BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.
GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF
1.1
Defenisi Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) 1.2
Sejarah dan epidemologi Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki
arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999) Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari
Universitas Sumatera Utara
bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999) Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999) Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999) 1.3
Klasifikasi demensia. (Sjahrir,1999)
Demensia terbagi atas 2 dimensi: Menurut umur; terbagi atas: Demensia senilis onset > 65 tahun Demensia presenilis < 65 tahun Menurut level kortikal:
Universitas Sumatera Utara
Demensia kortikal Demensia subkortikal Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya 1. Anterior : Frontal premotor cortex Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat. 2. Posterior: lobus parietal dan temporal Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik. 3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak. 4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
1.4
Pemeriksaan demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain : 1. Riwayat medik umum Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign. 2. Riwayat neurologi umum Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau
Universitas Sumatera Utara
hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif. 3. Riwayat neurobehavioral Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan. 4. Riwayat psikiatrik Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia. 5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif. 6. Riwayat keluarga Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik. 7. Pemeriksaan objektif
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
1.5
Pemeriksaan penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) 1. Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat 2. Imaging Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan. 3. Pemeriksaan EEG Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik. 4. Pemeriksaan cairan otak Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas,
Universitas Sumatera Utara
demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan. 5. Pemeriksaan genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat. 1.6
Diagnosa banding demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
1.6.1
Delirium Delirium adalah keadaan akut dan serius, dapat mengancam jiwa. Dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, gangguan metabolik dan reaksi obat.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Perbedaan klinis Delirium dengan Demensia Delirium
Demensia
Awitan akut dengan waktu awitan diketahui
Awitan tidak jelas dengan waktu awitan tidak
dengan tepat
diketahui
Perjalanan klinis akut, berlangsung sampai
Perjalanan klinis perlahan, bertahap dan
berhari-hari sampai mingguan
progresif memburuk
Biasanya reversibel
Biasanya irreversible
Disorientasi terjadi pada fase awal penyakit
Disorientasi terjadi pada fase lanjut
Fluktuasi dari jam kejam
Fluktuasi ringan dari hari ke hari
Perubahan fisiologis yang nyata
Perubahan fisiologis tidak begitu nyata
Tingkat kesadaran yang berfluktuasi
Rentang waktu atensi normal
Gangguan siklus tidur-bangun bervariasi
Gangguan siklus tidur-bangun bervariasi dari
dari jam ke jam
siang ke malam
Gangguan psikomotor jelas terjadi pada fase Gangguan psikomotor terjadi pada fase lanjut awal
1.6.2. Pseudodemensia Depresi dapat mempengaruhi status kognisi penyandang, oleh sebab itu sebelum mencari etiologi demensia perlu dipastikan apakah penyandang mengalami demensia atau pseudodemensia karena depresi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Perbedaan klinis Pseudodemendia dengan Demensia Gambaran klinis
Pseudodemensia
Demensia
Awitan (onset)
Akut dengan perubahaan
Perlahan, berbulan-bulan
tingkah laku Mood /tingkah laku
Banyak keluhan; seperti
Test neuropsikologis jelek tetapi
tidak dapat melakukan test
penyandang berusaha
tetapi hasil test objektif baik meminimalkan/merasion aliasasi kekurangannya Pandangan tentang diri
Jelek
Normal
Ansietas, insomnia,
Jarang, kadang-kadang insomnia
sendiri Keluhan terkait
anoreksia Durasi
Alasan konsultasi
Bervariasi dapat berhenti
Keluhan progresif perlahan dalam
spontan/ setelah terapi
berbulan-bulan-bertahun
Rujukan sendiri
Penyandang dibawa oleh keluarga yang merasakan perubahan memori, kepribadian dan tingkah laku
Riwayat hidup sebelumnya
Riwayat psikiatri
Tidak jarang ditemukan riwayat keluarga dengan demensia
1.7
Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan
Universitas Sumatera Utara
untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut: -
mampu menyaring secara cepat suatu populasi
-
mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999) Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah
test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003) Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 04 tahun. Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan
suatu
derajat
demensia
yang
berat.
(Asosiasi
Alzheimer
Indonesia,2003, Golomb,2001)
2.
DIABETES MELITUS Diabetes Melitus merupakan kumpulan kelainan metabolik yang umum dengan
gejala yang sama berupa hiperglikemia. Beberapa jenis DM yang telah diketahui, disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetik, faktor lingkungan dan gaya hidup. Berdasarkan etiologi dari DM, faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya hiperglikemia antara lain berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya glucose utilization, dan peningkatan produksi glukosa. Disregulasi metabolik yang berhubungan dengan DM menyebabkan perubahan patofisologi sekunder pada berbagai sistem organ yang menimbulkan beban berat bagi individu penderita DM dan bagi sistem kesehatan masyarakat. (Harrisons,2005). 2.1
Epidemiologi: Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia, sekitar tahun 1980-an
didapatkan prevalensi DM antara 0.8% di Tanah Toraja sampai 6.1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM
Universitas Sumatera Utara
1,7 % pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006) Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7.2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetisi sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,4 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban 14,7% dan rural 7,2% maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetisi di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006) 2.2
Pemeriksaan Penyaring DM. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006) Pemeriksaan penyaring DM dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu sebagai patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dL) Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa
Vena
<100
100-199
>=200
darah sewaktu
Kapiler
<90
90-199
>=200
Kadar glukosa
Vena
<100
100-125
>=126
darah puasa
Kapiler
<90
90-99
>=100
Universitas Sumatera Utara
2.3
Diagnosa DM. (Perkumpulan Endokrin Indonesia. 2006) Berbagai keluhan dapat diketemukan pada diabetes. Kecurigaan akan DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >= 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan TTGO. Ketiga dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosa DM. Tabel 4. Kriteria diagnosa DM 1
Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu >= 200 mg/dL Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada satu hari tanpa memperhatikan waktu makan terahir
2.
Gelaja klasik DM + kadar glukosa darah puasa >= 126 mg/dL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3.
Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO >= 200 mg/dL TTGO menggunakan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 glukosa yang dilarutkan ke dalam air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT). TGT
: glukosa darah plasma 2 jam setelah beban, antara 140-199 mg/dL
GDPT
: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL
Universitas Sumatera Utara
2.4
Komplikasi Kronik DM Komplikasi kronik dari diabetes melibatkan berbagai organ dan berperan
terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Komplikasi kronik dapat dibagi menjadi komplikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular kemudian dibagi lagi menjadi komplikasi mikrovaskular (retinopati, neuropati, nefropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Komplikasi non vaskular termasuk gastroparesis, infeksi dan perubahan pada kulit. Resiko terhadap komplikasi kronik meningkat menurut durasi dari hiperglikemia; yang biasanya muncul pada dekade kedua. Karena pada diabetes tipe 2 berlangsung periode hiperglikemia yang asimtomatik dalam waktu yang lama, banyak penderita yang telah memiliki komplikasi ketika di diagnosa diabetes. (Harrison’s. 2005)
2.5
Komplikasi Renal DM Nefropati diabetik adalah penyebab utama dari ESRD (End Stage Renal
Disease) di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama dari mortalitas dan morbiditas yg terkait dengan DM. Nefropati diabetik mempunyai runtutan kejadian yang karakteristik yang mulanya dikenali pada individu dengan DM tipe I
tapi
sepertinya sama dengan DM tipe II. Hiperperfusi renal dan renal hipertropi terjadi pada tahun pertama setelah onset DM dan menyebabkan terjadinya peningkatan dari Glomerular Filtration Rate (GFR). Selama lima tahun pertama dari DM, terjadi penebalan dari Glomerular Basement Membrane (GBM), hipertropi glomerular dan peningkatan volume mesangial dan GFR kembali normal. Setelah 5 sampai 10 tahun terkena DM tipe I, 40 % penderita mulai mengeksresi sejumlah kecil albumin dalam urine. Mikroalbuminuria adalah dijumpainya 30-300 mg/hari pada urine 24 jam.
Universitas Sumatera Utara
Adanya mikroalbuminuria pada pasian DM tipe I adalah prediktor untuk berkembang menjadi proteinuria (>300 mg/hari) atau nefropati yang jelas terlihat. Pada fase ini tekanan darah mungkin sedikit meningkat tapi umumnya masih normal. Ketika proteinuria telah muncul maka akan terjadi penurunan GFR secara berangsur-angsur dan 50% penderita akan jatuh ke ESRD dalam 7 sampai 10 tahun. (Harrisons,2005)
2.6
Pemeriksaan Fungsi Ginjal Glomerular fitration rate (GFR) merupakan pengukuran yang baik untuk
menilai kapasitas filtrasi dari ginjal. GFR yang rendah atau menurun adalah indeks dari Chronic Kidney Disease, CKD. Perhitungan yang paling sering dipakai untuk mengestimasi GFR pada orang dewasa adalah persamaan Cockcroft-Goult yang dikembangkan untuk mengestimasi creatinine clearance tapi telah banyak diuji akan kemampuannya dalam mengukur GFR. Walaupun persamaan yang berdasarkan serum creatinine (Cockcroft-Goult) adalah metode yang baik dari segi keefektifan dan harga, ketepatannya terbatas. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000) Metode baru diperlukan terutama untuk mendeteksi penyakit ginjal yang ringan dan sedang, tapi akurasi, ketepatan dan kepraktisannya harus diuji dalam subjek yang besar, dengan yang subjek yang berpenyakit ginjal dan yang tidak. Studi yg terbesar yang mengevaluasi persamaan Cockcroft-Goult adalah studi MDRD. Serum creatinine assay pada studi ini dikalibrasi kira-kira sama dengan creatinine yang sebenarnya. Hasilnya, persamaan Cockcroft-Goult over-estimated terhadap GFR sebesar 23%. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000) Metode yang paling akurat untuk menentukan fungsi ginjal adalah pengukuran formal GFR dengan Iothalamate atau marker yang mirip. Ini merupakan test yang
Universitas Sumatera Utara
mahal dan membutuhkan banyak waktu dan tidak sesuai dengan praktek klinis, tersedia hanya dibeberapa sentra dan tidak efektif untuk skrining CKD. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000) Formula yang dikembangkan dari Studi Modifikasi Diet pada Penyakit Ginjal (Modification of Diet in Renal Disease, MDRD) saat ini adalah metode yang divalidasi yang terbaik untuk orang dewasa untuk kegunaan praktis.. Kalkulator online untuk estimasi GFR dengan metode MDRD disediakan oleh National Kidney Fondation di situs www.kidney.org. (Brosius FC, dkk.2005) Berikut adalah klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) 2000. Tabel 5. Derajat Keparahan CKD menurut NKF-KDOQI GFR (ml/mnt/1.73 m²) ≥90
Stage
Deskripsi
I
Kerusakan ginjal dengan GFR Normal atau meningkat
II
Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR ringan
60-89
III
Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR sedang
30-59
IV
Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR berat
15-29
V
Gagal ginjal (ESRD)
< 15
3.
PATOFISIOLOGI GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA DIABETES MELITUS (Kodl,2008)
Patofisiologi yang mendasari perkembangan gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes belum jelas diungkapkan. Banyak hipotesa yang didukung oleh bukti, diantaranya hal yang potensial berperan sebagai faktor kausatif terjadinya
Universitas Sumatera Utara
hiperglikemia, penyakit vaskular, hipoglikemia, resistensi insulin dan pengendapan amyloid. Meskipun penelitian lanjutan untuk tiap mekanisme kandidat masih diperlukan, penyebab gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes mungkin pada ahirnya adalah kombinasi dari faktor-faktor tersebut, tergantung dari tipe diabetes, komorbiditas, umur dan terapi. 3.1 Peran Hiperglikemia Hiperglikemia sepertinya berhubungan dengan abnormalitas pada fungsi kognitif pada pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Namun, bagaimana hiperglikemia bisa memediasi efek tersebut masih kurang jelas. Pada organ lain, hiperglikemia mempengaruhi fungsinya melalui berbagai mekanisme termasuk aktivasi jalur polyol, meningkatkan pembentukan dari advanced glycation end products (AGEs), aktivasi diacylglycerol dari protein kinase C, dan peningkatan shunting glukosa pada jalur hexosamine. Mekanisme yang serupa mungkin terjadi di otak dan menginduksi perubahan dalam fungsi kognitif yang dideteksi pada pasien diabetes. Peran AGEs dan reseptor AGEs (RAGEs) dalam terjadinya komplikasi serebral dari diabetes masih tidak jelas. Tikus yang diabetes (32% HbA1c vs 12% pada control) yang menunjukkan gangguan kognitif dijumpai peningkatan ekspresi dari RAGEs pada neuron dan sel glia dan kerusakan pada white matter dan myelin, menyarankan peranan RAGEs pada terjadinya disfungsi serebral. Pada manusia, pasien dengan diabetes dan Alzheimer disease memiliki N-carboxymethyllysine (suatu tipe AGEs) yang lebih tinggi pada pewarnaan yang dilakukan pada pemeriksaan postmortem dibanding pada pasien yang hanya menderita Alzheimer disease.
Universitas Sumatera Utara
Gambar I: Akibat hyperglikemia pada Polyol Pathway
Sebagai tambahan pada kerusakan organ terminal yang diinduksi hiperglikemia, fungsi neurotransmitter yang berubah yang diamati pada percobaan binatang diabetes juga berperan terhadap disfungsi kognitif. Pada tikus diabetes, dijumpai gangguan pada long term potentiation yang diartikan sebagai peningkatan secara terus-menerus jangka panjang dari kekuatan synaps pada neuron yang kaya akan neurotransmitter Nmethyl d aspartate (NMDA), yang dapat berkontribusi pada kelemahan proses belajar. Perubahan neurokemikal yang telah diamati, penurunan asetilkolin, penurunan turnover serotonin, penurunan aktivitas dopamine, dan peningkatan norepinephrine pada otak binatang diabetes. Menariknya adalah semua kelainan ini membaik dengan pemberian insulin. Suatu usulan hipotesa bahwa perubahan kadar glukosa yang tinggi dan rendah pada penderitia diabetes yang tidak terkontrol bisa memperburuk fungsi neurotransmitter. 3.2.
Peran Penyakit Vaskular
Universitas Sumatera Utara
Pasien dengan diabetes beresiko 2 sampai 6 kali lipat untuk terjadinya stroke thrombotic, dan penyakit pembuluh darah telah lama dihipotesa berperan pada kelainan kognitif pada pasien tersebut. Studi dengan otopsi pada pasien diabetes tipe 1 memperlihatkan perubahan yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah, termasuk degenerasi otak difus, pseudocalcinosis, demyelinisasi dari saraf kranial dan medula spinalis dan fibrosis saraf. Penebalan basement membrane kapiler, suatu tanda khas dari diabetik mikroangiopati telah ditemukan pada pasien dengan diabetes. Pesien diabetes juga didapati penurunan cerebral blood flow yang diukur dengan xenon, dan derajat penurunan sesuai dengan lama penyakit. Namun kadar glukosa darah tidak dikontrol selama penelitian. Menariknya tingkat cerebral blood flow pada pasien dengan diabetes serupa dengan pasien Alzheimer’s. Observasi pada penderita diabetes didukung oleh studi-studi pemberian streptozotocin pada tikus dengan hiperglikemia kronik. Diduga bahwa penurunan pada cerebral blood flow, dilawan dengan stimulasi dari reseptor thromboksan A2 terjadi pada pasien diabetes, dapat berkontribusi dalam ketidakmanpuan dari pembuluh darah otak untuk berdilatasi secara adekuat, yang akan mengarah pada kecenderungan untuk terjadinya iskemia. Koinsidensi dari iskemia dan hiperglikemia bisa secara khusus merusak otak. Bahkan peningkatan kadar glukosa darah yang tidak tinggi pada manusia selama cerebrovascular event berhubungan dengan perbaikan klinis yang lebih jelek. Salah satu mekanisme potensial dimana hiperglikemia dapat mempotensiasi kerusakan akibat iskemia adalah akumulasi laktat. Hiperglikemia menyediakan lebih banyak substrat untuk pembentukan laktat, menyebabkan asidosis selular, dan memperburuk injury. Mekanisme lain adalah akumulasi glutamate pada kondisi hiperglikemia dan iskemik. Glutamate, suatu asam amino neurotransmitter eksitatori, telah menunjukkan kerusakan neural pada otak.
Universitas Sumatera Utara
3.3.
Peran Hipoglikemia
Episode yang berulang dari hipoglikemi berperan pada kelainan kognitif kontroversial dan sepertinya tergantung dengan umur pasien. Kebanyakan endokrinologis memiliki pengalaman dengan pasien yang mengalami hipoglikemia berat dengan sedikit atau tidak ada kelainan permanen. Hal ini sepertinya ketidakakuratan glukometer pada level glukosa yang rendah, waktu yang tidak adekuat dalam penanganan hipoglikemia berat, atau variasi dalam penyimpanan glikogen. Telah terlihat pada percobaan binatang, bahwa setelah 30-60 menit dengan kadar glukosa antara 0,12 dan 1,36 mmol/liter, nekrosis neuronal terjadi disertai dengan peningkatan aspartate, alkalemia, dan kegagalan energi yang membawa pada gambaran yang datar pada EEG. Korteks, basal ganglia, dan hipokampus sepertinya daerah yang paling rentan terhadap hipoglikemia, dimana adanya nekrosis laminar dan gliosis yang dijumpai pada daerah ini ketika dilakukan otopsi pada pasien yang meninggal karena hipoglikemia. Studi lain, otopsi yang dilakukan pada kematian yang terjadi karena hipoglikemia menunjukkan nekrosis multifocal atau yang difus dari korteks serebral dan kromatolisis dari ganglion sel. Percobaan pada binatang, kerusakan yang diinduksi hipoglikemia sepertinya slektif terhadap neuron tertentu dengan pengecualian astrosit dan oligodendrosit. Beberapa telah membuat hipotesa bahwa kerusakan neuron akibat hipoglikemia adalah akibat overaktivasi dari reseptor neurotransmitter eksitatori NMDA. Menariknya, adanya reseptor antagonis NMDA yang sepertinya mencegah nekrosis neuron membuka peluang terapi potensial untuk kerusakan otak yang diinduksi oleh hipoglikemia. Terapi itu mungkin bermanfaat pada anak dengan diabetes tipe 1 yang sepertinya rentan terhadap komplikasi serebral dari hipoglikemia. Mungkin ada juga hubungan antara hipoglikemia selama tidur pada tengah malam, dimana terjadi konsolidasi memori dan kelainan kognitif. Perbandingan hasil test
Universitas Sumatera Utara
antara yang euglikimia selama tidur dengan pasien diabetes tipe 1 yang mengalami hipoglikemia relatif selama tidur (2,2 mmol) selama tidur menununjukan adanya gangguan memori deklaratif. Namun tidak dijumpai defisit neurokognitif pada beberapa studi dimana hipoglikemia nokturnal yang diinduki selama tidur. 3.4.
Peran Resistensi Insulin dan Amyloid
Meskinpun peran dari insulin pada metabolisme serebral dan fungisnya masih diselidiki, penelitian selama duapuluh tahun dalam bidang ini telah memberi banyak pencerahan. Sebelumnya diduga otak adalah organ yang tidak memerlukan insulin, namun banyak penelitian yang mempertanyakan hal itu. Reseptor insulin dan ekspresi mRNA
telah
dijumpai
terdistribusi
luas
di
otak
dengan
menggunakan
immunohistochemistry dan in situ hybridization, secara berturut termasuk bulbus olfaktorius, hipotalamus, hipokampus, serebelum, kortek piripormis, korteks serebral dan amigdala. Resistensi insulin dan diabetes tipe 2 mungkin berkontribusi dalam disfungsi kognitif melalui tiga mekanisme tidak langsung lainnya. Pertama, disfungsi kognitif pada diabetes tipe 2 berhubungan dengan marker inflamasi, dan peningkatan inflamasi mungkin berperan dalam berkembangnya Alzheimer’s atau penyakit makrovaskular. Dalam sebuah penelitian, pasien dengan sindroma metabolik, peningkaktan C-reaktif protein, dan peningakatan IL-6 ditemukan mengalami gangguan fungsi kognitif, sedang pasien dangan sindroma metabolik dengan marker inflamasi yang normal memiliki fungsi kognitif yang sama dengan kontrol. Pasien dengan diabetes tipe 2 diketahui memiliki kadar marker inflamasi yang lebih tinggi termasuk C-reaktif protein, α-1 antichymotrypsin, IL-6, dan intercellular adhesion molecule 1 dibanding dengan kelompok kontrol. Temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa resistensi
Universitas Sumatera Utara
insulin dan Alzheimer’s disease mungkin memiliki patofisiologi yang sama, karena pasien dengan Alzheimer’s disease juga menunjukkan peningkatan marker inflamasi. Mekanisme kedua yang potensial bagaimana resistensi insulin dan diabetes tipe 2 bisa berperan
dalam
gangguan
kognitif
adalah
melalui
hambatan
pada
aksis
hypothalamicpituitary adrenal. Baik hewan maupun manusia dengan diabetes tipe 2 mengalami peningktan regulasi dari aksis hypothalamicpituitary adrenal, yang meningkatkan kortisol serum dibandingkan dengan kontrol. Dalam penelitian lain, hiperkortisolemia ditemukan menyebabkan disfungsi kognitif. Manusia sehat yang mendapatkan deksametason, kortikosteron, dan hidrokortison yang menyerupai kondisi stres semuanya menunjukkan performa memori yang lebih jelek. Tambahan, pasien dengan Cushing’s disease ditemukan memiliki performa yang lebih jelek dalam memori, atensi, reasoning, dan pembentukan konsep dibanding dengan kontrol, yang mungkin disebabkan penurunan dalam metabolisme glukosa serebral yang didapatkan melalui PET (Positron Emission Tomography) scan pada pasien Cushing’s disease. Yang mendukung penemuan ini adalah penelitian pada binatang dimana glukokortikoid menyebabkan kerusakan struktural dan penurunan fungsi neuron di hipokampus. Berdasarkan fakta bahwa diabetes tipe 2 dapat meningkatkan regulasi aksis hypothalamicpituitary adrenal dan hiperkortisolemia dapat menyebabkan disfungsi kognitif, dapat diduga bahwa peningkatan level kortisol yang dijumpai pada pasien diabetes tipe 2 mungkin berperan terhadap disfungsi kognitif. Mekanisme potensial ketiga bagaimana resistensi insulin mungkin berperan dalam disfungsi kognitif adalah dengan membantu pembentukan senile plaque pada Alzheimer’s disease. neurofibrillary tangles intraselular dan senile plaque ekstraselular yang membentuk β-amyloid adalah tanda khas patologik dari Alzheimer’s diaease. Beta-amyloid terbentuk dari pemecahan amyloid precursor
Universitas Sumatera Utara
protein (APP), yang diproduksi neuron, dengan bantuan ezim β dan γ sekretase. βamyloid sebenarnya dihancurkan oleh insulin degreading enzyme. β-peptide amyloid dapat dengan sendirinya berikatan dengan RAGEs dan menyebabkan disfungsi neuronal dan mikroglia dan stress oksidatif. Menariknya β-peptide amyloid, AGEs, RAGEs telah ditemukan dalam astrosit menggunakan immunohistochemistry dalam irisan otak manusia. Tambahan, ada bukti yang menguatkan bahwa resistensi insulin dapat mempengaruhi metabolism APP dan β-amyloid yang potensial meningkatkan beban senile plaque serebral. Pengamatan terhadap sel pulau Langerhans pada penderita diabetes tipe 2 adalah khas dengan kehilangan sel β dan penumpukan dari amyloid di sel pulau Langerhans dimana ini mengingatkan akan penumpukan β-amyloid yang terlihat pada Alzheimer’s disease. Yang membentuk amyloid pada sel pulau Langerhans dan sel saraf adalah sama dan sama-sama toksik terhadap sel pulau Langerhans dan sel saraf. Penelitian pada 29 subjek dimana otopsi pada otak dan pancreas tersedia, amyloid ditemukan pada semua subjek dengan berbagai tingkatan. Pada penelitian lain, amyloid sel pulau Langerhans ditemukan lebih banyak pada otopsi pasien Alzheimer’s dibanding dengan yang bukan. Berdasarkan kesamaan β-amyloid pada sel pulau dan sel saraf ada yang menduga bahwa patogenesis yang sama mungkin terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dan Alzheimer’s disease, yang mungkin juga melibatkan kelainan pada protein chaperone yang membantu lalulintas protein intraselular.
4.
PATOFISIOLOGI GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA CKD Angka kejadian yang tinggi dari gangguan fungsi kognitif dan demensia telah
banyak dilaporkan pada berbagai peneltian pada pasien dengan ESDR, tapi tidak
Universitas Sumatera Utara
semuanya. Faktor-faktor yang bisa berkontribusi terhadap gangguan fungsi kognitif pada ESDR tersebut antara lain tingginya prevalensi faktor resiko kardiovaskular yang menyebabkan kerusakan subklinis, uremia dan hubungannya dengan kelainan metabolik yang mengikutinya. (Hailpern SM, 2007). Faktor lain yang mungkin berperan dalam terjadinya gangguan fungsi kognitif pada CKD adalah anemia, dimana hal ini biasanya terjadi pada CKD stadium lanjut (Kurella,2005 ; Katri M, 2009). Perubahan neuropatologis pada otak yang terjadi secara paralel pada ginjal telah ditempatkan sebagai mekanisnya yang menjelaskan hubungan antara CKD dan gangguan fungsi kognitif. Hal ini termasuk atheroskeloris, penyakit mikrovaskular, stroke, silent stroke, oksidative stress dan white matter lesions (Elias FM, 2009)
Universitas Sumatera Utara
5.
Kerangka Konsepsional
DM
Aterosklerosis; Penebalan GBM; Perubahan epitel Glomorulus
Harrison:2005; Knobler dkk. 2004 Dasch S.C:1989; Giunti dkk. 2006
- episode hiperglikemia - episode hipoglikemei
- hiperinsulimenia - produk² glikosilasi
- vascular change - oxidative stress
Roberts RO,dkk;2008
Lucnsinger dkk; 2007
Paila dkk; 2007
CKD (GFR ↓)
Uremia; Anemia Inflamasi Kurella dkk; 2005 Heilpern dkk; 2007
Gangguan Fungsi Kognitif
Universitas Sumatera Utara
6.
Kerangka Teori
PENURUNAN GFR /CKD
KOMPLIKASI RENAL
DIABETES MELITUS
Hiperglekimia: ‐ Aktivasi jalur polyol ‐ Pembentukan ages ‐ Aktivasi diacylglicerol ‐ Shinting glukosa jalur hexosamin ‐ Perubahan fungsi
Peny. Vaskular: ‐ Resiko trombotik ‐ Preudocalcinosis, demyelinisasi & figrosis ‐ Penebalan basemen membrane kapiler ‐ Penurunan CBF
Hipoglikomia: ‐ Nekrosis neural ‐ Overaktivasi reseptur NMDA
Resistensi Insulin & Amyloid ‐ Peningkatan marker inflamasi ‐ Hiperkortisulemia ‐ Pembentukan senile plaque
GANGUAN FUNGSI KOGNITIF
Universitas Sumatera Utara