BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Penuaan Proses penuaan merupakan suatu proses penurunan fungsi organism yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Terdapat banyak teori penuaan yang dikemukakan oleh para ahli namun kebanyakan teori belum dapat dibuktikan sepenuhnya pada manusia karena waktu hidup manusia relatif panjang. Beberapa teori penuaan yang banyak dipelajari antara lain: 1. Teori “Wear and Tear” Penyalahgunaan organ tubuh dapat membuat kerusakan lebih cepat. Pada tahun 1882, seorang ahli biologi dari Jerman yaitu Dr. August Weisman telah memperkenalkan teori ini. Di usia yang masih muda, tubuh masih mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh buruk dari luar. Namun proses penuaan membuat tubuh kehilangan kemampuan untuk itu. Teori ini juga menyatakan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang lebih dini dapat membantu mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan (Goldman dan Klatz, 2003). 2. Teori Kontrol Genetik Dasar teorinya adalah ketidaksempurnaan dari molecular repair sehingga akibatnya terjadi penumpukan kerusakan molekuler sepanjang waktu. Penyebab kerusakan ini dapat berasal dari internal dan eksternal. Penyebab internal seperti
radikal bebas, glikosilasi sedangkan penyebab eksternal antara lain polusi, mutasi gen, radiasi dan kimia. Namun tubuh diberi kemampuan untuk dapat mendeteksi dan memperbaiki kerusakan DNA. Sehingga terdapat keseimbangan antara kerusakan dengan efisiensi “DNA repair” yang terjadi selama hidup (Goldman dan Klatz, 2003). 3. Teori Radikal Bebas Menurut teori ini, penuaan merupakan akibat dari akumulasi perubahanperubahan akibat dari reaksi dalam tubuh yang dipicu oleh radikal bebas. Hal ini diyakini sebagai penyebab utama bukan hanya untuk penuaan namun juga penyakit bahkan kematian. Radikal bebas adalah molekul dengan elektron yang tidak berpasangan dengan reaktivitas yang sangat tinggi, dihasilkan selama proses metabolisme sel normal (endogenus) maupun dari sumber-sumber di luar tubuh (eksogenus). Telah diketahui bahwa radikal bebas dapat merusak membran sel, protein dan DNA sehingga dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel. Efek buruk radikal bebas berupa reaksi rantai yang menyebabkan oksidasi bahan bahan organik oleh molekul oksigen. Hal ini menimbulkan rusaknya fungsi selular akibat dari mutasi DNA. Dalam keadaan fisiologis, akibat buruk dari radikal bebas dapat diredam oleh tubuh baik secara enzimatis maupun nonenzimatis oleh senyawa-senyawa yang tergolong antioksidan. Namun bila jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan maka akan terjadi stress oksidatif. Jika terjadi dalam waktu yang berkepanjangan maka terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif yang menyebabkan sel kehilangan fungsinya dan akhirnya
mati. Hal ini meningkat dengan bertambahnya umur dan diduga sebagai penyebab utama proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003). 4. Teori Neuroendokrin Hormon bersifat vital dalam mengatur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga berfungsi optimal (Goldman and Klatz, 2003). Ketika manusia menjadi tua, produksi hormon juga menurun, akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu. Lalu munculah berbagai keluhan. Karena hormon saling berkaitan maka berkurangnya produksi hormon tertentu mempengaruhi hormon lainnya. Proses penuaan mempengaruhi sistem hormon, tetapi gangguan hormon menimbulkan gejala dan tanda yang sama dengan yang terjadi akibat proses penuaan (Pangkahila, 2011). Penurunan fungsi hormon yang tajam dapat diatasi dengan terapi sulih hormon yang membantu mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga memperlambat proses penuaan 2.2 Pelatihan Fisik Berlebih 2.2.1 Definisi Pelatihan Fisik Pelatihan fisik atau olah raga merupakan faktor penting bagi kehidupan manusia karena dapat menunda proses penuaan. Pelatihan fisik yang teratur dan tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik. Kondisi ini berbeda tiap individu meliputi frekuensi, intensitas, tipe dan waktu untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menurunksan resiko cedera. Hal ini juga dikemukakan oleh Bell (2008) yaitu sama seperti obat-obatan yang digunakan untuk terapi penyakit,
maka olah raga pun mempunyai dosis tertentu dan bersifat individual. Hal ini penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang minimal pada pelatihan olahraga. Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan, diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi pelatihan yang disarankan 3 – 4 kali seminggu dengan intensitas 72% - 87% dari denyut jantung maksimal (220 – umur) dengan variasi 10 denyut per menit. Jenis pelatihan yang dianjurkan kombinasi antara latihan aerobik dan pelatihan otot dalam waktu 30 – 60 menit, didahului dengan pemanasan selama 15 menit dan diakhiri dengan pendinginan selama 10 menit. Dengan waktu maximum 300 jam dalam seminggu (Pangkahila, 2009). Aktivitas fisik ada 2 macam, yaitu : 1. Aktivitas fisik yang dilakukan secara mendadak (“acute exercise”) 2. Aktivitas fisik yang dilakukan secara berulang (“training exercise”) Selama berolah raga normalnya terjadi peningkatan pemakaian oksigen oleh tubuh sebanyak sepuluh sampai dua puluh kali bahkan lebih dibandingkan saat beristirahat. Hal ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses ini disebut peroksidasi lipid dan memyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan atau kerusakan lain (Cooper, 2001). Namun alaminya tubuh akan melakukan kompensasi terhadap peningkatan radikal bebas tersebut dengan meningkatkan system antioksidan alaminya sehingga proses kerusakan dapat dicegah.
Bila nilai ambang batas ini dilampaui, akan membahayakan kesehatan atlet. Suatu takaran pelatihan akan mencapai sasaran dan tujuan jika dalam program pelatihannya sudah tercakup (Bompa, 2009) : 1) Jenis atau tipe pelatihan yang dipilih 2) Unsur intensitas (persentase beban dan kecepatan) 3) Volume (durasi, jarak dan jumlah repetisi) 4) Densitas /kekerapan/frekwensi pelatihan 2.2.2. Pelatihan Fisik Berlebih Seringkali pelatihan fisik dilakukan secara berlebihan karena salah mengartikan bahwa olah raga itu baik bagi kesehatan sehingga timbul anggapan bahwa semakin banyak berolah raga maka efeknya akan baik bagi kesehatan. Namun kenyataannya pelatihan fisik secara berlebih yang sering disebut aktivitas fisik berlebih ini hanya akan membahayakan kesehatan karena tidak dilakukan dengan dosis yang tepat (Reynolds, 2010). Aktivitas fisik berlebih juga dapat terjadi pada orang yang jarang melakukan olah raga kemudian melakukan olahraga yang melebihi kemampuannya. Pelatihan fisik berlebih diakibatkan oleh volume pelatihan yang terlalu banyak, intensitas pelatihan yang terlalu banyak, durasi pelatihan terlalu panjang dan frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001). Latihan yang berlebih atau overtraining / burnout adalah suatu keadaan dimana terjadi kelelahan kronis selama aktivitas yang melebihi kemampuan individual sampai menimbulkan cedera otot biasanya terjadi sebelum akhir dari kompetisi (Vincen dkk., 2000; Prentice, 2011)
Pelatihan fisik berlebih menimbulkan gangguan pada sistem endokrin, terjadi peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron (Maffetone, 2007), peningkatan ACTH, penurunan LH plasma. Aktivitas berlebih dapat meningkatkan stress oksidatif, karena terjadi peningkatan konsumsi O2 oleh aktivitas otot skeletal. Meskipun oksigen dibutuhkan, oksigen juga bersifat toksik yang dapat memicu peningkatan ROS. Pada organ yang tidak mendapat oksigen dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut sebagai Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan radikal bebas. Olahraga dapat menyembuhkan penyakit jantung dan hipertensi, walaupun olahraga berat meningkatkan ROS dalam jaringan, dan 2-5% oksigen yang dipakai dalam metabolisme tereduksi menjadi ion superoksid yg bersifat radikal bebas. Radikal bebas oksigen dikelompokkan dalam ROS. Pembentukan ROS akibat olahraga yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel dan modifikasi molekul termasuk DNA, membran lipid, dan protein. Perlindungan dari serangan ROS yang disebabkan olahraga berlebih merupakan respons jaringan untuk meningkatkan aktivitas sekelompok enzim antioksidan, guna melindungi sel dari kerusakan ROS. 2.2.3. Pembentukan Radikal Bebas Pada Pelatihan Fisik Berlebih Pelatihan fisik berlebih meningkatkan terbentuknya radikal bebas (Adiputra, 2008). Sejumlah tertentu radikal bebas diperlukan oleh tubuh untuk melawan radang, membunuh bakteri, mengatur tonus otot polos dalam organ dan
pembuluh darah (Giriwijoyo, 2004). Apabila berlebih, menyebabkan kerusakan sel dengan 3 cara (Winarsi, 2007; Eberhardt, 2001): 1. Kerusakan DNA, mengakibatkan mutasi DNA bahkan kematian sel 2. Peroksidasi lipid membrane sel dan sitosol, menyebabkan terjadinya proses reduksi asam lemak sehingga mengakibatkan kerusakan membran dan organel sel. 3. Modifikasi protein teroksidasi oleh karena cross linking protein Mekanisme normal tubuh membentuk antioksidan yang ada di dalam tubuh untuk menetralkan radikal bebas yang terbentuk perlahan ini dapat terganggu akibat latihan yang berlebihan tersebut, sehingga jumlah antioksidan yang terbentuk menjadi lebih sedikit dibandingkan jumlah radikal bebas. Aktivitas fisik berlebih juga menyebabkan peningkatan penggunaan oksigen di atas kebutuhan normal, karena terjadi peningkatan metabolisme di dalam tubuh terutama otot-otot yang berkontraksi. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan kebocoran elektron dari mitokondria yang akan menjadi ROS. Oksigen yang digunakan dalam proses metabolisme tubuh saat overtraining dapat menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas yang bersifat sangat reaktif terhadap sel atau komponen sel sekitarnya (Chevion dkk., 2003; Evan, 2000). 2.3 Stres Oksidatif Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan terjadinya stres oksidatif, yaitu keadaan patologis yang disebabkan oleh kerusakan sel dan jaringan di dalam tubuh karena peningkatan jumlah radikal bebas yang tidak normal, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan. Ketika jumlah
antioksidan yang diperlukan oleh tubuh saat mengalami stres oksidatif tidak mencukupi, akan dapat merusak membran sel, protein dan DNA. Stress oksidatif yang meningkat dapat memicu timbulnya berbagai penyakit dan mempercepat proses penuaan (Sen dan Packer, 2000; Atalay dan Laaksonen, 2002). Hal ini merupakan penyebab utama proses penuaan (Bagiada, 2001). Keadaan yang menyebabkan stres oksidatif ini salah satunya adalah pelatihan fisik berat atau berlebih (Hersh, 2004). Stres oksidasi dapat dikendalikan antara lain dengan membiasakan untuk menerapkan pola hidup sehat dan mengkonsumsi antioksidan, diharapkan akan memacu kerja antioksidan dalam tubuh. Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif pada tikus (Senturk dkk., 2001) dan manusia (Sonneborn dan Barbee, 1998; Senturk dkk., 2005). Kadar antioksidan yang rendah atau adanya inhibisi terhadap enzim antioksidan dapat menyebabkan kerusakan sel. Antioksidan merupakan suatu unsur kimia atau biologi yang dapat menetralisasi potensi kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Berbagai antioksidan endogen dan eksogen berperan penting dalam melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif dan berbagai penyakit kronis (Sen dkk., 2010). Beberapa antioksidan endogen seperti enzim superoxide-dismutase, glutation peroksidase dan katalase dihasilkan oleh tubuh, sedangkan yang lain seperti vitamin C dan E merupakan antioksidan eksogen yang harus didapat dari luar tubuh seperti buah-buahan dan sayur-sayuran (Iorio, 2007).
Atas dasar mekanisme kerjanya antioksidan dapat dibedakan menjadi lima jenis yaitu (Sri, 2007): 1. Antioksidan primer Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul netral atau kurang aktif sebelum sempat bereaksi. Antioksidan yang ada dalam tubuh yaitu SOD, katalase, glutation peroksidase (GSH-Px). Sedangkan antioksidan primer yang dapat ditambahkan dari luar seperti glutation, asam lipoat, SOD, melatonin. 2. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Merupakan antioksidan eksogenous atau non enzimatis (Winarsi, 2007). Yang merupakan antioksidan ini adalah vitamin E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam urat, albumin (Soewoto, 2001). 3. Antioksidan tersier Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel dan jaringan yang rusak akibat serangan radikal bebas. Termasuk kelompok ini adalah metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. 4. Oxygen Scavenger Antioksidan ini dapat mengikat oksigen sehingga tidak mendukung terjadinya reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.
5. Chelators/Sequestrants Jenis antioksidan ini dapat mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi, contoh chelators misalnya asam sitrat dan asam amino. Antioksidan akan bekerja dengan melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka radikal bebas tersebut tidak perlu lagi menyerang sel dan reaksi rantai oksidasi akan terputus. Setelah memberikan elektron, antioksidan menjadi radikal bebas secara definisi. Antioksidan dalam keadaan ini tidak berbahaya karena mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan elektron tanpa menjadi reaktif. Pada keadaan sehat, tubuh dapat mencegah terbentuknya radikal bebas karena sistem pertahanan alami antioksidan tubuh, yang mempunyai kemampuan melawan aksi oksidan dari radikal bebas. Menurunnya efektivitas sistem tersebut menyebabkan defisiensi absolut atau relatif kadar antioksidan di dalam tubuh (Iorio, 2007). Pemberian antioksidan yang cukup dan optimal memang dapat meningkatkan kebugaran, meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan pelatihan fisik, menurunkan kadar stress oksidatif dalam tubuh dan mencegah terjadinya penuaan dini. Namun masyarakat tetap disarankan untuk lebih berhati hati atas banyak beredarnya berbagai produk antioksidan, vitamin, mineral dan obat-obatan herbal di pasaran yang belum terbukti secara ilmiah (Pangkahila, 2007).
2.4 Enzim Glutation Peroksidase Tubuh memiliki mekanisme tersendiri dalam mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas melalui antioksidan. Antioksidan ini bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Chevion dkk., 2003). Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu: antioksidan enzimatis/ antioksidan primer/ antioksidan pencegah dan antioksidan non enzimatis/ antioksidan sekunder/ antioksidan pemutus reaksi rantai. Adapun antioksidan enzimatis terdiri dari superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx) dan katalase yang dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal dan kemudian senyawa radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim SOD mengkatalisis perubahan anion superoksida
(O²¯) menjadi H2O2 dan O2. GPx
dan katalase memecah H2O2 menjadi H2O dan O2. Antioksidan non enzimatis terdiri dari vitamin C, vitamin E dan beta karoten. Enzim-enzim ini berperan dalam menetralisir radikal bebas di dalam tubuh dan melindungi jaringan dari stres oksidatif. Kedua kelompok antioksidan ini bekerja sama memerangi aktivasi senyawa oksidan dalam tubuh (Tilak dan Devasagayam, 2006). Kekurangan salah satu komponen dari antioksidan tersebut dapat menyebabkan penurunan status antioksidan secara menyeluruh pada seseorang, sehingga perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas akan menurun (Chevion dkk., 2003). Pengamatan untuk menilai status antioksidan dapat melalui berbagai parameter. Status antioksidan dalam tubuh dapat diamati dalam berbagai
parameter yaitu kadar malondialdehida (MDA) (Winarsi, 2004), aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (Winarsi dkk., 2003), vitamin C, vitamin E, vitamin A plasma, dan lain-lain. Untuk mendapatkan hasil yang makismal satu jenis antioksidan perlu didukung oleh jenis antioksidan yang lain. Hal itu karena masing-masing jenis antioksidan memiliki sifat dan cara kerja yang mungkin tidak sama, namun keduanya memiliki target yang tidak berbeda, yaitu menekan atau menghambat reaktivitas radikal bebas (Damiani dkk., 2008). Glutation peroksidase adalah enzim intraseluler yang terlarut dalam sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Enzim glutation peroksidase yang ditemukan dalam sitoplasma tersebut merupakan tetramer, dan mengandung selenosistein pada sisi aktifnya. Enzim ini bersifat nukleofilik, yang sangat mudah terionisasi dan mengakibatkan terlepasnya proton. Sedangkan glutation peroksidase ekstraseluler (secara genetik berbeda dari bentuk intraseluler) terdeteksi dalam berbagai jaringan. Cara kerja enzim yang berperan penting dalam melindungi organisme dari kerusakan oksidatif ini adalah mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan mitokondria) dan berbagai hidro serta lipid peroksida menjadi air. Aktivitas ensim glutation peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih dari 90% H2O2. Pada tahun 1996, Delas Beauvieaux dkk melaporkan bahwa ensim glutation peroksidase dapat mendekomposisi H2O2 lebih kuat dibandingkan dengan enzim katalase. Glutatione peroksida berpotensi mengubah molekul hidrogen peroksida dengan cara mengoksidasi GSH menjadi GSSG. Glutation
bentuk tereduksi mencegah lipid membran dan unsur-unsur sel lainnya dari kerusakan oksidasi dengan cara merusak molekul hidrogen peroksida dan lipid peroksida (Winarsi, 2007). GSH-Px 2GSH + H2O2
GSSG +2H2O
Glutation peroksidase sebagai enzim antioksidan bekerja sebagai peredam (“squenching”) radikal bebas (Sen dkk., 2010). Glutation peroksidase juga berperan dalam metabolism xenobiotik yang ditemukan dalam kadar milimolar dalam sel. Sedangkan Selenium (Se) adalah mineral yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas ensim glutation peroksidase. Selenium terdapat dalam glutation peroksidase sel darah merah. Aktivitas glutation peroksidase memerlukan glutation sebagai kosubstrat dan enzim glutation reduktase untuk merestorasi glutation teroksidasi menjadi bentuk tereduksi. Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase dengan konsentrasi tinggi, sedangkan jantung, ginjal, paru-paru, adrenal, lambung, dan jaringan adipose mengandung kadar gluatation peroksidase dalam kadar sedang. Glutation peroksidase kadar rendah sering ditemukan dalam otak, otot, testis, dan lensa mata. Aktivitas enzim glutation peroksidase juga ditemukan dalam mitokondria , plasma, dan saluran pencernaan. Dalam sitoplasma, ensim glutation peroksidase 16 bekerja pada membran fosfolipid yang teroksidasi sehingga dikenal juga sebagai hidroperoksida glutation peroksidase. Enzim glutation peroksidase juga dapat langsung mereduksi hidroperoksida kolesterol, ester kolesterol, lipoprotein,
dan fosfolipid yang teroksidasi dalam membran sel. Aktivitas enzim tersebut dapat juga diinduksi oleh keadaan hiperoksia (Asikin, 2001). Pada proses penuaan terjadi disfungsi mitokondria dan akumulasi dari kerusakan oksidatif. Dengan demikian akan menyebabkan terjadinya peningkatan stress oksidatif dengan bertambahnya usia. Glutation peroksidase yang rendah berkorelasi dengan gangguan yang berhubungan dengan radikal bebas (Judge dkk., 2005). 2.5 Hormon Melatonin 2.5.1 Biosintesis dan Metabolisme Hormon merupakan substansi dari hasil sintesis dan sekresi kelenjarkelenjar di sistem endokrin. Hormon pada umumnya disekresi dalam konsentrasi rendah sekali namun dapat memberikan efek metabolik dan biokimia berupa pengaturan reaksi enzimatik yang berlangsung terus-menerus pada jaringan sasaran. Hormon melatonin merupakan salah hormon tubuh yang di hasilkan dan dibawa ke aliran darah terutama oleh kelenjar pineal body (epiphysis). Dimana fungsinya yaitu mengatur pola tidur baik di manusia dan hewan (Prendergast dkk., 2010), menurunkan aktivitas motorik dan suhu tubuh. Di dalam tubuh manusia, glandula pineal berada di tengah otak, di belakang ventrikel ketiga. Glandula pineal terdiri atas dua tipe sel yaitu: pinealocytes yang bersifat predominan dan memproduksi indolamines (kebanyakan melatonin) dan peptide (seperti arginin vasotocin), dan sel – sel neuroglial.
Gambar 2.1. Glandula pineal yang menghasilkan melatonin (Putz dan Pabst, 2000) Melatonin, atau juga disebut N-acetyl-5-methoxytryptamine, pertama kali didapatkan dari ekstrak glandula pineal sapi oleh McLord dan Allen pada tahun 1917. Ekstrak dari substansi ini dapat mencerahkan warna kulit pada katak. Selanjutnya pada tahun 1958, Aaron B. Lerner mengkaji struktur kimianya dan memberi nama melatonin. Penelitian ini terus berkembang, hingga pada tahun 1970-an, Lynch dkk mempublikasikan adanya pengaruh hormon melatonin dalam membentuk ritme sirkadian pada manusia. Sementara pada tikus Lesnikov dan Perpaoli (1994), dari Rusia berhasil meremajakan tikus tua dengan melakukan transplantasi dengan kelenjar pineal tikus syngeneic atau inbreed strain yang masih muda. Hasilnya tikus tua menjadi muda kembali dan umumya memanjang 50% dibanding tikus muda yang mcn&pat transplantasi kelenjar pineal tikus tua. Kemudian, terbukti pula bahwa tikus tua ini umurnya memanjang 30% dari rata-rata umur tikus yang tidak mendapat transplantasi. Disimpulkan di sini bahwa kelenjar pineal di otak merupakan sumber kemudaan.
Biosintesis melatonin dilakukan melalui 4 tahap. Sebagai prekursor adalah L-Tryptophan yang diambil secara aktif dari darah, dan diubah menjadi serotonin oleh 5-hidroxylase dan decarboxylase. Serotonin kemudian diubah menjadi N-acetylserotonin oleh enzim N-acetyltransferase (NAT). NAT kemudian diubah menjadi melatonin oleh enzim hydroxyindolo-O-methyl transferase (HIOMT). Setelah terbentuk, melatonin tidak disimpan di kelenjar, tetapi segera disekresikan ke aliran darah (Konturek dkk., 2006).
Gambar 2.2. Biosintesis melatonin (Konturek dkk., 2006) Selain diproduksi oleh glandula pineal, melatonin (5-hydroxy-Nacetyltryptamine) yang merupakan derivat dari serotonin ini juga diproduksi dalam jumlah yang besar oleh sel – sel enteroendokrin pada mukosa gastrointestinal, retina, limfosit, testis, ovarium, kulit dan sumsum tulang belakang. Jadi, pada malam hari melatonin diproduksi oleh glandula pineal dan dilepaskan ke sirkulasi, tetapi selama siang hari melatonin hanya diproduksi oleh sistem gastrointestinal (Jaworek dkk., 2010).
Sintesis melatonin dipengaruhi oleh sinyal yang diterima melalui mata. Sinyal yang melalui retina akan melewati jalur retino-hypothalamic pathway. Dari nukleus suprachiasmatic (SCN), dimana irama sirkandian diatur, signal melewati ganglion servikal superior dan kemudian menuju kelenjar pineal. Jalur ini akan aktif pada saat gelap, karena aktivitas saraf ganglion cervical superior dihambat oleh terang. Noradrenalin disekresikan oleh saraf terminal dari ganglion cervical superior dan menstimulasi kelenjar pineal melalui reseptor B, yang akan mensintesis cAMP untuk mengaktifkan NAT (Yonei dkk., 2010). Sintesis dan pelepasan melatonin dipicu oleh kegelapan dan dihambat oleh cahaya. Input neural ke kelenjar berupa norepinefrin dan outputnya adalah melatonin. Hormon melatonin mencapai aliran darah melalui difusi pasif. Peningkatan sekresi melatonin segera terjadi setelah keadaan gelap, dan mencapai puncaknya pada waktu tengah malam (antara pukul 2 sampai pukul 4 pagi), dan menurun secara bertahap setelahnya. Konsentrasi melatonin sangat bergantung pada umur. Infant yang berumur kurang dari 3 bulan mensekresi melatonin dalam jumlah yang sangat kecil dan menjadi teratur setelah 3 bulan kelahiran. Sekresi melatonin meningkat lalu menjadi circadian pada infant yang lebih tua, dan puncak konsentrasi nokturnal paling tinggi (rata – rata 325 pg per ml / 1400 pmol per liter) adalah pada umur 1-3 tahun, lalu menurun secara bertahap. Pada usia dewasa muda yang normal, nilai rata – rata pada siang hari dan puncak malam hari masing – masing adalah 10 dan 60 pg/ml (40 dan 260 pmol per liter). Bersamaan dengan penuaan, kadar puncak melatonin tercapai lebih lambat 1 jam dari normal dan kadarnya tersebut hanya 50% dari kadar orang dewasa muda.
Siklus harian dari konsentrasi serum melatonin sebanding dengan siklus pagi hingga malam.
Gambar. 2.3 Kadar Melatonin Sesuai Usia (Live in Green Company, 2008) Melatonin melakukan banyak fungsi fisiologisnya dengan bekerja pada reseptor membran dan nukleus walaupun banyak dari fungsi tersebut tidak tergantung pada reseptor, seperti perlawanan terhadap radikal bebas, dan berinteraksi dengan protein sitosol misalnya calmodulin. Dua reseptor melatonin (MT1 dan MT2) adalah reseptor – reseptor membran yang memiliki tujuh domain membran dan termasuk dalam keluarga besar dari reseptor – reseptor G-protein coupled. Aktivasi dari reseptor melatonin menginduksi berbagai respon yang dimediasi oleh pertussis-sensitive dan insensitive G proteins. Di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan calmodulin. Nuclear binding receptors telah diidentifikasikan di dalam limfosit dan monosit manusia. Dengan kondisi ini diharapkan dapat meminimalkan kerusakan sel akibat radikal bebas (Srinivasan dkk., 2005).
Pada manusia, 90% melatonin dibuang dari tubuh dalam lintasan tunggal melalui hati, dalam jumlah yang kecil diekskresikan di urin, dan sejumlah kecil ditemukan di air liur (Buscemi dkk., 2004). Fungsi utama dari melatonin sudah sangat dikenal. Melatonin diketahui banyak orang sebagai pembantu tidur. Memang satu dari fungsi fisiologisnya adalah untuk berperan dalam pengaturan permulaan dan kualitas tidur, dimana masalah yang sering muncul berkaitan dengan penuaan yaitu kesulitan tidur (Goldmann dan Klatz, 2005). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa disamping fungsinya untuk sinkronisasi jam biologis, melatonin juga meningkatkan kekuatan aktivitas antioksidan. Bahkan baru-baru ini, agak mengejutkan bahwa melatonin telah diidentifikasikan sebagai pemakan radikal bebas secara langsung yang sangat kuat dan juga sebagai antioksidan secara tidak langsung. Apa yang menjadi suatu hal yang tidak biasa yaitu kemampuan dari melatonin sebagai pelindung terhadap ROS dan Nitrogen Reactive Species (NRS). Bidang penelitian ini telah menjadi saksi suatu ledakan perkembangan pada dekade terakhir, sedangkan semua mekanisme dari efek melatonin sebagai pemusnah radikal bebas dan produk terkait lainnya belum teridentifikasi. Tidak ada keraguan tentang kemampuan tersebut untuk membatasi kerusakan molekular yang disebabkan oleh oksigen toksik dan nitrogen-based reactans. Dimana melatonin secara tidak langsung berperan sebagai antioksidan dengan menstimulasi enzim-enzim antioksidan, melalui stimulasi sintesis dari glutation, dengan kemampuannya untuk meningkatkan efisiensi dari rantai transport elektron pada mitokondria sehingga
menurunkan kebocoran elektron dan menekan generasi dari radikal bebas (Reiter dkk., 2003). Penelitian pada mencit menyimpulkan bahwa melatonin mungkin berperan dalam peningkatan jangka hidup. Karena selain berperan dalam meregulasi siklus tidur, menangani gangguan tidur, dan mengatasi jet lag juga berperan sebagai antioksidan yang poten, stimulator sistem imun, perlawanan terhadap kanker, menjaga kesehatan jantung, meningkatkan mood, dan terapi yang potensial dalam melawan AIDS, Alzheimer dan Parkinson’s disease, kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke, katarak, diabetes, dan Down Syndrome (Goldmann dan Klatz, 2005; Dubocovich dkk., 2010). 2.5.2 Melatonin sebagai antioksidan Kriteria dari antioksidan yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria, yaitu, dapat berdistribusi luas dalam jaringan, sel, dan subselular. Mampu melewati semua barier morfologi seperti blood-brain barrier dan plasenta serta dapat melakukan transport yang cepat ke dalam sel. Karena sifat melatonin dapat larut dalam lemak dan air maka melatonin adalah antioksidan yang termasuk dalam kriteria tersebut (Karbownik dan Reiter, 2000). Dalam suatu penelitian, diketahui bahwa kemampuan antioksidan melatonin lebih superior dibandingkan antioksidan klasik seperti vitamin C, E, dan β-carotene (Tomas-Zapico dan CotoMontes, 2007). Selain itu, tidak seperti antioksidan lain yang dapat menjadi prooksidan, setelah teroksidasi, melatonin akan mengalami degradasi dan menghilang sehingga tidak berpartisipasi dalam siklus redok. Melatonin tidak berubah menjadi pro-oksidan. Jadi, melatonin dapat diklasifikasikan sebagai
antioksidan terminal (Solis-Herruzo dan Solis-Munoz, 2009; Korkmaz dkk., 2009). Melatonin berfungsi sebagai antioksidan melalui 2 cara, yaitu menangkap radikal bebas dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan. Melatonin dapat menetralisir berbagai radikal bebas, seperti O2•ˉ, OH•, H2O2, ONOO-, 1O2, LOO•, dan NO• (Reiter dkk., 2003). Hal ini disebabkan karena adanya gugus asetil di satu sisi rantai dan gugus metoksi pada posisi 5 dari 31 nukleus indol pada melatonin (Srinivasan dkk., 2011). Melatonin juga menurunkan aktivitas nitrit oksida sintase (NOS) yang merupakan enzim prooksidan. NOS adalah enzim yang meningkatkan sintesa NO• dengan mengubah L-arginine menjadi L-sitrulin (Solis-Herruzo dan Solis-Munoz, 2009). Melatonin dalam kondisi fisiologis dan stres oksidatif dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan. Melatonin menstimulasi aktivitas enzim SOD sehingga O2•ˉ berubah menjadi H2O2 yang lebih tidak toksik. Hal ini juga mengurangi pembentukan ONOO- yang sangat reaktif dan merusak. Enzim katalase dan GPx juga ditingkatkan aktifitasnya oleh melatonin, sehingga H2O2 menjadi H2O. Hal ini mencegah pembentukan OH•, radikal bebas yang bersifat paling reaktif dan berbahaya. Selain itu, melatonin menstimulasi enzim gammaglutamilsistein sintetase sehingga meningkatkan kadar glutation (GSH) yang merupakan substrat bagi enzim GPx untuk metabolisme H2O2. Untuk meningkatkan kadar GSH, melatonin juga meningkatkan aktivitas enzim glutation reduktase (GRx) (Kucukakin, 2010).
Gambar 2.4 Peran tidak langsung melatonin terhadap peningkatan antioksidan (Reiter, 2000) Penelitian-penelitian sebelumnya juga menyebutkan pada tahap sel melatonin meningkatkan antioksidan melalui interaksinya dengan receptordependent atau independent manner (Mahal dkk., 1999). Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui namun dapat dikemukakan beberapa kemungkinan, yaitu: 1. Reseptor-reseptor melatonin yaitu MT1 dan MT2 yang berada di membran sel akan mengaktivasi signal Protein G protein menyebabkan hambatan pada adenylate cyclase (AC) dengan akibat penurunan cyclic AMP (cAMP), regulasi traskripsi gen,aktivasi dari protein subtipe C kinase dan perubahan level Ca++ intraseluler. 2. Melatonin secara independen langsung menembus membran sel dan akan mengubah status redoks pada sel. Melawan ROS di di sitoplasma sel, mitokondria dan nukleus. Di dalam sitoplasma melatonin menjaga keseimbangan GSH dan berinteraksi dengan protein seperti calmodulin (CaCaM), calreticulin dan enzim cytosolic quinine reductase 2 dan MT3.
3. Melatonin juga merupakan ligand untuk Retinoic Related Orphan Receptor (RZR/RORa) untuk meregulasi ekspresi dari enzim-enzim antioksidan seperti glutation peroksidase (GPx), glutation reduktase (GRd) dan superoksida dismutase (SOD).
Gambar 2.5 Melatonin pada tahap sel (Mahal dkk., 1999) Melatonin mempunyai batas keamanan tinggi. Penelitian pada manusia yang diberikan melatonin dosis sangat tinggi (1 g/hari) selama 1 bulan, tidak menunjukkan efek samping. LD50 oral pada tikus >3,2 g/kg berat badan, sedangkan pada mencit >1,3 g/kg berat badan dan termasuk kategori toksisitas sangat rendah (Kucukakin, 2010). Melatonin 200 mg/kg/hari (ekuivalen dengan dosis manusia 14 g/hari) yang diberikan pada tikus betina selama kehamilan, tidak menyebabkan toksisitas pada tikus ataupun pada fetus (Reiter dkk., 2003).
Waktu paruh melatonin hanyalah 0.57-0.67 jam. Setelah pemberian melatonin, kadar melatonin dalam plasma akan meningkat dengan cepat, kemudian kembali ke awal hanya setelah 2-3 jam (Nava dkk., 2003). Efek melatonin tergantung pada waktu pemberian. Dari suatu penelitian, melatonin yang diberikan 1 jam sebelum gelap bekerja lebih baik dibandingkan melatonin yang diberikan 4 jam setelah terang. Hal ini disebabkan karena pada saat gelap, terjadi peningkatan densitas reseptor melatonin dan peningkatan sekresi melatonin oleh kelenjar pineal sehingga menghasilkan kadar melatonin yang tinggi dalam darah (Prunet-Marcassus dkk., 2003). 2.6 Tikus (Rattus norvegicus) Dalam melakukan penelitian dengan hewan diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang penanganan hewan uji. Peneliti harus bekerja dengan tenang,tidak terburu-buru dan menangani hewan uji secara benar, agar penelitian dapat berjalan lancar sesuai dengan rencana (Ngatidjan, 2006). Salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian di bidang kedokteran, farmasi, tumbuhan bahan obat, gizi dan bidang ilmu lainnya adalah tikus putih. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar banyak digunakan sebagai hewan percobaan karena hewan ini mudah diperoleh dalam jumlah banyak, mempunyai respon yang cepat, memberikan gambaran secara ilmiah yang mungkin terjadi pada manusia, dan harganya relatif murah. Pada percobaan ini menggunakan tikus dengan jenis kelamin jantan karena tikus jantan tidak terpengaruh secara hormonal dibandingkan dengan tikus betina (Kram dkk., 2001).