4
TINJAUAN PUSTAKA Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling melimpah dalam tubuh. Diperkirakan 1,5 - 2% berat badan orang dewasa atau setara dengan 1,0 -1,4 Kg terdiri dari kalsium (Winarno 2008). Menurut Almatsier (2006) 99% kalsium berada dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi dalam bentuk hidroksiapatit (3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2). Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh, baik dalam cairan ekstraseluler maupun cairan intraseluler. Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma (darah) pada konsentrasi kurang lebih 2,25 – 2,60 mmol/l atau 9 - 10,4 mg/100 ml. Kadar kalsium dalam sirkulasi darah cenderung konstan dan jika bervariasi tidak sampai 10% (Almatsier 2006). Kalsium plasma berada dalam 3 bentuk yaitu ion bebas (47%), bentuk kompleks yang ikatannya lemah dengan fosfat, sitrat, dan sulfat (13%), serta bentuk terikat dengan protein terutama dengan albumin (40%). Konsentrasi kalsium dalam cairan tubuh ini diatur oleh hormon-hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D (1,25-(OH)2D3) (Brody 1999). A. Fungsi Kalsium Kalsium mempunyai berbagai fungsi dalam tubuh. Rolfes & Whitney (2008) menyebutkan, kalsium tulang memiliki dua peranan utama dalam tubuh yaitu (1) sebagai bagian integral dalam strujtur tulang, memberi bentuk dan kekuatan pada tulang dan gigi sehingga dapat bergerak; (2) sebagai tempat penyimpanan kalsium, sehingga dapat membantu mengatur keseimbangan kalsium plasma. Menurut Anwar & Khomsan (2009), kurang lebih 5% dari total kalsium tulang siap untuk dipertukarkan setiap harinya Kalsium plasma yang tersebar dalam cairan ekstraseluler maupun intraseluler, meskipun jumlahnya hanya 1% dari total kalsium tubuh namun memiliki peranan yang sangat vital. Winarno (2008) menyebutkan, kalsium plasma berperan dalam kontraksi otot, transmisi syaraf, penggumpalan darah, mengatur permeabilitas membran sel serta aktivasi enzim. Pada waktu otot berkontraksi kalsium berperan dalam interaksi protein di dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal otot akan kejang karena kepekaan serabut syaraf dan pusat syaraf terhadap rangsangan meningkat (Almatsier 2006).
5
Kalsium juga berperan dalam proses pembekuan darah. Protrombin mula-mula harus berikatan dengan kalsium sebelum diaktifkan menjadi trombin. Trombin kemudian membantu perubahan fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan gumpalan darah. Kalsium juga merupakan bagian dari enzim yaitu lipase, suksinat dehidrogenase, dan beberapa enzim proteilitik tertentu. Selain itu, kalsium juga berperan dalam pengiriman impuls syaraf ke jaringan-jaringan tubuh,
penyimpanan dan
pelepasan neurotransmiter,
penyimpanan dan
pelepasan hormon, penyerapan dan pengikatan asam amino, pengaturan sekresi gastrin serta menjaga keseimbangan osmotik (Muchtadi, Palupi, & Astawan 1993). B. Metabolisme kalsium Pengaturan keseimbangan kalsium melibatkan sistem hormon dan vitamin D. Menurut Brody (1999), kalsium diabsorbsi melalui duodenum dan jejenum proksimal oleh protein pengikat kalsium yang disintesis sebagai respon terhadap kerja 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25-dihidroksivitamin D3). Kalsium membutuhkan pH 6 agar dapat berada pada keadaan terlarut. Absorbsi umumnya dilakukan secara aktif menggunakan calsium-binding-protein, adapun absorbsi pasif hanya terjadi pada permukaan saluran cerna (Almatsier 2006). Rolfes & Whitney (2008) menyebutkan, rata-rata orang dewasa menyerap 25% kalsium yang dicerna. Persentase ini dapat meningkat jika kebutuhan kalsium tubuh tinggi. Wanita hamil mampu menyerap 50%, sementara anak dan remaja yang berada pada masa pertumbuhan dapat menyerap hingga 60% kalsium yang dicerna. Lebih lanjut menurut Almatsier (2006), kemampuan absorbsi kalsium memang lebih tinggi pada masa pertubuhan dan menurun pada proses menua. Kemampuan absorbsi kalsium laki-laki juga lebih tinggi daripada perempuan pada semua kelompok usia. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi terhadap konsumsi kalsium yang rendah sehingga dapat memelihara kalsium plasma pada batas normal. Keseimbangan konsentrasi kalsium plasma dikontrol oleh kombinasi daya kerja dari hormon paratiroid (PTH), kalsitosin, dan metabolit-metabolit aktif vitamin D. Penurunan
kadar kalsium plasma
sekalipun dalam jumlah
kecil akan
menstimulasi kelenjar paratiroid untuk mensekresi hormon paratiroid (PTH). Hormon paratiroid akan merangsang perubahan vitamin D menjadi metabolit yang paling aktif yaitu 1,25- dihidroksivitamin D3. Vitamin D bersama PTH bekerja secara sinergis menstimulasi ginjal untuk meningkatkan resorpsi kalsium serta
6
menstimulasi osteoclast untuk melepaskan kalsium tulang ke dalam plasma. Sebaliknya, jika kadar kalsium dalam darah meningkat kelenjar tiroid akan terstimulasi untuk mengeluarkan hormon kalsitosin. Hormon kalsitosin akan menghambat aktivasi vitamin D, mencegah reabsorpsi kalsium pada ginjal, membatasi absorpsi kalsium pada saluran cerna, serta menghambat pelepasan kalsium tulang oleh osteoclast (Rolfes & Whitney 2008). Almatsier (2006) menambahkan, kalsium tulang tersebar di pool (cadangan) yang relatif tidak berubah/stabil dan pool yang cepat dapat berubah. Pool kalsium yang dapat cepat berubahlah terlibat dalam mekanisme homeostatis kalsium plasma. Cadangan kalsium tulang terutama disimpan pada bagian ujung tulang panjang dalam bentuk kristal yang dinamakan trabekula dan dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui. Menurut Martin et al. (1987), kalsium yang diabsorpsi akan diekskresikan melalui beberapa jalan. Sebagian besar kalsium disekresikan ke dalam lumen usus dan hampir semuanya hilang dalam feses. Ginjal mengekskresikan kalsium bila kadar kalsium plasma di atas 7 mg/100mL dan hanya sejumlah kecil kalsium diekskresikan melalui keringat. Weavey & Heaney (2008) menambahkan, jumlah kalsium yang diekskresikan melaui urin setiap hari berkisar antara 100-200 mg, adapun melalui feses 100-120 mg dan 16-24 mg melalui keringat. C. Kebutuhan kalsium Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium dalam tubuh biasanya dihitung berdasarkan keseimbangan kalsium dimana cara perhitungannya hampir sama dengan cara menghitung keseimbangan nitrogen. Meskipun demikian menurut Muhilal, Jalal & Hardinsyah (1998), kecukupan kalsium untuk Indonesia lebih rendah daripada yang dianjurkan di berbagai negara industri, dengan pertimbangan bahwa perbandingan Ca dan P hidangan serta konsumsi protein umumnya rendah. Berdasarkan WKNPG (2004), ditetapkan angka kecukupan kalsium remaja (10 - 18 tahun) dan dewasa (19 – 65+ tahun), baik pria maupun wanita, berturut-turut adalah 1000 mg/hari dan 800 mg/hari. Ibu hamil maupun menyusui membutuhan tambahan asupan kalsium sebanyak 150 mg/hari. Konsumsi kalsium sebesar 200-400 mg/hari menyebabkan keseimbangan kalsium tubuh menjadi negatif, sedangkan konsumsi 500-800 mg/hari dapat menyebakan keseimbangan normal dan cenderung positif.
7
Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yoghurt. Pangan sumber kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007). D. Kekurangan dan Kelebihan kalsium Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. Defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan kejadian kejang (tetani), hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih (Gropper et al. 2005). Osteoporosis terjadi akibat aktifitas osteoklas yang berlanjut dan tidak diimbangi dengan aktifitas osteoblast sehingga resorpsi kalsium tulang lebih besar daripada formasi kalsium tulang. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria karena wanita mengalami penurunan estrogen yang membantu penyerapan kalsium pada plasma darah khususnya pada masa manopause. Selain itu orang kulit putih (kaukasia dan asia) lebih beresiko mengalami osteoporosis daripada orang kulit berwarna (Afrika) karena massa tulangnya lebih kecil. Osteoporosis juga lebih banyak terjadi pada perokok dan peminum alkohol (Almatsier 2006; Brody 1999). Kondisi di mana kadar kalsium plasma berada di bawah kisaran normal (9-10 mg/100 mL) disebut hypokalsemia. Hypokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang karena kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat. Sebaliknya, konsumsi kalsium lebih dari 2500 mg sehari berpotensi menyebabkan hyperkalsemia yang selanjutnya dapat menyebabkan hyperkalsuria (kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari). Hyperkalsuria dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Disamping itu dapat juga menyebabkan konstipasi (kesulitan buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami, umumnya terjadi karena mengkansumsi suplemen kalsium secara terus menerus (Almatsier 2006; Brody 1999). Bioavailabilitas Kalsium Tidak semua kalsium dalam bahan pangan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Hal ini bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas).
8
Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium, yakni secara in vitro ataupun in vivo. Metode in vivo mengukur mengukur absorpsi zat gizi pada manusia atau hewan. Adapun metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal dalam kondisi tetap (Roig et al. 1998). Prinsip pengukuran bioavailabilitas metode in vitro adalah teknis dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis digunakan untuk
memisahkan
molekul-molekul
besar
dan
molekul-molekul
kecil
berdasarkan sifat membran semi permeabel yang meloloskan molekul kecil namun menahan molekul besar (Nur et al. 1989). Molekul kecil berpindah secara difusi, dimana terdapat suatu bagian larutan yang memiiki konsentrasi lebih tinggi sehingga terjadi perpindahan molekul kecil dari daerah berkonsentrasi tinggi ke daerah berkonsentrasi rendah (Gaman & Sherrington 1992). Metode in vitro dapat digunakan untuk mendeteksi faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam usus, namun tidak dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat dibandingkan metode in vivo (Gueguen & Pointillart 2000). Hal ini dikarenakan pada metode in vitro enzim yang digunakan hanya dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia sebenarnya tidak hanya terdapat dua enzim dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara
in
vitro (Wilson et al. 1979). Meskipun demikian metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Metode in vitro juga memungkinkan pengontroloan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Sudharma 1995). Secara umum bioavailabilitas kalsium dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor interinsik dan eksterinsik. Faktor interinsik berkaitan dengan keadaan fisiologis individu seperti umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, genetik, status gizi, efisiensi absorbansi dan interaksi zat gizi dalam tubuh. Adapun faktor
9
eksterinsik berkaitan dengan keadaan makanan seperti perlakuan pengolahan dan pemasakan, daya cerna makanan, keanekaragaman pangan, kelarutan zat gizi, interaksi sinergisme dan antagonisme dengan zat gizi lain dalam makanan yang berpengaruh pada penyerapan (O‘dell 1997; Potter & Hotckiss 1995; WHO 1996 dalam Rajagukguk 2004). Allen (1982) menyebutkan, komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Lebih lanjut Gropper et al. (2005) menambahkan, keberadaan kation divalen (bervalensi dua)
juga dapat
mengurangi absorpsi kalsium. Berikut adalah penjelasan masing-masing komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium. A. Fosfor Kalsium dan fosfor saling memiliki hubungan yang erat dalam proses absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung, mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet dan 2). secara tidak langsung, dimediasi oleh respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). Linder (2006) menyebutkan, konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5 mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi tulang. B. Protein Protein harian juga berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney (2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Menurut Hugges dan Harris (2002), pada asupan kalsium harian yang rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika
10
keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah. C. Komponen tumbuhan Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage,
dan
beberapa
hemiselulosa
(Allen
1982).
Selulosa
dapat
meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005) Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005). Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Broody 1999). Sama halnya dengan oksalat dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan kalsium (Bredbenner et al. 2007). D. Laktosa Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) menjelaskan bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan
11
mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan meningkatkan absorpsi kalsium. Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Kabayashi et al. tahun 1975 memperlihatkan bahwa hidrolisis laktosa oleh enzim laktase menjadi galaktosa dan glukosa lebih efektif dalam meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982). E. Lemak Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982). F.
Kation divalen Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen
(bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium. Zat Besi Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Tubuh manusia mengandung 2-4 gram besi atau setara dengan 38 mg/kg berat badan wanita atau 50 mg/kg berat badan pria. Lebih dari 65% zat besi dlm tubuh ditemukan dlm hemoglobin, lbh dr 10% dlm bentuk myglobin, dan 1-5% sbg bagian enzim. Sisanya beredar dlm darah atau disimpan. Makanan yang dikonsumsi manusia normal umunya mengandung kira-kira 20-25 gram besi/hari (Winarno 2008). Menurut Muchtadi (1989), dalam tubuh zat besi dapat ditemukan dalam hemoglobin atau pigmen respirasi (60-70% total besi), mioglobin atau protein otot
12
bergaris yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen, enzim-enzim heme intraseluler(katalase dan sitokrom oksidase), metaloprotein (aktinoksidase, suksinodehidrogenase, DPNH sitoreduktase), kromatin, ferritin atau bentuk cadangan zat besi dalam jaringan retikuloendotelial
(15% total besi), dan
transferin atau bentuk transpor besi yang terikat pada beta-globulin (0,1% total besi). Besi dalam badan sebagian terletak dalam sel-sel darah merah sebagai heme, suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi. Dalam sebuah molekul hemoglobin terdapat empat heme. Sel darah merah merah memiliki masa hidup 120 hari. Dalam tubuh terdapat 20.000 milyar sel darah merah. Setiap menit diproduksi dan didaur ulang 115 juta sel darah merah. Daur ulang sel darah melah terjadi di limpa dan besi yang terlepas digunakan kembali dalam metabolisme. Selain itu besi juga terdapat di sel-sel otot, khususnya miglobin. Berbeda dengan hemoglobin, mioglobin terdiri dari satu pigmen heme untuk setiap protein (Winarno 2008). A. Metabolisme Zat Besi Zat besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari daur ulang sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan zat besi yang diserap dari saluran pencernaan. Dari ketiga sumber tersebut besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia normal kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari hemolisis, adapun yang berasal dari makanan hanya berkisar 1 mg. Dalam keadaan normal diperkirakan orang dewasa menyerap dan mengeluarkan zat besi sekitar 0,5 – 2,0 mg per hari (Winarno 2008). Metabolisme zat besi terbagi menjadi lima bagian utama, yakni penyerapan, transportasi, pemanfaatan, penyimpanan, dan pembuangan. Besi dalam bahan makanan umumnya terdapat dalam bentuk heme (organik) dan nonheme (anorganik). Besi heme diabsorbsi di sel mukosa sebagai kompleks poriferin utuh. Selanjutnya besi yang ada dalam protein heme harus dibebaskan dahulu melalui pencernaan protein sehingga gugus hemenya terlepas. Proses pemecahan ikatan protein dengan gugus besi heme terjadi di lumen duodenum. Selanjutnya gugus besi heme yang telah dibebaskan dari protoforforin dengan bantun enzim hemooksigenase yang memecah cincin porfirin akan menghasilkan ion ferri (Fe3+), biliverdin, dan gas CO2 (Fairbank 1999).
13
Adapun besi non heme agar dapat diserap dalam tubuh melalui usus halus harus berada dalam bentuk terlarut (Fe2+). Oleh karena otu besi non heme akan diionisasi lebih dahulu oleh asam lambung, direduksi dalam bentuk ferro dan selanjutnya dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur (Fairbanks 1999). Besi heme dan non heme akan melawati jalur yang sama setelah meninggalkan sel mukosa usus dalam bentuk yang sama dengan alat angkut yang sama. Absorbsi fe terutama terjadi di bagian atas usus halus (duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus, yaitu transferin dan ferritin. Transferin terdapat dalam dua bentuk, transferin mukosa yang mengangkut besi dari saluran cerna ke dalam sel mukosa serta transferin reseptor yang ada di dalam sel mukosa dan mengangkut besi melalui darah ke semua jaringan tubuh. Transferin dapat mengikat dua ion ferri sekaligus dalam sekali waktu (Almatsier 2006). Taraf absorbsi oleh sel mukosa ditentukan oleh kebutuhan tubuh. B. Fungsi Zat Besi dalam Tubuh Zat besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting dalam beragam reaksi biokimia. Besi yang terdapat dalam enzim-enzim bertanggung jawab mengangkut elektron dari sitokrom, mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase) serta mengangkut oksgen melaui ikatan hemoglobin dan mioglobin (Hallberg 1988). Dalam setiap sel besi bekerjasama dengan beberapa protein rantai transpor elektron dalam melaksanakan tahapan akhir jalur metabolik yang menghasilkan energi. Proten memindahkan hidrogen dan elektron dari zat-zat gizi penghasil energi kepada oksigen, membentuk air, dan berperan dalam proses pembentukan ATP yang akan digunakan oleh sel (Rolfes & Whitney 2008). Zat besi juga mempengaruhi kemampuan belajar, sistem kekebalan tubuh. C. Kekurangan dan Kelebihan Zat Besi Jika tubuh mengalami kekurangan zat besi maka akan timbul anemia yang ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin. Selain itu secara fisik tubuh penderita akan pucat, lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran dan kekebalan tubuh, menurunnya kemampuan kerja dan konsentrasi belajar, gangguan penyembuhan luka serta apatis dan mudah tersinggung pada anak-anak (Almatsier 2006). Kelebihan zat besi terjadi bila kadar besi dalam tubuh mencapai 200 – 1500 mg baik dalam bentuk simpanan protein ferritin ataupun homosiderin dalam
14
hati (30%), sum-sum tulang belakang (30%), dan dalam limpa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg dimobilisasi setiap harinya untuk keperluan metabolisme tubuh (Almatsier 2006). Sebanyak 0,5 – 1 mg zat besi dikeluarkan setiap harinya melalui urine, keringat, dan feses. Besi dalam bentuk hemoglobin juga dapat keluar dri dalam tubuh jika terjadi pendarahan, menstruasi, kerusakan saluran urin (Suhardjo & Kusharo 1992). Bioavailabilitas Zat Besi Bioavailabilitas didefinisikan sebagai proporsi zat gizi yang digunakan oleh tubuh secara aktual dari pangan yang dikonsumsi (Hambracus 1999). Adapun bioavailabilitas zat besi didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah (Latunde-Dada, & Neale 1986). Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorbsi zat besi dalam usus halus (duodenum) sehingga istilah bioavailabilitas zat besi dapat disamakan dengan absorbsinya dalam usus. Secara umum faktor yang mempengaruhii bioavailabilitas zat besi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor eksogen yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan. A. Kandungan zat besi. Hallberg (1988) mengemukakan bahwa kandungan zat besi dalam bahan pangan khususnya zat besi nonheme menentukan jumlah zat besi yang diabsorbsi. Weaver & Heaney (2008) juga menyatakan bahwa fraksi zat besi yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan asupannya. Efisiensi absorbsi zat besi memang berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Yeung & Laquarta 2003) B. Bentuk zat besi. Bentuk zat besi yang terkandung dalam makanan juga menentukan ketersediaannya untuk diserap karena kelarutan besi dalam medium intralumenal saluran pencernaan merupakan prasyarat bagi absorbsi. Garam ferro sederhana
15
lebih mudah diserap daripada garam kompleks dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan yang lebih tinggi karena memiliki kelarutan lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Sedangkan besi ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3.5 sehingga berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar daripada besi ferri (Rolfes & Whitney 2008) Zat
besi
heme
dan
noheme
juga
memiliki
perbedaan
dalam
bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu sekitar 15-30% karena diserap secara utuh dalam cincin porfirin dan tidak terekspos ligan –ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Zat besi nonheme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang memudahkan dipertukarkan (exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari ligan-ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu hanya 2-20% besi non-heme yang dapat diserap tergantung pada ligan dan status zat besi seseorang (Rolfes & Whitney 2008). Zat besi heme lebih banyak ditemukan pada pangan hewani dan proporsi zat besi nonheme dalam bahan pangan nabati lebih besar baik pada pangan hewani maupun pangan nabati. Oleh karena itu Muhilal et al. (1998) mengklasifikan makanan sehari-hari berdasarkan kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat besi dari makanan tersebut, yaitu absorbsi besi rendah atau sama dengan 5% , (2) absorbsi besi sedang atau sama dengan 10% dan (3) absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%. Sementara Whitney et al. (1998) mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan berdasarkan penyerapannya, yaitu (1) ketersediaan tinggi; jika besi nonheme diserap sebesar 8%, (2) ketersediaan sedang; jika besi nonheme diserap sebesar 5%, dan (3) ketersediaan rendah; jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3%. kecukupan konsumsi zat besi Menurut Hallberg (1988) absorbsi besi nonheme jelas dipengaruhi oleh berbagai faktor makanan. Beberapa faktor dapat meningkatkan absorbsi yaitu daging, ikan, dan asam askorbat. Bahan pangan lain yang dapat menghambat adalah yang mengandung fitat dan tanin. Di sisi lain absorbsi besi heme dipercepat oleh daging tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorbsi besi nonheme Rolfes & Whitney (2008) menambahkan bahwa ketersediaan besi yang dapat diserap oleh sel-sel mukosa juga ditentukan oleh kekuatan ikatan besi-
16
kelat, kelarutan dari kompleks, faktor lingkungan seperti pH dan adanya competiting chelator lainnya. Selama pencernaan besi nonheme dapat berubah valensinya dan secara cepat membentuk kompleks besi-kelat dengan ligan-ligan seperti asam askorbat, fitat, tanin, dan oksalat. Kestabilan besi kelat meningkat seiring denan peningkatan konsentrasi ligan pengkelat. Adanya faktor pengendap dan pengkilasi (pengkelat) dalam bahan makanan tidak hanya mempengaruhi daya guna besi heme dalam bahan makanan tetpi juga daya guna besi nonheme dalam bahan makanan lain yang berada pada diet yang sama. Jadi ketersediaan total besi dalam diet ditentukan oleh campuran beberapa faktor yang berkompetisi dalam mengikat besi (Linder 2006). Cookies PGT (Pati Garut dengan Penambahan Tepung Torbangun) A. Cookies BSN (1992) dalam SNI 01-2973-1992 mendefinisikan cookies sebagai salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan penampang potongannya bertekstur padat. Berikut adalah syarat mutu produk cookies yang berlaku secara umum di Indonesia. Tabel 1 Syarat mutu cookies berdasarkan SNI 01-2973-1992 Kriteria Uji Klasifikasi Kalori (Kalori/100 gram) Minimum 400 Air (%) Maksimum 5 Protein (%) Minimum 9 Lemak (%) Minimum 9.5 Karbohidrat (%) Minimum 70 Abu (%) Maksimum 1.5 Serat kasar (%) Maksimum 0.5 Logam berbahaya Negatif Bau dan rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal Sumber : BSN (1992)
Cookies terbuat dari adonan solid dan liquid (cair) dan mempunyai sifat yang tahan lama. Bahan solid pada adonan cookies dapat berupa tepung, gula dan susu, sementara bahan liquidnya berupa lemak dan telur. a. Lemak. Kandungan lemak dalam adonan cookies merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada variasi pembagian tipe cookies. Lemak di dalam adonan berfungsi sebagai shortening sehingga tekstur cookies lebih lembut. Lemak juga memberi flavor. Lemak yang umunya digunakan pada pembuatan cookies adalah mentega (butter) dan margarin. Lemak yang digunakan 65 – 75 % dari jumlah tepung. Agar rasa dan aroma cookies optimal,
17
mentega dan margarin dapat dicampur dengan proporsi berturut-turut 80% dan 20%. Penggunaan lemak berlebihan akan mengakibatkan kue melebar dan mudah hancur, sedangkan jumlah lemak terlalu sedikit akan menghasilkan kue bertekstur keras dengan rasa seret dimulut (Faridah 2008). b. Gula. Jumlah gula yang ditambahkan berpengaruh terhadap tesktur dan penampilan cookies. Fungsi gula dalam proses pembuatan cookies selain sebagai pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tesktur dan memberi warna pada permukaan cookies. Peningkatan kadar gula dalam adonan mengakibatkan cookies semakin keras. Waktu pembakaran juga harus sesingkat mungkin agar cookies tidak hangus karena sisa gula yang masih terdapat dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna. Jenis gula yang umum digunakan yaitu gula bubuk (icing sugar) untuk adonan lunak dan gula kastor (gula pasir yang halus butirannya) (Faridah 2008). c. Telur. Telur berpengaruh terhadap tekstur produk patiseri sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Telur merupakan pengikat bahan-bahan lain, sehingga struktur cookies lebih stabil. Telur digunakan untuk menambah rasa dan warna serta membuat produk lebih mengembang karena dapat menangkap udara selama pengocokan. Penggunaan kuning telur memberikan tekstur cookies yang lembut karena kuning telur bersifat sebagai pengempuk (Faridah 2008). d. Susu Skim. Susu skim berbentuk padatan (serbuk) yang memiliki aroma khas kuat dan sering digunakan pada pembuatan cookies. Skim merupakan bagian susu yang mengandung protein paling tinggi yaitu sebesar 36.4%. Susu skim berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tesktur dan warna permukaan. Laktosa yang terkandung di dalam susu skim merupakan disakarida pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna cokelat menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang (Faridah 2008). B. Umbi Garut (Maranta arundinaceae L) Tanaman garut (Maranta arundinaceae L) oleh masyarakat Jawa Barat (Sunda) dikenal dengan nama patat sagu, irut, arut, garut, jelarut. Di Amerika tanaman garut dikenal dengan nama arrow-root. Garut merupakan tanaman semak semusim yang memiliki tinggi 75-90 cm. Batangnya semu, bulat, membentuk rimpang berwarna hijau. Daunnya tunggal, bulat memanjang dengan ujung runcing berpelepah, berbulu dan berwarna hijau (Astuti 2008).
18
Gambar 1 Umbi garut Deptan (2007) menyebutkan, tanaman garut mempunyai 2 kultivar utama yaitu Creole dan Banana. Kedua kultivar tersebut sama-sama berwarna putih, berikut adalah ciri dan sifat yang membedakan masing-masing kultivar : a. Creole : Rhizomanya kurus panjang, menjalar luas dan menebus ke dalam tanah. Sering disebut akar cerutu atau cigar root. Setelah dipanen kultivar ini mempunyai daya tahan tujuh hari sebelum dilakukan pengolahan. Kultivar creole telah tersebar luas di areal petani. b. Banana, Rhizomanya lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada permukaan tanah. Umbinya terdapat dekat dengan permukaan tanah sehingga lebih mudah dipanen. Memiliki akar cerutu sangat kecil sekali sehingga hasil panen lebih tinggi. Kandungan serat lebih sedikit sehingga lebih mudah diolah. Meskipun demikian, setelah pemanenan kualitas umbi menurun cepat sekali sehingga harus segera diolah (paling lama 48 jam setelah panen). Berikut adalah kandungan zat gizi masing-masing kultivar. Kandungan zat gizi dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya (Lingga et al. 1986). Tabel 2 Komposisi kimia umbi garut per 100 gram a,b Umbi Garut Kandungan Creole Banana Air (g) 69,1 72,0 Abu (g) 1,4 1,3 Lemak (g) 0,1 0,1 Protein (g) 0,3 2,2 Serat (g) 1,0 0,6 Pati (g) 21,7 19,4 Sumber : a. Lingga et al. 1986 b. Muchtadi 1989
Umbi garut sebagian besar diolah menjadi tepung. DKBM (2007) menyebutkan dalam 100 gram tepung umbi garut terkandung kalori (355,00 kal), protein (0,70 g), lemak (0,20 g), karbohidrat (85,20 g), kalsium (8,00 g), fosfor (22,00 g), zat besi (1,50 g), vitamin B1 (0,09 mg), air (13,60 g). Garut juga memiliki kandungan kimia saponin dan flavonoid. Selain diolah menjadi tepung,
19
pati umbi garut juga banyak digunakan oleh masyarakat. Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan -glikosidik (Anggraini 2007). Pati garut merupakan salah satu hasil olahan utama dari umbi garut sebagai salah satu bentuk karbohidrat alami yang murni dan memiliki kekentalan tinggi. Kekentalan dipengaruhi oleh keasamaan air yang digunakan dalam proses pengolahanya (Kay 1973). Kandungan pati dalam umbi garut lebih dari 12% dan proteinnya 1-2% dari bobot kering (Rubatzky et al. 1995 dalam Herminiati 2005). Villamajor & Jurkema (1996) menyatakan bahwa pati garut mengandung mineral kalium dalam jumlah cukup besar. Menurut Kay (1973) pati garut memiliki sifat-sifat, antara lain: (1) mudah larut dan mudah cerna sehingga cocok untuk makanan bayi dan orang sakit, (2) memiliki bentuk oval dengan panjang 15-17 mikron, (3) varietas banana memiliki granula lebih besar dibandingkan varietas creole, (4) suhu awal gelatinisasi adalah 70oC, (5) mudah mengembang jika kena panas dengan daya mengembang 54%, dan (6) ada beberapa syarat untuk kepentingan komersial, yaitu memiliki warna putih bersih, kadar air tidak boleh lebih dari 18,5%, kandungan abu dan serat rendah, pH 4,5-7, kekentalan 512-640 satuan Brabender. Pati garut dapat digunakan sebagai alternatif pengganti tepung terigu dalam penggunaan bahan baku olahan aneka macam kue, mie, roti kering, bubur bayi, glukosa cair, dan diet pengganti nasi. Hal ini didukung oleh penelitian Susanty (2002), Puspowati (2003), dan Sitorus (2004) yang diacu dalam Herminiati (2005) bahwa pati garut dapat dimanfaatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi anak-anak usia 6 sampai 36 bulan melalui pembuatan makan sapihan. C. Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Tanaman torbangun (Coleus amboinicus Lour) biasa disebut ―Torbangun‖ oleh orang Simalungun atau daun bangun-bangun oleh orang Batak Toba dan Karo (Damanik et al. 2001). Dalam bahasa Simalungun, ―Torbangun‖ berasal dari kata ―bangun‖ yang berarti bangkit, dimana mereka percaya bahwa ibu yang baru melahirkan pasti lemah dan membutuhkan kekuatan untuk penyembuhan. Pemberian tanaman torbangun dapat mengembalikan ibu ke kondisi seimbang. Daun torbangun juga telah digunakan oleh masyarakat Batak Sumatera Utara
20
sebagai makanan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI serta status gizi anak yang baru dilahirkan (Damanik 2005).
Gambar 2 Daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) Rumetor
(2008)
menyebutkan,
dalam
daun
tanaman
torbangun
ditemukan tiga komponen utama yang berkhasiat. Komponen pertama adalah senyawa-senyawa yang bersifat laktagogue, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua adalah komponen gizi adapun komponen ketiga adalah komponen farmaseutika (senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna, dan penstabil). Hasil uji fitokimia menunjukkan dalam daun tanaman torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin. Kandungan kimiawi daun torbangun antara lain berupa kalium, minyak atsiri (2%), karvakrol, isoprofil-o-kresol, karvon, limonen, dihidrokarvon, dihidrokarveol, asetaldehida, furol, dan fenol (Adi 2006). Menurut Savithramma et al. (2007), salah satu efek farmakologis tanaman ini adalah dapat mengobati penyakit asma bila 15 mL jus daun torbangun
dicampur
dengan
madu
dan
diminum
dua
kali
per
hari.
menambahkan, campuran jus torbangun dengan madu juga sangat cocok untuk menambah tenaga, sebagai expectorant (melancarkan keluarnya lendir pada saluran pernafasan), mengobati asma, batuk kronis, bronkitis, sakit perut, perut kembung dan rematik. Selain mengandung zat aktif, daun torbangun juga kaya akan kandungan zat gizi. Berikut adalah kandungan gizi daun torbangun. Tabel 3 Kandungan gizi daun torbangun per 100 gram Kandungan gizi Kadar Energi kalori (Kal) 27 Protein (g) 1.3 Lemak (g) 0.6 Karbohidrat (g) 4.0 Zat Besi (mg) 13.6 Magnesium (mg) 62.5 Kalsium(mg) 279 Potasium (mg) 52 Abu (g) 1.6 Serat (g) 1.0
21
Kandungan gizi Karoten total Vitamin B1 (μkg) Vitamin C (mg) Air (%) Berat dapat dimakan(%)
Kadar 13288 0.16 5.1 92.5 66
Sumber: Mahmud et al. (2009)
Minuman Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Menurut Winarno (2008), setiap hari manusia membutuhkan sekitar 2,5 L air, diperkirakan 1,5 L dipenuhi dari air minum dan 1 L sisanya berasal dari bahan makanan. Popkin et al. (2006) menyebutkan, pola konsumsi di Amerika menunjukkan 76% dari total kebutuhan air dipenuhi dari minuman selain air putih (baverage). Jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi berturut-turut adalah air teh (33%), Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) (25%), air kopi (21%), susu (15%) dan jus jeruk (6%). Jenis minuman yang dikombinasikan dengan cookies pada penelitian ini meliputi AMDK, susu cair siap minum (susu UHT), air teh (diseduh dari teh hitam celup), dan air kopi (diseduh dari kopi mix). A. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) BSN (2006) mendefinisi AMDK sebagai air baku yang telah diproses dengan perlakuan khusus, dikemas dalam botol atau kemasan lain serta memenuhi persyaratan sebagai air minum. AMDK terbagi atas dua jenis, air mineral dan air demineral. Air mineral adalah AMDK yang mengandung mineral dengan jumlah tertentu tanpa menambahkan mineral, sementara air demineral adalah AMDK yang diperoleh melalui proses destilasi, deionisasi, reverse osmosis, dan proses setara lainnya. Berikut adalah syarat mutu AMDK yang dituangkan dalam SNI 01-3553-2006. Tabel 4 Syarat mutu AMDK berdasarkan SNI 01-3553-2006 Kriteria Uji Air Mineral Air Demineral Ph 6,0 - 8,5 5,0 – 7,5 Kekeruhan Maks 1,5 NTU Maks 1,5 NTU Zat yang terlarut Maks. 500 mg/L Maks. 10 mg/L Zat organik Maks. 1,0 mg/L Total organik karbon Maks 0,5 mg/L Sumber : BSN (2006)
Secara fisik air mineral dan air demineral nampak sama sehingga keduanya sulit dibedakan, meskipun demikian pada kemasan air mineral akan tertulis jenis dan kadar mineral yang terkandung di dalamnya (Andarwulan 2010). AMDK mungkin mengandung kalsium dan magnesium dalam jumlah yang
22
berbeda-beda. AMDK juga mengandung flouride, namun kadarnya lebih sedikit dari air ledeng yang dimasak pada umumnya. Kalsium, magnesium, dan flouride AMDK dapat diserap dengan baik sehingga berkontribusi memenuhi kebutuhan mineral sehari-hari (Popkin et al. 2006). B. Susu Segar dalam Kemasan (Susu UHT) Susu didefinisikan sebagai produk kelenjar susu (mammary gland) atau sekresi dari kelenjar susu binatang menyusui (Marliyati, Sulaeman & Anwar 1992). Produk susu baik dalam bentuk segar maupun olahan sebagian besar berasal dari sapi. Oleh karena itu, istilah susu biasanya mempunyai pengertian sebagai susu sapi, kecuali bila dinyatakan jenis hewan lainnya di belakang kata susu (Rahman et al. 1992). Lebih lanjut Rahman et al. (1992) menjelaskan, secara kimia susu adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral, dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Komponen utama susu ialah air, lemak, protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu), dan abu. Dibandingkan dengan pangan lain, kalsium di dalam susu tersedia dalam jumlah lebih tinggi dan memiliki bioavailabilitas yang tinggi pula. Meskipun demikian kadarnya sangat bervariasi bergantung pada jenis ternak, umur ternak, waktu pemerahan, urutan pemerahan, musim, makanan ternak, dan penyakit. Secara umum komposisi zat gizi dalam susu dapat dilihat pada tabel 5.
Energi Karbohidrat Protein Lemak Kalsium Fosfor Magnesium Zat Besi Vitamin A Vitamin C Vitamin B1 Riboflavin Niasin Asam Folat Vitamin B12 Vitamin D Vitamin E
Tabel 5 Komposisi susu segar (per 100 mL) Zat Gizi Jumlah 122 Kal 8.6 g 6.6 g 7.0 g 286 mg 120 mg 26.9 mg 3.4 mg 90 RE 2 mg 0.06 mg 0.34 mg 0.16 mg 6 – 16 µg 1.0 µg 1.0 – 8.8 IU 0.16 mg
Sumber : Hardisyah & Briawan (1994) Buckle et al (1987)
Menurut Jonsson (2009), susu tersedia dalam bentuk segar maupun olahan. Produk olahan susu telah berkembang luas sejak lama, antara lain
23
berupa susu bubuk, susu kental manis, susu evaporasi, keju, yoghurt, kefir, dadih, dan sebagainya. Susu segar biasanya berbentuk cair dan tersedia dalam kemasan (ready to drink) ataupun tidak dalam kemasan (loose milk). Jenis susu segar dalam kemasan yang paling umum dikenal adalah susu UHT (Ultra High Temperature). Meningkatnya konsumsi susu cair ready to drink erat kaitannya dengan keamanan, kesehatan, dan kenyamanan. BSN (1998) mendefinisikan susu UHT sebagai produk susu yang diperoleh dengan cara mensterilkan susu minimal pada suhu 135˚C selama 3 detik, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan atau bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta dikemas secara aseptik. Berdasarkan rasanya, susu UHT diklasifikasikan menjadi susu UHT tawar dan berpenyedap citarasa. Komarudin (2000) menambahkan, rasa susu yang paling disukai adalah rasa coklat. Berikut adalah syarat mutu susu UHT yang ditetapkan BSN dalam SNI 01-3950-1998. Tabel 6 Syarat mutu susu UHT berdasarkan SNI 01-3950-1998 Kriteria Uji Protein Lemak Berat kering tanpa lemak Total padatan Seng (Zn)
Persyaratan Kadar Susu UHT tawar Susu UHT bercitarasa Min. 2,7 (%b/b) Min. 2,4 (%b/b) Min. 3,0 (%b/b) Min. 2,0 (%b/b) Min. 8,0 (%b/b) Min. 12 Maks. 40,0 mg/Kg Maks. 40,0 mg/Kg
Sumber : BSN (1998)
C. Teh Hitam Celup Teh merupakan jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi setelah air, kurang lebih 120 mL/hari/kapita (McKay & Blumberg 2002). Agustina (2010) menyebutkan, berdasarkan tingkat oksidasinya teh diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu teh putih (tidak mengalami proses oksidasi sama sekali), teh hijau (mengalami proses oksidasi minimal), teh oolong (mengalami proses oksidasi sebagian) dan teh hitam (teroksidasi sempurna). McKay & Blumberg (2002) menambahkan, diantara jenis teh tersebut, teh hitam merupakan jenis teh yang paling banyak dikonsumsi (76 – 78%), disusul teh hijau (20 - 22%), dan teh oolong (< 2 %). Berdasarkan jenis kemasannya, teh dapat dibedakan menjadi teh celup, teh seduh, teh pres, teh stik, dan teh instant. Teh celup adalah teh yang dikemas dalam kantong kecil dari kertas. Teh celup merupakan jenis teh kemasan yang populer dan paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena praktis (Agustina 2010). BSN (1995) dalam SNI 01-3753-1995 mendefinisikan teh hitam
24
celup sebagai teh kering hasil fermentasi pucuk dan daun muda termasuk tangkai tanaman teh (Theasinensis L sims) yang dikemas dalam kantong khusus untuk dicelup. Berikut adalah syarat mutu teh hitam celup yang ditetapkan BSN dalam SNI 01-3753-1995. Tabel 7 Syarat mutu teh celup hitam berdasarkan SNI 01-3753-1995 Kriteria Uji Persyaratan Kadar Ekstrak dalam air Min. 32 (%b/b) Air Maks. 10 (%b/b) Serat kasar Maks. 16,5 (%b/b) Abu 4 – 8 (%b/b) Abu larut dalam air Min. 45 (%b/b) Abu tidak larut dalam air Maks. 1,0 (%b/b) Sumber : BSN (1995)
Komponen kimia yang terkandung dalam daun teh terdiri dari substansi fenol (flavonol yang terdiri dari katekin dan isomernya), substansi bukan fenol (karbohidrat, pektin, alkaloid, protein, klorofil, dan mineral), substansi aromatis dan enzim. Komponen kimia tersebut bervariasi jumlahnya, bergantung pada jenis klon, variasi musim dan kondisi tanah, perlakuan kultur teknis, umur daun, dan banyaknya sinar matahari yang diterima. Komponen kimia daun teh segar akan sangat berpengaruh terhadap mutu teh (warna, flavor, dan rangsangan seduhan teh) meliputi yang dihasilkan (Nasution & Tjiptadi 1975). Berikut adalah komposisi komponen kimia daun teh segar dan daun teh hitam : Tabel 8 Komposisi komponen kimia daun teh segar dan daun teh hitam Komponen Daun Segar (%) Teh Hitam (%) Selulosa & serat kasar 34 34 Protein 17 16 Klorofil dan pigmen 1,5 1 Pati 8,5 0,25 Tanin 25 18 Tanin teroksidasi 0 4 Kafein 4 4 Asam amino 8 9 Mineral 4 4 Abu 5,5 5,5 Sumber : Nasution & Tjiptadi (1975)
Hasil penelitian Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Jawa Barat menunjukkan bahwa kandungan polifenol pada teh Indonesia kurang lebih 1.34 kali lebih tinggi dibandingkan teh dari negara lain (PPTK 2008). Katekin merupakan senyawa polifenol utama pada teh, mencapai 90% dari total kandungan polifenol. Katekin menyusun 20-30 persen dari berat kering daun teh dan merupakan senyawa terpenting dalam menentukan perubahan rasa, warna, dan aroma teh. Katekin adalah tanin yang tidak mempunyai sifat menyamak atau
25
menggumpalkan protein, berbeda dengan tanin yang terdapat pada tumbuhantumbuhan lainnya (Kustamiyati 1987). Tanin sendiri merupakan salah satu komponen asam amino yang terdapat pada daun teh hijau. Tanin hanya terdapat dalam bentuk bebas (non protein) dan sekitar 50% dari total asam amino bebas dalam teh adalah tanin. Setiap 3 – 4 cangkir teh hijau mengandung 100 – 200 mg tanin. Tanin diketahui dapat mengurangi kecemasan terutama pada wanita muda, mengurangi tekanan darah tinggi dan meningkatkan konsentrasi dan belajar. Meskipun demikian, Williams (1995) menyatakan kandungan tanin yang tinggi dalam teh dapat menurunkan abosorbsi zat besi teh hingga 60%. D. Kopi Mix Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae, terdiri banyak jenis kopi namun yang paling umum dikenal adalah jenis Arabica, Robusta dan Liberica (Ridwansyah 2003). Industri pengolahan kopi pada umumnya menggunakan bahan baku biji kopi Arabika dan Robusta dengan komposisi perbandingan tertentu. Kopi Arabika digunakan sebagai sumber citra rasa, sedangkan kopi Robusta digunakan sebagai campuran untuk memperkuat body. Kopi Arabika memiliki citra rasa yang lebih baik, tetapi memiliki body yang lebih lemah dibandingkan kopi Robusta (Deperindag 2009). Deperindag (2009) menyebutkan, saat ini diversifikasi produk kopi olahan meliputi kopi bubuk, kopi instan, kopi biji matang (roasted coffee), kopi tiruan, kopi rendah kafein (decaffeinated coffee), kopi mix, kopi celup, ekstrak kopi, minuman kopi dalam botol dan produk turunan lainnya. BSN (1998) mendefinisikan kopi mix sebagai produk berbentuk serbuk, mudah larut dalam air, merupakan campuran kopi dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan. Berikut adalah syarat mutu teh hitam celup yang ditetapkan BSN (1998) dalam SNI 01-4446-1998. .
Air Abu Kafein Seng (Zn)
Tabel 9 Syarat mutu kopi mix berdasarka SNI 01-4446-1998 Kriteria Uji Persyaratan Kadar Maks. 7,0 (%b/b) Min. 3,0 (%b/b) Min. 0,1 (%b/b) Maks. 40 mg/Kg
Sumber : BSN (1998)
Kopi mix dikenal dengan berbagai istilah, misalnya kopi gula (duo), kopi gula susu (duo susu), dan kopi gula kreamer (tree in one). Jenis – jenis kopi di atas umumnya disajikan dalam kemasan, berupa produk berbentuk bubuk yang berisi campuran kopi murni/instant, gula/pemanis, susu/krim, dan devariasinya
26
dengan atau tanpa tambahan pangan lain yang diizinkan (Anwar & Khomsan 2009). Kandungan biji kopi yang terpenting adalah kafein yang berfungsi sebagai perangsang dan kafeol sebagai unsure flavor dan aroma. Kafein adalah kristal berwarna putih, mempunyai rasa pahit dan tergolong jenis alkaloid yang penting dalam bahan obat-obatan. Kadar kafein dalam kopi robusta jauh lebih besar daripada kopi arabika. Semakin kecil kadar kafein, rasa kopi akan semakin enak Clarke & Macrae (1987). Kafein yang terkandung pada teh sebenarnya lebih besar dibandingkan pada kopi, mencapai 2 – 4% sementara kopi hanya 1,1 – 2 % bobot kering. Meskipun demikian, karena jumlah kopi yang dibutuhkan untuk membuat secangkir minuman lebih banyak dibandikan jumlah teh pada takaran air yang sama, maka kadar kafein pada kopi seduhan lebih tinggi dibandingkan teh seduhan. Secangkir kopi instant (240 mL) mengandung kafein 62-75 mg/cangkir, lebih rendah dibandingkan kopi yang diseduh dengan sistem saring-tetes (filterdrip) mengandung kafein 85-140 mg/cangkir namun, akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan secangkir teh (240 mL) yang hanya mengandung kafein 970 mg/cangkir (Wijaya 2009). Kafein dalam kopi dapat memberi efek simultan psikoaktif atau memberi efek ―jaga‖ (alert), tidak mengantuk, dan diuretik (meningkatan kecepatan produksi urin) pada manusia maupun hewan. Oleh karena kafein juga merupakan simultan metabolik dan sistem syaraf pusat maka kafein dapat digunakan untuk pengobatan dengan tujuan mengurangi kelelahan dan mengembalikan keterjagaan mental (Muchtadi 2009). Meskipun demikian Anwar & Khomsan (2009) mengingatkan, kafein juga mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh dengan menstimulasi pernafasan dan jantung sehingga kelompok yang sensitif terhadap kopi akan merasa efek samping gelisah, tidak dapat tidur dan denyut jantung tidak teratur. Selain itu kopi juga merangsang pengeluaran asam lambung dan jika berlebihan dapat mengakibatkan luka lambung, atau penyakit lambung lainnya. Anwar & Khomsan (2009) menyebutkan konsumsi kafein sebanyak 150 250 mg/hari dapat mengurangi kelelahan, menstimulir pancaindra, dan meningkatkan aktivitas motorik tubuh. Meskipun demikian, jika kafein dikonsumsi 200 -500 mg/hari dapat menyebabkan sakit kepala tubuh gemetar, perasaan gelisah dan gugup. Konsumsi kafein mencapai 1000 mg/hari akan menimbulkan
27
kafeinisme (gejala keracunan kafein seperti insomnia, sakit kepala tubuh gemetar, perasaan gelisah dan gugup dan mudah tersinggung). Anwar & Khomsan (2009) menambahkan, kopi yang diminum sewaktu makan dapat meningkatkan pembuangan kalsium dari tubuh. Senada dengan pernyataan di atas, hasil penelitian Rapuri et al. (2001) menunjukkan bahwa konsumsi kafein >300 mg/hari dapat menyebabkan kehilangan mineral, khususnya kalsium, lebih banyak dari tulang (bone loss). Oleh karena itu Massey (2001) menyarankan, konsumsi kafein pada level sedang (< 300 mg/hari) atau setara dengan 475 mL kopi seduh, 946 mL teh seduh, dan 355 mL soft drink yang mengandung kafein.