BAB II TINJAUAN UMUM KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN
2.1
Otonomi Daerah
2.1.1 Pengertian Otonomi Daerah Negara Indonesia adalah negara yang menganut bentuk negara kesatuan (unitary) namun hal ini akan berbeda ketika kita lihat dalam sistem pemerintahan daerah dalam negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalisme seperti otonomi daerah. Ada sebuah kolaborasi yang unik berkaitan dengan prinsip kenegaraan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat utamanya pasca reformasi.1 Konsep otonomi daerah sebenarnya lebih mirip sistem dalam negara federal, pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada didaerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat sehingga terdapat pengalihan kekuasaan pemerintahan dari pusat ke daerah padahal dalam negara kesatuan idealnya semua kebijakan terdapat di tangan pemerintahan pusat.2 Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata yunani “autos” yang berarti sendirian dan “nomous” yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Sienc, bahwa otonomi dalam arti orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual 1
H. M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media, Yogyakarta, h.61. 2 Ibid.
22
23
independence. Jadi, ada dua ciri hakikat dari otonomi, yakni legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitan dengan government atau condition of living under one’s own laws. Dengan demikian, otonomi daerah, daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Koesoemahatmadja berbendapat bahwa menurut perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi saling mengandung arti perundangan (regeling) juga mengandung arti pemerintahan (bestuur).3 Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan antara lain pelayanan kepada masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.4 Otonomi daerah sebagai realisasi dari sistem desentralisasi bukan hanya merupakan pemencaran wewenang atau penyerahan urusan pemerintahan, namun juga berarti pembagian kekuasaan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintah negara dalam hubungan pusat dan daerah. Sistem otonomi di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun menjelaskan bahwa bentuk negara kesatuan bagi negara Republik Indonesia merupakan amanat konstitusi. Salah satu ciri dari negara kesatuan adalah kekuasaan yang sangat besar ditangan pemerintah pusat. Lewat kekuasaan yang bertumpuk di pusat tersebut denyut kehidupan dari aspek bernegara disalurkan dari pusat dengan segala kelengkapan aparaturnya. Pemerintahan di daerah praktis hanya berfungsi 3
Juanda, op. cit, h.125. Khairul Ikhwan Damanik et. al., 2010, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, Dan Masa Depan Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h.113. 4
24
sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sebagaimana dengan pernyataan menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan : Bahwa penyelenggaran pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada
prinsipnya,
kebijakan
otonomi
daerah
dilakukan
dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi ditangan pemerintahan pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintahan pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke dareah kabupaten dan kota diseluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkan kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya yaitu dari pusat ke daerah.5
2.1.2
Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Membahas otonomi daerah di Indonesia akan berkaitan dengan konsep dan
teori pemerintahan lokal (local government) dan bagaimana aplikasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia oleh karena local government merupakan bagian negara maka konsep local government tidak dapat dilepaskan pada konsep-konsep tentang kedaulatan negara dalam sistem unitary dan federal
5
H. M. Busrizalti, op. cit, h.62.
25
serta sentralisasi, desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan.6 Dalam konteks negara kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga pola, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan madebewind (tugas pembantuan).7 Desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang
pemerintah
oleh
pemerintahan kepada daerah otonom dalam kerangka kenegaraan kesatuan. Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi menunjukkan : 8 1.
Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi perubahan yang terjadi dengan cepat. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efesien. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
2. 3. 4.
Hal-hal yang yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugastugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuannya daerah.9 Jadi desentralisasi adalah penyerahan wewenang dibidang tertentu secara vertikal dari institusi/ lembaga/ pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang diserahi atau
6
H. M. Busrizalti, op. cit, h.67. Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, 2000, Mensiasati Otonomi Daerah, Konsorsium Pembaruan Agraria Bekerjasama dengan INSIST “Press”, Yogyakarta, h.11. 8 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta, h.174. 9 H. M. Busrizalti, op. cit, h.68. 7
26
dilimpahi wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tersebut.10 Ada
dua
jenis
desentralisasi,
yaitu
desentralisasi
teritorial
dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termakud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal pendidikan dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain.11 Pengertian dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/ atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka
negara kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan
kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengembilan atau pembuatan keputusan.12 Sebab terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah, sebab pejabat-pejabat atau aparatnya merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan.13 Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagaian urusan pemerintahan 10
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada
Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, op.cit, h.11. Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, loc.cit. 12 Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, loc.cit. 13 Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, loc.cit. 11
27
gubarnur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/ atau kepada gubernur dan bupati/ wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Tugas pembantuan (madebewind) adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membebtuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal.14 Pasal 1 angka 11 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerinahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kebada daerah kabupaten/ kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Jadi madebewind merupakan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan 3 hal yaitu :15 1.
Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah otonom untuk melaksanakan. Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu. Yang dapat diserahi urusan madebewind hanya daerah-daerah otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.
2.
3.
14 15
H. M. Busrizalti, op. cit, h.68. Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, op.cit, h.11
28
2.1.3
Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD
1945 memberikan keleluasaan kepala daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan kepada
prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Oleh karenanya, penyelenggaraan otonomi daerah adalah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertangung jawab kepada daerah secara proporsional.16 Tujuan dari negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Didalam mencapai tujuan negara tersebut, negara tidak melakukan dan bertindak sendiri. Dibutuhkan organ pemerintah yang dapat menjalankan negara tersebut agar tercapai tujuan negara yaitu menjadi negara kesejahteraan.
Organ
pemerintah
yaitu
aparat-aparat
pemerintah
yang
menjalankan roda pemerintahan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, tentu harus dikerjakan sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan. Didalam Pasal 18 UUD 1945 yang diatur tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
16
Diana Halim K, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, h.30.
29
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pada tanggal 30 September 2014, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa: “urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum”. Urusan pemerintahan absolut yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan
pemerintah
pusat.
Urusan
pemerintahan
tersebut
mengangkat terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan.17 Urusan pemerintahan dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut.18 1.
Pertahanan dan Keamanan Negara. Pertahanan dan keamanan Negara merupakan kewenangan mutlak dari pemerintahan pusat dengan mendirikan dan membangun angkatan bersenjata, menyatakan perang dan damai, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan dan keamanan, menetapkan kewajiban wajib militer, bela negara untuk setiap warga negara, dan sebagainya. 17 18
Khairul Ikhwan Damanik et. al., op.cit, h.116. Khairul Ikhwan Damanik et. al., op.cit, h.116-117.
30
2.
Bidang Hukum dan Perdilan. Mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga kemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan remisi dan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan peraturan lain yang berskala nasional. Politik Luar Negeri. Mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri. Kepercayaan/ Keagamaan. Menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya, serta bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepala daerah. Moneter. Misalnya mencetak uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya.
3.
4.
5.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yang sekaligus juga menjadi dasar bagi pelaksanaan otonom daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang bersifat konkuren, artinya urusan pemerintah yang penanganannya dalam bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk itu maka disusunlah kriteria yang meliputi aktualitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintah antar pemerintah.19
19
Khairul Ikhwan Damanik et. al., op.cit, h.117.
31
Kewenangan daerah dalam pemerintahan dapat dibedakan dalam dua urusan pemerintah antara lain :20 1.
Urusan pemerintahan wajib artinya suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti pendidikan dasar, kesehatan, kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan, dan lain-lain.
2.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Pembagian urusan pemerintahan sebagai tersebut diatas ditempuh melalui
mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengakuan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan pusat. Dengan kriteria tersebut maka dapat diserahkan oleh daerah.21 Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan lembaga-lembaga pemerintah, yaitu Kepala Daerah, DPRD dan birokrasi setempat sedangkan yang terpisah dari lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, direkrut secara demokrasi dan berfungsi menurut mekanisme demokrasi. Dalam undang-undang secara tegas dinyatakan pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah beserta perangkat daerah lainnya sebagai badan legeslatif daerah. DPRD sebagai badan legeslatif daerah berkedudukan sejajar menjadi mitra dari pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah suatu proses yang berlangsung secara 20 21
Khairul Ikhwan Damanik et. al., loc.cit. Khairul Ikhwan Damanik et. al., op.cit, h.117-118.
32
berbeda-beda sesuai dengan tersedianya sumber daya manusia dan sumber daya alam.22 Pembentukan daerah otonom yang serentak merupakan kelahiran status ekonomi yang didasarkan atas aspirasi dan kondisi objektif masyarakat didaerah tertentu sebagai bagian dari bangsa dan wilayah nasional Indonesia. Aspirasi tersebut terwujud dengan diselenggarakannya desentralisasi berubah menjadi daerah otonom.23 Otonomi daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum punya wewenang mengatur, megurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian, desentralisasi sebenarnya menjelma menjadi otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokal demi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Daerah otonomi yang terbentuk diserahi sejumlah fungsi pemerintahan untuk kesejahteraan masyarakat setempat.24 Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan disetiap negara, terdapat berbagai urusan di daerah. Suatu urusan tetap menjadi urusan pemerintahan pusat dan urusan lain menjadi urusan lain menjadi urusan rumah tangga daerah sendiri, sehingga harus ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan cara pembagian urusan dikenal dengan adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu, yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah.25
22
Khairul Ikhwan Damanik et. al., op.cit, h.113 Khairul Ikhwan Damanik et. al., loc.cit. 24 Khairul Ikhwan Damanik et. al., loc.cit. 25 Juanda, op.cit, h.128. 23
33
Sistem rumah tanga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan caracara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut
adalah
bahwa
daerah-daerah
akan
memiliki
sejumlah
urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.26 Sehubungan dengan itu, secara teoretik dan praktik dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yang diuraikan satu persatu sebagai berikut :27 1. Otonomi organik atau rumah tangga organik; Otonomi bentuk ini pada dasarnya menentukan bahwa urusan-urusan yang menyangkut kepentingan daerah diibaratkan sebagai organ-organ kehidupan yang merupakan suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya jantung, paruparu, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk mengurus berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau matinya daerah; 2. Otonomi formal atau rumah tangga formal; otonomi bentuk ini adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selanjutnya daerah otonom lebih bebas mengatur urusan rumah tangganya, sepanjang tidak memasuki “area” urusan pemerintah pusat. Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan teori sisa, dimana 26 27
Juanda, op.cit, h.129. Juanda, op.cit, h.129-132.
34
pemerintah pusat lebih dulu menetaokan urusan-urusan yang dipandang lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah daerah; 3. Otonomi materiil atau rumah tangga materiil; dalam otonomi bentuk ini kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan secara limitatif terinci atau secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya. Dalam otonomi materiil ini ditegaskan bahwa untuk mengetahui apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat pada substansinya. Artinya, bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri pada hakikatnya tidak akan mampu menyelenggarakan urusan tersebut. Sebaliknya, apabila suatu urusan secara substansial merupakan urusan daerah, pemerintah pusat meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang berada di daerah (pemerintah pusat di daerah), tidak akan mampu menyelenggarakannya. Kemudian untuk menyelenggarakannya rumah tangga itu, objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau dirinci secara enumeratif. 4. Otonomi riil atau rumah tangga riil; otonomi bentuk ini merupakan gabungan antara otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam undang-undang pembentukan otonomi, kepada pemerintah daerah diberikan wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan-perundangan yang lebih tingi tingkatnya. Otonomi riil ini pada prinsipnya menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang urusan
35
tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan daerah yang menyelenggarakannya; 5. Otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis a.
Nyata, artinya pemberian urusan pemerintahan dibidang tertentu kepada pemerintah daerah memang harus disesuaikan dengan factor-faktor tertentu yang hidup dan berkembang secara objektif di daerah. Hal tersebut harus senantiasa disesuaikan dalam arti diperhitungkan secara cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan, sehingga diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktek bahwa isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tidaklah sama, baik mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar karena setiap daerah memiliki perbedaan baik letak geografis, kondisi geologis, maupun budaya, adat istiadat, serta potensi yang dimilikinya.
b.
Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada pemerintah daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara. Pemberian otonomi ini untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah dalam suasana yang harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin perkembangan dan pembangunan antar daerah yang serasi sehingga laju pertumbuhan antara daerah dapat seimbang.
c.
Dinamis, artinya otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan senantiasa menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas
36
segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan yang semakin meningkat mutunya.28 Dari kelima jenis sistem otonomi itu, umumnya dipraktikan hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga materiil, dan sistem rumah tangga nyata atau riil dengan beberapa varian.
2.2 2.2.1
Usaha Pertambangan Batuan Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang
Pemerintahan Daerah, yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tambang adalah pemerintah pusat. Ini disebabkan sistem pemerintahan, sebelum berlakunya Undang-Undang 22 Tahun 1999 bersifat sentralistik, artinya segala macam urusan yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan penetapan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya, pengusahaan pertambangan batu bara, maupun yang lainnya, pejabat yang berwenang memberikan izin adalah menteri, dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan dalam pemberian izin diserahkan pada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan pemerintah pusat, sesuai dengan kewenangan kewenangannya.29 Begitu pula sama hingga saat ini setelah undangundang pemerintahan daerah tersebut digantikan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan selanjutnya menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. 28
Juanda, op.cit, h.129-132. H. Salim HS, 2004, Hukum Pertambangan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.49-50. 29
37
Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak diatur kewenangan dari pemerintah daerah didalam pengelolaan pertambangan. Namun di Pasal 6, 7, dan 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diatur secara rinci kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten /kota dalam pengelolaan pertambangan.30 Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara pada Pasal 6 meliputi : a. b. c. d. e.
penetapan kebijakan nasional; pembuatan peraturan perundang-undangan; penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi; j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi; l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat; m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara; n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
30
Ibid, h.50.
38
o. p.
q. r. s. t. u.
pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan; penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN; pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional; pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional; pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara dalam Pasal 7 meliputi : a. b.
c.
d.
e.
f.
g. h. i. j.
pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya; pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi; penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi; pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi; pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;
39
k.
penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota; l. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota; m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan n. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota diatur dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara meliputi : a. b.
c.
d. e. f. g. h. i. j. k. l.
pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara; pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten /kota; penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota; pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. Kewenangan kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk pengelolaan pertambangan, namun semua kebijakan yang berkaitan dengan pertambangan masih didominasi oleh pemerintah pusat.
40
Seperti yang menandatangani kontrak karya pada wilayah kewenangan pemerintah
kabupaten/kota
adalah
bupati/walikota
dengan
perusahaan
pertambangan. Tetapi segala hal yang berkaitan dengan substansi kontrak karya telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah kebupaten/kota tidak dapat mengembangkan substansi kontrak karya sesuai dengan kebutuhan daerah.31
2.2.2
Perizinan Dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batuan Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan
untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan komoditas batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama pentingnya dalam memberikan dukungan terhadap pembangunan daerah antara lain: pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedung perkantoran. Sejak berlakunya otonomi daerah setiap daerah harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada, salah satunya adalah sumber daya mineral non logam dan batuan, dan juga untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Usaha
pertambangan
merupakan
kegiatan
untuk
mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat di dalam bumi Indonesia.32 Kegiatan yang termasuk dalam usaha pertambangan tersebut meliputi kegiatan usaha penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
31 32
Ibid, h.53. Ibid.
41
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang. Wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Wilayah pertambangan
ditetapkan oleh Pemerintah
setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan dengan: a.
Secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b.
Secara terpadu dengan rnemperhatikan pendapat dari Instansi Pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c.
Dengan rnemperhatikan aspirasi daerah pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan wilayah pertambangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan
wilayah
pertambangan
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
Wilayah
pertambangan tersebut terdiri atas : Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). a.
Wilayah Usaha Pertambangan ( WUP ) Wilayah usaha pertambangan adalah bagian dari wilayah pertambangan
yang telah memiliki ketersediaan data potensi, atau informasi geologi. Wilayah izin usaha pertambangan adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang izin
42
usaha pertambangan. Satu wilayah usaha Pertambangan terdiri atas satu atau beberapa wilayah izin usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten / kota atau dalam satu wilayah kabupaten atau kota. b.
Wilayah Pertambangan Rakyat ( WPR ) Wilayah Pertambangan Rakyat adalah bagian dari Wilayah Pertambangan
tempat dilakukan kegiatan usaha Pertambangan Rakyat. Kriteria untuk menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat dapat ditemukan dalam masingmasing peraturan daerah yang berkaitan dengan usaha pertambanangan mineral dan batuan. Dalam menetapkan wilayah pertambangan rakyat Bupati/ Walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana wilayah Pertambangan Rakyat kepada masyarakat secara terbuka. Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai wilayah pertambangan
rakyat
diprioritaskan
untuk
ditetapkan
sebagai
wilayah
pertambangan rakyat. Izin usaha pertambangan adalah pemberian izin untuk melakukan usaha pertambangan kepada orang pribadi atau badan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Peemerintah Nomor 23 Tahun 2010 disebutkan : IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikotasesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh : a. Badan usaha; b. Koperasi; atau c. Perseorangan.
43
Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya. Pemberian WIUP mineral buka logam dan batuan diatur dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan “untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam atau batuan, badan usaha, koperasi, atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) kepada : a.
Menteri, untuk permohonan WIUP yang berada lintas wilayah provinsi dan/ atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
b.
Gubernur, untuk permohonan WIUP yang berada lintas wilayah kabupaten/ kota dalam 1 (satu) provinsi dan/ atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; dan
c.
Bupati/ walikota, untuk permohonan WIUP yang berada didalam 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota dan/ atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut
Menteri),
gubernur
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan usaha, koperasi, dan perseorangan. IUP diberikan melalui 2 tahapan yaitu : 1.
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
2.
Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP)
44
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batuan dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah untuk mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya
2.
Sebelum memberikan WIUP, Menteri harus mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota dan oleh gubernur harus mendapat rekomendasi dari bupati/walikota
3.
Permohonan WIUP yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP
4.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam paling lama 10 hari kerja setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP
5.
Keputusan menerima disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Keputusan menolak harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan. Adapun pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan yang diatur sebagai
berikut: 1.
IUP terdiri atas : IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
45
2.
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: administratif, teknis, lingkungan dan finansial Pemberian IUP Eksplorasi batuan diatur dalam Pasal 28 PP Nomor 23
Tahun 2010 yaitu diberikan oleh : a.
Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai;
b.
gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 - 12 mil dari garis pantai;
c.
bupati/walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai. IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha,
koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan. Menteri atau guberrnur menyampaikan penerbitan peta WIUP batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada gubernur atau bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi. Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral batuan Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat dalam waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan wajib memenuhi persyaratan Bila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam waktu 5 hari
46
kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau pemerintah daerah dan WIUP menjadi wilayah terbuka.