Prosiding Skripsi Semester Genap 2010/2011
SK -091304
STUDI PENDAHULUAN ADSORPSI KATION Ca DAN Mg (PENYEBAB KESADAHAN) MENGGUNAKAN SELULOSA BAKTERIAL NATA DE COCO DENGAN METODE BATCH Sulistiyana*, Ita Ulfin 1 Jurusan Kimia Fakultas M atematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABS TRAK Pada penelitian ini telah dilakukan adsorpsi kation Ca dan M g (penyebab kesadahan) dengan memanfaatkan nata de coco sebagai adsorben menggunakan metode batch. Selain itu dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran luas permukaan adsorben selulosa bakterial nata de coco menggunakan metode metilen biru. Luas permukaan yang diperoleh dari pengukuran ini adalah 11,5945 m2/gr adsorben pada waktu optimum adsorpsi metilen biru 40 menit. Adsorben selulosa bakterial nata de coco mampu mengurangi kadar Ca dengan kapasitas adsorpsi 27,466 mg/gr dengan konsentrasi awal 400 mg/L serta mengurangi kadar M g dengan kapasitas adsorpsi 18,944 mg/gr dengan konsentrasi awal 300 mg/L. Adsorpsi kation Ca dan M g ini dilakukan pada waktu optimum yang sama yaitu 30 menit. Kata kunci: Nata de coco, Selulosa bakterial, Adsorpsi, Pengurangan kadar Ca dan M g ABS TRACT This research aims to utilize nata de coco as an adsorbent for Ca and M g cation (cause of hardness), using batch method. Besides that, in this research also have been done wide surface measurement of bacterial cellulose nata de coco with metilen blue method. Wide surface was gotten from this measurement is 11,5945 m2/gr at the optimum time adsorption of metilen blue 40 minutes. This adsorbent can reduce Ca with adsorption capacity 27,466 mg/gr at consentration 400 mg/L and reduces M g with adsorption capacity 18,944 mg/gr at consentration 300 mg/L. Adsorption of Ca and M g cation have been done at the same optimum time, 30 minutes. Key words: Nata de coco, Bacterial cellulose, Adsorption of Ca and M g
I. PENDAHULUAN M anusia dalam kehidupan sehari-hari memerlukan air untuk berbagai keperluan mulai dari air minum, mencuci, mandi dan lain-lain. Sumber-sumber air tersebut antara lain air permukaan, air angkasa (air hujan) dan air tanah (air sumur). Air tanah lebih banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut karena secara kualitas lebih baik dibanding sumber air yang lain (Kusnaedi, 2002). Berdasarkan data statistik 1995 (SUPAS 1995), prosentase banyaknya rumah tangga dan sumber air yang digunakan di berbagai daerah di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari kondisi geografisnya. Rinciannya adalah sebagai berikut : pengguna air ledeng (PAM ) 16,08%, air tanah dengan menggunakan pompa 11,61%, air sumur (perigi) 49,92%, mata air (air sumber) 13,92%, air sungai 4,91%, air hujan 2,62% dan lainnya 0,08% (Said dan Yudo, 2008). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memanfaatkan air sumur untuk memenuhi kebutuhan air dalam rumah tangga. Air sumur di daerah pantai pada umumnya mengalami proses intrusi dari air laut sehingga air tanah yang semula tawar berubah menjadi air payau. Air payau atau brackish water adalah air yang mempunyai salinitas antara 0,5 ppt s/d 17 ppt. Air ini banyak dijumpai di beberapa daerah seperti pertambakan, estuary (pertemuan air laut dan air tawar) serta sumur-sumur penduduk di pulau-pulau kecil atau pesisir yang telah * Corresponding author Phone : +6285645860755, e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
air laut. Pada umumnya komposisi kimia air payau yang perlu diperhatikan dalam pengolahan adalah kandungan Cl, Ca, M g, dan Na (Jamali, A., Astuti, W., dan Amin, M ., 2003). Hal ini bisa terjadi dikarenakan air tanah dalam proses pengambilannya dari dalam tanah melewati berbagai lapis tanah diantaranya adalah tanah kapur yang mengandung Ca dan M g, sehingga air tersebut menjadi sadah. Selain itu, untuk air tanah yag terintrusi air laut (air payau) juga mengandung tingkat kesadahan yang tinggi, karena terintrusi ion Ca dan M g dari air laut yang sarat mineral. Kadar kesadahan air ini berbeda – beda di mas ing – masing tempat tergantung pada kondisi tanah daerah tersebut. Kesadahan dalam air menunjukkan bahwa terjadi kontak antara formasi geologi dengan badan air tersebut. Ambang batas maksimum kesadahan air yang dianjurkan adalah 350 mg/L. Apabila kadar kesadahan air melewati batas maksimum, maka perlu diturunkan kadarnya yang biasa disebut dengan pelunakan air (water softening) (Astuti, 2005). M asalah yang timbul karena tingginya kadar kesadahan dalam air antara lain timbulnya kerak pada ketel atau alat masak lain jika air digunakan untuk memasak. Secara ekonomi dan teknis, hal ini sangat merugikan karena adanya kerak pada ketel atau alat masak akan menyebabkan transfer panas terhambat sehingga panas yang dibutuhkan harus lebih tinggi sehingga dibutuhkan bahan bakar yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama. Selain itu tingginya kadar kesadahan dalam air juga menyebabkan sabun kurang berbusa jika air digunakan untuk mencuci. M ineral air sadah seperti ion Ca dan M g dapat bereaksi dengan anion sabun, yang dapat menurunkan efisiensi pembersihan sehingga memerlukan sabun lebih banyak untuk mencuci (Park et al., 2007). Dalam skala rumah
tangga, hal ini mungkin tidak terlalu dirasakan tetapi dalam skala industri, kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Berbagai metode telah diaplikasikan secara luas untuk mengurangi kadar ion Ca dan M g dalam air, antara lain: presipitasi menggunakan bahan kimia. Penggunaan metode presipitasi memiliki kelemahan pada pemilihan bahan pengendapnya karena penggunaan bahan kimia tambahan dibatasi untuk tujuan air minum (Gabrielli et al., 2006; Ghizellaoui et al., 2005; Park et al., 2007). Selain itu modifikasi proses adsorpsi telah dilakukan, seperti dengan adsorben serbuk sekam padi yang direndam dengan larutan NaOH 40% selama 2 jam diperoleh kapasitas adsorpsi untuk ion Ca 12,18 mg/g dan ion M g 11,84 mg/g (Bahtiar, 2008), menggunakan filter tembikar dengan % adsorpsi Ca sebesar 8,9% (Kiuk, 2008). M etode lain yang juga sering digunakan adalah pertukaran ion seperti yang telah dilakukan Widi Astuti (2005) menggunakan zeolit alam Lampung teraktivasi dengan konversi hasil pelunakan sebesar 76,5%. Penelitian tentang pengolahan air payau juga telah dilakukan oleh Yusuf dkk (2006) menggunakan membran reverse osmosis untuk mengurangi kadar Cl dan TDS dengan kemampuan pengurangan Cl sebesar 57,89 % dan TDS sebesar 58,59 %. Kemampuan pengurangan yang dicapai oleh membran ini cukup tinggi, sehingga memungkinkan membran ini juga mampu mengurangi kadar ion Ca dan M g penyebab kesadahan dalam air. Namun metode ini memiliki kekurangan yaitu penggunaan bahan dasar membran berupa selulosa yang berasal dari tumbuhan. Padahal penebangan hutan telah menjadi masalah yang sulit terpecahkan. Oleh karena itu, perlu dikaji apakah selulosa yang berasal dari bakteri (selulosa bakterial) juga mampu digunakan sebagai adsorben untuk adsorpsi. Dalam penelitian ini dilakukan studi pendahuluan apakah selulosa bakterial nata de coco mampu mengurangi kadar Ca dan M g penyebab kesadahan yang nantinya dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengurangi kadar kesadahan dalam air. Salah satu sumber alternatif bagi penyediaan selulosa bakterial adalah nata de coco. Bahan ini mudah dibuat, mudah diolah, dan mudah diperoleh dengan biaya produksi yang lebih murah. Studi mendalam terhadap nata de coco untuk berbagai bidang aplikasi sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk nata de coco dan tidak terbatas pada pemanfaatannya sebagai produk makanan (Pisesidharta, E., Zulfikar, Kuswandi, B., 2003). Selulosa bakterial mempunyai struktur kimia yang sama seperti selulosa yang berasal dari tumbuhan, dan merupakan polisakarida berantai lurus yang tersusun oleh molekul Dglukosa melalui ikatan β -1,4 (Phillips, G.O., and Williams, P.A., 2000). Oleh karena itu memungkinkan bagi selulosa bakterial untuk digunakan sebagai material adsorben untuk mengurangi ion Ca dan M g penyebab kesadahan dalam air. Pada penelitian ini dilakukan studi pendahuluan adsorpsi kation Ca dan M g (penyebab kesadahan) dengan memanfaatkan selulosa bakterial nata de coco sebagai adsorben menggunakan metode batch. II METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beker gelas, pipet tetes, pipet volum, pengaduk, labu ukur, kaca arloji, kertas saring, pH meter, neraca timbang, magnetik stirer, hot plate magnetik, wadah pencetak nata de coco. Sedangkan instrumen yang digunakan untuk pengujian kapasitas adsorpsi meliputi Spektrofotometer UV-vis, Spektroskopi Serapan Atom (SSA), dan spektroskopi FTIR. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
2.1.2 Bahan Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit nata de coco, urea, gula pasir, asam cuka komersial, aqua DM , pelet NaOH, HNO 3 65%, H 2SO4 98%, etanol 96%, HCl 37%, padatan M gCl2·6H2O, padatan CaCl2·2H 2O, padatan La2O3, larutan stok standar Ca 1000 mg/L, dan larutan stok standar M g 1000 mg/L. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Pembuatan nata de coco Air kelapa yang sudah disaring diambil sebanyak 5 liter, lalu ditambahkan 500 gram gula pasir dan 20,0009 gram urea, dipanaskan hingga mendidih sambil diaduk hingga larut sempurna, larutan tersebut didinginkan hingga suhu kamar. Kemudian ditambahkan asam cuka komersial hingga pH menjadi 4, lalu ditambah 10% starter nata de coco (Acetobacter xylinum). Berikutnya dilakukan fermentasi selama 3 minggu. Nata yang dihasilkan dipotong kecil – kecil dicuci dengan air sampai pH netral. Selanjutnya dibersihkan berulang kali dengan menggunakan larutan NaOH 2% dan dibilas dengan aquades hingga pH netral. Pada tahap akhir nata de coco dicuci dengan etanol (Pisesidharta dkk, 2003). 2.2.2 Preparasi nata de coco untuk Adsorpsi Nata basah sebanyak 20,0013 gram didegradasi secara mekanik menggunakan blender, lalu diaktivasi dengan 100 mL H 2 SO4 1 N di stirer selama 1 jam. Setelah itu disaring dan dikeringkan pada suhu 50-60°C. nata de coco siap digunakan untuk proses adsorpsi (Pisesidharta dkk, 2003). 2.2.3 Penentuan Luas Permukaan Adsorben nata de coco Dengan Metode Metilen Biru 2.2.3.1 Pembuatan Larutan Induk 100 mg/L Padatan metilen biru ditimbang sebanyak 0,1002 gram lalu dilarutkan dengan 20 mL aquades dan diaduk hingga larut. Setelah itu larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL dan diencerkan hingga tanda batas. 2.2.3.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Metilen Biru Larutan induk 100 mg/L diambil 3 mL lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan spektronik genesis 20D pada rentang panjang gelombang 500 – 700 nm (dengan range 10) dan dipersempit menjadi range 1 di sekitar λmaks. 2.2.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Metilen Biru Larutan induk 100 mg/L dipipet sebanyak 1 ; 2 ; 3 ; 4 ; 5 mL dan masing – masing dimasukkan ke dalam 5 labu ukur 100 mL lalu diencerkan dengan aquades hingga tanda batas. Setelah itu diukur absorbansinya dengan spektronik 20D pada λmaks yang telah diperoleh. 2.2.3.4 Pengukuran Luas Permukaan Adsorben selulosa bakterial nata de coco ditimbang 0,1 gram dan dimasukkan ke dalam 20 mL larutan metilen biru 100 mg/L. Setelah itu larutan diaduk dengan variasi waktu 10 ; 20 ; 30 ; 40 ; 50 dan 75 menit. Kemudian larutan disaring, filtratnya diencerkan 20x dan diukur absorbansinya dengan spektronik 20D pada λ maks yang telah diperoleh. 2.2.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Ca dan Mg 2.2.4.1 Kurva Kalibrasi Mg Larutan standar M g 1000 mg/L diambil 2,5 mL dan diencerkan dalam labu ukur 50 mL hingga tanda batas untuk memperoleh larutan M g 50 mg/L. Setelah itu larutan M g 50 mg/L diambil 0,4 ; 0,8 ;1,2 ; 1,6 dan 2,0 mL dan diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 50 mL hingga tanda batas untuk memperoleh larutan standar M g 0,4 ; 0,8 ; 1,2 ; 1,6 dan 2,0 mg/L. Diukur absorbansinya dengan AAS pada λ = 285,25 nm. Untuk tiap pengukuran ditambah larutan La2O3 10% dari jumlah standar dan blanko yang digunakan.
2.2.4.2 Kurva Kalibrasi Ca Larutan standar Ca 1000 mg/L diambil 2,5 mL dan diencerkan menjadi 50 mL dengan labu ukur untuk memperoleh larutan Ca 50 mg/L. Kemudian larutan Ca 50 mg/L diambil 2,5 ; 4,0 ; 5,0 ; 6,0 ; 7,5 mL dan diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 25 mL hingga tanda batas untuk memperoleh larutan standar Ca 5 mg/L ; 8 mg/L ; 10 mg/L ; 12 mg/L dan 15 mg/L. Diukur absorbansinya dengan AAS pada λ = 422,72 nm. Untuk tiap pengukuran ditambah larutan La2O 3 10% dari jumlah standar dan blanko yang digunakan. 2.2.5 Proses Adsorpsi 2.2.5.1 Variasi Waktu Kontak Larutan campuran M g 300 mg/L dan Ca 400 mg/L diambil 25 mL sebanyak 5 kali diletakkan pada erlenmeyer 100 mL. Kemudian ditambah 0,5 gram nata teraktivasi dan distirer dengan variasi waktu 15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 120 menit. Setiap variasi waktu diulangi dua kali. Setelah itu larutan disaring lalu filtratnya diencerkan 50 kali lalu dianalisa dengan AAS pada λ = 422,72 nm untuk analisa kadar sisa Ca dan filtrat diencerkan 250x lalu diukur pada = 285,25 nm untuk menganalisa kadar sisa M g. Untuk tiap pengukuran ditambah La2O3 10% dari jumlah sampel. 2.2.5.2 Penentuan Kapasitas Adsorpsi Selulosa Bakterial Nata De Coco Larutan campuran M g 300 mg/L dan Ca 400 mg/L diambil 25 mL sebanyak 9 kali diletakkan pada erlenmeyer 100 mL yang telah diberi label 1 sampai 9. Kemudian larutan dalam erlenmeyer 1 ditambah dengan 0,5000 gram nata teraktivasi lalu distirer pada waktu optimum y ang telah diperoleh, kemudian disaring dan nata dimasukkan lagi ke dalam larutan segar pada erlenmeyer 2 dengan perlakuan yang sama hingga erlenmeyer 9. Penentuan kapasitas adsorpsi ini diulangi dua kali. Setelah itu masing – masing filtrat diencerkan 40 kali lalu dianalisa dengan AAS pada λ = 422,72 nm untuk analisa kadar sisa Ca dan filtrat diencerkan 200x lalu diukur pada = 285,25 nm untuk menganalisa kadar sisa M g. Untuk tiap pengukuran ditambah La2O3 10% dari jumlah sampel. III HAS IL D AN PEMBAHAS AN 3.1 Pembuatan nata de coco Selulosa bakterial nata de coco dibuat dengan menanam starter nata de coco komersial (bakteri Acetobacter xylinum) ke dalam air kelapa yang sudah ditambah gula sebagai sumber karbon dan urea sebagai sumber nitrogen serta sudah d irebus dan pH diatur sekitar 4. pH diatur sekitar 4 karena bakteri Acetobacter xylinum mampu tumbuh dengan baik pada pH 3 - 4. Pada pH di atas 4 atau di bawah 3, proses fermentasi tidak akan berjalan sempurna (Warisno, 2004). Suhu optimum pertumbuhan bakteri ini adalah 26 - 27oC, oleh karena itu dalam penelitian ini air kelapa yang sudah direbus didinginkan terlebih dahulu baru ditanamkan bakteri Acetobacter xylinum ke dalamnya. Setelah fermentasi 2 hari sudah terlihat adanya lapisan pelikel yang mengambang pada permukaan media. Dalam penelitian ini sumber glukosa yang digunakan adalah sukrosa dimana tahap awal sukrosa mengalami hidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. C12H22O 11 + H 2O C6H 12O6 + C6H 12O6 Sukrosa glukosa fruktosa Reaksi secara umum terbentuknya selulosa dari glukosa dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
CH2O H OH CH 2 O CH 2O Acetobacter xylinum O O H O O H H O OH H OH H H H OH H H OH H OH H H O H H O H OH H OH CH 2 O H OH H OH H
Glukosa
n
Selulosa Bakteri
Gambar 3.1 Reaksi pembentukan selulosa bakteri 3.2 Aktivasi S elulosa Bakterial Selulosa bakterial nata de coco yang telah dibuat dengan metode standar ini kemudian dicuci dengan air hingga pH netral lalu dicuci dengan NaOH 2% berkali – kali dan dibilas dengan akuades hingga pH netral. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan komponen – komponen non selulosa dan sisa bakteri yang masih ada. Komponen – komponen non selulosa ini diperkirakan akan menghalangi ikatan hidrogen yang terjadi antar rantai molekul selulosa yang mengakibatkan menurunnya kekuatan sifat mekanis selulosa. Selulosa bakterial nata de coco yang telah dicuci kemudian diaktivasi menggunakan beberapa proses antara lain pencucian dan perendaman dengan etanol, degradasi mekanik, serta perendaman dengan asam sulfat. Aktivasi pertama yang dilakukan adalah selulosa bakterial nata de coco dicuci dan direndam dengan etanol absolut. Pencucian dan perendaman ini bertujuan untuk menggantikan molekul air yang terperangkap di dalam poripori selulosa bakterial nata de coco serta mencegahnya agar tidak kembali. Tahap modifikasi berikutnya akan berlangsung proses reaksi dimana selulosa bakterial nata de coco berada dalam kondisi yang bebas air. Keberadaan etanol di dalam jaringan polimer nata juga akan menghasilkan jarak antar bidang rantai selulosa bakterial nata de coco semakin renggang. Akibatnya, penetrasi reaktan yang digunakan pada tahap berikutnya menjadi lebih mudah. Proses aktivasi selanjutnya adalah degradasi mekanik menggunakan blender. Degradasi mekanik ini bertujuan untuk memperluas permukaan selulosa bakterial nata de coco dalam melangsungkan interaksi dengan reaktan. Proses aktivasi terakhir, selulosa bakterial nata de coco diaktivasi menggunakan asam sulfat 1N diaduk konstan selama 1 jam. Aktivasi ini bertujuan untuk memperpendek rantai selulosa bakterial nata de coco karena selama proses aktivasi terjadi rekasi hidrolisis menghasilkan rantai selulosa bakterial nata de coco yang lebih pendek. Reaksi ini juga menghasilkan gugus - gugus hidroksil bebas akibat adanya proses pemecahan ikatan – ikatan hidrogen intraseluler maupun ekstraseluler selulosa bakterial nata de coco. Selulosa bakterial nata de coco yang diperoleh dari proses aktivasi ini memiliki sifat mekanik yang lebih rapuh dibanding sebelum diaktivasi dengan asam sulfat karena mengalami degradasi struktur pada saat reaksi hidrolisis. Selanjutnya selulosa bakterial nata de coco yang telah diaktivasi ditentukan luas permukaannya dengan menggunakan metode metilen biru. 3.3 Penentuan Luas Permukaan Selulosa Bakterial Dengan Metilen Biru (MB) 3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Metilen Biru Panjang gelombang maksimum larutan metilen biru ditentukan dengan menggunakan larutan metilen biru 3 mg/L dan diukur absorbansinya pada λ 500 nm -700 nm. Berikut ini adalah kurva dari penentuan λmaks larutan metilen biru yang ditunjukkan pada gambar 3.2 berikut:
absorbansi
1,0
0,8 0,6 0,4
y = 0,1867x – 0,0323 r = 0,9979
0,2 0,0 0
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
2
3
4
5
konsentrasi (mg/L)
6
Gambar 3.3 Kurva kalibrasi larutan standar metilen biru Berdasarkan persamaan garis regresi kurva kalibrasi dilakukan uji keberartian (uji-t) terhadap nilai-nilai koefisien regresi dengan selang kepercayaan 95% dengan derajat kebebasan 4, maka diperoleh nilai t hitung > t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan linier yang baik antara konsentrasi larutan standar metilen biru dengan absorbansinya, sehingga kurva kalibrasi ini dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi metilen biru dalam larutan cuplikan. 3.3.3 Penentuan Luas Permukaan Selulosa Bakterial Luas permukaan selulosa bakterial nata de coco ditentukan dengan menggunakan metode metilen biru yaitu seberapa banyak metilen biru yang terserap per 0,1 gram selulosa bakterial. Analisa ini dilakukan pada berbagai variasi waktu kontak untuk mengetahui penyerapan optimumnya. Variasi waktu kontak yang digunakan adalah 10 ; 20 ; 30 ; 40 ; 50 dan 75 menit. Sedangkan konsentrasi larutan metilen biru yang digunakan adalah 100 mg/L volume 20 mL dengan berat selulosa bakterial 0,1 gr. Data hasil analisa optimasi waktu kontak ditunjukkan dalam tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2 Penentuan luas permukaan adsorben selulosa bakterial nata de coco Waktu kontak Xm rata – rata S rata – rata (menit) (mg/gr) (m2/gr) 10 2,6415 9,7774 20 2,7994 10,3619 30 2,8576 10,5775 40 3,3124 11,5945 50 3,0742 11,3792 75 3,0448 11,2705 Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara waktu kontak dengan luas permukaan adsorben selulosa bakterial yang ditunjukkan pada gambar 3.4 berikut: 14
Luas permukaan (m2/gr)
Gambar 3.2 Penentuan panjang gelombang maksimum larutan metilen biru (3 mg/L) Dari kurva diatas dapat dilihat panjang gelombang maksimum untuk metilen biru adalah 664 nm. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi paling besar terletak pada panjang gelombang maksimum sehingga diperoleh kepekaan analisis yang maksimal. Di samping itu pita serapan di sekitar panjang gelombang maksimum datar dan apabila dilakukan pengukuran ulang terdapat kesalahan yang kecil sehingga memenuhi hukum lambert beer. 3.3.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Metilen Biru Sebelum menentukan luas permukaan selulosa nata de coco menggunakan metilen biru, maka terlebih dahulu diukur serapan larutan standar metilen biru pada panjang gelombang maksimum yaitu 664 nm. Pembuatan kurva ini didapatkan dengan mengukur besarnya serapan larutan metilen biru yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 mg/L, pengukuran menggunakan spektronik genesis 20D. Selanjutnya data absorbansi dari masing – masing larutan standar metilen biru dibuat kurva berdasarkan hukum lambert beer sehingga dihasilkan persamaan garis melalui regresi linier. Berikut ini data absorbansi dari larutan standar metilen biru yang ditunjukkan pada tabel 3.1 berikut ini : Tabel 3.1 Absorbansi standar larutan metilen biru Konsentrasi M B (mg/L) Absorbansi (λ = 664 nm) 0,000 0,000 1,000 0,140 2,000 0,314 3,000 0,510 4,000 0,728 5,000 0,915 Selanjutnya dibuat kurva standar dengan konsentrasi metilen biru sebagai sumbu x dan nilai absorbansinya sebagai sumbu y yang ditunjukkan pada gambar 3.3. Keabsahan kurva kalibrasi di atas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi (r) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan huungan antara konsentrasi larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dinyatakan sempurna jika nilai r mendekati +1, sedangkan nilai nol menyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan data dan perhitungan didapatkan persamaan regresi linier larutan standar metilen biru adalah y = 0,1867x – 0,0323 dengan nilai r = 0,9979. Harga r yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik - titik pada kurva kalibrasi mendekati lerengnya.
1
12
10 8 6
4 2 0 0
20
40 60 80 waktu kontak (menit) Gambar 3.4 Kurva penentuan luas permukaan optimum adsorben selulosa bakterial nata de coco Dari kurva tersebut diperoleh luas permukaan optimum adsorben selulosa bakterial sebesar 11,5945 m2/gr. Setelah diketahui luas permukaan selulosa bakterial nata de
1,2
absorbansi
1 0,8
0,6 y = 0,4776x + 0,0383 r = 0,9969
0,4 0,2 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
konsentrasi Mg (mg/L) Gambar 3.5 Kurva kalibrasi larutan standar M g Keabsahan kurva kalibrasi di atas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi (r) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dinyatakan sempurna jika nilai r mendekati +1, sedangkan nilai nol menyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan data dan perhitungan didapatkan persamaan regresi linier larutan standar M g adalah y = 0,4776x + 0,0383 dengan nilai r = 0,9969. Harga r yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik - titik pada kurva kalibrasi mendekati lerengnya. Berdasarkan persamaan garis regresi kurva kalibrasi dilakukan uji keberartian (uji-t) terhadap nilai - nilai koefisien regresi dengan selang kepercayaan 95% dengan derajat kebebasan 4, maka diperoleh nilai t hitung > t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan linier yang baik antara konsentrasi laruan standar M g dengan absorbansinya, sehingga kurva kalibrasi ini dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi M g dalam larutan cuplikan. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
3.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Ca Sebelum menentukan kadar ion Ca yang terserap oleh adsorben, maka terlebih dahulu diukur serapan larutan standar Ca pada panjang gelombang maksimum yaitu 422,72 nm untuk membuat kurva kalibrasi. Pembuatan kurva ini didapatkan dengan mengukur besarnya serap an larutan standar Ca yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0, 5, 8, 10, 12, dan 15 mg/L, pengukuran menggunakan instrumen SSA. Selanjutnya data absorbansi dari masing – masing larutan standar Ca dibuat kurva berdasarkan hukum lambert beer sehingga dihasilkan persamaan garis melalui regresi linier. Berikut ini data absorbansi dari larutan standar Ca yang ditunjukkan pada tabel 3.4 berikut ini : Tabel 3.4 Absorbansi larutan standar Ca (λ = 422,72 nm) Konsentrasi Ca (mg/L) Absorbansi 0 0,0000 5 0,2074 8 0,3617 10 0,4307 12 0,5023 15 0,6793 Selanjutnya dibuat kurva standar dengan konsentrasi standar Ca sebagai sumbu x dan nilai absorbansinya sebagai sumbu y yang ditunjukkan pada gambar 3.6 berikut:
Absorbansi
coco selanjutnya dilakukan adsorpsi Ca dan M g menggunakan adsorben tersebut. Kadar Ca dan M g yang terserap oleh adsorben dapat diketahui dengan metode SSA yang sebelumnya sudah dibuat kurva kalibrasi masing – masing logam. 3.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Mg dan Ca 3.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Mg Sebelum menentukan kadar M g yang terserap oleh adsorben, maka terlebih dahulu diukur serapan larutan standar M g pada panjang gelombang maksimum yaitu 285,25 nm untuk membuat kurva kalibrasi. Pembuatan kurva ini didapatkan dengan mengukur besarnya serapan larutan standar M g yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,0; 0,4; 0,8;, 1,2; 1,6, dan 2,0 mg/L, pengukuran menggunakan instrumen SSA. Selanjutnya data absorbansi dari masing – masing larutan standar M g dibuat kurva berdasarkan hukum lambert beer sehingga dihasilkan persamaan garis melalui regresi linier. Berikut ini data absorbansi dari larutan standar M g yang ditunjukkan pada tabel 3.3 berikut ini : Tabel 3.3 Absorbansi larutan standar M g (λ = 285,25 nm) Konsentrasi M g (mg/L) Absorbansi 0,0 0,0000 0,4 0,2464 0,8 0,4434 1,2 0,6341 1,6 0,8109 2,0 0,9604 Selanjutnya dibuat kurva standar dengan konsentrasi standar M g sebagai sumbu x dan nilai absorbansinya sebagai sumbu y yang ditunjukkan pada gambar 3.5 berikut:
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 0
y = 0,0444x - 0,0064 r = 0,9977
3
6
9
12
15
18
konsentrasi (mg/L) Gambar 3.6 Kurva kalibrasi larutan standar Ca Keabsahan kurva kalibrasi di atas dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi (r) atau uji kelinieran yang menyatakan ukuran kesempurnaan huungan antara konsentrasi larutan standar dengan absorbansinya. Korelasi dinyatakan sempurna jika nilai r mendekati +1, sedangkan nilai nol menyatakan tidak ada korelasi antara dua variabel yang diamati. Berdasarkan data dan perhitungan didapatkan persamaan regresi linier larutan standar Ca adalah y = 0,0444x - 0,0064 dengan nilai r = 0,9977. Harga r yang diperoleh mendekati +1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik - titik pada kurva kalibrasi mendekati lerengnya. Berdasarkan persamaan garis regresi kurva kalibrasi dialkukan uji keberartian (uji-t) terhadap nilai - nilai koefisien regresi dengan selang kepercayaan 95% dengan derajat kebebasan 4, maka diperoleh nilai t hitung > t tabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan linier yang baik antara konsentrasi laruan standar Ca dengan absorbansinya, sehingga kurva kalibrasi in i dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi Ca dalam larutan cuplikan. 3.5 Adsorpsi kation Ca dan Mg dengan adsorben Selulosa Bakterial nata de coco Untuk melihat kemampuan adsorpsi dari adsorben selulosa bakterial nata de coco maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa proses adsorpsi yaitu adsorpsi dengan variasi waktu kontak dan adsorpsi untuk menentukan kapasitas adsorpsi.
Waktu (menit) 0 15 30 45 60 120
Jml terserap rata – rata (mg/L) 0,000 24,825 76,825 61,288 44,525 36,025
Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara lama waktu kontak (menit) dengan jumlah ion M g yang terserap oleh adsorben selulosa bakterial (mg/L) yang ditunjukkan pada gambar 3.7 berikut ini: 90 80 C terserap (mg/L)
70 60
50 40 30 20 10 0 0
30
60 90 120 150 waktu (menit) Gambar 3.7 Grafik hubungan antara lama waktu kontak (menit) dengan jumlah ion M g yang terserap (mg/L), dengan jumlah adsorben 0,5 gram, volume 25 mL, dan konsentrasi awal 300 mg/L Jumlah ion M g yang teradsorp oleh selulosa bakterial nata de coco meningkat seiring bertambahnya waktu kontak. Jumlah ion M g terserap meningkat tajam pada 30 menit pertama. Hal ini dikarenakan adsorben masih memiliki banyak sisi aktif, dan mencapai kondisi maksimum pada waktu kontak 30 menit dengan jumlah ion M g terserap 76,825 mg/L. Setelah itu jumlah ion M g terserap berkurang hingga mencapai konstan. Pengurangan kadar ion M g terserap setelah waktu setimbang memungkinkan adanya pelepasan ion M g yang telah terserap karena sudah jenuh (mudah lepasnya ion M g ini menunjukkan terjadinya ikatan fisika antara adsorbat dengan adsorben). Pada waktu setimbang tersebut ion M g yang teradsorp mencapai 3,8412 mg/g. Sedangkan data hasil analisa penentuan waktu kontak Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
optimum untuk adsoprsi ion Ca ditunjukkan dalam tabel 3.6 berikut: Tabel 3.6 Analisa waktu kontak optimum adsorpsi ion Ca Jml terserap Waktu (menit) Rata –rata (mg/L) 0 0,0000 15 45,3275 30 90,8775 45 84,3475 60 69,8750 120 71,5100 Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara lama waktu kontak (menit) dengan jumlah ion Ca yang terserap oleh adsorben selulosa bakterial yang ditunjukkan pada gambar 3.8 di bawah ini :
Cterserap (mg/L)
3.5.1 Penentuan Waktu Kontak Optimum Variasi waktu kontak optimum antara adsorbat dan adsorben dilakukan untuk menentukan waktu setimbang adsorpsi. Waktu kontak optimum adsorpsi dari adsorben selulosa bakterial nata de coco dapat ditentukan menggunakan proses adsopsi dengan metode batch pada berbagai variasi waktu kontak, yaitu: 15 ; 30 ; 45 ; 60 dan 120 menit. Proses adsorpsi ini menggunakan massa adsorben 0,5 gram dan adsorbat sebanyak 25 mL berupa larutan campuran ion Ca 400 mg/L dan M g 300 mg/L. Proses adsorpsi ini dilakukan secara bersamaan. Setelah proses adsorpsi dapat ditentukan waktu kontak masing – masing ion Ca dan M g. Data hasil analisa penentuan waktu kontak optimum untuk adsoprsi ion M g ditunjukkan dalam tabel 3.5 berikut: Tabel 3.5 Analisa waktu kontak optimum adsorpsi ion M g
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
30
60 90 120 150 waktu (menit) Gambar 3.8 Grafik hubungan antara lama waktu kontak (menit) dengan jumlah ion Ca yang terserap (mg/L), dengan jumlah adsorben 0,5 gram, volume 25 mL, dan konsentrasi awal 400 mg/L Jumlah ion Ca yang teradsorp oleh selulosa bakterial nata de coco meningkat seiring bertambahnya waktu kontak. Jumlah ion Ca terserap meningkat tajam pada 30 menit pertama. Hal ini dikarenakan adsorben masih memiliki banyak sisi aktif, dan mencapai kondisi maksimum pada waktu kontak 30 menit dengan jumlah ion Ca terserap 90,8775 mg/L. Setelah itu jumlah ion Ca terserap berkurang hingga mencapai konstan. Pengurangan kadar ion Ca terserap setelah waktu setimbang memungkinkan adanya pelepasan ion Ca yang telah terserap karena sudah jenuh (mudah lepasnya ion Ca ini menunjukkan terjadinya ikatan fisika antara adsorbat dengan adsorben). Pada waktu setimbang tersebut ion Ca yang teradsorp mencapai 4,5439 mg/g. 3.5.2 Penentuan Kapasitas Adsorpsi Selulosa Bakterial Nata De Coco Penentuan kapasitas adsorpsi selulosa bakterial nata de coco dilakukan dengan proses adsorpsi dimana adsorben dimasukkan ke dalam larutan segar Ca dan M g sebanyak 9 Kali pengulangan adsorpsi pada waktu optimum. Data hasil analisa penentuan kapasitas adsorpsi selulosa bakterial nata de coco untuk adsoprsi ion M g ditunjukkan dalam tabel 3.7 berikut:
Cterserap total (mg/L)
0
2
4
6
8
10
kontak keGambar 3.9 Grafik penentuan kapasitas adsorpsi selulosa bakterial nata de coco terhadap kation M g pada waktu optimum Konsentrasi kation M g yang terserap setelah 9 kali pencelupan adalah 378,89 mg/L. Dari perhitungan diperoleh jumlah kation M g yang terserap oleh adsorben selulosa bakterial nata de coco sebesar 18,944 mg/gr adsorben. Nilai kapasitas ini lebih besar dibandingkan pada penelitian kapasitas adsorpsi yang diperoleh Bahtiar (2008) dengan sekam padi sebagai adsorben) yaitu sebesar 11,84 mg/gr. Jumlah kation yang terserap pada awal adsorpsi ini lebih kecil diduga karena adsorben belum aktif sempurna untuk menyerap, setelah penyerapan kedua kation yang terserap cukup banyak, dan setelah itu menurun hingga kondisi jenuh. Pada pencelupan yang ke sembilan sudah menunjukkan kondisi adsorben hampir jenuh, dapat dilihat dari jumlah kation terserap sangat kecil yaitu 0,24 mg/L dari larutan awal 300 mg/L. Sedangkan data hasil analisa penentuan kapasitas adsorpsi selulosa bakterial nata de coco untuk adsoprsi ion Ca ditunjukkan dalam tabel 3.8 berikut: Tabel 3.8 Analisa kapasitas adsorpsi ion Ca Cterserap pada jumlah terserap pencelupan waktu t (mg/L) (mg/L) 0 0,000 0,000 1 94,776 94,776 2 117,118 211,894 3 106,530 318,424 4 70,810 389,234 5 65,856 455,090 6 54,054 509,144 7 30,180 539,324 8 9,684 549,008 9 0,312 549,320 Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara kontak ke berapa dengan jumlah ion Ca total yang terserap oleh adsorben selulosa bakterial yang ditunjukkan pada gambar 3.10 di bawah ini : 600
Cterserap total (mg/L)
Tabel 3.7 Analisa kapasitas adsorpsi ion M g Cterserap pada jumlah terserap pencelupan pencelupan (mg/L) (mg/L) 0 0,00 0,00 76,61 1 76,61 147,17 2 223,78 40,96 3 264,74 4 39,59 304,33 31,85 5 336,18 20,06 6 356,24 14,74 7 370,98 7,67 8 378,65 9 0,24 378,89 Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara kontak ke berapa dengan jumlah ion M g total yang terserap oleh adsorben selulosa bakterial yang ditunjukkan pada gambar 3.9 di bawah ini : 400 350 300 250 200 150 100 50 0
500 400 300 200 100
0 0
2
4 6 8 10 kontak keGambar 3.10 Grafik penentuan kapasitas adsorpsi selulosa bakterial nata de coco terhadap kation Ca pada waktu optimum Konsentrasi kation Ca yang terserap setelah 9 kali pencelupan adalah 549,008 mg/L. Dari perhitungan diperoleh jumlah kation Ca yang terserap oleh adsorben selulosa bakterial nata de coco sebesar 27,4504 mg/gr adsorben. Nilai kapasitas ini lebih besar dibandingkan pada penelitian kapasitas adsorpsi yang diperoleh Bahtiar (2008) dengan sekam padi sebagai adsorben yaitu sebesar 12,18 mg/gr. Jumlah kation yang terserap pada awal adsorpsi lebih kecil ini diduga karena adsorben belum aktif sempurna untuk menyerap, setelah penyerapan kedua kation yang terserap cukup banyak, dan setelah itu menurun hingga kondisi jenuh. Pada pencelupan yang ke delapan sudah menunjukkan kondisi adsorben hampir jenuh, dapat dilihat dari jumlah kation terserap sangat kecil yaitu 9,684 mg/L dari larutan awal 400 mg/L. Dan ketika pencelupan ke sembilan menunjukkan bahwa adsorben telah jenuh, hampir tidak ada lagi ion Ca yag terserap. 3.5.3 Penentuan Jenis Adsorpsi dengan Proses Desorpsi Jenis ikatan yang terbentuk antara adsorbat dan adsorben ketika proses adsorpsi dapat ditentukan dari proses desorpsi (pelepasan adsorbat dari adsorben), dimana ikatan kimia akan sulit terdesorpsi dengan air, tetapi harus menggunakan asam kuat sedangkan ikatan fisika mudah terdesorpsi dengan air. Data hasil proses desorpsi untuk ion Ca dan M g pada adsorben nata de coco dapat dilihat pada tabel 4.9 (perhitungan pada lampiran G). Dari tabel 4.9 dapat dilihat bahwa adsorbat mudah lepas ketika didesorpsi dengan air ditandai dengan besarnya % desorpsi, hal ini menunjukkan terjadinya ikatan fisika atau fisisorpsi antara adsorbat dan adsorben. Ikatan yang terjadi lemah karena adanya gaya van der waals, sehingga ketika didesorpsi dengan air mudah melarutkan kembali ion-ion yang terikat. Ketika didesorpsi dengan asam % desorpsi lebih besar tapi tidak terlalu berbeda, hal ini dikarenakan asam kuat HNO 3 mampu melarutkan ion logam lebih baik dibandingkan air. Kation Ca dan M g diduga hanya menempel pada permukaan adsorben tanpa terbentuk ikatan kimia. Dugaan ini juga didukung oleh cepatnya waktu kontak optimum yang tercapai yaitu 30 menit. Waktu kontak ini jauh lebih singkat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Bahtiar (2008) dengan waktu kontak optimum untuk adsorpsi Ca dan M g yaitu 120 menit. Adsorpsi yang terjadi secara fisisorpsi memiliki waktu kontak optimum lebih kecil karena energi aktivasi kurang dari 1 kkal/gr.mol sehingga ikatan yang terbentuk lemah dan mudah terbentuk. Ketika permukaan adsorben sudah tertutupi adsorbat, adsorbat tidak hanya terserap pada lapisan atas/tunggal pada permukaan
adsorben. Hal ini dikarenakan ikatan fisika yang terjadi relatif lemah, sehingga jika terjadi peningkatan temperatur dan konsentrasi, adsorpsi adsorbat pada adsorben juga akan meningkat dengan membentuk lapisan pertama, kedua dan seterusnya menghasilkan lapisan multilayer (Khartikheyan, 2004). Tabel 4.9 Analisa proses adsorpsi kation Ca dan M g adsorbat Mg
Ca
pendesorpsi
Cterlepas
% desorpsi
air
66,1788
79,2866
asam
77,7848
93,0557
air
78,9698
82,2938
asam
84,426
87,9797
Pada umumnya ikatan yang terjadi antara adsorben selulosa dengan adsorbat merupakan ikatan kimia, seperti yang telah dibahas dalam BAB II (hal.19). Namun pada proses adsorpsi kali ini, jenis ikatan yang terjadi adalah ikatan fisika. Hal ini diduga karena kation Ca dan M g (logam alkali) tidak memiliki orbital d kosong seperti halnya logam Cr3+ (logam berat), sehingga ikatan yang terjadi bukan ikatan kimia kovalen koordinasi tetapi terjadi karena adanya gaya van der waals akibat adanya interaksi dipol – dipol pada jarak dekat. Dimana Ca dan M g sebagai δ+ sedangkan gugus OH yang terikat pada glikosida sebagai δ-. IV. KES IMPULAN DAN S ARAN 4.1 Kesimpulan Dari hasil dan diskusi yang dipaparkan pada bagian III maka pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain selulosa bakterial nata de coco setelah dibersihkan dan diaktivasi memiliki luas permukaan sebesar 11,5945 m2/gr, adsorben selulosa bakterial nata de coco ini mampu mengadsorp ion logam Ca dan M g dengan kapasitas adsorpsi untuk ion Ca sebesar 27,466 mg/gr, dengan jumlah ion Ca yang mampu diserap sebesar 549,320 mg/L serta kapasitas adsorpsi untuk ion M g sebesar 18,944 mg/gr, dengan jumlah ion M g yang mampu diserap sebesar 378,89 mg/L. Proses adsorpsi ini dilakukan pada waktu optimum yang sebelumnya sudah dicari terlebih dahulu. Waktu optimum untuk ion M g dan Ca sama yaitu 30 menit. 4.2 S aran Saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan dengan penelitian ini antara lain perlu dilakukan studi lanjut tentang jenis adsorpsi isotermal dan kinetika adsorpsi dari proses adorpsi ion Ca dan M g dengan adsorben selulosa bakterial nata de coco. Penggunaan sistem adsorpsi selain batch seperti metode kolom untuk mengadsorpsi ion logam Ca dan M g juga perlu dipelajari agar didapatkan suatu metode yang efisien dengan hasil yang maksimal. Dan hal yang terpenting adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap aplikasi langsung dalam pengolahan air payau. UCAPAN TERIMA KAS IH 1. Dra. Ita Ulfin M .Si selaku dosen pembimbing 2. Dra. Yulfi Zetra, M S. selaku koordinator kolokium 3. Orang tua atas segala doa, dorongan dan dukungannya secara materiil dan spiritualnya. 4. Teman-teman angkatan 2007 Jurusan Kimia ITS atas do’a, bantuan dan dukungannya. 5. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Daftar Pustaka Adisesa, HT, (1993), “Beberapa Perubahan Struktur Dalam Selulosa Pada Pengeringan”, Tesis M agister Kimia ITB Alberty, R.A., (1990), “Kimia Fisika”, jilid kesatu, Erlangga, Jakarta Astuti, Widi, (2005), “Proses pelunakan air sadah menggunakan zeolit alam lampung”, UPT. Balai pengolahan mineral Lampung - LIPI, Bahtiar,
A.R., (2008), “Penurunan M enggunakan Serbuk Sekam Dengan NaOH”
Kesadahan Air Padi Perlakuan
Bergonia, H.A., et al., (1982), “Reverse osmosis of coconut water through cellulose acetate membrane”, Proocedings of the second ASEAN workshop M embrane Technology Brown, R.M ., Wiliison, J.H.M ., Richardson, C.L., (1976)., “Cellulose Biosynthesis in Acetobacter xylinum Visualization of The Site of Synthesis and Direct M easurement of The in vivi process”, Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 73(12). 4565 - 4569 Christian, G. D., (2004), “Analytical Chemistry”, 6th edition, John Wiley & Sons, Inc., Washington Ciechanska, D., (2004), “M ultifunctional Bacterial Cellulose/Chitosan Composite M aterials for M edical Applications”, Fibres & Textiles in Eastern Europe, Volume 12 No.4(48) Cowd, M .A, Firman, (1991), “Kimia Polimer” Bandung: penerbit ITB Bandung Chunfeng, Wang, (2009), “Evaluation of Zeolites Synthesized from Fly Ash Potential Adsorbents for Wastewater Containing Heavy M etals”, Journal of Environmental Sciences, P.127-136 Ebdon, L., (1982), “An Introduction to atomic Absorption Spectroscopy”, Heiden and Son, London Gabriel, J.F., (2001), “Fluida”. Fisika lingkungan. Penerbit Hipokrates, Jakarta Gabrielli, C., M aurin, G., Francy -Chausson, H., Thery, P., Tran, T.T.M., Tlili, M ., 2006. Electrochemical water softening: principle and application. Desalination 201, 150–163 Ghizellaoui, S., Chibani, A., Ghizellaoui, S., (2005). “Use of Nanofiltration for Partial Softening of Very Hard Water”, Desalination 179, 315–322 Harvey, David, (2000), “Analitycal Chemistry”, M c.Graw Hill, Osbome Iguchi, (2000), “Review Bacterial Cellulose-A M asterpiece of Nature’s Arts”, J. M aterial Science, 35 Jamali, A., Astuti, W., dan Amin, M ., (2003), “Desalinasi Air Payau M enggunakan Surfactant M odified
Zeolite (SM Z)”, UPT. Balai Pengolahan M ineral Lampung – LIPI
Santika, S.S., (1987), “Analisa Kesadahan”, M etodologi Penelitian Air, Surabaya: Usaha Nasional
Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M ., (2004), “Adsorption Dynamics and Equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan”. Indian J. Chem. Sci.,116, 2, page. 119-127
Sastrohamidjojo (1991), “Spektroskopi”, Edisi Kedua, Liberty, Yogyakarta
Khopkar, S.M ., (2003), “Konsep Dasar Kimia Analitik”, UI – Press, Jakarta Kiuk, I.J., (2008), “Penyediaan Air Bersih di Wilayah Pesisir dengan M enggunakan Filter Tembikar Studi Kasus Pantai Kenjeran Surabaya”, Skripsi, Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Krystynowicz, (2001), “Biosynthesis of Bacterial Celulose and It’s Potential Application in The Different industries” Kusnaedi,2002, “M engolah Gambut dan Air Kotor untuk Air M inum”, Penebar Swadaya, Jakarta Kusumawati, Yuli, (2006), “perlakuan perendaman membran nata de coco pada larutan kitosan”, thesis, ITB, Bandung M ahbub, Ir. Badruddin, dkk (1986), “Pedoman Pengamatan Kualitas Air”, Jilid II: Pedoman Pemeriksaan Kualitas Air. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Pengairan, BPP PU – DPU, jakarta M iller, J.C, dan M iller, J.N., (1991), “Statistik untuk Kimia Analitik”. ITB, Bandung Pambayun, R., (2002), “Teknologi Pengolahan Nata de Coco”, Kanisius, Yogyakarta Park, J.-S., Song, J.-H., Yeon, K.-H., M oon, S.-H., (2007), “Removal of Hardness Ions from Tap Water Using Electromembrane Processes”. Desalination 202 Philip, G.O., and Williams. P.A., (2000), “Handbook of Hydrocolloids”, Woodhead Publishing limited, Cambridge Piluharto, (2001), “Kajian Sifat Fisik Film Tipis Nata De Coco Sebagai M embran ultrafiltrasi” Pisesidharta, E., Zulfikar, Kuswandi, B., (2003), “Preparasi M embran Nata De Coco-Etilendiamin dan Studi Karakteristik Pengikatannya Terhadap Ion Cu 2+ ”, Jurusan Kimia FM IPA Universitas Jember Reza, Ernest., (2002), “Studi Literatur Perancangan Awal Alat Adsorpsi Regenerasi Karbon Aktif”. Seminar, Jurusan Gas Dan Petrokimia, FTUI, Depok Said, N.I., dan Yudo, S., (2008), “M asalah dan Strategi Penyediaan Air Bersih di Indonesia”, Teknologi Pengelolaan Air M inum “Teori dan Pengalaman Praktis”, Pusat Teknologi Lingkungan, Jakarta Santamarina, J.C., Klein K. A., Wang V. H., dan prencke E., (2002), “Spesific Surface: Determination and Relevance”, NRC Research Press, Canada Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Shan ho, Yuh, (2006). “Review of Second-Order M odels for Adsorption Systems”, Journal Of Hazardous M aterials, p.681-689 Soedjono, Eddy., (2002), “Diktat Kuliah : Pengelolaan Penyediaan Air Bersih”. Program Sarjana dan Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya Underwood, A.L., (1994), “Analisis Kimia Kuantitatif”, Erlangga, Jakarta Wan Ngah, W.S., (2002), “Removal Copper (II) Ions From Aqueous Solution Onto Chitosan And Cross-Linked Chitosan Beads”, Reactive And Functional Polymers, 50, 181-190 Warisno. 2004. “M udah & Praktis M embuat Nata de Coco”. Agromedia Pustaka, Depok Widiastuti, et al., (2009), “Removal of Ammonium from Greywater Using Natural Zeolite”, Desalination Yanuar, A., E. Rosmalasari dan E. Anwar., (2003), “Preparasi dan Karakterisasi Selulosa M ikrokristal dari Nata de coco untuk Bahan Pembantu Pembawa Tablet”. Departemen Farmasi FM IPA Universitas Indonesia, Indonesia ISTECS JOURNAL Yusuf, E., Rachmanto, T.A., Laksmono, R., (2006), “Pengolahan Air Payau M enjadi Air Bersih Dengan M enggunakan M embran Reverse Osmosis”