasarkan atas pertimbangan pernah atau belum pernah mengadakan hubungan kelamin dengan lawan jenis. Seorang gadis atau pria lajang, jika ia pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang pria atau wanita, maka pria atau gadis tersebut termasuk muhshan. Sebaliknya, seorang pria atau wanita yang belum pernah 69
Ibid, hlm. 1316.
Universitas Sumatera Utara
35
melakukan hubungan seksual, walaupun pernah beristri (duda) atau pernah bersuami (janda) secara sah, namun antara keduanya bercerai sebelum mengadakan hubungan seksual, maka ia termasuk muhshan atau muhshanah.70 Dalam pelaksanaan hukuman, bentuk hukuman cambuk sebanyak seratus kali merupakan sanksi hukum bagi pezina yang berstatus pemudi atau pemuda, tidak boleh ada belas kasihan kepada pelaku zina dan eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. Begitu pula sanksi hukum bagi pezina berstatus janda atau duda dalam bentuk rajam, yaitu ditanam sampai leher dan dilempari batu sampai meninggal, juga tidak boleh ada belas kasihan pada saat hukuman tersebut dilakukan dan disaksikan oleh banyak orang secara terbuka. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan tentang perbuatan zina tidak diatur secara spesifik, baik dari aspek definisinya maupun hukuman bagi pelaku yang melakukan perbuatan zina, karena hakekat dari Kompilasi Hukum Islam adalah pengaturan tentang keperdataan Islam. Sementara perbuatan zina merupakan bagian dari hukum pidana atau jinayat. Sejak disahkan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, belum ada perubahan subtansi dari isi atau ketentuan yang ada tersebut. Kompilasi Hukum Islam memuat peraturan keperdataan Islam bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan tentang hukum Perwakafan. Aturan-aturan keperdataan Islam tersebut selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang telah diterima oleh para ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dan telah 70
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
36
dijadikan pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum tersebut. 71 B. Zina Dalam Perspektif
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak menyebutkan pasal atau ayat yang berkaitan dengan definisi zina secara khusus. Pengaturan dalam undang-undang ini hanyalah tentang anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar perkawinan yang mana mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43 ayat 1). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan inilah sebutan lain dari anak zina dalam hukum Islam. Perbuatan zina merupakan bagian dari perbuatan yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat), sehingga definisinya hanya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal 284 KUHP disebutkan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Persetubuhan ini juga harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.72 Jika dilihat dari isi dari pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa zina merupakan hubungan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang telah berkeluarga atau dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya dengan dasar suka sama suka dan tidak ada rasa paksaan di antara keduanya.
71
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 294. 72 R. Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, t.th., hlm. 181.
Universitas Sumatera Utara
37
Dengan demikian, pelaku zina yang diartikan dalam KUHP sangat jelas berbeda dengan pelaku zina dalam Hukum Islam. Pelaku zina dalam KUHP ditujukan bagi mereka yang telah berkeluarga atau kawin dari salah satu pelakunya.Sementara dalam Hukum Islam, selain pelaku zina yang telah berkeluarga atau salah satu di antara pelaku tersebut, pelaku zina yang masih lajang atau belum bekeluarga juga tergolong sebagai pezina. Selain KUHP, ada ketentuan dalam bentuk Qanun di Indonesia yang mengatur tentang pengaturan zina dan hukuman bagi pelaku zina, yaitu Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.Menurut Qanun73 tersebut, zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.74 Sedangkan hukuman bagi pelaku zina menurut Qanun Hukum Jinayat tersebut adalah: Pasal 33 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali. (2) Setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali dan dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau ‘Uqubat Ta’zir penjara paling lama 12 (dua belas) bulan. (3) Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling
73
Qanun adalah istilah lain dari Peraturan Daerah (PERDA) yang digunakan dalam legislasi hukum di Provinsi Aceh. 74 Pasal 2, ayat 26, Qanun Aceh, Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2014), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
38
banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.75 Dari
pasal
tersebut
di
atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
ada
tiga
pengelompokkan hukuman zina. Pertama, pelaku zina yang pertama kali melakukan zina dikenakan cambuk 100 kali. Kedua, pelaku zina yang telah berulang kali melakukan zina, selain dikenakan cambuk 100 kali, juga dikenakan denda paling banyak 100 gram emas atau penjara paling lama 12 bulan. Ketiga, setiap orang atau badan hukum yang menyedikan fasilitas untuk perzinahan, dihukum paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 100 gram emas murni, atau juga penjara paling banyak 100 bulan. Indonesia belum memiliki hukuman zina dalam bentuk cambuk, baik itu dalam KUHP maupun dalam aturan-aturan lainnya. Pengaturan secara lengkap tentang zina dan hukuman dalam bentuk cambuk, hanya berlaku lokal di Provinsi Aceh dan secara khusus berlaku bagi umat Islam yang berada di Aceh.
75
Ibid.,hlm.35.
Universitas Sumatera Utara