BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Anak Retardasi Mental 2.1.1. Definisi Retardasi Mental Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi mental adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri, menyesuiakan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa retardasi mental (mental retardation) bukan merupakan suatu penyakit, melainkan hasil patologik didalam otak yang menggambarkan keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif. Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, ketrampilan sosial, mengarahkan 11
12
diri, ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan, dana atau keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum umu 18 tahun (Soetjiningsih, dan Ranuh, 2014)
2.1.2. Etiologi Retardasi Mental Subastian CS (2001) dan Harun KH (2002) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014), penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut : 1. Pranatal a. Chromosomal Aberration 1) Sindrom Down 95% kasus Sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya disebabkan oleh transolakasi dari mosaik. 2) Delesi Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan delasi pada kromosom 5p3 3) Sindrom malformasi akibat mikrodelalasi Contoh, sindrom Prader-Wili (paternal origin) dan Angelman (maternal origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q11-12, terdapat perbedaan fenotif kerena mekanisme imprinting. b. Disorder with autosomal-dominan inheritance Contoh adalah tuberus-sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada pembentukan lapisan ektodermal dari fetus. Bila diagnosis tuberus-
13
sclerosis ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa, karena risiko kejadian dapat berulang 50% pada setiap kehamilan. c. Disorder with autosomal-recessive inheritance Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya adalah phenylketonuria (PKU), penyaki metabolik yang banyak diketahui. Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh Folling pada anak dengan retardasi mental. d. X-linked mental retardation Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi mental, setelah Sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi Xq27.3. e. Infeksi Maternal 1) Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat mempengaruhi organogensis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan mengakibatkan gangguan perkembangan fetus (15%). Kelainan akibat infeksi rubela berupa retardasi mental, mikrosefali, gangguan pendengaran, katarak, dan kelainan jantung bawaan. 2) Infeksi
sitomegalovirus
konginetal
dapat
menyebabkan
mikrosefali, gangguan pendengaran sensorineural, dan retardasi psikomotor.
14
3) Toksoplasmosis konginetal mengakibatkan 20% bayi yang terinfeksi mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan perkembangan psikomotor, mata, dan pendengaran. 4) Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
konginetal
dapat
menyebabkan ensefalopati, yang ditandai oleh mikrosefali, kelainan neurologi progresif, retardasi mental, dan gangguan perilaku. f. Zat-zat Racun Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang dapat, menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Alkohol menyebabkan tiga kelainan utama yaitu : (1) Gambaran dismorfik (bila terpajan pada tahap organogenesis), (2) Retardasi pertumbuhan prenatal dan pascanatal, (3) Disfungsi susunan saraf pusat (SSP), termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah alkohol yang dikonsumsi. g. Toksemia kehamilan dan insufesiensi plasenta Intrauterine Growth Retardation (IUGR) banyak penyebabnya. Penyebab yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat mengakibatkan kelainan pada SSP. Prematuritas dan terutama IUGR merupakan
predisposisi
komplikasi
perinatal,
yang
bisa
15
mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan lainnya. 2. Perinatal a. Infeksi Infeksi
pada
perkembangan,
periode
neonatal
dapat
menyebabkan
sekuele
misalnya herpes simplek tipe 2 yang dapat
menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya. Infeksi bakteri yang menyebabkan
sepsis
dan
meningitis
dapat
mengakibatkan
hidrosefalus. b. Masalah kelahiran Asfiksia berat, prematuria, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi mental. c. Masalah perinatal lainnya Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental) karena pemakaian oksigen 100%
pada bayi premature, selain
mengakibatkan kebutaan juga dapat mengakibatkan retardasi mental. Demikian pula, hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ikterus dan retardasi mental. 3. Pascanatal a. Infeksi, isalnya ensefalitis dan meningitis.
16
b. Penyebab pascanatal lainnya Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala pada kecelakaan, dan hampir tenggelam. c. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat d. Masalah psikososial. Misalnya, depresi, deprivasi maternal, kurang stimulasi, kemiskinan, dan lainnya. e. Penyebab tidak diketahui Sekitar 30% retardasi mental berat dari 50% retardasi mental ringan tidak diketahui. Kebanyakan anak yang menderita anak retardasi mental ini berasal dari golongan sosial ekonomi rendah kurangnya stimulasi dari lingkungannya, yang secara bertahap menurunkan IQ bersamaan dengan terjadinya maturasi.
2.1.3. Gejala Klinis Retardasi Mental Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinis yang sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut : 1. Newborn Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistemorgan major. 2. Early infancy (2-4 bulan) Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau pendengaran.
17
3. Later infancy (6-12 bukan) Keterlambatan motorik kasar. 4. Toddlers (2-3 tahun) Keterlambatan atau kesulitan bicara. 5. Preschool (3-5 tahun) Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus: menggunting, mewarnai, dan menggambar 6. School age (>5 tahun) Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian, kecemasan, nakal dan lainnya).
2.1.4. Diagnosis Retardasi Mental Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan kriteria diagnostik untuk anak retardasi metal menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM IV – TR) adalah sebagai berikut : 1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang diperiksa secara individual 2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan individu untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu : komunikasi, self care,
kehidupan
rumah
tangga,
ketrampilan
sosial/interpersonal,
18
menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan 3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun
2.1.5. Klasifikasi Retardasi Mental Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan terdapat bermacam-macam klasifikasi retardasi mental yaitu : 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO Tabel 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan WHO Derajat Ringan Sedang Berat Sangat berat
American Association Mental Deficiency 55-69 40-54 25-39 0-24
Word Health Organization 50-70 35-49 20-34 0-20
2. Menurut Melly dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) : a. Retardasi mental tipe klinik Pada retardasi mental tipe klinik mudah dideteksi sejak dini, karena kalaianan fisik dan mentalnya cukup besar. Penyebab terseringnya adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelaianan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi
19
maupun rendah. Orang tua anak retardasi mental tipe klinik ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelaianan pada anaknya. b. Retardasi mental tipe sosiobudaya. Biasanya, kelaianan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, sehingga tipe ini disebut anak retardasi enam jam, karena begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah. Para orang tua tipe ini tidak melihat adanya kelainan pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa kali. 3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi dua kategori yaitu retardasi mental ringan dan berat Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR
Ringan (IQ) Sedang (IQ) Berat (IQ) Sangat berat (IQ)
DSM-IV-TR 55-69 40-54 25-39 <24
AAMR 52-75 <50
20
Keterangan : AAMR hanya membedakan retardasi mental ringan dan berat. Pembagian ini berdasarkan kriteria yang lebih alamiah, antara lain berdasarkan meningkatnya likelihood dari : a. Penyebab yang dapat didentifikasikan b. Komorbid kesehatan, perilaku dan gangguan psikiatrik c. Ketidakmampuan untuk mengikuti pendidiakn formal d. Kebutuhan untuk perwalian nanti kalau sudah dewasa pada retardasi mental berat
4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan Tabel 3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan
Kategori Ringan Sedang Berat
IQ 55-70 40-54 35-39
Sangat berat
<25
Pendidikan Mampu didik Mampu latih Tidak mampu latih Tidak mampu latih
Bimbingan Kadang –kadang Terbatas Ekstensif
Prevalen 0,9-2,7 % 0,3-0,4 %
Pervasive
Retardasi mental tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe sedang mampu dilatih, sedangkan retardasi mental mental tipe berat dan sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya. Bimbingan untuk anak retardasi mental tergantung pada tingkat kemandirian anak.
2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental Retardasi mental (RM) merupakan suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya keterbatasan kemampuan kognitif, kerterbatasan
21
bahasa, keterbasatan motorik kasar dan halus, dan interaksi sosial (Maslim, 2007). Smith et al dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007) Anakanak retardasi mental secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap prilaku adaptif selama masa perkembangan dari nol tahun sampai 18 tahun. Bidang prilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi meliputi : 1. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum, berpakaian, dan memelihara kesehatan diri. 2. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak 3. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif 4. Keterampilan sosial, keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, tangggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang, dan ekspresi emosi 5. Fungsi
kognitif,
meliputi
pengetahuan
akademik
dasar
(seperti
pengetahuan tentang warna) membaca, menulis, fungsi-fungsi: pengenalan terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran. 6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri, dan memelihara diri secara praktis.
22
7. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, dan cara mengatur pembelanjaan. 8. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan dan mencuci. 9. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan, memanfaatkan sumber-sember lingkungan, penggunaan telepon, menjaga keselamatan lingkungan. 10. Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta prilakunya, keterampilan mencari pekerjaan, prilaku sosial dalam pekerjaan dan menjaga keselamatan kerja
2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak Dan Remaja Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan pada masa praremaja, pertumbuhan lebih cepat dari pada masa prasekolah keterampilan dan intelektual makin berkembang; anak senang bermain berkelompok dengan teman jenis kelamin saa. Sedangkan pada masa remaja. Anak perempuan dua tahun lebih cepat memasuk masa remaja bila dibandingkan dengan anak lakilaki. Masa ini, terjadi pacu tumbuh berat badan dan tinggi badan yang disebut sebagai adoslescent growth spurt (pacu tumbuh aldosteron).
23
Tahap Masa Praremaja (6-12 tahun) : 1.
Teman sebaya sangan penting
2.
Anak mulai berpikir logis, meskipun masih kongkrit dan operasional
3.
Egosentris berkurang
4.
Memori dan kemampuan bahasa meningkat
5.
Kemampuan kognitif meningkat akibat sekolah formal.
6.
Konsep diri berubah, yang mempengaruhi harga dirinya.
Tahap Masa Remaja (13-20 tahun) 1.
Perubahan fisik cepat dan jelas
2.
Maturitas reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa
3.
Teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep dirinya
4.
Kemampuan berpikir asbtrak dan menggunakan alasan yang bersifat alamiah sudah berkembang
5.
Sifat egosentris menentap pada beberapa perilaku.
24
2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental
Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental
Tingkat Retardasi Mental
Umur pra-sekolah: 0-5 tahun Pematangan dan Perkembangan Retardasi berat: kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensori-motorik; membutuhkan perawatan
Umur Sekolah: 6-20 tahun Latihan dan Pendidikan
Berat
Perkembangan motorik kurang; bicara maksimal; pada umumnya tidak dapat dilatih untuk mengurus diri-sendiri; keterampilan komunikasi tidak ada atau hanya sedikit
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar; dapat dilatih secara sistemik dalam kebiasaan
Sedang
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; kesadaran sosial kurang; perkembangan motorik cukup; dapat mengurus diri sendiri; dapat diatur dengan pengawasan sedang.
Ringan
Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi; keterbelakangan minimal dalam bidang sensomotorik; sering tidak dapat dibedakan dari normal hingga usia tua
Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan; sulit mengalami perkembangan dalam bidang akademik setelah kelas dua SD;dapat berpergian sendiri ketempat yang sudah dikenal Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada umur belasan tahun; dapat dibimbing ke arah konformitas sosial
Berat sekali
Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan terus mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas
Masa dewasa: 21 tahun atau lebih Kecukupan Sosial dan Pekerjaan Perkembangan motorik dan berbicara sedikit; dapat mencapai mengurus diri sendiri secara sangat terbatas; membutuhkan perawatan. Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri dibawah pengawasan penuh; dapat mengembangkan secara minimal berguna keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol. Memerlukan pengawasan dan bimbingan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang ringan
Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan pekerjaan yang cukup mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang luar biasa. Sumber: Freedman, AM.,H.I dan Sadock, B.J. ; Modem Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry, Wiliams &Wilkins Co, Baltimore, 1972, HI. 313 dalam Maramis 2009.
25
2.1.9 Penatalaksanaan Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan penatalaksanaan anak retardasi mental meliputi tiga hal yaitu : 1. Pendekatan yang berhubungan dengan etiologi, misalnya menetapkan diet secara dini untuk penderita yang penyebabnya adalah fenilketonuria atau substansi hormon ini. 2. Terapi untuk gangguan fisik dan mental yang menyertai retardasi mental 3. Pendidikan yang sesuai dan rehabilitasi Keterbatasan anak retardasi mental dapat dikurangi dengan modifikasi perilaku, sehingga modifikasi perilaku perlu diberikan kepada anak retardasi mental melalui terapi perilaku (Nisa, 2010). Efendi (2006) Jenis terapi perilaku yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu melalui kegiatan bermain. Terapi permainan yang diberikan yang memiliki muatan antara lain: 1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda. 2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak retardasi mental (Prasedio dalam Efendi 2006). Nisa (2010) menyatakan nilai terapi yang penting dalam perkembangan anak retardasi mental yaitu: 1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, peredaran darah, dan pencernaan makanan
26
2. Pengembangan sensomotorik, melalui bermain dapat melatih ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan melatih kemampuan gerak. 3. Pengembangan daya khayal, anak diberi kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan untuk pengembangan kreasinya 4. Pembinaan pribadi, anak berlatih memperkuat kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan, dan percaya diri 5. Pengembangan
sosialisasi,
anak
bermain
dengan teman
sebaya,
berkelompok, anak harus mampu menerima kekalahan, menunggu giliran, setia, jujur, terjadinya komunikasi dan interaksi antara individu. 6. Pengembangan intelektual, dalam permainan yang dilakukan, anak diberi kesempatan untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas apa yang dilihat dan didengar tentang permainan yang dilakukan.
2.2.
Interaksi Sosial
2.2.1.
Definisi Interaksi Sosial Interaksi sosial menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial. Dari interaksi antar individu dan kelompok, dan antar kelompok akan tumbuh jalinan kerja sama, saling membutuhkan, dan saling pengertian yang sangat penting dalam mewujudkan kehidupan bersama yang dinamis. Interaksi sosial adalah bentuk umum proses sosial, di mana individu dan kelompok mengembangkan cara-
27
cara yang berhubungan dengan individu dan kelompok lain (Maryati dan Suryawati, 2007).
Sunaryo (2004) menyebutkan interaksi sosial mulai apabila dua orang bertemu, misalnya saling menyapa, saling berjabat tangan, saling berbincangbincang, atau mungkin saling berselisih. Suatu tindakan disebut interaksi sosial apabila individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu lain. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk hubungan antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan psikisnya.
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial Murdiyatmoko (2007) menyatakan interaksi sosial bersifat dinamis dan merupakan dasar bagi proses sosial. Sosiologi menelaah proses sosial, seperti bagaimana cara anggota masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi sosial. Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terjadi saling aksi dan reaksi antara kedua belah pihak. Interaksi sosial tidak akan terajdi jika manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap system sarafnya sebagai akibat hubungan tersebut. Interaksi sosial harus terjadi dua arah dan menuntut timbal balik. Proses interaksi sosial baru akan berlangsung jika suatu aktivitas menciptakan aksi atau mempengaruhi orang lain untuk bereaksi. Berlangsungnya suatu proses
28
interaksi yang didasari oleh pada berbagai faktor antara lain faktor imitasi, sugesti, indentifikasi, dan simpati. 1. Imitasi Imitasi adalah suatu tindakan yang menirukan tindakan, nilai, norma, atau ilmu pengetahuan orang atau kelompok yang berinteraksi. Faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat panting dalam proses interaksi sosial yang dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah dan nilai yang berlaku Imitasi mempunyai dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut : a. Imitasi positif, yaitu apabila mendorong seseorang untuk melakukan dan memahami kaidah-kaidah yang berlaku. b. Imitasi negatif, yaitu apabila mengakibatkan terjadinya hal-hal yang bertentangan
dengan
norma-norma
dan
kaidah-kaidah
serta
melemahkan daya kreasi seseorang. Contohnya kebiasaan minumminuman keras serta pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi. 2. Sugesti Sugesti timbul apabila seseorang meniru suatu pandangan atau sikap orang lain secara tidak rasional. Sugesti mungkin terjadi apabila yang memberi pandangan itu orang yang berwibawa, bersifat otoriter, atau orang yang memiliki disiplin yang mantap. Contohnya, orang yang sedang stres atau dilanda suatu masalah yang sangat dilematis.
29
3. Identifikasi Identifikasi merupakan kecendrungan atau keinginan seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (tidak sadar) atau disengaja. 4. Simpati Simpati adalah suatu proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Dalam proses ini, perasaan seseorang memegang peranan yang sangat penting. Contohnya, seorang siswa ikut bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional karena tertarik dan merasa simpati kepada pelatihnya yang pandai menari.
2.2.3. Bentuk Interaksi Sosial Soekanto dalam Sunaryo (2004) menyebutkan ada empat bentuk interaksi sosial , yaitu kerja sama (cooperation), persaingan (compettion), pertentangan atau
pertikaian
(conflict),
dan
akomodasi
atau
penyesuaian
diri
(accommodation). Untuk jelas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kerja sama (cooperation) Kerja sama (cooperation) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang utama. Kerja sama adalah bentuk usaha bersama antara orang perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Timbulnya kerja sama karena adanya kepentingan bersama. Kerja sama bertambah kuat apabila ada musuh bersama atau
30
ancaman bersama. Kerja sama juaga dapat bersifat agresif
apabila
kelompok mengalami kekecewaan dan perasaan tidak puas 2. Persaingan (competition) Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok menusia bersaing, mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang telah ada. Tipe persaingan bisa adalah bersifat pribadi (rivalry) dan bersifat tidak pribadi. Bentuk persaingan, antara lain persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, serta persaingan ras. 3. Pertentangan atau pertikaian (conflict) Pertentangan atau pertikaian (conflict) adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Penyebab terjadinya pertentangan,
yaitu perbedaan antarindividu,
perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan individu. Bentuk–bentuk
pertentangan,
antara
lain
pertentangan
pribadi,
pertentangan rasial, pertentangan antarkelas sosial, pertentangan politik, dan pertentangan yang bersifat internasional.
31
4. Akomodasi atau penyesuaian diri (accommodation) Akomodasi berarti adanya suatu keseimbangan (equikebrium), dalam interaksi antara orang perorangan atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan normal sosial dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses, yang menunjukan pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usahausaha untuk mencapai kestabilan. Secara umum akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomudasi adalah mengurangi pertentangan dan mencegah meledaknya pertentangan secara temporer.
2.2.4. Jenis-Jenis Interaksi Sosial Raharjo (2004) menyebutkan ada tiga jenis interaksi sosial yaitu : 1. Interaksi antara individu dengan individu Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada individu lainnya. Sedangkan individu yang terkena pengaruh tersebut memberikan reaksi, tanggapan, atau respon. Seperti jabat tangan atau berbicara
32
2. Interaksi antara individu dengan kelompok Individu yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial. Contoh: seorang guru mengajari siswa-siswa di dalam kelas. 3. Interaksi antara kelompok dengan kelompok Hubungan interaksi antara kelompok sosial yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial lainnya. Seperti: satu kesebelasan sepak bola melawan kesebelasan sepak bola lainnya.
2.2.5. Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang Pengukuran kemampuan interaksi sosial pada anak retardasi mental menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh Wardhani (2012). Indikator dari kemampuan interaksi sosial adalah anak melakukan kontak mata dengan peneliti dan peneliti pendamping, anak membalas senyuman peneliti pendamping dan peneliti, anak mampu menjawab tiga pertanyaan dari peneliti pendamping, anak menunjukkan barang miliknya kepada orang lain, peneliti dan peneliti pendamping, anak mampu bermain dengan teman sebaya, anak mengikuti permainan sesuai peraturan yang telah dibuat, anak tetap bermain dengan temannya walaupun tidak ada guru/ pengasuh /petugas disaat jam istirahat, anak berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan disekolah, anak mampu bertanya / bertukar pendapat dengan teman yang lainnya, dan anak mampu bekerja sama dengan
33
kelompok. Dikatakan kurang apabila skor menunjukkan 0 – 3, cukup jika skor menunjukkan 4 – 6, dan baik jika skor menunjukkan 7 – 10. 2.2.6. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial Soeroso (2008) menyebutkan kontak sosial dan komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi sosial 1. Kontak Sosial Sebagai gejala sosial, kontak sosial tidak berarti bersinggungan fisik, akan tetapi berhubungan atau bertatap muka antara individu dengan individu lainya. Kontak sosial adalah pertemuan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok yang memungkinkan terjadinya komunikasi. Kontak sosial dapat dibedakan menjadi kontak primer dan kontak sekunder. Kontak sosial primer adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung atau tanpa menggunakan bantuan sarana. Kontak sosial primer dibedakan menjadi dua yaitu tatap muka dan gerak tubuh. Kontak sosial sekunder adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. Sarana yang sering digunakan berupa orang sebagai perantara, artinya orang tersebut menjebatani interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kontak sosial sekunder lainnya
34
adalah menggunakan media masa, baik media elektronik maupun media cetak juga dapat melalui telepon . 2. Komunikasi Komunikasi dilihat sebagai bagian dari interaksi sosial. Jika interaksi sosial sebagai aktivitas, maka komunikasi diberikan pengertian sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi terbagi menjadi dua macam yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang secara langsung dengan kata-kata yang ada. Penyampain pesan berbicara secara terstruktur tentang pesan apa yang akan disampaikan kepada masyarakat.
Komunikasi
nonverbal
adalah
komunikasi
yang
menggunakan tulisan atau gambar seperti spanduk, selebaran iklan atau pamphlet. Sarana atau saluran media yang digunakan pada masyarakat sederhana adalah komunikasi verbal, yaitu menggunakan kata-kata oleh orang yang dianggap mampu menyampaikan pesan tersebut.
2.2.7. Faktor-Faktor Penghambat Perkembangan Sosial Anak Retardasi Mental Wardhani (2012) menyebutkan bahwa faktor – faktor penghambat perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu : 1. Intelegensi rendah yaitu anak retardasi mental mengalami keterbatasan sosialisasi dikarenakan tingkat intellegensianya yang rendah. Kemampuan
35
penyesuaian diri dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh kecerdasan, karena tingkat kecerdasan anak retardasi mental berada dibawah normal, maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami hambatan. Anak yang IQ-nya lebih tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari pada anak yang IQ-nya normal atau dibawah normal (Hurlock 2005). 2. Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya. Meskipun anak sudah mendapatkan pendidikan di sekolah khusus, tetapi kemampuan sosialisasinya masih kurang. Hal ini dikarenakan materi di sekolah lebih difokuskan untuk peningkatan intelligen. Kegiatan yang dilakukan secara bersama/berkelompok masih jarang dilakukan, seperti bermain secara berkelompok, sehingga peran aktif anak untuk memacu dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar
juga
kurang.
Untuk
itu
diperlukan
stimulasi
berupa
kegiatan/permainan yang dapat dilakukan dengan berkelompok secara rutin dan berkelanjutan demi meningkatkan peran aktif anak dalam mengembangkan kemampuan sosialisasinya. 3. Peran aktif anak rendah dimana peran aktif anak juga dapat berpengaruh. Anak harus memacu dirinya sendiri untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa saling berdiskusi dan bekerja sama dengan teman sekelompok, serta dengan
36
adanya kelompok lawan yang memiliki tingkat kemampuan sosialisasi yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi dengan permainan. 4. Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi perkembangan kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, hal ini berdampak pada minimnya pengetahuan yang diperoleh seputar kondisi anak dan pemenuhan kebutuhan/stimulasi untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya.
2.2.8. Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok (Mila dan Ida, 2006). Interaksi
sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, berbincangbincang, bahkan berselisih (Tim Mitra Guru, 2006).
Sebagai
anggota
masyarakat
anak
retardasi
mental
tidak
mampu
melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau orang lain, hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi
37
anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Untuk memaksimalkan fungsi interaksi sosial anak retardasi mental maka perlu diberikan stimulus dengan cara bermain.
2.3
Terapi Bermain
2.3.1. Definisi Bermain Permainan adalah alat stimulus paling penting untuk anak. Bermain juga dapat meningkatkan kemampuan fisik anak, pengalaman, dan pengetahuan serta berkembang keseimbangan mental anak (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014) Bermain merupakan cara ilmiah bagi orang anak untuk mengungkapkan konplik orang tua dan lingkungan. Dalam hal ini anak sudah mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya (Riyadi dan Sukirman, 2009). Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan (Supartini, 2004).
Bermain merupakan bentuk
infatil dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi berbagai macam pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Nursalam, Rekawati, dan Utami, 2005). Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah laku bermasalah, dengan menempatkan anak dalam situasi bermain, baisanya ada ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak merasa lebih santai dan anak dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas (Adriana, 2011)
38
2.3.2. Fungsi Bermain Wong et al (2009) menyebutkan fungsi bermain adalah sebagai berikut : 1. Perkembangan sensimotor Aktivitas sensimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia dan merupakan bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan akitif penting untuk perkembangan otot-otot dan bermanfaat untuk melepas kelebihan energi. Melalui permainan sensimotor anak mengenali sifat dunia fisik. Bayi memperoleh kesan tentang diri sendiri dan dunia mereka melaui stimulasi taktil, auditorius, visual, dan kinestetik. Toddler dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh utuk mengeksplorasi segala sesuatu diruangan. 2. Perkembangan Intelektual Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna, bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka mempelajari fungsi
angka-angka
dan
cara
menggunkannya,
mereka
belajar
menghubungkan kata dengan benda, dan mereka mengembangkan pemahaman tentang konsep abstrak dan hubungan spasial seperti naik, turun, bawah dan atas.
Ketersediaan materi permianan dan kualitas
keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif selama masa bayi dan prasekolah.
39
3. Sosialisasi Sejak masa bayi awal, anak-anak menunjukan minat dan kesenangan apabila ditemani dengan anak lain. Hubungan sosial pertamanya adalah dengan pribadi ibu, tetapi melalui bermain dengan anak lain, mereka belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan hubungan ini. Mereka belajar untuk saling memberi dan saling menerima, mereka banyak belajar dari kritikan teman sebayanya dibandingkan dari orang dewasa. Anak-anak mempelajari yang benar dan yang salah, standar masyarakat, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. 4. Kreativitas Tidak ada situasi lain yang lebih memberi kesempatan untuk menjadi kreatif selain bermain. Anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam bermain melalui setiap media yang mereka miliki, termasuk bahanbahan mentah, fantasi, dan eksplorasi. Kreativitas terutama merupakan hasil dari aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali ditingkatkan dalam kelompok ketika mendengar
ada orang lain yang
merangsang eksplorasi lanjutan dari idenya sendiri.
Ketika anak
merasakan kepuasan dari menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.
40
5. Kesadaran diri Bermula dari eksplorasi aktif tubuh anak dan kesadaran diri bahwa mereka terpisah dari ibunya, proses identifikasi diri difasilitasi melalui kegiatan bermain. Anak-anak belajar mengenali siapa diri mereka dan di mana posisi mereka. Mereka semakin mampu mengatur tingkah laku mereka sendiri, mempelajari kemampuan diri mereka, dan membandingkan dengan anak yang lain. Melalui bermain anak menguji kemampuan mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai peran dan mempelajari dampak dan perilaku mereka pada orang lain. 6. Manfaat terapeutik Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermian memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stres yang dihadapi di lingkungan. Dalam bermain anak dapat mengekspresikan emosi dan melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat diterima masyarakat. Anak-anak banyak menunjukan diri mereka sendiri dalam bermain. Melalui bermain anak-anak mampu mengomunikasikan kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak dapat mereka ekspresikan karena keterbatasan keterampilan bahasa mereka. Selama bermain anak perlu penerimaan dan perlu didampingi oleh orang dewasa untuk membantu mereka mengontrol agresi dan menyalurkan kecendrungan destruktif mereka.
41
7. Nilai moral Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang perilaku yang dianggap benar dan salah menurut budaya, interaksi dengan sebaya selama bermain berperan secara bermakna pada pembentukan moral mereka. Tidak ada tempat yang memberikan penguatan standar moral sekaku dalam situasi bermain. Bila mereka ingin diterima sebagai anggota kelompok, anak harus menaati aturan perilaku yang diterima budaya (misal, jujur, adil, kontrol diri dan mempertimbangkan orang lain). Anak segera mempelajari bahwa sebaya mereka kurang toleren terhadap kekerasan dibandingkan orang dewasa bahwa untuk mempertahankan tempat dan kelompok bermain mereka harus menyesuikan diri dengan standar kelompok tersebut.
2.3.3 Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain Soetijiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan alat permainan yang bervariasi sehingga bila bosan permainan yang satu, dapat memilih permainan lainnya. Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain aktif dan pasif, yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif, kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan bermain pasif kesenangan didapat dari orang lain.
42
1. Bermain aktif a. Bermain mengamati/menyelidiki (exploratory play) Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat permaianan
tersebut.
Anak
memeperhatikan
alat
permaianan,
mengocok-ngocok apakah adanya bunyi, mencium, meraba, menekan, dan kadanga-kadang berusaha membongkar. b. Bermain konstruktif (contruction play) Pada anak umur tiga tahun, misalnya menyusun balok menjadi rumahrumahan, bermain puzzle, lego dan lainnya. c. Bermain drama Misalnya main sandiwara boneka, dan dokter-dokteran dengan temannya. d. Bermain bola, tali dan sebagainya 2. Bermain pasif Anak berperan pasif, anatar lain melihat dan mendengar. Bermain pasif ini baik dilakukan apabila anak sudah lelah bermain aktif dan membutuhkan sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya. Contoh: a. Melihat gambar-gambar di buku-buku atau majalah b. Mendengar cerita atau dongeng atau musik c. Menonton tv atau video.
43
2.3.4 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aktivitas Bermain Soetjiningsih dalam Nursalam, Rekawati, dan Utami (2005) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar aktivitas bermain bisa menjadi stimulasi yang efektif, antara lain : 1. Energi ekstra atau tambahan Bermain memerlukan energi yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi yang memadai, asupan yang kurang menurunkan gairah anak, anak yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenuh. Pada anak sakit, keinginan bermain umunya menurun karena energi yang digunakan untuk mengatasi penyakitnya. Aktivitas bermain anak sakit adalah bermain pasif. 2. Waktu Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga stimulasi yang diberikan dapat optimal. Selain itu anak akan mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat permainannya. 3.
Alat permainan Alat permainan yang digunakan harus disesuaikan dengan umur dan taraf perkembangan anak.
4. Ruangan untuk bermain Aktivitas bermain bisa dilakukan dimana saja. Bila memungkinkan disediakan ruangan atau tempat khusus untuk bermain, dimana ruangan
44
tersebut menjadi tempat untuk menyimpan mainan. Syarat ruang bermain, menarik dan menyengkan, bersih, aman dan nyaman bagi anak. 5. Pengetahuan cara bermain Anak belajar bermain dari mencoba-coba sendiri, meniru temantemannya, atau diberitahu oleh orang tuanya. Cara yang terakhir adalah yang terbaik karena anak lebih terarah dan lebih berkembang pengetahuannya dalam menggunakan alat-lat permaianan tersebut. 6. Teman bermain Dalam bermaian anak memerlukan teman, bisa teman sebaya, saudara, atau orang tuanya. Bermain yang dilakukan bersama orang tuanya akan mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberi kesempatan pada orang tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami anaknya. Bermain dengan teman diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan membantu anak dalam memahami perbedaan.
2.3.5 Klasifikasi Bermain Adriana (2011) menyatakan ada beberapa jenis permainan ditinjau dari isi permainan maupun kerakter sosialnya sebagai berikut: 1.
Berdasarkan Isi Permainan a. Sosial Affectif Play Ini permainan ini adalah adanya hubungan interpersoanal yang menyanangkan antara anak dan orang lain. Misal, permainnan “ciluk
45
ba”, berbicara sambil tersenyum atau tertawa, memberikan tangan kepada bayi untuk menggenggamnya. Bayi akan mencoba berespon terhadap tingkah laku orang tuanya atau orang dewasa tersebut dengan tersenyum, tertawa dan mengoceh. b. Sensse-Pleasure Play Permainan ini menggunakan alat permainan yang menyenangkan pada anak dan mengasyikan. Misalnya dengan menggunakan air, anak akan memindah-mindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik bersentuhan dengan alat permainan ini lain sehingga susah untuk dihentikan. c.
Skill play Permainan ini dapat meningkatkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Semakin sering melakukan kegiatan anak akan semakin terampil. Misalnya, bayi akan terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ketempat lainnya.
d. Game Game atau permaian adalah jenis permianan yang menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan dan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan anak sendiri atau dengan temannya.
46
e. Unoccupied behavior Anak tidak memainkan alat permianan tertentu, namun anak terihat mondar mandir, tersenyum, tertawa, membungkuk memainkan kursi atau apa saja yang ada sekelilingnya. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan situasi serta lingkungannya. f. Dramatic play Pada permianan ini anak memainkan peran sebagai orang lain melalui perannya. Apabila anak bermain dengan teman sebayanya, akan terjadi percakapan diantara mereka tentang peran yang akan mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran tertentu. 2. Berdasarkan Karakter Sosial a. Social Onlocker Play Pada permainan ini anak hanya mengamati temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk berpartisipasi dalam permainan. Anak tersebut besifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya. b. Solitary Play Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan, tetapi anak bermian sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya,
47
dan alat permaianan tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada kerjasama, ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya. c. Paralle play Pada permianan ini, anak dapat menggunakan permainan yang sama, tetapi anak satu dengan anak yang lain tidak terjadi kontak satu sama lain. Biasanya permianan ini dilakukan oleh anak seusia toddler. d. Assiociative play Pada permainan ini terjadi komunikasi antara anak satu dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada yang memimpin permianan, dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh bermain boneka, masakmasakan, dan hujan-hujanan. e. Cooperative play Pada permainan ini terdapat aturan permainan dalam kelompok, tujuan dan pemimpin permainan. Pemimpin mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai tujuan yang diharapkan dalam permainan. Misalnya bermain bola.
Permainan kooperatf adalah permainan di mana para pemain dapat membuat kesepakatan yang mengikat dengan lawan bermain (Nasar, 2005) Permainan kooperatif (kerja sama) bersifat teratur, dan anak bermain dengan kelompok (Wong et al, 2009). Bermain kooperatif
48
merupakan bermain bersama-sama dengan adanya aturan yang jelas, sehingga terbentuk perasaan kebersamaan dan terbentuk hubungan antara pemimpin dan pengikut. Permainan ini bersifat aktif, di mana anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya. Selain itu, jenis permainan ini juga dapat melatih anak pada peraturan kelompok sehingga anak dituntut mengikuti permainan (Hidayat, 2008).
Terapi bermain : cooperative play dengan puzzle yang dilakukan selama 20 menit secara berkesinambungan setiap dua hari selama tiga minggu dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anak (Wardhani, 2012)
Rasyid (2012) dalam Ariyanti, Ngadino dan Palupi (2014), permainan ini berorientasi pada pengembangan kemampuan bekerjasama dan sosialisasi diri anak. Model ini bertujuan untuk membangun pola laku taat aturan, tahu aturan, membangun kerjasama, persahabatan, empati, berbagi, dan penolong. Monopoli adalah salah satu permainan cooperative play, dalam permainan ini anak bermain bersama-sama dan mengembangkan kerja sama antar anak.
49
2.3.6 Permainan Monopoli 1. Pengertian Monopoli Monopoli adalah salah satu permainan papan yang paling terkenal di dunia, permainan miltiindividu yang melibatkan lebih dari satu orang. Permainan monopoli merupakan salah satu permainan yang dalam aturan mainanya menggunakan uang, dadu sebagai alat penentu giliran bermain, dan papan yang terdapat gambar tempat yang akan disinggahi pemainnya. Pemainan monopoli ini dipilih sebagai media pembelajaran yang edukatif dan menarik karena dibingkai dalam sebuah permainan. (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012) 2. Tujuan Permainan Monopoli Tujuan permainan ini adalah terjadinya komunikasi, interaksi antar pemain dan
untuk menguasai semua petak di atas papan melalui
pembelian, penyewaan dan pertukaran properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012). 3. Manfaat Permainan Monopoli Penelitian yang dilakukan oleh Alamiah (2012) mengenai Pengembangan Media Permainan Monopoli Bimbingan Kelompok untuk meningkatkan keterampilan bergaul di kelas. Penelitian tersebut memperoleh nilai prosentase 88,33%, dan kemudian menghasilkan data kualitatif bahwa produk permainan monopoli, dapat meningkatkan ketrampilan bergaul berkategori sangat baik dan dinyatakan layak digunakan dalam kegiatan
50
bimbingan kelompok untuk meningkatkan ketrampilan bergaul di kelas (Linda dan Nursalim, 2014). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa media monopoli sangat cocok digunakan sebagai salah satu media dalam meningkatkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang.
4. Peraturan Permainan Monopoli Setiap pemain melemparkan dadu secara bergiliran untuk memindahkan bidaknya, dan apabila pemain mendarat di petak yang belum dimiliki oleh pemain lain, pemain dapat membeli petak itu sesuai harga yang tertera. Bila petak itu sudah dibeli pemain lain, pemain yang mendarat pada petak itu harus membayar pemain itu uang sewa yang jumlahnya juga sudah ditetapkan. Apabila pemain dapat mendarat pada petak dana umum atau kesempatan pemain harus mengambil kartu sesuai dana umum atau kesempatam sesuai dengan petak kemudian pemain melakukan sesuai dengan instruksi yang ada di dalam kartu (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012). Pada permainan cooperative play dengan monopoli menggunakan durasi selama 20 menit selama tiga minggu dengan pertemuan sebanyak sembilan kali.
Untuk memainkan monopoli, dibutuhkan peralatan-peralatan ini antara lain bidak-bidak untuk mewakili pemain, dua buah dadu bersisi enam, kartu hak milik untuk setiap properti, uang-uangan, rumah-rumahan dan hotel-hotelan (Novita, Rahmawati, dan Qowi, 2012).
51
5. Kelebihan dan Kekurangan Monpoli Media permainan monopoli yang dikembangkan memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut tabel kelebihan dan kekurangan dari media monopoli yang telah dikembangkan (Susanto, Raharjo dan Prastiwi, 2012).
Tabel 5 Kelebihan dan Kekurangan Media Monopoli No 1 2 3
4
5 6 7
8
Kelebihan Proses pembutannya sederhana Tidak membutuhkan ruangan yang besar untuk menyimpannya Permainan ini memiliki banyak komponen sehingga dapat melatih ketelitian dan kesebaran anak untuk merapikan kembali setelah menggunakan Mudah dibawa dan dipindahkan
Perawatan dan pemeliharaanya relatif mudah Mudah dioperasikan Pemain dapat merasakan rasa senang, merasa ingin tahu, terjadi komunikasi dan interaksi antar pemain. Dibuat dengan penuh warna sehingga tidak membosankan
Kekurangan Tidak dapat dimainkan secara perorangan (minimal 3 orang) Membutuhkan waktu yang agak lama untuk memluai permainan Untuk memainankan membutuhkan meja yang datar
Untuk menentukan pemenang harus menukarkan jumlah uang ke bank/peneliti pendamping -
-
2.3.7 Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Wolly dan Wong (2005) menyatakan bahwa perkembangan anak retardasi mental dengan kemampuan dalam interaksi sosial yang meliputi kontak sosial dan komunikasi kurang maka diperlukan adanya stimulasi atau perangsangan yang diberikan untuk merubah perilaku anak menjadi lebih baik. Salah satu
52
stimulasi yang dapat diberikan kepada anak dapat melalui permainan. Hal ini juga diperkuat oleh Yuyun (2010) dalam Astuti (2012) dengan pernyataannya bahwa interaksi sosial dapat dicapai melalui suatu permainan, diantaranya permainan untuk meningkatkan motorik halus, motorik kasar, personal sosial dan bahasa.
Memberikan stimulasi yang berulang dan terus-menerus pada setiap aspek perkembangan anak berarti telah memberikan kesempatan pada anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Nursalam, Rekawti, dan Utami, 2005). Sedangkan bermain itu sendiri merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktekkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2012) hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan interaksi sosial pada anak retardasi mental dengan terapi bermain dengan ular tangga. Stimulasi ular tangga yang dilakukan sampai delapan kali dimana permainan tersebut dilakukan oleh lima orang, menunjukkan suatu kebersamaan, saling bicara atau saling komunikasi serta adanya kontak sosial yang menciptakan interaksi sosial. Melalui permainan ular tangga dapat meningkatkan interaksi sosial yaitu permainan tersebut dilakukan oleh lebih dari dua orang, menunjukkan suatu kebersamaan, saling
53
bicara atau saling komunikasi, serta dapat menimbulkan kegembiraan, pertikaian dan persaingan untuk memenangkannya.
Cooperative play dengan monopoli adalah permainan yang dilakukan secara bersama-bersama, dimana permainan yang terorganisir serta ada aturan permainnanya. Dengan bermain bersama anak akan melakukan kontak sosial yang merupakan syarat terjadinya interaksi sosial, kontak sosial yang bisa terjadi melalui permainan monopoli adalah kontak mata antar pemain. Kontak sosial adalah pertemuan individu dengan individu, individu dengan kelompok yang memungkinkan terjadinya komunikasi (Supartini, 2004; Soeroso, 20008). Kegiatan bermain bersama orang lain mampu mempermudah anak untuk berinteraksi, karena anak tidak ada lagi bermain sendiri, dan permainan terkonsep yang memiliki aturan di dalamnuya dapat membuat para pemain berinteraksi melalui permainan tersebut. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa berdiskusi dengan teman lainnya., serta dengan adanya lawan pemain yang memilki tingkat kemampuan sosialisasi yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi dengan permainan (Wardhani, 2012). Peningkatan interaksi sosial anak dengan pemberian stimulasi bermain tejadi karena anak mulai memahami cara bermain, beradaptasi bermain secara berkelompok dan saling memahami karakter teman sepermainannya (Astuti, 2012).
54
Paraturan permianan monopoli yang mengharuskan pemainannya untuk membayar sewa apabila bidaknya mendarat pada petak yang telah dimiliki pemain lain yang menyebabkan antar pemain untuk saling berkomunikasi dalam transaksi penyewaan (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012). Anak belajar berkomunikasi seperti menjawab pertanyaan dari lawan bicara atau pemain lain dan meminta uang sewa kepada pemain lain. Salah satu tujuan permaian mopoli adalah untuk menguasai semua petak di atas papan, yang menyebabkan terjadinya persaingan antar pemain, persaingan merupakan salah satu bentuk dari interaksi sosial. Selain persaingan bentuk interaksi sosial yaitu kerjasama juga akan terjadi dalam permaianan monopoli. Permianan mopoli memerlukan peralatan antara lain bidak-bidak, dua buah dadu, kartu hak milik, uang-uangan dan rumah-rumahan yang perlu dirapikan ketika permain berakhir dan membutuhkan kerjasama antar pemain dalam merapikannnya (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012 ; Soeroso, 2008).
��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������