BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Sadah Air sadah adalah istilah yang digunakan pada air yang mengandung kation penyebab kesadahan. Pada umumnya kesadahan disebabkan oleh adanya logamlogam atau kation-kation yang bervalensi dua seperti Fe, Sr, Mn, Ca, dan Mg, tetapi penyebab utama dari kesadahan adalah kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). Kalsium dalam air dapat bersenyawa dengan bikarbonat, sulfat, klorida dan nitrat, sementara itu magnesium dalam air bersenyawa dengan bikarbonat, sulfat dan klorida. Kesadahan dibagi atas dua jenis, yaitu kesadahan sementara dan kesadahan tetap. Air yang mengandung kesadahan kalsium karbonat dan magnesium karbonat disebut kesadahan karbonat atau kesadahan sementara, karena kesadahan tersebut dapat dihilangkan dengan cara pemanasan atau dengan cara pembubuhan kapur. Sementara itu, air yang mengandung kesadahan kalsium sulfat, kalsium klorida, magnesium sulfat dan magnesium klorida disebut kesadahan tetap karena tidak dapat dihilangkan dengan cara pemanasan, tetapi dapat dengan cara lain salah satunya adalah proses penukar ion. Tingkat kesadahan di berbagai tempat perairan berbeda-beda, pada umumnya air tanah mempunyai tingkat kesadahan yang tinggi, hal ini terjadi karena air tanah mengalami kontak dengan batuan kapur yang ada pada lapisan tanah yang dilalui air. Air permukaan tingkat kesadahannya rendah (air lunak), kesadahan non karbonat dalam air permukaan bersumber dari kalsium sulfat yang 5
6
terdapat dalam tanah liat dan endapan lainnya. Tingkat kesadahan air biasanya digolongkan seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Kesadahan Kadar kesadahan air (mg/L CaCO3)
Tingkat kesadahan
0-75
Lunak
75-150
Sedang
150-300
Tinggi
>300
Sangat Tinggi
Tingkat kesadahan air dapat dinyatakan dengan dalam satuan mg/L CaCO3 atau ppm CaCO3 atau dalam satuan Grain atau derajat. (Marsidi, 2001)
2.2 Adsorpsi Adsorpsi adalah fenomena fisik yang terjadi saat molekul-molekul gas atau cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul-molekul tadi mengembun pada permukaan padatan tersebut (Suryawan, 2004). Menurut Weber (1972) adsorpsi merupakan akumulasi interphase atau konsentrasi dari substansi pada permukaan. Mekanisme adsorpsi tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu, adsorpsi secara fisika (fisiosorpsi) dan adsorpsi secara kimia (kemisorpsi). Pada proses fisiosorpsi gaya yang mengikat adsorbat oleh adsorben adalah gaya-gaya Van der Waals. Molekul terikat sangat lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika relatif rendah sekitar 20 kJ/mol (Castellan, 1982). Sedangkan pada proses adsorpsi kimia, interaksi adsorbat dengan adsorben melalui pembentukan ikatan kimia. Kemisorpsi terjadi diawali dengan adsorpsi fisik, yaitu partikel-partikel adsorbat mendekat ke permukaan
7
adsorben melalui gaya Van der Waals atau melalui ikatan hidrogen, kemudian diikuti oleh adsorpsi kimia. Dalam adsorpsi kimia partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia (biasanya ikatan kovalen), dan cenderung mencari tempat yang memaksimumkan bilangan koordinasi dengan substrat (Atkins,1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi antara lain : luas permukaan adsorben, afinitas adsorben terhadap adsorbat, karakteristik adsorbat, ukuran dan bentuk molekul, tekanan uap, konsentrasi, adanya senyawa lain sebagai kompetitor, polaritas, reaktivitas adsorbat, temperatur dan tekanan, serta waktu kontak adsorbat dengan adsorben (Hermana, 2010). Pada dasarnya, proses adsorpsi yang terjadi pada adsorben berlangsung melalui tiga tahap yaitu (Arfan, 2006) : 1. Perpindahan makro, pergerakan molekul adsorbat melalui sistem makropori adsorben. 2. Perpindahan mikro, pergerakan molekul adsorbat melalui sistem mesopori adsorben. 3. Sorption, terikatnya molekul adsorbat pada permukaan adsorben pada dinding pori mesopori dan mikropori.
2.3 Adsorben Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari suatu fase fluida. Adsorben merupakan material berpori dan proses adsorpsi berlangsung di dinding pori-pori atau pada lokasi tertentu pada pori tersebut. Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori, dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada
8
daerah tertentu di dalam partikel itu. Karena pori-pori adsorben biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalamnya menjadi beberapa kali lebih besar dari permukaan luar. Adsorben yang telah jenuh dapat diregenerasi agar dapat digunakan kembali untuk proses adsorpsi. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau karena perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat lebih erat pada permukaan tersebut daripada molekul lainnya. Adsorben yang digunakan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar dan non polar, berikut adalah definisinya (Srivastava, 2010): 1. Adsorben polar disebut juga hidrofilik. Jenis adsorben yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif dan zeolit 2. Adsorben non polar disebut juga hidrofobik. Jenis adsorben yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah polimer adsorben dan karbon
2.4 Luas Permukaan Luas permukaan dari material berpori atau adsorben adalah suatu cara yang tepat untuk menyatakan kapasitas adsorpsi dari material berpori iu sendiri. Luas permukaan adsorben secara esensial tidak dinyatakan dalam bentuk makro, hal ini dikarenakan proses adsorpsi itu sendiri terjadi pada permukaan berukuran atom/molekul (Marsh, et al, 2006). Luas permukaan adsorben merupakan salah satu karakter fisik yang memiliki peranan penting dari proses adsorpsi, karena banyaknya zat yang dapat teradsorpsi selain tergantung pada situs aktif, juga ditentukan oleh permukaannya (Bernasconi, 1995). Luas permukaan spesifik ditentukan oleh luas permukaan dalam yaitu mikropori dan mesopori. Luas permukaan yang diperoleh merupakan kemampuan adosprsinya terhadap adsorbat
9
dimana semakin besar luas permukaan maka kapasitas adsorpsinya semakin besar sehingga memberikan kontak lebih besar terhadap adsorben dan adsorbatnya yang terserap makin banyak. Hal tersebut tidak selalu berlaku karena pori-pori juga memiliki diameter yang beragam sehingga penyerapan yang dapat berlangsung juga tidak seragam (Subroto, 2007). Persamaan luas permukaan spesifik (S) menurut Lowell dan Shields (1984) adalah : S=
.
.
................................................................................................................................................(1)
Dimana : S Wads
= Luas permukaan adsorben (m2/g) = Berat adsorbat yang terserap oleh 1 gram sampel (g/g)
N
= Bilangan Avogadro (6,022 x1023 Atom/mol)
a
= Luas penampang lintang adsorbat (m2/molekul)
Mr
= Massa molekul relatif adsorbat (g/mol)
2.5 Isoterm Adsorpsi Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi dalam fase fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Untuk zat cair, konsentrasi biasanya dinyatakan dalam satuan massa, seperti bagian per sejuta (ppm). Konsentrasi adsorbat pada zat padat dinyatakan sebagai massa yang teradsorpi per satuan massa adsorben semula. Kesetimbangan adsorpsi dapat terjadi apabila jumlah antara adsorbat yang diserap oleh adsorben (pada masa permukaan) dengan adsorbat yang tersisa dalam larutan relatif tetap terhadap waktu pengocokan (Herawati, dkk, 2009).
10
Isoterm adsorpsi digunakan untuk karakterisasi dari persamaan antara jumlah adsorbat yang terakumulasi dalam adsorben dan konsentrasi larutan adsorbat, isoterm adsorpsi Langmuir dan isoterm adsorpsi Freundlich adalah dua persamaan isoterm yang sering digunakan (Rousseau, 1987) 2.5.1 Isoterm Adsorpsi Langmuir Dalam isoterm Langmuir, adsorpsi yang terjadi adalah kemisorpsi dan interaksi antara adsorbat dengan adsorbat diabaikan (Masel, 1996 : 247). Langmuir mengasumsikan (Mc Cash, 2001 : 73) bahwa : 1) Adsorpsi terjadi pada situs yang spesifik dan semua situs adalah identik. 2) Energi adsorpsi tergantung pada banyaknya situs yang tertutupi. 3) Hanya ada satu lapisan adsorbat yang menutup setiap situs dan setelah semua situs tertutup maka adsorpsi akan berakhir (adsorpsi monolayer/lapis tunggal). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir adalah (Adamson, 1990) : Qe = (
Dimana :
)
…………………………...................……............….........(2)
Qe = banyaknya zat yang terserap per satuan berat
adsorben (mol/g)
Ce = konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mol/L) Xm = kapasitas adsorpsi maksimum (mol/g) K = Konstanta Langmuir (mol/L) Persamaan diatas dapat disusun secara linier menjadi : =
+
…………………………….........…………..(3)
Sehingga dapat disusun menjadi grafik sebagai berikut :
11
Gambar 2.1 Grafik Isoterm Adsorpsi Langmuir (Adamson, 1990) 2.5.2 Isoterm Adsorpsi Freundlich Isoterm Frenundlich menggambarkan adsorpsi fisik. Permukaan adsorben diasumsikan memiliki situs yang heterogen dan hanya situs yang identik dengan adsorbat yang dapat tertutupi (Lowell dan Shields, 1984 : 8). Menurut Adamson (1990) persamaan isoterm Freundlich merupakan perbandingan zat yang teradsorpsi per berat adsorben dalam konsentrasi larutan. Setiap adsorben memiliki potensi penyerapan yang berbeda-beda (multilayer) dan teori isoterm adsorpsi Freundlich ini berlaku untuk adsorpsi fisika yaitu membentuk lapisan multilayer (Kriswanti dan Danarto, 2007). Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich adalah sebagai berikut : Qe = Kf Ce1/n ……………………………………...................(4) Dimana : Qe = banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben (mol/g) Ce = konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mol/L) n = kapasitas adsorpsi maksimum (mol/g) Kf = konstanta Freundlich (L/mol) Persamaan diatas dapat diubah kedalam bentuk inier dengan mengambil bentuk logaritmanya :
12
Log Qe = Log Kf + Log Ce ...................................................(5) Sehingga dapat dibuat grafik sebagai berikut :
Gambar 2.2 Grafik Isoterm Adsorpsi Freundlich (Adamson, 1990)
Untuk menentukan kelinieran data pada persamaan Langmuir dapat digunakan dengan memplotkan C/Q vs Ce dan Log Q vs Log Ce untuk persamaan Freundlich. Konstanta Langmuir K dan konstanta Freundlich Kf dapat diperoleh dari intersep garis lurusnya dengan sumbu Y, sedangkan harga 1/Xm dan 1/n merupakan harga slope. Bila Xm dan n diketahui maka K dan Kf dapat dicari, semakin besar harga K dan Kf maka daya adsorpsi akan semakin baik dari harga K dan Kf yang diperoleh, maka energi adsorpsi dapat dihitung dengan persamaan berikut (Rousseau, 1987) : Eads = RT ln K ……………………................................(6) Dengan R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), T adalah temperatur (dalam derajat Kelfin), dan K adalah konstanta keseimbangan adsorpsi.
13
2.6 Kapasitas Adsorpsi Kapastitas adsorpsi ion oleh adsorben adalah jumlah gugus yang dapat dipertukarkan dalam adsorben. Kapasitas penukaran adsorpsi ion dari suatu adsorben adalah jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 gram adsorben kering, atau jumlah ion yang dapat ditukar untuk setiap 1 mL adsorben basah. Besarnya kapasitas adsorpsi suatu adsorben bergantung dari jumlah gugus-gugus ion yang dapat ditukarkan yang terkandung dalam setiap gram adsorben tersebut, semakin besar jumlah gugus-gugus tersebut semakin besar pula nilai kapasitas adsorpsinya (Underwood, 2002). Kapasitas adsorpsi dapat ditentukan berdasarkan banyaknya zat terlarut yang teradsorpsi per gram adsorben pada keadaan jenuh (sesuai dengan waktu setimbangnya). Perhitungan kapasitas adsorpsi menurut Lowell dan Shields (1984) dapat digunakan persamaan : Wads =
×
× …………………………………...........(7)
Keterangan : Wads
=
Berat adsorbat yang terserap oleh 1 gram sampel ( mg/g )
B
=
Berat sampel yang digunakan (g)
C1
=
Konsentrasi larutan adsorbat awal (ppm)
C2
=
Konsentrasi larutan adsorbat akhir (ppm)
V
=
Volume larutan adsorbat yang digunakan (mL)
2.7 Kulit Jeruk Salah satu limbah biomassa hasil kegiatan pertanian yang melimpah di Indonesia adalah limbah kulit jeruk sebagai hasil samping komoditas buah jeruk.
14
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia tahun 2011 produksi buah jeruk adalah 2.479.852 ton dengan luas tanaman yang telah berproduksi diperkirakan lebih dari 100.000 hektar. Produksi dan panen jeruk di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun tetapi agribisnis buah jeruk di Indonesia masih didominasi oleh jeruk siam (yang mencapai 80 persen dari total produksi jeruk). Sentra produksi buah jeruk di Indonesia tersebar di berbagai daerah meliputi : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Senyawa yang terdapat dalam kulit jeruk antara lain hemiselulosa, selulosa, pektin dan asam askorbat. Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri dari α-(1,4)-poli-glukosa, dengan berat molekul yang besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang mengakibatkan struktur selulosa linier (HAWAB, 2004). Pektin merupakan polisakarida nonselulosa tetapi dengan fungsi yang berbeda-beda dalam tanaman. Pektin bergabung dengan air
membentuk
gel.
Keberadaan
pektin
dalam
buah
memungkinkan
dipertahankannya air dalam buah tersebut. Asam askorbat atau lebih dikenal dengan vitamin C adalah vitamin yang berbentuk kristal putih agak kuning, tidak berbau, mudah larut dalam air, terasa asam, merupakan suatu asam organik dan mudah rusak oleh oksidasi yang dipercepat pada suhu tinggi. Rumus molekul vitamin C adalah C6H8O6 dan berat molekulnya adalah 176,13 g/mol. Vitamin C mempunyai dua bentuk molekul aktif yaitu bentuk tereduksi (asam askorbat) dan bentuk teroksidasi (asam dehidro askorbat). Bila asam dehidroaskorbat teroksidasi lebih lanjut akan berubah menjadi asam diketoglukonat yang tidak aktif secara biologis. Fungsi vitamin C adalah pembentukan kolagen dalam jaringan ikat,
15
pembentukan
gigi,
metabolisme
tirosin,
sintesis
neurotransmitters
dan
penggunaan Fe, Ca, dan Folasin (Muchtadi, Deddy, 2009). Kulit dari buah jeruk biasanya hanya dibuang dan dengan produksi jeruk yang besar akan menimbulkan limbah yang cukup besar. Hal inilah yang mengakibatkan potensi limbah kulit jeruk yang besar sehingga perlu adanya penanggulangan pada kulit jeruk agar memiliki nilai guna lebih.
2.8 Kalsium (Ca) Kalsium adalah logam putih perak yang agak lunak, melebur pada 845 oC terserang atmosfer dan udara lembab, akibatnya terbentuk kalsium oksida atau kalsium hidroksida. Kalisum menguraikan air dengan membentuk kalsium hidroksida dan hidrogen. Kalsium membentuk kation kalsium (II), Ca2+ dalam larutan air. Garam-garamnya bisa berupa bubuk putih dan membentuk larutan yang tidak berwarna kecuali bila anionnya berwarna (Vogel, 1979). Secara umum dari kation-aktion yang ditemukan dalam banyak ekosistem air tawar, kalsium mempunyai konsentrasi tinggi. Kalsium adalah unsur kimia yang memegang perana penting dalam banyak proses geokimia (Rukaesih, 2004). Cole (1988) mengemukakan bahwa perairan yang miskin akan kalsium biasanya juga miskin akan kandungan ion-ion lain yang sangat dibutuhkan oleh organisme akuatik. Sumber utama kalsium diperairan adalah batuan dan tanah. Kalsium pada batuan terdapat dalam bentuk mineral batu kapur (limestone), pyroxenes, amphiboles, calcite, dolomite, gypsum, dan apatite [Ca5(PO4)3(FclOH)] (Efendi, 2003). Ion kalsium, bersama-sama dengan magnesium kadang-kadang ion ferro, ikut menyebabkan kesadahan air, baik yang bersifat kesadahan sementara maupun
16
kesadahan tetap. Kesadahan sementara disebabkan oleh adanya ion-ion kalsium dan bikarbonat dalam air dan dapat dihilangkan dengan mendidihkan air tersebut karena terjadi reaksi : Ca2+ + 2HCO3-
CaCO3 + CO2 + H2O
Sedangkan kesadahan tetap disebabkan oleh adanya kalsium atau magnesium yang proses pelunakannya melalui proses kapur-soda abu, proses zeolit dan proses resin organik (Rukaesih, 2004). Air sadah juga tidak menguntungkan atau mengganggu proses pencucian menggunakan sabun, karena sabun yang digunakan pada air sadah sebelum berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan, sabun tersebut harus bereaksi terlebih dahulu dengan setiap ion kalsium dan magnesium yang berada dalam air tersebut. Berbeda dengan sabun, detergen dapat menurunkan tegangan permukaan air tanpa harus bereaksi dahulu dengan setiap ion kalsium dan magnesium yang terdapat dalam air, sehingga detergen dapat digunakan dalam berbagai derajat kesadahan air. Ion kalsium mempunyai kecenderungan relatif kecil untuk membentuk ion kompleks. Dalam kebanyakan sistem perairan air tawar, jenis kalsium yang pertama-tama larut adalah Ca2+, oleh karena itu pada konsentrasi HCO3- yang sangat tinggi, pasangan ion Ca2+ - HCO3- dapat terbentuk dalam jumlah yang banyak. Hal yang sama dalam air yang kandungan sulfatnya tinggi pasangan ion Ca2+ - SO42- dapat terjadi (Rukaesih, 2004). Pada perairan yang diperuntukkan bagi air minum, kadar kalsium sebaiknya tidak lebih dari 75 mg/L. Kadar kalsium pada perairan tawar biasanya kurang dari 15 mg/L, pada perairan yang berada disekitar batuan karbonat antara 30-100 mg/L, pada perairan laut sekitar 400 mg/L, sedangkan dalam brine dapat mencapai 75.000 mg/L (McNeely et al,.
17
1979). Brine adalah air asin yang sangat pekat, dengan nilai padatan terlarut total lebih dari 36.000 mg/L. Berikut adalah tabel beberapa sifat kalsium : Tabel 2.2 Beberapa Karkteristik Kalsium Karakteristik Kalsium Konfigurasi Elektronik
[18Ar] 4s2
Titik leleh/ oC
839
Titik didih/ oC
1487
Densitas / g cm-3 (20 oC)
1,54
Jari-jari atomik /pm
197
Jari-jari atomik M2+ /pm
114
Energi ionisasi I
590
Energi ionisasi II
1145
Potensial reduksi standar / V
-2,87
ΔH atomisasi/ KJ mol-1-
177
Elektronegatifitas
1,0
Warna nyala
Merah bata
sumber : Kristian H. Sugiyarto dan Retno D. Sugiyanti, Kimia Anorganik Logam, Hlm.129
2.9
Magnesium (Mg) Magnesium dan kalsium merupakan penyusun utama kesadahan. Garam-
garam magnesium bersifat mudah larut dan cenderung bertahan sebagai larutan, meskipun garam-garam kalsium telah mengalami presipitasi. Sumber utama magnesium di perairan adalah ferro magnesium dan magnesium karbonat yang terdapat dalam batuan. Kadar magnesium dalam 1 Km3 air laut kira-kira satu juta
18
ton (~ 0,001 ppm ), dengan 108 Km3 air laut di bumi maka kebutuhan akan logam magnesium lebih dari cukup (Kristian, 2010). Magnesium bersifat sangan reaktif, namun kereaktifannya tidak seperti yang diharapkan berdasarkan nilai potensial reduksinya (-2,37 V). Kurang reaktifnya magnesium disebabkan oleh cepatnya pembentukan oksidanya yang membungkus permukaan logam magnesium sehingga melindungi kontak lebih lanjut dengan oksigen yang ada diudara. Salah satu perbedaan sifat kimiawi magnesium dengan logam alkali tanah lainya dalam kelompoknya yaitu sifat dekomposisi garam kloridanya. Magnesium klorida monohidrat terdekomposisi menjadi garam klorida basa pada pemanasan. Magnesium mudah membentuk senyawa kovalen khususnya dengan senyawa organik berukuran relatif besar, hal ini berkaitan dengan densitas muatan ion magnesium yang relatif tinggi (120 C nm-3 ) dibandingkan dengan densitas muatan ion kalsium (52 C nm-3). Magnesium dalam air terutama sebagai ion Mg2+ dan bentuk Mg2+ - HCO3- dan Mg2+ - SO42- terjadi bila konsentrasi bikarbonat dan sulfat tinggi (Kristian, 2010). Pada umumnya konsentrasi magnesium dalam air tawar lebih kecil dibandingkan kalsium. Telah diteliti bahwa di lautan magnesium dalam bentuk larutan lebih lama dari kalsium, hal ini disebabkan senyawa Mg2+ mengendap lebih lambat dibandingkan senyawa Ca2+ (Rukaesih, 2004). Berikut adalah tabel beberapa sifat magnesium
19
Tabel 2.3 Beberapa Karakteristik Magnesium Karakteristik Magnesium Konfigurasi Elektronik
[10Ne] 3s2
Titik leleh/ oC
649
Titik didih/ oC
1107
Densitas / g cm-3 (20 oC)
1,74
Jari-jari atomik /pm
60
Jari-jari atomik M2+ /pm
86
Energi ionisasai I
738
Energi Ionisasi II
1450
Potensial reduksi standar / V
-2,36
ΔH atomisasi/ KJ mol-1-
149
Elektronegatifitas
1,2
sumber : Kristian H. Sugiyarto dan Retno D. Sugiyanti, Kimia Anorganik Logam, Hlm.129
2.10 Besi (Fe) Besi ditemukan dalam bentuk kation ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Pada perairan alami dengan pH sekitar 7 dan kadar oksigen terlarut yang cukup, ion ferro yang bersifat mudah larut dioksidasi menjadi ion ferri, pada oksidasi ini terjadi pelepasan elektron, sebaliknya pada reduksi ferri menjadi ferro terjadi penangkapan elektron. Proses oksidasi dan reduksi besi tidak melibatkan oksigen dan hidrogen (Eckenfelder, 1989). Proses oksidasi dan reduksi besi biasanya melibatkan bakteri sebagai mediator, bakteri kemosintesis Thiobacillus dan Ferrobacillus memiliki sistem
20
enzim yang dapat mentransfer elektron dari ion ferro kepada oksigen. Transfer elektron ini menghasilkan ion ferri, air dan energi bebas yang digunakan untuk sintesis bahan organik dari karbondioksida. Bakteri kemosintetis bekerja secara optimum pada pH rendah (sekitar 5). Metaboisme bakteri Desulfovibrio menghasilkan H2SO4 yang dapat melarutkan besi (ferri). Pada pH sekitar 7,5 – 7,7 ion ferri berikatan dengan hidroksida membentuk Fe(OH)3 yang bersifat tidak larut dan mengendap (presipitasi) di dasar perairan, membentuk warna kemerahan pada substrat dasar. Oleh karena itu, besi hanya ditemukan pada perairan yang berada dalam kondisi anaerob (Cole, 1988). Kadar besi pada perairan yang mendapatkan cukup aerasi (aerob) hampir tidak pernah lebih dari 0,3 mg/L (Rump dan Krist, 1992). Kadar besi pada perairan alami berkisar antara 0,05 – 0,2 mg/L (Boyd, 1988). Pada air tanah dalam dengan kadar oksigen yang rendah, kadar besi dapat mencapai 10-100 mg/L, sedangkan pada perairan laut sekitar 0,01 mg/L. Air hujan mengandung besi sekitar 0,05 mg/L (McNeely et al, 1979) Kadar besi diatas 1,0 mg/L dianggap membahayakan kehidupan organisme akuatik (Moore, 1991).
2.11 Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Prinsip dasar spektrofotometri serapan atom adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom. Spektrofotometri serapan atom merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah (Khopkar, 1990). Teknik ini adalah teknik yang paling umum dipakai untuk analisis logam. Spektroskopi serapan atom merupakan metode analisis instrumental yang digunakan untuk menentukan kadar logam dalam larutan. Metode ini didasarkan
21
pada absorpsi cahaya oleh atom pada panjang gelombang tertentu tergantung pada jenis unsur. Pada analisis dengan SSA akan terjadi proses atomisasi yaitu sampel yang dianalisis diuraikan menjadi atom-atom netral dalam bentuk uap. Larutan sampel disemprotkan ke suatu nyala dalam bentuk aerosol dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang sesuai dengan unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala. Proses atomisasi yang terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut : larutan sampel disemprotkan dalam bentuk aerosol (kabut) ke dalam nyala/api. Mulamula terjadi penguapan pelarut yang menghasilkan sisa partikel yang padat dan halus di dalam nyala. Partikel-partikel padat ini kemudian berubah menjadi bentuk uap (gas), selanjutnya sebagian atau seluruhnya mengalami disosiasi menjadi atom netral. Proses ini disebabkan pengaruh langsung dari panas atau peristiwa reduksi oleh zat-zat dalam nyala. Di dalam nyala atom-atom netral mampu menyerap (mengabsorpsi) energi cahaya yang dikenakan padanya dengan panjang gelombang yang sesuai dengan besarnya energi transisi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi
22
2.12 Spektrofotometer UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar Ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004). Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi: 1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu wolfram. 2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. 3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. 4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990: 216).
23
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan energi elektronik, oleh karena itu sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatantingkatan tenaga dari orbital yang bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah gambar antara panjang gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitansi atau absorbansi). Sering juga data ditunjukkan sebagai gambar grafik atau tabel yang menyatakan panjang gelombang lawan serapan molar atau log dari serapan molar, Emax atau log Emax (Sastrohamidjojo, 2001: 11).
2.13 Metode Kurva Kalibrasi Analisis kuantitatif dengan kurva kalibrasi mengalurkan konsentrasi zat
ini
diperoleh dengan
standar dengan absorbansi. Kurva kalibrasi
diperoleh dengan mengukur absorbansi dari sederetan konsentrasi larutan standar. Untuk senyawa atau zat yang mengikuti hukum Lambert-Beer, plot antara absorbansi dengan konsentrasi merupakan garis lurus.
Gambar 2.3 Kurva Kalibrasi
24
Dengan kurva kalibrasi, konsentrasi larutan sampel dapat dengan mudah diketahui dengan pembacaan absorbansi sampel seperti pada gambar 2.1. Perhitungan konsentrasi dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi linier dengan model Y=bx + a, dimana Y adalah absorbansi, x adalah konsentrasi, b adalah slope dan a adalah intersep (Zainudin, 1986).