BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1
Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran rakyat meningkat. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Menurut Saad (2009) dalam Mawarni et al (2013) Pertumbuhan ekonomi merupakan dasar untuk pembangunan berkelanjutan. Pemerintah dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan memprioritaskan: perbaikan infrastruktur; peningkatan pendidikan; pelayanan kesehatan; membangun fasilitas yang dapat mendorong investasi baik asing maupun lokal; menyediakan perumahan dengan biaya rendah; melakukan restorasi lingkungan; serta penguatan di sektor pertanian. Ciri-ciri
pertumbuhan
ekonomi
berdasarkan
komponennya menurut Kuznet dalam Jhingan (2000): (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk perkapita; 11
produk
nasional
dan
12
(2) peningkatan produktivitas; (3) laju perubahan struktural yang tinggi; (4) urbanisasi; (5) ekspansi negara maju;dan (6) arus barang, modal dan orang antar bangsa.
2.1.2
Belanja Modal
Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dimana aset tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja dan bukan untuk dijual (PMK No.91/PMK.06/2007). Sedangkan menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-33/PB/2008 yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Peraturan pemerintah no. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi pemerintahan mendefinisikan belanja modal sebagai pengeluaran anggaran yang digunakan untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya. Syaiful (2006) dalam Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan Belanja Modal dapat dikategorikan menjadi 5
13
(lima) kategori utama yaitu Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan Bangunan, Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, dan Belanja Modal Fisik Lainnya. 1. Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan baik untuk penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk
pengadaan/penambahan/penggantian,
serta
termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
14
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk
pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan
pembangunan/pembuatan serta perawatan, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5. Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan baik untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal sebelumnya, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, serta jurnal ilmiah. Jumlah nilai belanja yang di kapitalisasi menjadi aset tetap adalah semua belanja yang dikeluarkan sampai dengan aset tersebut siap digunakan atau biaya perolehan. Dalam penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) anggaran belanja modal disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik. Sesuai dengan peruntukannya tersebut, maka belanja modal dibagi dalam 2 kategori yaitu belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja modal yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung,
15
sedangkan belanja aparatur adalah belanja modal yang manfaatnya dirasakan secara langsung oleh aparatur pemerintahan. 2.1.3
Derajat Desentralisasi
Dalam Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dijelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam
Sistem
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Diberlakukannya desentralisasi fiskal dimaksudkan agar pemerintah dapat melaksanakan dan mengatur rumah tangganya secara mandiri. Namun pemerintah pusat masih memberikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah hanya sebagai stimulus bagi daerah. Derajat Desentralisasi merupakan tingkat kemampuan daerah dalam kemandirian fiskal. Derajat desentralisasi merupakan sebuah rasio yang mengindikasikan kontribusi PAD terhadap total Pendapatan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi pula kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Rumus yang digunakan dalam menghitung Derajat Desentralisasi adalah sebagai berikut.
16
2.1.4
Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Dana Alokasi Umum merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dan di sisi lain juga memberikan sumber pembiayaan daerah. Terdapat 2 Kriteria DAU menurut UU no 33 tahun 2004, yaitu: 1.
jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
2.
DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa DAU lebih diprioritaskan untuk daerah
yang mempunyai kapasitas fiskal yang rendah. DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka otonomi daerah (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Menurut Harianto dan Adi (2007) DAU berfungsi untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi potensi penerimaan daerah yang ada, sehingga distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan yang relatif besar akan lebih kecil dan begitu pula sebaliknya. DAU dihitung dengan menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar AD berupa jumlah gaji PNS. Formula DAU tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
17
DAU = AD + CF Dimana: DAU = Dana Alokasi Umum AD = Alokasi Dasar CF = Celah Fiskal Alokasi Dasar (AD) dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku. Celah Fiskal (CF) merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal (KbF – KpF). Dengan demikian, daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dengan kebutuhan fiskalnya rendah maka perolehan Dana Alokasi Umum yang akan didapatkan jumlahnya akan kecil. Dan sebaliknya bagi daerah yang kapasitas fiskalnya rendah, sementara kebutuhan akan fiskalnya tinggi, sudah dipastikan Dana Alokasi Umum yang akan didapatkan jumlahnya akan besar. Jika dalam perhitungan menghasilkan celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima oleh Pemda sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Celah fiskal negatif atau kapasitas fiskal yang lebih besar dari kebutuhan fiskal menandakan bahwa pendapatan daerah yang berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam dari Pemda tersebut sudah cukup tinggi sehingga daerah tersebut lebih sedikit atau tidak membutuhkan alokasi dari pusat untuk membiayai belanja daerah.
18
2.1.5
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA berfungsi untuk menutupi defisit anggaran jika realisasi pendapatan lebih kecil dari pada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung, dan menandai kewajiban lain yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum terselesaikan. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. SiLPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran Pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008). 2.1.6
Luas Wilayah
Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
19
2.1.7
Jumlah Penduduk
Negara yang sedang berkembang mengalami ledakan jumlah penduduk. Indonesia termasuk negara berkembang yang akan selalu mengkaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi (Pribadi dan Nuria, 2015). Jumlah penduduk yang besar di Indonesia oleh para perencana pembangunan dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai aset apabila meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilan sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menunut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah, sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Budiharjo; 2003 dalam Pribadi dan Nuria; 2015).
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Derajat Desenralisasi, Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota di Pulau Sulawesi. Kerangka pemikiran berdasarkan uraian di atas yang menggambarkan hubungan antar variabel dilihat pada gambar berikut.
20
Derajat Desentralisasi H1 (+) Dana Alokasi Umum
H2 (+)
(DAU) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
H3 (+)
Belanja Modal
H4 (+) Luas Wilayah H5 (+) Jumlah Penduduk
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Teoritis Model 1
Belanja Modal
Pertumbuhan H6 (+)
Ekonomi
Gambar 2.2 Kerangka Penelitian Teoritis Model 2
21
2.3 Pengembangan Hipotesis 2.3.1
Pengaruh Derajat Desentralisasi terhadap Alokasi Belanja Modal
Derajat desentralisasi mengindikasikan besarnya kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin besar persentase kontribusi PAD, maka semakin mandiri pula daerah dalam mengasilkan pendapat dan sesuai asas daerah otonom. Sularso dan Restianto (2010) memperoleh kesimpulan derajat desentralisasi tidak mempengaruhi alokasi belanja modal, penelitian ini menggunakan metode SEM dengan analisis AMOS yang menghubungkan derajat desentralisasi dengan belanja modal dan pertumbuhan perekonomian daerah. Ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian dari Primaresti (2012) menunjukkan bahwa derajat desentralisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengalokasian belanja modal. Berbeda pula dengan hasil penelitian dari Gantara (2014) yaitu derajat desentralisasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi pula kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Derajat desentralisasi merupakan tolok ukur kemandirian sebuah daerah. Semakin tinggi derajat desentralisasi semakin tinggi pula tingkat kemandirian daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola pendapatan mereka sendiri untuk pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pengalokasian untuk belanja-belanja daerah secara terorganisir. Berdasarkan paparan tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H1 : Derajat Desentralisasi berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal.
22
2.3.2
Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Modal
Dana Alokasi Umum (DAU) menurut Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah serta untuk memberikan dana terkait dengan kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan suatu pembiayaan aktivitas pemerintah daerah yang menopang sebagian besar pendapatan dalam APBD. Pengalokasian DAU dari Pemerintah Pusat berpengaruh sangat dominan bagi Pemerintah Daerah. Beberapa penelitian terkait DAU dengan belanja modal adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumarmi (2007) menunjukan bahwa DAU berpengaruh negatif terhadap pengalokasian belanja modal. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) DAU berpengaruh positif dan tidak signifikan. Menurut Yovita (2011) dan Wandira (2013) DAU berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Namun beberapa penelitian serupa dengan hasil yang berbeda, yaitu penelitian dari Pradita (2014) dan Gantara (2014) DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. DAU yang dialokasikan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah yang berupa belanja rutin maupun belanja yang sifatnya jangka panjang.
23
DAU memiliki peran penting dalam penentuan besarnya alokasi belanja modal. Dari uraian di atas, hipotesis yang didapat adalah sebagai berikut. H2 : DAU berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal. 2.3.3
Pengaruh Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) terhadap Alokasi Belanja Modal
SiLPA merupakan selisih lebih atau kurang realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran dalam satu periode pelaporan. Terjadi pergeseran fungsi SiLPA yang sebelumnya sebagai penutup defisit menjadi salah satu sumber pembiayaan yang berguna untuk penyediaan infrastruktur pelayanan publik. Beberapa penelitian yang menghubungkan SiLPA dengan Belanja Modal yaitu penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012), Ardhini (2011), Menes (2013), dan Gantara (2014) dengan hasil bahwa SiLPA berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Beberapa penelitian tersebut cukup menguatkan sehingga dapat diambil hipotesis sebagai berikut. H3 : SiLPA berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal. 2.3.4
Pengaruh Luas Wilayah terhadap Alokasi Belanja Modal
Setiap Daerah memiliki luas yang berbeda-beda, sehingga berbeda pula kebutuhan setiap daerah dalam menyediakan layanan publik. Penelitian sebelumnya yang menghubungkan luas wilayah dengan belanja modal yaitu Kusnandar dan Siswantoro (2012) dan Menes (2013) yang mengemukakan bahwa luas wilayah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal.
24
Semakin luas sebuah daerah tersebut, maka semakin banyak pula kebutuhan untuk menyediakan sarana dan prasarana publik. Dengan kata lain pengalokasian belanja modal di setiap daerah juga dipengaruhi oleh Luas Wilayah. Dari uraian di atas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H4 : Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal. 2.3.5
Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Alokasi Belanja Modal
Setiap daerah memiliki jumlah penduduk yang beragam, hal ini berpengaruh terhadap kebutuhan akan ketersediaan sarana dan prasarana di masing masing daerah. Semakin tinggi jumlah penduduk maka permintaan infrastruktur daerah akan berubah. Hal ini dikarenakan sifat penduduk yang selalu berubah. Selain itu dalam Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan jumlah penduduk sebagai variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan sarana publik. Hal ini didukung dengan penelitian Menes (2013) yang mengemukakan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Maka dapat diambil sebuah hipotesis sebagai berikut. H5 : Jumlah Penduduk berpegaruh positif terhadap Alokasi Belanja Modal.
25
2.3.6
Pengaruh Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran rakyat meningkat. Pendorong pertumbuhan ekonomi adalah meningkatkan investasi dengan infrastruktur yang memadai. Untuk meyediakan infrastruktur yang memadai diperlukan pengelolaan pendapatan yang baik dan pengalokasian terhadap belanja belanja daerah. Pengadaan infrastruktur daerah kaitannya dengan pengalokasian belanja modal. Pembangunan sarana prasarana dan insfratruktur yang digunakan untuk kepentingan pelayanan publik didanai dari alokasi belanja modal. Jika pertumbuhan ekonomi suatu daerah meningkat maka pemerintah daerah akan meningkatkan belanja modal untuk memperbaiki dan melengkapi infrastruktur dan sarana prasarana dengan tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik (Verawati et al, 2014). Belanja modal menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Dari uraian di atas, hipotesis yang didapat adalah sebagai berikut. H6 : Belanja Modal berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi.