BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Ginting (2005), meneliti tentang kepuasan dan kunjungan berkelanjutan wisatawan, dalam studi ini terdapat empat variabel penentu (antecedent variable)
loyalitas
wisatawan
yaitu:
Loyalitas
terhadap
akomodasi,
transportasi, dan prasarana wisata, serta ada tiga variabel konsekuensi (outcome variable) yaitu Kesetiaan, Rekomendasi, dan Keluhan Wisatawan. Temuannya dalam penelitian ini adalah : (1) Studi ini dapat mengembangkan model pengukuran loyalitas wisatawan yang lebih komprehensif dari modelmodel sebelumnya, (2) Studi ini dapat digunakan untuk mengambil kebijakan bagi pelaku bisnis maupun bagi pemerintah. Model yang digunakan adalah TOURSAT (Tourism Statisfaction). Bramwell (1998), meneliti tentang kepuasan pemakai produk pariwisata destinasi atau “urban”, dengan menggunakan metode deskriptif survei (surveys of opinion) yang menggunakan 15 atribut produk wisata “urban” yakni: 6 produk primer (4 kegiatan tempat, 2 “leisure setting”), 4 produk sekunder, dan 5 produk tambahan. Temuannya dalam penelitian ini adalah dengan hasil analisis deskriptif, data dapat digunakan sebagai pengembangan produk pariwisata di Sheffield. Temuan ini juga dapat membantu manajer sektor publik dan pelaku bisnis pariwisata untuk memperbaiki produknya. Model yang digunakan adalah model survei deskriptif Surveys of opinion atau a quality rating.
5 Universitas Sumatera Utara
Menurut Oliver (1999) defenisi kesetiaan digambarkan sebagai berikut: a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preffered product/service consistently in the future, thereby causing repetitive same-brand or same brand-set purchasing, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behaviour. Ada tiga tahap atau bentuk kesetiaan yaitu: kesetiaan kognitif, kesetiaan efektif, dan kesetiaan konatif (Oliver’s 1999). Secara spesifik, konsumen diteorikan menjadi setia di dalam suatu pengertian kognitif dulu, baru pengertian efektif, seterusnya di dalam suatu cara konatif, dan akhirnya dalam suatu cara yang bersifat perilaku, yang digambarkan sebagai urutan kegiatan (action inertia). Didalam tahap kesetiaan pertama, informasi atribut yang ada pada konsumen dinyatakan bahwa satu atribut lebih disukai daripada yang lainnya. Pada tahap ini sebahaimana kesetiaan kognitif, atau kesetiaan yang didasarkan pada kepercayaan atribut saja. Cognition dapat didasarkan pada pengetahuan yang terdahulu atau informasi pada pengalaman yang lalu. Kesetiaan pada tahap ini diarahkan kepada atribut yang dikarenakan informasi (tingkat kepuasan atribut). Pernyataan konsumen dari suatu sifat yang dangkal. Jika transaksi rutin, kepuasan tidak diproses, dalamnya kesetiaan tidak lebih dalam dari kepuasan semata-mata. Jika kepuasan diproses, kepuasan itu menjadi bagian dari pengalaman konsumen dan mulai memberikan tambahantambahan yang efektif. Pada tahapan kedua dari pengembangan kesetiaan, sesuatu yang menyerupai sikap terhadap atribut telah berkembang pada peristiwa-peristiwa yang digunakan secara akumulatif yang memuaskan. Hal ini merefleksikan
Universitas Sumatera Utara
ukuran kesenangan dari defenisi kepuasan – pemenuhan kesenangan – sebagaimana diuraikan sebelumnya. Komitmen pada tahapan ini dibandingkan sebagaimana kesetiaan efektif dan diistilahkan didalam pikiran konsumen sebagai cognition dan affect. Sedangkan cognition adalah secara langsung berhubungan dengan argumentasi tandingan, affect tidak sebagaimana dikeluarkan dengan mudah. Atribut kesetiaan yang ditunjukkan/ diarahkan pada tingkat dari affect untuk atribut itu. Dengan demikian akan lebih jadi disukai/diinginkan jika konsumen-konsumen setia pada suatu level yang lebih dalam atas komitment. Tahapan ketiga dari pengembangan kesetiaan adalah tahapan konatif (tujuan yang bersifat perlaku). Sebagaimana dipengaruhi oleh episode-episode berulang dari pengaruh-pengaruh positif kearah atribut. Conation, dengan defenisi, menyatakan suatu spesifik atribut untuk membeli kembali. Kesetiaan konatif, kemudian adalah suatu pernyataan kesetiaan yang mengandung apa yang pada mulanya tampak komitmen yang diadakan secara mendalam untuk membeli dicatat di dalam defenisi kesetiaan. Namun demikian, komitmen ini adalah kepada tujuan untuk membeli kembali atribut dan hal ini lebih dekat kepada motivasi. Pengaruhnya, konsumen menginginkan untuk membeli kembali, tetapi mirip kepada semua maksud tujuan bauk apa saja, keinginan ini boleh jadi suatu tindakan antisipasi ataupun tindakan yang tidak direalisasikan. Dengan demikian, melengkapi kerangka kerja kognitif yang sebelumnya dengan suatu tindakan yang keempat, atau tindakan, tahap memberikan model kesetiaan yang didasarkan pada sikap kepada/kea rah perilaku, minat, pernyataan tindakan atas pembelian kembali. Kesetiaan kognitif memusatkan
Universitas Sumatera Utara
pada aspek kepuasan atribut, kesetiaan efektif diarahkan kepada kesukaan atribut, kesetiaan konatif dialami ketika konsumen memfokuskan pada keinginan kembali atribut, dan kesetiaan tindakan adalah komitmen kepada tindakan membeli kembali. Sebagaimana dicatat, sedikit pekerjaan telah tampak untuk membenarkan atau membuktikan salah (menyangkal) perspektif yang dikembangkan ini. Hal ini saying sekali karena kelemahan dari tahaptahap kesetiaan yang empat ini meminta spesifikasi jika pemasar akan melindungi dasar kesetiaan mereka. Loyalitas berperan sebagai variabel Y, dengan kepuasan wisatawan dan switching barrier sebagai variabel X. Metode penelitian yang digunakan adalah: 2.2. Teori Tentang Pelayanan Saat ini perusahaan yang menyatakan bahwa tujuan dari perusahaan yang bersangkutan adalah untuk memuaskan konsumen. Hal ini dilakukan untuk dapat mengantisipasi perubahan perilaku konsumen yang terjadi terus menerus dan semakin cepat, karena konsumen dimasa sekarang ini lebih terdidik dan memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Untuk menghadapi persaingan dan perubahan perilaku konsumen itu, maka hanya perusahaan yang berpusat pada konsumen yang dapat memberikan nilai superior kepada mereka, dan memenangkan persaingan. Menurut American Marketing Association: (Manajemen) Pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan dari perwujudan pemberian harga, promosi dan distribusi dari barang, jasa dan gagasan untuk menciptakan pertukaran dengan kelompok sasaran yang memuaskan tujuan Wisatawan dan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Dari defenisi berikut diambil kesimpulan bahwa tujuan dari proses pemasaran
adalah
memuaskan
konsumennya.
Filosofi
bisnis
yang
memusatkan diri pada kepuasan konsumen ini merupakan prinsip dari konsep pemasaran (marketing concept). Didalam konsep pemasaran, kunci utama untuk mencapai sasaran organisasi adalah mengenali kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) dari pasar sasarannya dan memberikan kepuasan kepada mereka dengan cara yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaingnya. Dengan filosofi konsep pemasaran ini, memberikan kepuasan kepada konsumen sasaran merupakan hal yang sangat penting karena pada dasarnya penjualan suatu perusahaan berasal dari dua sumber, yaitu wisatawan baru dan wisatawan lama. Perusahaan pada masa kini berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan wisatawannya karena biaya yang dikeluarkan untuk menarik wisatawan baru selalu lebih tinggi dibandingkan dengan biaya untuk mempertahankan wisatawan yang ada. Oleh karena itu maka mempertahankan wisatawan selalu lebih penting dilakukan dibandingkan dengan menarik wisatawan baru. Kunci untuk mempertahankan wisatawan adalah dengan memberikan kepuasan wisatawan (customer satisfaction) yang lebih tinggi dibanding dengan para pesaing. wisatawan yang merasa puas akan bersedia balik kembali mengulangi pembeliannya dan merekomendasikan kepada orang lain untuk membeli.( Kasali ,1998) Peran pemasaran berubah seiring dengan kesadaran akan pentingnya wisatawan bagi suatu perusahaan. Evolusi ini berjalan mulai dari pandangan bahwa peran bagian pemasaran sama pentingnya dengan peran bagian lainnya, seperti operasi, keuangan dan SDM. Sampai pada pandangan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pemasaran berada pada posisi pusat perusahaan karena adanya tuntutan untuk memahami dan mengenali kebutuhan wisatawan dengan tepat dan dengan cara yang efisien untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Pandangan ini timbul antara lain dengan alasan-alasan sebagai berikut Kotler (1994) : 1. Aset Perusahaan tidak ada nilainya tanpa ada wisatawan. 2 Tugas utama perusahaan adalah menarik dan mempertahankan wisatawan. 3. Wisatawan tertarik dengan penawaran yang lebih baik dari pesaing dan akan setia bila merasa puas. 4. Tugas pemasaran adalah mengembangkan penawaran yang lebih baik serta memuaskan wisatawan. 5. Kepuasan wisatawan tergantung dari dukungan bagian-bagian lain. 6. Pemasaran perlu mengajak bagian-bagian tersebut bekerjasama dalam memuaskan wisatawan. Layanan adalah aksi atau kepuasan yang diberikan suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada intinya intangible dan hasil dari aksi tersebut tidak dapat dimiliki. Produksinya dapat berupa barang maupun terkait dengan barang. 2.3. Karakteristik Layanan Menurut Kotler (2003) menyebutkan bahwa layanan mempunyai karakteristik mayoritas yang memiliki pengaruh besar terhadap desain program pemasaran. Dapat diuraikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Intangibility Tidak seperti halnya produk barang, layanan tidak dapat dilihat, diarasa, didengar, ataupun dicium sebelum layanan tersebut dibeli. Contohnya seseorang yang hendak memotong rambutnya disalon, tidak dapat mengetahui secara pasti bagaimana hasil akhirnya. Untuk mengurangi ketidaktentuan dari layanan, para pembeli akan mencari-cari bukti untuk mengetahui kualitas layanan tersebut. Mereka akan menarik kesimpulan tentang kualitas dari tempat layanan disediakan, orangorang yang menyediakan layanan, peralatan-peralatan, materi komunikasi, symbol-simbol, dan harga. Oleh sebab itu tugas penyedia layanan untuk mengelola bukti-bukti atau “tangible the intangible”. Dalam hal ini pemasar layanan ditantang untuk memasukkan bukti-bukti fisik dan imajiner untuk abstraksi layanan yang ditawarkan. 2.3.2. Inseparability Tipikal layanan adalah diproduksi dan dikosumsi bersamaan, tidak seperti halnya produk barang dimana dapat melalui proses manufaktur, disimpan sebagai inventori, didistribusikan melalui reseller, dan kemudian baru dikonsumsi. Kalau seseorang mengkonsumsi layanan, maka penyedia layanan termasuk bagian dari layanan tersebut. 2.3.3. Variability Layanan dibentuk oleh berbagai sikap manusia sehingga layanan sulit untuk distandarisasikan. Layanan yang diberikan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya akan memiliki nilai yang berbeda satu dengan lainnya meskipun dikemas dalam bentuk yang sama. Layanan yang diberikan satu individu dapat juga berubah nilainya pada waktu yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyebabkan ketergantungan pada siapa penyedia layanan, kapan dan dimana layanan tersebut diberikan, maka layanan akan sangat bervariasi. Beberapa dokter memiliki sikap yang sabar menghadapi pasien, sedangkan yang lainnya tidak. Pembeli layanan sadar akan hal ini dan sering mencari tahu kepada lainnya sebelum menyeleksi penyedia layanan. Perusahaan jasa dapat mengambil tiga tahapan untuk mengontrol kualitas layanan. Pertama adalah investasi dalam sistem penyewaan dan prosedur pelatihan. Merekrut karyawan yang tepat sesuai pekerjaan dan menyediakan mereka pelatihan yang baik, tidak masalah apakah karyawan tersebut memiliki keahlian yang tinggi ataupun rendah. Tahapan kedua adalah standarisasi proses kepuasan layanan melalui organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyiapkan cetak biru layanan yang terdiri dari kejadian dan proses dalam sebuah flowchart dengan tujuan mengenali titik potensi kegagalan. Tahapan ketiga adalah memonitor kepuasan Wisatawan melalui sistim kritik dan saran, survei Wisatawan, dan benchmark terhadap perusahaan lainnya. 2.3.4. Perishability Layanan tidak dapat disimpan seperti barang. Perishability tidak akan menjadi masalah apabila demand tetap. Saat demand berfluktuasi maka perusahaan jasa mengalami permasalahan, ada yang tidak terlayani bila demand tinggi ataupun mengalami idle capacity yang besar bila demand kecil. 2.4. Penelitian Kualitas Layanan oleh Zethaml, Parasuraman, dan Berry Zethaml, Parasuraman, dan Berry melakukan interview dan mendapatkan, hasil tentang sudut pandang wisatawan terhadap kualitas layanan. Para wisatawan bercerita tentang banyak hal, mengenai ekspektasi, prioritas, dan
Universitas Sumatera Utara
pengalaman. Mereka mengatakan tentang apa yang disebut sebagai kualitas tinggi dan kualitas rendah. 2.5. Teori Tentang Loyalitas Wisatawan 2.5.1. Pengertian Loyalitas Wisatawan Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. “Loyalitas menunjukkan kecenderungan wisatawan untuk menggunakan suatu merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi” (Dharmmesta,1999). Ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi wisatawan dan pembelian aktual. Kotler (2000) mengatakan “the long term success of the a particular brand is not based on the number of consumer who purchase it only once, but on number who become repeat purchase”. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak dia membeli, tapi dari berapa sering dia melakukan pembelian ulang, termasuk disini merekomendasikan orang lain untuk membeli. Sedangkan menurut Zeithaml et.al., (1996) tujuan akhir keberhasilan perusahaan menjalin hubungan relasi dengan Wisatawannya adalah untuk membentuk loyalitas yang kuat. Indikator dari loyalitas yang kuat adalah: 1. Say positive things, adalah mengatakan hal yang positif tentang produk yang telah dikonsumsi. 2. Recommend friend, adalah merekomendasikan produk yang telah dikonsumsi kepada teman 3. Continue purchasing, adalah pembelian yang dilakukan secara terus menerus terhadap produk yang telah dikonsumsi.
Universitas Sumatera Utara
Mowen dan Minor dalam Tjiptono (2005:387) mendefenisikan “loyalitas sebagai kondisi dimana Wisatawan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang”. Loyalitas merupakan respon yang terkait erat dengan ikrar atau janji untuk memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan biasanya tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar dedikasi maupun kendala pragmatis. Lebih lanjut Lovelock et al. (2005 : 317) menyatakan bahwa loyalitas adalah: Suatu kesediaan wisatawan untuk melanjutkan pembelian pada sebuah perusahaan dalam jangka waktu yang panjang dan mempergunakan produk atau pelayanannya secara berulang, serta merekomendasinya kepada temanteman dan perusahaan lain secara sukarela. Loyalitas merupakan suatu komitmen yang dipegang kuat untuk membeli kembali (rebuy) atau kesetiaan yang terus menerus pada suatu produk atau pelayanan yang lebih disukai secara konsisten di masa yang akan dating, yang menyebabkan pembelian berulang suatu merek atau kumpulan merek yang sama walaupun adanya pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran memiliki potensi yang menyebabkan perilaku mengganti merek (switching behavior) produk atau pelayanan (Oliver,1999). Jadi loyalitas Wisatawan merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang. Untuk membangun kesetiaan wisatawan terhadap suatu produk/jasa yang dihasilkan membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa loyalitas sudah pasti dilakukan oleh wisatawan, dimana istilah yang muncul biasanya selalu loyalitas wisatawan, bukan loyalitas konsumen. Hal inilah yang akhirnya membuat perbedaan antara wisatawan (customer) dan konsumen (consumer). Seseorang dapat dikatakan sebagai wisatawan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh produsen. Selanjutnya Griffin (2005:38) menyatakan bahwa: Seseorang wisatawan dikatakan setia atau loyal apabila wisatawan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan wisatawan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberikan kepuasan wisatawan dilakukan untuk mempengaruhi sikap wisatawan, sedangkan konsep loyalitas wisatawan lebih berkaitan dengan prilaku wisatawan daripada sikap dari wisatawan. Lebih lanjut, kualitas layanan yang baik berpengaruh terhadap loyalitas Wisatawan secara langsung. Maka dapat dikatakan bahwa dimensi kualitas layanan yang berupa tangibles, realibility, responsiveness, assurance dan empathy yang positif berpengaruh langsung dengan dimensi loyalitas Wisatawan yaitu mengatakan hal yang positif (say positive things), memberikan rekomendasi kepada oranglain (recommend friend) dan melakukan pembelian terus-menerus (continue purchasing). Menurut Griffin (2005:31) “Defenisi wisatawan berasal dari kata ‘custom’ yaitu didefenisikan sebagai membuat sesuatu menjadi kebiasaan atau biasa dan mempraktekkan kebiasaan”.
Universitas Sumatera Utara
Griffin berpendapat bahwa seseorang wisatawan dikatakan setia atau loyal apabila wisatawan tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan wisatawan membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberikan kepuasan wisatawan dilakukan untuk mempengaruhi sikap wisatawan, sedangkan konsep loyalitas wisatawan lebih berkaitan dengan perilaku wisatawan dari pada sikap dari wisatawan. 2.5.2. Mengukur Loyalitas Jika kepuasan wisatawan menyangkut apa yang diungkapkan oleh wisatawan, maka loyalitas wisatawan berkaitan dengan apa yang dilakukan wisatawan. Oleh sebab itu parameter kepuasan lebih subjektif, lebih sukar dikuantifikasi, dan lebih sukar diukur dari pada loyalitas wisatawan (Tjiptono,2005:386). Menurut Parasuraman, et.al. (1988) hasil dari evaluasi harapan individual terhadap suatu produk akan menimbulakn persepsi akan menimbulkan persepsi terhadap nilai dan bertindak berdasarkan hal tersebut. Selanjutnya wisatawan akan memperhitungkan penawaran mana yang akan memberikan nilai dan kepuasan tertinggi. Penawaran yang mampu memenuhi harapan tersebut akan berdampak pada perilaku pembelian ulang (buyer’s repetation). Schmid dalam Paliati (2004) juga menegaskan bahwa loyalitas wisatawan merupakan proses pembangunan aktivitas pembelian-ulang (repeat-purchase) pada seorang pembeli. Lebih jauh bila ditinjau dari pengukuran perilaku (behavioral measurements), perilaku Wisatawan yang terpenuhi harapan terhadap kepuasan perusahaan akan menyampaikan rasa puasnya tersebut kepada orang lain. Hal ini disebut juga pengaruh dari mulut ke mulut (worth of mouth positive).
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Morgan dan Hunt (1994) yang menyatakan bahwa outcomes dari loyalitas diukur melalui voluntary partnership, yaitu cooperation dan word of mouth recommendation. Selanjutnya Seymus Bolaglu dalam Paliati (2004) mendefenisikan cooperation sebagai niat untuk mencapai tujuan bersama dan juga keinginan konsumen untuk membantu perusahaan. Sedangkan rekomendasi termasuk juga promosi perusahaan, membuat cerita-cerita positif dan berbisnis dengan perusahaan. Loyalitas memiliki konsekuensi motivasional, perceptual, dan behavioral (Dick dan Basu, 1994) seperti dijelaskan berikut ini: 1. Search motivation (motivasi pencarian), yaitu motivasi untuk mencari informasi mengenai produk, merek, atau pemasok alternatif cenderung semaklin berkurang siring dengan meningkatnya pengalaman, pembelajaran, kepuasan dan pembelian ulang konsumen bersangkutan. Pada umumnya, hubungan sikap relatif dan pola pembelian ulang yang kuat akan menyebabkan berkurangnya motivasi konsumen untuk mencari informasi alternatif. 2. Resistance to counterpersuasion (daya tahan untuk menolak bujukan), dimana konsumen yang memiliki komitmen yang kuat terhadap objek spesifik cenderung memiliki komitmen yang kuat terhadap objek spesifik cenderung memiliki resistace to counterpersuasion yang kuat pula. 3.
World of mouth (getok tular), loyalitas Wisatawan juga berdampak pada perilaku getok tular (word of mouth behavior), terutama bila konsumen merasakan pengalaman emosional yang signifikan. Wisatawan yang loyal cenderung bersedia menceritakan pengelaman positifnya kepada orang lain
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Paliati (2004) mengemukakan bahwa ada beberapa variabel pengukuran loyalitas Wisatawan, antara lain (1) pembelian ulang; (2) Rekomendasi; dan (3) Menceritakan hal-hal positif. Loyalitas Wisatawan juga dapat ditelusuri lewat ukuran-ukuran seperti defection rate, jumlah dan kontuinitas Wisatawan inti, longevity of core customer, dan nilai bagi Wisatawan inti. Ukuran tersebut bias dalam bentuk penghematan yang diperolah Wisatawan inti sebagai hasil kualitas, produktivitas, reduksi biaya, dan waktu siklus yang singkat. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa indikasi dan pengukuran loyalitas Wisatawan dapat berupa: 1.
Pembelian ulang (buyer’s repetition) (Parasuraman, et. al. 1988, Schmid 1997, Paliati 2004)
2. Komitmen merek (Dick dan Basu 1994) 3. Getok tular positif/rekomendasi (Morgan dan Hunt 1994, Dick dan Basu 1994, Paliati 2004) 2.5..3. Cara Meningkatkan Loyalitas Wisatawan Pada dasarnya, upaya mempertahankan (retention) Wisatawan agar tetap loyal bias dilakukan dengan banyak cara. Selain memuaskan Wisatawan melalui atribut produk dan atribut pelayanan yang berkualitas, para pemasar harus terus berupaya melakukan inovasi pemasaran. Misalnya, dengan customer bonding (mengikat Wisatawan). Caranya, bisa melalui financial bonding (mengikat Wisatawan dengan memberikan program yang lebih kea rah keuangan, seperti bonus, promo, hadiah mobil dan rumah) atau bias juga dengan emotional bonding (menciptakan program yang bias menyentuh sisi emosional Wisatawan, dengan membuat club marketing program atau frequency marketing program.
Universitas Sumatera Utara
Aaker dalam Suryani (1998) menyatakan bahwa untuk meningkatkan loyalitas wisatawan perusahaan dapat melakukan tiga tindakan, yaitu: Pertama, melalui frequent-buyer program. Program yang diilhami usaha untuk memberikan penghargaan dan memperkuat perilaku pembelian ulang ini dianggap efektif untuk meningkatkan kesetiaan wisatawan. Kedua, pembentukan customer club. Melalui customer club perusahaan dapat berkomunikasi secara langsung dengan wisatawan sehingga akan lebih mengenal dekat
siapa
wisatawannya,
latar
belakang,
kebutuhan
serta
keinginan-
keinginannya. Dari hal ini perusahaan akan banyak mendapatkan informasi yang nantinya sangat bermanfaaat untuk penyusunan database wisatawan. Ketiga, database marketing. Adanya database yang baik mengenai wisatawan akan sangat memudahkan bagi perusahaan untuk berkomunikasi mengenai produk dan
mendapatkan
informasi
mengenai
kebutuhan
dan
keinginan
yang
tersembunyi. Tantangan terbesar dalam hal loyalitas adalah karena realita pasar yang terusmenerus berubah dengan cepat, maka sarana untuk loyalitas wisatawan akan terus berevolusi sejalan dengan meningkatnya ekspektasi wisatawan.
2.6. Kerangka Pemikiran Kerangka penilaian adalah kerangka konseptual merupakan kesimpulan sementara dari tinjauan teoritis yang mencerminkan hubungan yang antara variabel yang diteliti. Hal
ini merupakan tuntutan untuk memecahkan masalah dalam
penelitian dan merumuskan hipotesis yang berbentuk alur yang dilengkapi dengan penjelasan kualitatif.
Universitas Sumatera Utara
Saat ini, loyalitas Wisatawan menjadi orientasi banyak perusahaan karena efeknya "rata-rata perusahaan akan kehilangan setengah Wisatawannya dalam waktu kurang dari 5 tahun”. Namun, perusahaan-perusahaan dengan tingkat kesetiaan terhadap merek yang tinggi akan kehilangan kurang dari 20% Wisatawannya dalam 5 tahun. Defenisi loyalitas menurut Griffin (2005) adalah: “Loyalty is defined as non random purchase expressed over time by same decision making unit.” Sedangkan menurut Parasuraman et.al, (1988) loyalitas yaitu: “Loyalty, contains five favorable behavioral-intentions items: saying positive things about the company, recomanding the company to some one who seeks advice, encouraging friends and relatives to do business with the company, considering the first choice from which to buy services, and doing more business with the company in the next few years”. Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan , yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Mowen dan Minor (1998) mendefenisikan loyalitas sebagai kondisi dimana wisatawan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya dimasa mendatang. Loyalitas menunjukkan kecenderungan wisatawan untuk menggunakan suatu merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi (Dharmmesta,1999). Ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi Wisatawan dan pembelian aktual. Kotler et.al (2002) menyebutkan ada enam alas an mengapa suatu institusi perlu mendapatkan loyalitas Wisatawannya. Pertama : wisatawannya yang ada lebih prospektif, artinya wisatawan loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi. Kedua: biaya mendapatkan wisatawan baru jauh lebih lebih besar dibanding menjaga dan mempertahankan wisatawan
Universitas Sumatera Utara
yang ada. Ketiga: wisatawan yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat : biaya operasi institusi akan menjadi efisien jika memiliki banyak wisatawan loyal. Kelima : Institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan social dikarenakan wisatawan lama telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi . Keenam : wisatawan loyal akan selalu membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran kepada orang lain untuk menjadi wisatawan. Mengingat betapa pentingnya peranan loyalitas wisatawan sebagai muara akhir dari kegiatan pemasaran, terdapat beberapa teori pembentuk loyalitas wisatawan yang berkembang hinggan saat ini. Fornel (1992) mengemukakan bahwa loyalitas`merupakan fungsi kombinasi dari customer satisfaction (kepuasan Wisatawan), switching barriers (hambatan peralihan), dan voice (keluhan). Fungsi tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Customer Statisfaction
Loyalty
Switching Barriers
Voice Gambar 1.1 Model Loyalitas Wisatawan Sumber : Fornell C. (1992) Loyalitas = f (customer satisfaction, switching barriers, voice) Fornel merumuskan konsep loyalitas Wisatawan dengan menitikberatkan pembahasan pada variabel kepuasan Wisatawan. Model pengukuran kepuasan dan loyalitas Wisatawan ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Lamb et al (2004) juga mengemukakan model penelitiannya yang menggambarkan tipologi dari anteseden dan hubungan antara aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya loyalitas Wisatawan pada perusahaan jasa. Aspek tersebut terdiri atas nilai wisatawan (customer value), hambatan peralihan (switching barriers), dan kepuasan wisatawan (customer satisfaction). Model Customer Loyalty oleh Lamb et al (2004) dapat dilihat pada Gambar 1.2. berikut ini: Customer Satisfaction
Switching Barrier
Customer Loyalty
Voice
Gambar 1.2. Customer Loyalty and Their Antecedents Sumber : Lamb et al (2004) Sedangkan Mardalis (2005) berpendapat bahwa ada beberapa faktor penting selain kepuasan wisatawan yang akan mempengaruhi loyalitas wisatawan. Faktor tersebut antara lain kualitas jasa (service quality),citra (image),dan hambatan peralihan (switching barriers). Pada awal berkembangnya konsep loyalitas wisatawan, banyak pakar pemasaran sepakat bahwa faktor utama dalam pembentukan loyalitas adalah kepuasan Wisatawan. Kepuasan Wisatawan dikatakan sebagai antaseden dari loyalitas Wisatawan ( Homburg dan Giering dalam Rifaldi,2006), dengan anggapan bahwa
Universitas Sumatera Utara
Wisatawan yang puas sudah pasti akan loyal. Sementara itu loyalitas dianggap terjadi karena adanya pengaruh kepuasan/ketidakpuasan dengan produk tersebut yang berakumulasi secara terus menerus di samping adanya persepsi tentang kualitas produk (Bouilding et al,1993). Namun penelitian-penelitian yang dilakukan kemudian mendapati bahwa kepuasan bukan merupakan faktor tunggal terjadinya loyalitas. Misalnya Jones dan Sasser (1995) menyimpulkan bahwa “hanya dengan memuaskan Wisatawan adalah tidak cukup menjaga mereka untuk tetap loyal, sementara mereka bebas untuk membuat pilihan. Lebih jauh Oliver (1999) menyatakan bahwa kepuasan adalah langkah yang penting dalam pembentukan loyalitas tetapi menjadi kurang signifikan ketika loyalitas mulai timbul melalui mekanisme-mekanisme lainnya. Mekanisme lainnya itu dapat berbentuk kebulatan tekad dan ikatan sosial. Faktor selanjutnya yang dianggap mempengaruhi loyalitas Wisatawan yang dikemukakan diatas adalah besar kecilnya hambatan peralihan (switching barriers). Hambatan peralihan dimaknai sebagai hambatan atau beban atau biaya yang harus ditanggung Wisatawan bila ia akan pindah dari satu merek ke merek lain. Hambatan ini tidak selalu bernilai ekonomis (economic value), tetapi biasa juga berkaitan dengan fungsional, psikologis, sosial bukan ritual. Bendapudi dan Berry (1997) menjelaskan bahwa motivasi Wisatawan untuk tetap loyal dan menjaga hubungan dengan perusahaan adalah karena constraint based (yaitu masalah ekonomi, termasuk biaya pemindahan dan dedication based,seperti kepercayaan dan komitmen emosional). Fornell (1992) pada saat merumuskan konsep loyalitas juga memasukkan voice (keluhan) sebagai salah satu variabel pembentuk loyalitas Wisatawan dengan asumsi
Universitas Sumatera Utara
bahwa Wisatawan yang menyampaikan keluhannya bisa dianggap sebagai Wisatawan yang loyal. Dari uraian diatas peneliti dapat membuat kerangka konseptual sebagai berikut:
Kepuasan Wisatawan Hambatan Peralihan
Loyalitas Wisatawan
Keluhan Wisatawan
Gambar 1.3 Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara
2.7. Hipotesis Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Hipotesis Penelitian H1
Deskripsi Hipotesis Penelitian Loyalitas terhadap pemandian air panas /hotspring Berastagi di tentukan oleh: Kepuasan wisatawan, hambatan peralihan, dan keluhan wisatawan.
H2
Kepuasan wisatawan berkorelasi positif dengan loyalitas wisatawan.
H3
Hambatan peralihan berkorelasi negatif dengan loyalitas wisatawan
H4
Keluhan wisatawan berkorelasi negatif dengan loyalitas wisatawan
Universitas Sumatera Utara