BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kanker Ovarium Kanker ovarium adalah penyebab kematian utama pada keganasan
ginekologi. Kanker ovarium dikenal sebagai “silent killer” karena biasanya tidak ditemukan gejala apapun sampai diketahui massa telah membesar dan metastasis ke bagian tubuh lain.19
2.1.1. Prevalensi Kanker Ovarium Kanker ovarium merupakan kanker ketujuh paling umum yang terjadi pada wanita (kanker urutan ke 18 secara keseluruhan) di seluruh dunia. Sekitar 239.000 kasus kanker yang tercatat di Amerika Serikat pada tahun 2012, kanker ovarium tercatat hampir 4% dari semua kasus baru kanker yang terjadi pada wanita atau 2% dari kasus kanker secara keseluruhan. Kanker ovarium biasanya berakibat fatal dan menempati urutan ke-8 penyebab kematian karena kanker pada wanita di seluruh dunia atau urutan ke-14 penyebab kematian secara keseluruhan. Tingkat kejadian kanker ovarium lebih tinggi pada negara dengan penghasilan tinggi daripada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Di seluruh dunia, tingkat insidensi berdasarkan standar usia (age-standardise incidence rate) berkisar dari lebih dari 11 per 100.000 wanita di Eropa Tengah dan Timur sampai kurang dari 5 per 100.000 di Afrika. Tingkat insidensi 11,7 per 100.000 di Inggris; 8,0 per 100.000 di Amerika Serikat;
9
5,2 per 100.000 di Brazil dan 4,1 per 100.000 di Cina. Risiko kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tetapi risiko tersebut akan menurun setelah seorang wanita mengalami menopause. Hanya ada 10-15% kasus kanker ovarium terjadi sebelum menopause, tetapi kanker ovarium yang berasal dari sel germinal, dimana jenis kanker ini walaupun jarang terjadi, ditemukan terbanyak pada wanita berusia antara 15 sampai 35 tahun. Dari seluruh kanker ovarium terdapat sekitar 85-90% adalah karsinoma ovarium tipe epitel.2
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko Kanker epitel ovarium diyakini berasal dari transformasi maligna dari permukaan epitel ovarium yang mengalami ruptur berulang-ulang dan mengalami perubahan pada saat ovulasi. Beberapa hipotesa tentang etiologi kanker ovarium diantarnya yang dikenal dengan hipotesa ovulasi yang terus menerus, hipotesa gonadotropin, hipotesa hormonal, dan hipotesa inflamasi. Hipotesa ovulasi menjelaskan bahwa kerusakan epitel permukaan ovarium yang terjadi terus menerus, diikuti proliferasi permukaan sel epitel setelah ovulasi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya mutasi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium epitel. Hipotesa gonadotropin mengatakan bahwa akibat paparan terhadap kadar gonadotropin yang tinggi dapat memicu terjadinya transformasi
malignan,
kemungkinan
diakibatkan
meningkatnya
pertumbuhan sel dan menghambat apoptosis, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui stimulasi estrogenic permukaan epitel
10
ovarium. Hipotesa hormonal mengatakan bahwa stimulasi androgen yang berlebihan dapat menyebabkan meningkatnya risiko kanker epitel ovarium, yang pada akhirnya mungkin menurun akibat stimulasi progesteron. Hipotesa inflamasi dimulai dari adanya asumsi bahwa terjadinya kanker ovarium disebabkan respon terhadap kerusakan genetik yang disebabkan faktor-faktor inflmasi, seperti yang berasal dari lingkungan, endometriosis, infeksi saluran genital, atau proses ovulasi itu sendiri.20 Faktor risiko berkembangnya kanker ovarium epitel adalah nullipara, menarche dini, menopouse terlambat, bertambahnya usia, riwayat keluarga, ras putih, tinggal di Amerika Utara dan Eropa Utara. Riwayat keluarga pernah menderita kanker payudara atau kanker ovarium sebelumnya menunjukkan risiko sebesar 5-10% untuk memiliki kelainan genetik yang diwariskan.1,21,22 Faktor risiko yang berhubungan dengan siklus ovulasi yang tidak terganggu selama bertahun-tahun juga menimbulkan hipotesa bahwa stimulasi
yang
berulang
pada
epitel
permukaan
ovarium
akan
menyebabkan perubahan kearah keganasan. Teori patogenesis tumor ovarium ini disebut dengan hipotesis “incessant ovulation”. Proses perbaikan jaringan epitel ovarium akibat periode panjang ovulasi yang berulang dan siklik menyebabkan proliferasi seluler yang cukup sering. Hal ini akan dapat memicu adanya mutasi gen p53 pada fase DNA. Sehingga
peristiwa
ini
dianggap
berkontribusi
terhadap
proses
karsinogenesis tumor ovarium.23 Upaya-upaya untuk mencegah ovulasi
11
dengan penggunaan kontrasepsi oral kombinasi jangka panjang dianggap dapat
mengurangi
risiko
kanker
ovarium
sebesar
50%.
Durasi
perlindungan berlangsung sampai dengan 25 tahun setelah penggunaan terakhir.24 Suatu penelitian mendapatkan bahwa wanita nullipara akan memiliki dua kali risiko yang lebih tinggi terkena kanker ovarium, tetapi alasan pastinya belum sepenuhnya jelas. Risiko ini akan menurun dengan riwayat melahirkan dan stabil pada wanita yang melahirkan sebanyak enam kali.25,26 Peningkatan risiko yang juga telah dikaitkan dengan kanker ovarium adalah menarche dini dan menopause terlambat. Risiko akan menurun pada wanita yang melahirkan yang memberikan ASI dimana hal ini mungkin memiliki efek perlindungan dengan memperpanjang periode amenore.
Pemberian
regimen
terapi
pengganti
estrogen
setelah
menopause akan meningkatkan risiko kanker ovarium.24 Perempuan ras putih akan memiliki risiko 30-40% lebih tinggi kanker ovarium dibandingkan dengan perempuan kulit hitam dan Hispanik. Patogenesis peningkatan risiko pada suatu ras ini belum diketahui secara jelas.21 Wanita yang telah menjalani operasi ligasi tuba dan histerektomi masing-masing telah dikaitkan dengan pengurangan risiko kanker ovarium. Prosedur ginekologi ini diduga akan menghalangi iritasi yang bisa mencapai ovarium melalui kenaikan dari saluran tuba sehingga akan memberikan efek perlindungan terhadap ovarium.27
12
Proses pertambahan usia akan memungkinkan perpanjangan waktu untuk menyebabkan perubahan genetik secara acak dalam epitel permukaan ovarium. Insidensi kanker ovarium meningkat dengan bertambahnya usia ke pertengahan 70 tahun dan menurun sedikit di usia 80 tahun. Bila dilihat dari segi geografis angka kejadian sangat bervariasi, wanita yang tinggal di Amerika Utara, Eropa Utara, atau negara industri barat, memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker ovarium namun negaranegara berkembang dan Jepang memiliki tingkat terendah. Pola makan di daerah tertentu juga dianggap berpengaruh terhadap risiko kanker ovarium dimana konsumsi makanan rendah lemak tetapi tinggi serat, karoten, vitamin dapat sebagai pelindung sel epitel ovarium.4 Risiko kanker ovarium juga akan meningkat 3 kali lipat bila memiliki riwayat keluarga dengan kanker ovarium dalam generasi tingkat pertama yaitu ibu, anak perempuan atau saudara perempuan. Oleh karena itu, skrining pasien dengan keluarga yang mempunyai kanker ovarium, kanker payudara, atau kanker kolon merupakan strategi pencegahan terbaik. Bila diketahui keluarga dengan riwayat kanker usus besar, harus diwaspadai kemungkinan suatu hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) atau sindroma Lynch karena pasien dengan sindroma ini memiliki risiko menderita kanker usus besar sebesar 85% dan kanker ovarium sebesar 10-12%.28
13
2.1.3. Klasifikasi Karsinoma ovarium epitelial berasal dari sel-sel mesothelial ovarium dan termasuk beberapa tipe sel: serosa, mucinous, endometrioid, clear cell, transisional sel, dan undifferentiated. Tipe epitelial mencakup lebih dari 60% tumor ovarium dan lebih dari 90% dari karsinoma ovarium. Sebanyak
35-40%
adalah
serosa,
6-10%
musinosa,
15-25%
endometrioid, 5% clear cell, dan <1% Brenner. Tipe serosa secara mikroskopis memiliki sel-sel menyerupai epitelial di tuba fallopi pada tumor berdiferensiasi baik atau sel anaplastik dengan atipia nuklei yang berat pada
tumor
berdiferensiasi
jelek.
Tipe
endometrioid
biasanya
berdiferensiasi jelek sehingga tidak dapat dibedakan dengan mudah dengan tipe serosa. Tipe musinosa mengandungi sel epitelial terisi dengan musin, dan jinak. Sel ini mirip dengan sel di endoserviks dan sel intestinal. Tipe clear cell terlihat sel dengan glikogen yang terbanyak dan Hobnail cell pula memiliki nuklei yang menonjol jauh ke dalam kistik lumen luar dari batas jelas sitoplasma sel.19 Klasifikasi histopatologi tumor ovarium berdasarkan World Health Organization (WHO):29 1. Surface epithelial-stromal tumors a. Serous tumors: benign, borderline, malignant b. Mucinous tumors, endocervical-like and intestinal-type: benign, borderline, malignant c. Endometrioid tumors: benign, borderline, malignant, epithelialstromal and stromal
14
d. Clear cell tumors: benign, borderline, malignant e. Transitional cell tumors: Brenner tumor, Brenner tumor of borderline malignancy, malignant Brenner tumor, transitional cell carcinoma (non Brenner type) f. Squamous cell tumors g. Mixed epithelial tumors (specify components): benign, borderline, malignant h. Undifferentiated carcinoma 2. Sex cord-stromal tumors a. Granulosa-stromal cell tumors: granulosa cell tumors, thecomafibroma group b. Sertoli-stromal cell tumors, androblastomas: well-differentiated, Sertoli-Leydig cell tumor of intermediate differentiation, SertoliLeydig cell tumor poorly differentiated (sarcomatoid), retiform. c. Sex cord tumor with annular tubules d. Gynandroblastoma e. Unclassified f. Steroid (lipid) cell tumors: stromal luteoma, Leydig cell tumor, unclassified 3. Germ cell tumors a. Dysgerminoma: variant-with syncytiotrophoblast cells b. Yolk sac tumors (endodermal sinus tumors): polyvesicular vitelline tumor, hepatoid, glandular c. Embryonal carcinoma
15
d. Polyembryoma e. Choriocarcinoma f. Teratomas: immature, mature, monodermal, mixed germ cell 4. Gonadoblastoma 5. Germ cell sex cord-stromal tumor of nongonadoblastoma type 6. Tumors of rete ovarii 7. Mesothelial tumors 8. Tumors of uncertain origin and miscellaneous tumors 9. Gestational trophoblastic diseases 10. Soft tissue tumors not specific to ovary 11. Malignant lymphomas, leukemias, and plasmacytomas 12. Unclassified tumors 13. Secondary (metastatic) tumors 14. Tumor like lesions
2.1.4. Diagnosis Pada
stadium
awal
kanker
ovarium
bersifat
asimptomatik.
Pemeriksaan fisik pasien kanker ovarium juga tidak terlalu jelas. Tanda paling penting adanya kanker ovarium adalah ditemukannya massa tumor di pelvis. Bila tumor tersebut padat, bentuknya irregular dan terfiksir ke dinding panggul, keganasan perlu dicurigai. Bila di bagian atas abdomen ditemukan juga massa dan disertai asites, keganasan hampir dapat dipastikan. Cairan asites ini diyakini hasil dari peningkatan produksi cairan karsinomatous atau penurunan clearance oleh obstruksi saluran limfatik.
16
Pada stadium lanjut, pemeriksaan abdomen bagian atas biasanya menunjukkan massa menandakan penggumpalan di omentum.30 Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat, pemeriksaan fisik ginekologi, serta pemeriksaan penunjang berikut ini.4,21,22,31,32 1. Riwayat Kanker ovarium stadium dini sering tidak bergejala. Keluhan yang timbul berhubungan dengan pembesaran massa tumor, penyebaran tumor pada organ pelvis dan asites. Gejala merasa perut penuh, cepat merasa kenyang sering berhubungan dengan tumor ovarium. Gejala lain dapat berupa sesak nafas akibat efusi pleura dan asites massif.
2. Pemeriksaan Fisik Ginekologi Gejala umum dapat meliputi nyeri abdomen/pelvis (55-85%), massa abdomen (35%), demam (10-25%), perdarahan vagina (10%) dan asites. Gejala umum tumor ovarium ditemukan massa pada rongga pelvis. Tidak terdapat petunjuk gejala yang pasti pada pemeriksaaan fisik yang mampu membedakan tumor ovarium jinak atau ganas, namun diduga bahwa tumor jinak cenderung kistik dan permukaan licin, unilateral dan mudah digerakkan. Sedangkan tumor ganas memberikan gambaran massa padat, noduler, terfiksasi, dan sering bilateral. Massa yang besar yang memenuhi rongga abdomen dan pelvis lebih mencerminkan tumor jinak atau keganasan derajat rendah. Adanya asites dan nodul pada culde-sac merupakan petunjuk adanya keganasan.
17
3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan ultrasonografi
imaging,
merupakan
ultrasonografi,
pemeriksaan
dan
penunjang
penanda
tumor,
utama
dalam
memprediksi suatu tumor ovarium ganas atau jinak. Pada keganasan akan memberikan gambaran dengan septa internal, padat, berpapil, dan dapat ditemukan adanya asites. USG bersifat non invasive dan relative murah danmudah.Tumor ovarium dengan bagian padat kemungkinan keganasan meningkat. Sebaliknya, tumor kistik tanpa echo-internal kemungkinan keganasan rendah. USG transvaginal dapat meningkatkan akurasi diagnosis karena mampu menjabarkan morfologi dengan baik. Pemeriksaan USG power doppler juga dapat digunakan untuk menilai sirkulasi darah pada tumor ovarium baik berupa resistance index (RI) maupun pulsatility index (PI). Selain itu, pemeriksaan penunjang seperti: PET (positron electron tomografi), CT-Scan, dan MRI akan memberikan gambaran yang lebih mengesankan, namun pada penelitian tidak menunjukkan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dari ultrasonografi. Selain itu, penanda tumor antigen kanker CA-125 saat ini sering digunakan dalam upaya penapisan kanker ovarium jenis epitel, walaupun
masih
terdapat
keterbatasan.
Pemeriksaan
foto
toraks
disarankan sebagai pemeriksaan rutin. Apabila memungkinkan dilakukan CT-scan abdomen-pelvik. Barrium enema apabila dicurigai adanya kanker traktus gastro intestinal. Pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan pungsi asites (pemeriksaan sitologi) atau biopsi secara laparoskopi.
18
2.1.5. Antigen Kanker CA-125 Penanda tumor untuk kanker ovarium yang telah dikenal secara luas selama lebih dari 3 dekade adalah CA-125 yang dipublikasikan pertama kali oleh Blast et al tahun 1983.6 Antigen kanker CA-125 ini merupakan antigen coelomic yang mempunyai berat molekul tinggi dan terdeteksi pada kanker ovarium epitel. Oleh karena antigen ini dapat disekresikan dari jaringan normal lainnya, seperti jaringan amnion, sistem organ pernafasan, dan sel epitel saluran genitalia wanita maka sensitivitas dan spesifisitas CA-125 dianggap masih kurang ideal, walaupun kadarnya dapat ditemukan meningkat pada kurang lebih 80% kasus kanker ovarium epitel dan 50% pada kanker ovarium stadium awal.7,8
2.1.6. Indeks Risiko Keganasan (IRK) Kriteria diagnostik yang prediktif serta cukup akurat dalam menegakkan diagnosis tumor ovarium jinak dan ganas diperkenalkan oleh Jacob et al pada tahun 1990 yang menemukan sistem skoring yang cukup sederhana yaitu Risk of Malignancy Index (RMI) atau indeks risiko keganasan yang dihitung berdasarkan kadar serum CA-125, status menopause, dan hasil pemeriksaan morfologi tumor ovarium dengan USG. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa skor RMI 200 dapat membedakan tumor ovarium epitel jinak dan ganas dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 80%.8 RMI dianggap sebagai sistem skoring yang sederhana dengan komponen karakteristik pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang mudah
19
dinilai secara sonografi transabdominal. Risk of Malignancy Index (RMI) menurut Jacob et al, dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:8 RMI = U x M x Serum CA-125 Dimana: U
: Hasil pemeriksaan ultrasonografi ( USG) Dengan karakteristik sebagai berikut: • Kista ovarium multilokuler • Komponen solid pada tumor ovarium • Lesi bilateral • Asites • Adanya bukti metastase intra abdomen Hasil pemeriksaan USG Nilai U = 1, jika dijumpai salah satu saja dari karakteristik USG Nilai U = 3, jika dijumpai ≥ 2 dari karakteristik USG
M : Status menopause Nilai M = 1 jika pre menopause Nilai M = 3 jika post menopause
2.1.7. Stadium Kanker Ovarium Stadium kanker ovarium disusun menurut keadaan yang ditemukan pada
operasi
eksplorasi.
Stadium
tersebut
menurut
International
Federation of Gynecologist and Obstenricians (FIGO) sebagai berikut:3
20
Tabel 2.1.
Stadium
Kanker
Ovarium
Menurut
International
Federation of Gynecologist and Obstetricians (FIGO). STADIUM
KETERANGAN
Stadium I
pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadium IA
pertumbuhan terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak ada pertumbuhan di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritonium.
Stadium IB
pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak ada pertumbuhan di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum.
Stadium IC
tumor terbatas pada satu atau dua ovarium
Stadium IC1
kapsul tumor pecah pada saat operasi
Stadium IC2
kapsul tumor pecah pada saat sebelum operasi atau pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul
Stadium IC3
ditemukan sel tumor ganas pada cairan asites maupun bilasan rongga peritoneum.
Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan
perluasan
ke
panggul
atau
kanker
peritoneum primer Stadium IIA
perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba
Stadium IIB
perluasan ke jaringan pelvis lainnya, jaringan intra peritoneal.
Stadium III
Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implant di peritoneum di luar pelvis dan/atau KGB retroperitoneal atau inguinal positif.
Stadium IIIA
positif
kelenjar
getah
bening
retroperitoneal
dan/atau metastase mikroskopik di luar pelvis. Stadium IIIA1
positif hanya kelenjar getah bening retroperitoneal
21
Stadium IIIA1(i)
metastase ≤ 10 mm
Stadium IIIA1(ii)
metastase > 10 mm
Stadium IIIA2
mikroskopis, keterlibatan rongga peritoneum ekstra pelvis (di atas pinggir pelvis) ± positif kelenjar getah bening retroperitoneal.
Stadium IIIB
makroskopis, ekstra pelvis, metastase peritoneum ≤ 2 cm ± positif kelenjar getah bening retroperitoneal. Termasuk perluasan ke kapsul hepar/spleen.
Stadium IIIC
makroskopis, ekstra pelvis, metastase peritoneum >2 cm ± positif kelenjar getah bening retroperitoneal. Termasuk perluasan ke kapsul hepar/spleen.
Stadium IV
Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan
metastasis
jauh
kecuali
metastase
peritoneal. Stadium IVA
efusi pleura dan hasil sitologinya positif
Stadium IVB
metastasis
parenkim
hepar
dan/atau
spleen,
metastase ke organ ekstra abdominal (termasuk kelenjar getah bening inguinal dan kelenjar getah bening di luar cavum abdomen).
2.2.
Proses Angiogenesis Pertumbuhan tumor membutuhkan perkembangan pembuluh darah
baru dari proses yang disebut angiogenesis. Pembuluh darah baru ini berkembang dari kapiler lokal, arteri, dan vena sebagai respon terhadap pelepasan faktor pertumbuhan dari massa tumor. Tanpa angiogenesis, tumor hanya dapat tumbuh maksimal sampai 3 cm. Kapiler yang merupakan pembuluh darah mikro utama, berperan dalam berbagai proses angiogenesis tumor, terdiri dari tiga komponen yaitu membran dasar yang merupakan kompleks matriks ekstraselular yang mengelilingi
22
dan mendukung komponen selular, sel endotel yang membentuk lapisan sel datar yang membatasi lumen pada membran basal, serta perisit yang membentuk jaringan selular periendotel pada membran basal.33 Mekanisme angiogenesis tumor dipicu oleh sekresi sejumlah mediator kimiawi berupa faktor angiogenesis dari koloni sel kanker. Faktor ini berdifusi melalui jaringan dan kemudian menyebabkan gradien kimiawi yang mencapai kapiler terdekat dan pembuluh darah lainnya. Sebagai respon terhadap faktor angiogensis, sel endotel pada kapiler terdekat akan menebal dan memproduksi enzim proteolitik (protease), yang dapat mendegradasi membran basal. Selain itu, permukaan sel endotel mulai membentuk pseupodia yang akan memfasilitasi penetrasi mediator ke membran basal yang lemah. Sel endotel kemudian akan berakumulasi dan berkembang dari segi panjang, jumlah sel, dan jumlah lingkaran yang kemudian
membentuk
anastomosis.
Hasilnya
akan
terbentuk
mikrovaskularisasi yang akan mendukung perkembangan dan invasi tumor. Selain itu ada juga ditemukan bahwa secara haptotaksis, fibronektin dapat memicu migrasi langsung sel endotel dengan gradien adhesif.34 Secara singkat, mekanisme angiogenesis yang dijelaskan di atas meliputi sprouting (mulai tumbuh), mimikri vaskulogenik, dan mobilisasi sel pembuluh darah laten. Sel endotel luminal bermigrasi melalui membran basal pembuluh darah ke matriks ekstraselular, membentuk morfologi sprouting. Kemudian, mikrovaskular akan berkembang dengan morfologi mimikri vaskulogenik. Mediator angiogenik juga akan menyebabkan
23
pertumbuhan pembuluh darah untuk mendukung ekspansi tumor. Dibandingkan dengan pembuluh darah normal, pembuluh darah tumor lebih banyak dan rapuh, bahkan perivaskular juga berbeda. Komponen anti angiogenik yang kemudian akan menghambat proses ini salah satunya adalah angiostatin.35,36 Pada proses terjadinya pertumbuhan tumor, terdapat suatu hubungan antara kompartemen endotel dan kompartemen tumor. Sel-sel tumor (T compartment) akan memproduksi faktor angiogenik seperti VEGF dan FGF serta juga memproduksi inhibitor angiogenesis termasuk angiostatin
dan
angiogenik
dari
endostatin. suatu
Perubahan
tumor
kepada
membutuhkan
keadaan up-regulasi
fenotipe faktor
angiogenesis dan down-regulasi dari inhibitor angiogenesis. Bila suatu tumor telah menjadi angiogenik, maka tumor-infiltrating endothelial cells (E compartment) akan memproduksi stimulator pertumbuhan tumor. Faktorfaktor parakrin ini dapat sebagai faktor survival dan pertumbuhan, yang akan memicu pertumbuhan tumor.37
Gambar 1.
Hubungan Kompartemen Endotel dan Tumor.37
24
Gambar 2. Proses Angiogenesis38 Evolusi dinamik angiogenesis diregulasi oleh homeostasis sejumlah molekul proangiogenik dan antiangiogenik. Keadaan seperti stres oksidatif,
stres
mekanik,
asidosis,
sitokin,
faktor
pertumbuhan
proangiogenik (seperti VEGF, FGF, PDGF) dilepaskan dari sel endotel dan sel stromal. Mediator ini akan mengaktivasi sel endotel dan progenitor sel endotel untuk membentuk pembuluh darah baru. Dalam keadaan homeostasis, kadar angiogenik yang tinggi harus diseimbangkan dengan kadar angiostatik (seperti trombospondin-1, endostatin, dan angiostatin) yang sesuai.13 Angiostatin telah diteliti dapat memicu dormansi metastasis berbagai sel tumor seperti tumor payudara, prostat, kolon, paru serta menghambat perkembangan hemangioendotelioma. Efek anti tumor dari angiostatin telah diamati melalui pengurangan densitas mikrokapiler pada massa tumor sehingga pertumbuhan tumor juga akan terhambat.39
25
2.3.
Angiostatin (AS)
2.3.1. Definisi Angiostatin ditemukan pada tahun 1994 dan baru populer setelah Folkman mengenalkan teori angiogenesis tumor pada tahun 1971. Angiostatin
adalah
inhibitor
alami
pertama
yang
ditemukan
dan
merupakan salah satu inhibitor yang memiliki spesifisitas tinggi dalam perannya pada sel endotel pembuluh darah. Sejak ditemukan, angiostatin menarik perhatian berbagai peneliti untuk mengevaluasinya. Banyak sel yang dapat mensekresikan angiostatin, baik melalui sekresi enzim maupun ditemukan pada permukaan sel.40 Selain angiostatin fragmen protein matriks ekstraselular lain yang dapat bekerja sebagai inhibitor angiogenesis adalah endostatin, fragmen proteolitik dari kolagen SVIII, canstatin, arresten, tumastin, seluruh fragmen kolagen IV, dan fragmen proteolitik lain dari plasminogen termasuk plasminogen kringle 5 (K5). Angiostatin sendiri menghambat angiogenesis dengan menginhibisi sel endotel yang berproliferasi secara langsung. Angiostatin manusia secara signifikan menhambat proliferasi dan migrasi sel endotel yang dipicu bFGF pada konsentrasi 300 nM-1 mikroM.41
2.3.2. Struktur dan Rumus Molekul Angiostatin Angiostatin adalah fragmen protein dari autoproteolisis pembelahan plasminogen, berupa pemecahan ikatan disulfida ekstrasesular oleh fosfogliserat kinase. Enzim yang dapat memecah selain fosfogliserat
26
kinase adalah MMP 2/3/7/9/12, elastase, antigen spesifik protease, serin protease, atau endopeptidase. Panjang molekul protein angiostatin adalah 38 kDa, mencakup 3-5 lima modul kringle. Setiap modul terdiri dari dua lapisan beta kecil, tiga ikatan disulfida yang dimediasi oleh enam residu sistein. 42,43
Gambar 3. Angiostatin42
Gambar 4. Pemecahan Plasminogen42 27
Folkman et al. (1971) pertama sekali mengidentifikasi fragmen angiostatin plasminogen atas efek antitumornya pada mencit. Angiostatin disebut sebagai fragmen internal dari residu plasminogen, suatu regio yang memiliki 4 domain plasminogen. Selama bertahun-tahun, struktur angiostatin dianggap hanya memiliki empat domain kringle. Namun, beberapa penelitian telah menegaskan bahwa berbagai protease yang mampu memotong plasminogen menciptakan isoform yang berbeda dari aktivitas anti-angiogenik AS dengan sangat berbeda berdasarkan keberadaan domain kringle tertentu.40
Penelitian Cao et al. (1997)
menunjukkan bahwa ada fragmen proteolitik K5 plasminogen manusia bahkan memiliki efek yang lebih poten dalam inhibisi proliferasi sel.44 Tiga domain kringle pertama angiostatin berikatan satu sama lain membentuk struktur segitiga. Ikatan disulfida terdapat antara residu C169 K2 dan C297 K3 yang berkontribusi secara signifikan terhadap orientasi relatif K2 dan K3, dengan jarak maksimal 20 nanometer. Posisi K1 dipertahankan oleh ikatan peptida antara tiga residu pendek antara K1 dan K2. Gangguan pada ikatan disulfida K2 dan K3 akan menganggu efek antiproliferasi sel oleh angiostatin, tetapi tidak berpengaruh pada aktivitas angiostatin itu sendiri. 45
28
Gambar 5. Domain Kringle Angiostatin45 Sebagai inhibitor angiogenesis, angiostatin memiliki kemampuan memblok perkembangan tumor in vivo dengan inhibisi perkembangan pembuluh darah baru.46 Setiap fragmen kringle akan berinteraksi satu sama lain untuk menjalankan fungsi inhibisi oleh angiostatin. Domain K1K3 lebih dominan menginhibisi proliferasi sel sedangkan domain K4 lebih dominan pada inhibisi migrasi sel. Secara keseluruhan, domain K1-K3 ditunjukkan lebih efektif dibandingkan K4.44,45 AS dihasilkan melalui pembelahan proteolitik oleh proteinase pada plasminogen yang diaktifkan dalam kaskade sinyal angiogenik. PLG manusia terdiri dari rantai berat (terminal amino) dan rantai ringan (terminal karboksil). Rantai berat memiliki 5 domain kringle yaitu K1-K5. Dalam aktivasi PLG, enzim protease mencerna PLG menjadi beberapa fragmen.47 O’Reilly et al. (1994) juga berhasil mengisolasi protein 38 kDa, yang kemudian dinamakan angiostatin, dari lebih dari 100 liter urin mencit Lewis
29
yang menderita karsinoma paru. Dengan analisis sekuensi, mereka dapat menemukan bahwa protein ini merupakan fragmen internal plasminogen, mulai dari asam amino 98 (sekuensi 98-102, valin-tirosin-leusin-serinasam glutamat) dan dengan terminal C pada asam amino 4408.48
Gambar 6. Struktur Baru Angiostatin48
2.3.3. Mekanisme Kerja Angiostatin Mekanisme
kerja
angiostatin
adalah
dengan
menghambat
proliferasi dan migrasi sel endotel untuk angiogenesis, menghambat pertumbuhan tumor dan neovaskularisasi. Mekanisme molekular atas efek inhibisi ini masih terus dipelajari. Beberapa peneliti menunjukkan angiostatin melakukan efeknya melalui proliferasi sel endotel pembuluh darah, antiinflamasi, downregulasi langsung pada faktor angiogenik,
30
memicu apoptosis sel endotel pembuluh, dan menurunkan migrasi sel endotel pembuluh darah.49 Angiostatin menghambat proliferasi sel melalui hambatan pada tPA dan ATP sintase. Penelitian Schulter et al. (2001) melaporkan bahwa angiostatin K1-4 dapat menghambat invasi sel endotel yang dipicu PLG/plasmin dan sel melanoma yang mengekspresikan tPA. Selain itu, bukti penelitian tingginya afinitas K1-4 ke tPA cukup tinggi. 50 Moser et al. (1999) menunjukkan bahwa angiostatin menghambat invasi t-PA. Selain itu, peneliti menemukan bahwa subunit alfa dan beta ATP sintase adalah tempat ikatan angiostatin pada sel endotel vena umbilikalis manusia. Ditemukan bahwa ikatan angiostatin ke ATP sintase pada membran plasma dapat menganggu produksi ATP sehingga menyisakan sel endotel yang lebih rentan mengalami kerusakan sel yang ireversibel. Dalam keadaan asidosis, tumor memicu translokasi ATP sintase ke permukaan sel di kaveola dan ikatan angiostatin makin menurunkan pH intraselular, kemudian memicu apoptosis.50 Setelah mengikat ATP sintase, angiostatin dapat masuk ke intraselular atau tetap di ekstraselular. Di ekstraselular, angiostatin terus berikatan dengan ATP sintase yang berada di membran mitokondria interna menganggu sinyal purinergik ekstraselular sehingga menghambat penambahan Pi ke ADP pada permukaan sel endotel untuk membentuk ATP. Di intraselular, angiostatin akan mengikat malat dehidrogenase (MDH2) pada matriks mitokondria sehingga pada siklus Krebs dan rantai transpor elektron ditemukan penurunan ATP intraselular. Penurunan
31
produksi ATP akan menurunkan proliferasi sel endotel pembuluh darah. Selain itu peneliti juga menunjukkan adanya hambatan Bcl-2 (B-cell lymphoma 2) yang meningkatkan apoptosis sel endotel, peningkatan TSP1 (Thrombospondin-1) yang menghambat angiogenesis, dan penurunan cMyc (Myelocytomatosis) yang menurunkan proliferasi sel tumor.51
Gambar 7. Mekanisme Kerja Angiostatin51
32
Penelitian Pizzo et al. (2000) dilakukan untuk mengevaluasi efek angiostatin dalam inhibisi ATP sintase. Peneliti menunjukkan bahwa sintase ATP ditemukan pada seluruh permukaan sel tumor (seperti HepG2 karsinoma hepatoselular, H1299 NSLC, K562 eritroleukemia, dan 1549 adenokarsinoma) dan ekspresinya tidak berubah dalam kondisi normal maupun asidosis atau hipoksia. ATP sintase permukaan sel tumor aktif mensintesis ATP, dengan aktivitas yang meningkat pada keadaan asidosis. Antibodi ATP sintase dan angiostatin dapat menurunkan proliferasi sel dengan menyebabkan nekrosis sel pada kondisi asidosis.52 Efek antiinflamasi angiostatin ditunjukkan oleh Benelli et al. (2002) bahwa angiostatin menghambat migrasi monosit dan neutrofil yang picu oleh IL-8 (Interleukin 8), MIP-2 (macrophage inflammatory protein 2), dan growth-regulating
oncogene
α.
Angiostatin
juga
menghambat
angiogenesis in vivo yang dipicu kemokin, seiring dengan hambatan pada leukosit tersebut. Peneliti menyatakan bahwa sangat mungkin angiostatin memiliki efek antiinflamasi.53 Interaksi spesifik ditemukan antara domain kringle K4 angiostatin dan M2-integrin (Mac-1) dan domain K1-3 menghambat antigen fungsi leukosit (LFA-1) sehingga menghambat adhesi leukosit ke matriks ekstraselular protein, menghambat migrasi leukosit ke sel endotel. Selain itu, perlu diketahui bahwa monosit adalah sumber penghasil VEGF, bFGF, dan
MMPs
(metalloproteinase)
yang
berperan
penting
memicu
angiogenesis. Neutrofil berfungsi memproduksi faktor pertumbuhan proangiogenik seperti IL-8, TNF-alfa (tumor necrosis factor), sumber
33
proteinase seperti MMP-9 yang mengontrol homeostasis angiogenik selama neovaskularisasi tumor. Hambatan adhesi dan efek antiinflamasi dari angiostatin akan menghambat angiogenesis baik pada tumor maupun keadaan inflamasi kronik. 54
Gambar 8. Efek Inhibisi Angiogenesis oleh Angiostatin55 Efek angiostatin dalam menghambat faktor angiogenik secara langsung ditunjukkan oleh Hajitou et al. (2002) bahwa ada efek downregulasi VEGF setelah pemberian angiostatin dan penelitian Redlitz et al. (1999) menunjukkan angiostatin menurunkan aktivasi MAPK, ERK-1 (extracellular signal regulated kinase-1) dan ERK-2 yang bergantung pada VEGF dan bFGF. Hal ini akan menandakan penurunan jalur proliferasi sel endotel.55,56 Efek angiostatin dalam memicu apoptosis ditunjukkan Lucas et al. (1998) bahwa angiostatin dapat memicu apoptosis sel endotel. Peneliti menunjukkan bahwa pemberian angiostatin memicu adhesi fokal kinase
34
melalui jalur independen RGD. Proses ini akan mengaktivasi caspase-8, 3, 9.57 Sharma et al. (2004) menunjukkan angiostatin memicu p53, Bax (Bcl
2
associated
x
protein),
tBid-mediated
cutochrome
c
dan
mengaktivasi jalur Fas untuk apoptosis. Induksi proapoptosis ditemukan melalui mediasi seramid sfingolipid, aktivasi RhoA, dan downregulasi CDK (cyclin
dependent
kinase).58
Penelitian
Veitonmaki
et
al.
(2004)
menunjukkan bahwa administrasi angiostatin dengan inhibitor caspase 3 akan menghambat induksi apoptosis sel.59 Lee et al (2009) menunjukkan adanya peningkatkan fragmentasi DNA selama apoptosis, penurunan ekspresi antiapoptosis Bcl-2 dan peningkatan p53 pada sel endotel pembuluh darah. Bahkan, mereka menunjukkan peningkatan ekspresi trombospondin-1 pada pemberian angiostatin di mana trombospondin-1 adalah protein angiogenesis dengan mekanisme penurunan protein c-Myc, menurunkan proliferasi dan meningkatkan apoptosis.60 Angiostatin menghambat migrasi sel melalui efek pada angiomotin dan integrin. Efek angiostatin pada angiomotin ditunjukkan oleh Troyanovsku et al. (2001) bahwa angiostatin
berikatan dengan
angiomotin, protein yang berperan dalam migrasi sel endotel. Fungsi angiomotin adalah memicu angiogenesis sehingga ikatan angiostatin pada struktur ini akan menghambat aktivitasnya.61 Efek angiostatin pada integrin ditunjukkan Tarui et al. (2001) bahwa angiostatin menghambat integrin αvβ3 integrin pada permukaan sel endotel arteri sapi. Jalur ini dengan memblok ikatan plasmin ke αvβ3.
35
Penurunan integrin akan menghambat migrasi sel endotel sehingga proses angiogenesis akan terhambat.62
2.3.4. Manfaat Potensial dari Angiostatin Rekombinan Penelitian O’Reilly tahun 1996 mencoba membuat angiostatin rekombinan dengan cara mereaksikan PLG dengan elastase. Hasilnya mereka berhasil mengisolasi suatu fragmen 40 kDa, terdiri dari K1-4 dan mini PLG dengan K5 melekat pada domain katalitik plasmin. Senyawa ini memiliki terminal N pada asam amino 97-99 PLG manusia, regio yang hampir sama dengan angiostatin. Senyawa ini kemudian ditambahkan ke model mencit dengan karsinoma paru dan menunjukkan adanya hambatan bFGF dan VEGF. Pengamatan setelah tumor primer diangkat adalah tidak terdeteksi lagi angiostatin, dan tidak ada lagi angiogenesis.63 Pada penelitian lain oleh Folkman et al. (1971) membuat suatu angiostatin mencit dengan K1-K3 dan sekuensi asam amino Asp20 sampai Ser32-Ser-Arg97 sampai Gly458. Rekombinan ini memiliki panjang molekul lebih besar yaitu 52 kDa dengan kelebihan 14 asam amino pada terminal N, namun tidak memberikan perbedaan yang berarti untuk efek anti angiogenesis tumor. Senyawa kemudian diberikan pada sel tumor fibrosarkoma T241 dengan transfeksi mencit dan menunjukkan bahwa perkembangan primer tumor dan metastasis terinhibisi.40
36
2.3.5. Ekskresi Angiostatin Melalui Ginjal Mekanisme bagaimana ekskresi angiostatin ke urin masih belum diketahui dengan jelas. Angiostatin merupakan fragmen pemecahan dari plasminogen (PLG). Pasminogen sendiri dibentuk dari rantai berat (aminoterminal) dimana rantai ini terdiri dari 5 domain kringle (K) dan rantai ringan
(carboxyl-terminal).
menyatakan bahwa
Penelitian
oleh
domain kringle ini
Urano
T
memfasilitasi
tahun
1987
plasminogen
berikatan dengan molekul besar seperti fibrinogen dan juga dengan ligan molekul kecil seperti ion klorida (Cl). Aktivasi PLG oleh urokinase urin manusia dihambat oleh Cl- pada konsentrasi fisiologis. Ketika absorpsi Na+ terjadi di tubulus renalis, Cl- juga ikut diabsorpsi sebagai counter ion. Adanya fakta bahwa konsentrasi ion Cl- berbeda-beda selama filtrasi glomerulus, maka aktivasi plasminogen melalui ikatan dengan klorida juga dapat terjadi secara bermakna. Hal inilah yang mengakibatkan produksi dari fragmen plasminogen seperti angiostatin dan plasmin ada di urin.16 Linder et al. tahun 1999 meneliti angiostatin pada 117 urin pasien kanker dengan densitometri Western blot dan menemukan bahwa kadar angiostatin urin 27 ± 75 mikrogram/liter, yang secara signifkan lebih tinggi dibandingkan kontrol 3 ± 3 mikrogram/liter.64 Cao et al. tahun 2000 juga mengukur angiostatin dan PLG/plasmin di urin pasien kanker ovarium dan menemukan bahwa PLG/plasmin berada dalam kadar yang sangat rendah dan tidak ditemukan adanya angiostatin pada urin kontrol dibandingkan kadar PLG/plasmin yang tinggi pada pasien kanker dan terdeteksinya angiostatin.65
37
2.4.
Kerangka Teori GROWTH FACTORS (VEGF, FGF)
APOPTOSIS
ONCO-GENES DAN TUMOR SUPPRESSOR
TUMOR OVARIUM (fase prevaskuler)
HIPOKSIA (Hypoxiainducible factor, HIF-1), pro/antiangiogenik, protein matriks ekstraseluler dan protease
ANGIOGENESIS
KESEIMBANGAN PROANGIOGENIK (angiogenic growth factors) dan ANTIANGIOGENIK (angiogenesis inhibitors)
“ANGIOGENIC SWITCH” PRO-ANGIOGENIK (VEGF, FGF, Angiopoitin, integrin, TNFα, TNF-β, angiogenin, MMP-9, TGFβ, PDGF) meningkat (serum, urin)
TUMOR OVARIUM
ANTI-ANGIOGENIK (angiostatin, endostatin) meningkat (serum, urin)
ANGIOSTATIN URIN ↑
(fase vaskuler)
NEOVASKULARISASI
PREDIKTOR KEGANASAN
TUMOR OVARIUM GANAS (Progresif dan Metastase)
38
2.5.
Kerangka Konsep
TUMOR OVARIUM EPITEL GANAS
ANGIOSTATIN URIN
Variabel Bebas (independen) Variabel Tergantung (dependen)
39