BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Pengertian Public Relations Banyak para ahli dan komunitas yang memberikan definisi tehadap Public
Relations. Salah satunya adalah definisi yang dikemukakan oleh John E Marston dalam Kasali yang menyatakan bahwa “Public Relations adalah seni untuk membuat perusahaan Anda disukai dan dihormati oleh para karyawan, konsumen, dan para penyalurnya”.1 Dari definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa Public Relations berperan penting dalam baik buruknya reputasi perusahan dan menjalin hubungan baik dengan publik dan stakeholder. Public Relations dituntut mengelola reputasi perusahaan termasuk jika terjadi krisis yang menimpa perusahaan melalui respon dan komunikasi krisis. Jika diibaratkan, Public Relations adalah sebuah jembatan antara pihak internal dan eksternal dengan menggunakan beberapa jenis komunikasi, menjalankan fungsi manajemen serta memastikan perusahaan mempunyai citra yang positif melalui berbagai strategi dan taktik.
1
Rhenald, Kasali,. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasidi Indonesia. Jakarta: Grafiti. 2009 hal 6.
13
14
2.1.2.
Fungsi Public Relations Setiap divisi dalam perusahaan mempunyai fungsinya masing-masing, begitu
juga dengan Public Relations. Mengutip pernyataan Maria dalam Kadar Nurjaman dan Khaerul Umam bahwa “Public Relations merupakan satu bagian dari satu napas yang sama dalam organisasi tersebut, dan harus memberi identitas organisasinya dengan tepat dan benar serta mampu mengkomunikasikannya sehingga publik menaruh kepercayaan dan mempunyai pengertian yang jelas dan benar terhadap organisasi tersebut”.2 Berikut sekadar gambaran tentang fungsi Public Relations, yaitu sebagai kegiatan yang bertujuan memperoleh itikad baik, kepercayaan, saling pengertian, dan citra yang baik dari publik atau masyarakat pada umumnya; memiliki sasaran untuk menciptakan opini publik yang bisa diterima dan menguntungkan semua pihak. Selain itu fungsi Public Relations merupakan unsur penting dalam manajemen guna mencapai tujuan yang spesifik, sesuai harapan publik, tetapi merupakan kekhasan organisasi atau perusahaan. Organisasi memiliki warna, budaya, citra, suasana, yang kondusif dan menyenangkan, kinerja meningkat, dan produktivitas yang bisa dicapai secara optimal; dan fungsi yang terakhir adalah usaha menciptakan hubungan yang harmonis antara organisasi atau perusahaan dengan publiknya, sekaligus menciptakan opini
2
Kadar Nurjaman dan Khaerul Umam. Komunikasi dan Public Relations. Bandung: Pustaka Setia. 2012 hal 114
15
publik sebagai efeknya, yang sangat berguna sebagai input bagi organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. 3 2.1.3.
Tugas Public Relations Public relations sebagai sarana informasi manajemen dan perusahaan
tentunya mempunyai tugas khasnya yang membedakan Public Relations dengan divisi-divisi lainnya, seperti yang diutarakan oleh Setyaningrum sebagai berikut: Tugas Public Relations adalah memberikan peringatan awal dalam usaha mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan mengganggu jalannya produktifitas sebuah organisasi bilamana sebuah masalah yang tidak disangka dari munculnya aspek-aspek sosial atau politik.4 Dalam suatu organisasi, tugas Public Relations adalah memberikan informasi dan edukasi kepada manajemen jika terjadi suatu permasalahan atau informasi terbaru agar manajemen tidak panik dan melihatnya dengan jernih sehingga langkah-langkah yang akan diambil akan tepat. Oleh sebab itulah Public Relations juga dapat disebut sebagai penasihat dalam perusahaan. 2.1.4.
Ruang Lingkup Public Relations Dalam pelaksanaannya, Public Relations juga memiliki ruang lingkup
sendiri yang diperlukan agar dalam menjalankan kewajibannya sebagai Public Relations, menyadari kedudukannya serta apa saja yang menjadi wewenangnya. Selain itu ruang lingkup Public Relations dapat dijadikan pedoman ketika menjalankan fungsi dan peranannya.
3
Ibid. Hal 145 Shanty Setyaningrum,. I’m A Public Relations: Living It and Loving It. Jakarta: Sunray Book. 2008 hal 19. 4
16
Ruang lingkup Public Relations dalam sebuah perusahaan atau lembaga menurut Ruslan5 antara lain meliputi aktivitas membina hubungan ke dalam (publik internal) dan membina hubungan ke luar (eksternal). Membina hubungan ke dalam dengan publik internal, yang dimaksud dengan publik internal adalah publik yang menjadi bagian dari unit/badan/perusahaan atau organisasi itu sendiri. Seorang Public Relations harus mampu mengidentifikasi atau mengenali hal-hal yang menimbulkan gambaran negatif di dalam masyarakat, sebelum kebijakan itu dijalankan oleh organisasi. Sedangkan membina hubungan ke luar sebagai publik eksternal, yang dimaksud publik eksternal adalah publik umum (masyarakat). Mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran publik yang positif terhadap lembaga yang diwakilinya. 2.1.5.
Peran Public Relations Menurut Dozier & Broom dalam Ruslan6 terdapat empat kategori peranan
Public Relations; penasehat ahli (expert prescriber), fasilitator komunikasi (communication fasilitator), fasilitas proses pemecahan masalah (problem solving process fasilitator), dan teknisi komunikator (communication technician). Public Relations disebut sebagai penasehat ahli (expert prescriber) karena seorang praktisi pakar Public Relations yang berpengalaman dan memiliki kemampuan tinggi dapat membantu mencarikan solusi dalam penyelesaian masalah hubungan dengan publiknya (public relationship). 5
Rosady Ruslan,. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers. 2007 hal 23. 6 Ibid. 20
17
Selain
itu
peran
Public
Relations
sebagai
fasilitator
Komunikasi
(Communication fasilitator) dalam hal ini, praktisi Public Relations bertindak sebagai komunikator atau mediator untuk membantu pihak manajemen dalam hal untuk mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya. Di pihak lain, dia juga dituntut mampu menjelaskan kembali keinginan, kebijakan dan harapan organisasi kepada pihak publiknya. Sehingga dengan komunikasi timbal balik tersebut dapat tercipta saling pengertian, mempercayai, menghargai, mendukung dan toleransi yang baik dari kedua belah pihak. Sebagai Fasilitator Proses Pemecahan Masalah (Problem solving process fasilitator), peranan praktisi Public Relations dalam proses pemecahan persoalan public relations ini merupakan bagian dari tim manajemen. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pimpinan organisasi baik sebagai penasihat (adviser) hingga mengambil tindakan eksekusi (keputusan) dalam mengatasi persoalan atau krisis yang tengah dihadapi secara rasional dan profesional. Peran yang terakhir dikemukakan adalah sebagai teknisi komunikasi (communication technician). Berbeda dengan tiga peranan praktisi PR profesional sebelumnya yang terkait erat dengan fungsi dan peranan manajemen organisasi. Peranan communication technician ini menjadikan praktisi PR sebagai journalist in resident yang hanya menyediakan layanan teknis komunikasi atau dikenal dengan methode of communication in organization.
18
2.1.6.
Proses Kerja Public Relations Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh berbagai macam profesi pasti
mempunyai proses kerja yang jelas. Begitu juga dengan profesi seorang Public Relations. Di dalam aplikasinya, aktivitas Public Relations tidak hanya satu ataupun dua saja, tetapi bermacam-macam aktivitas yang semuanya harus mendapatkan perhatian sedetail mungkin. Cutlip dan Center dalam Kasalimengemukakan proses Public Relations dalam 4 tahap; definisikan permasalahan, perencanaan dan program, aksi dan komunikasi, dan evaluasi program. 7 Seorang Praktisi Public Relations harus dapat mengenal simtom dan penyebabnya. Maka, dalam tahap ‘definisikan permasalahan’, praktisi Public Relations perlu melibatkan diri dalam penelitian dan pengumpulan data. Selain itu praktisi Public Relations perlu memantau dan membaca terus pengertian, opini, sikap, dan perilaku mereka yang berkepentingan dan terpengaruh oleh sikap dan tindakan perusahaan. Pada tahap ‘perencanaan dan program’ praktisi Public Relations sudah menemukan penyebab timbulnya permasalahan dan sudah siap dengan langkahlangkah pemecahan atau pencegahan. Langkah-langkah itu dirumuskan dalam bentuk rencana dan program, termasuk anggarannya. Banyak praktisi Public Relations sering melupakan kedua proses di atas dan langsung masuk ke tahap tiga, yakni langsung melakukan ‘aksi dan komunikasi’ berdasarkan asumsi pribadi.
7
Rhenald Kasali,. op.cit., 82.
19
Proses Public Relations selalu dimulai dari mengumpulkan fakta dan diakhiri pula dengan pengumpulan fakta. Untuk mengetahui apakah prosesnya sudah selesai atau belum, seorang praktisi Public Relations perlu melakukan ‘evaluasi program’ atas langkah-langkah yang telah diambil. Kadang Public Relations hanya melaksanakan program saja tanpa adanya evaluasi. Evaluasi dapat digunakan untuk menentukan langkah perusahaan dan progam Public Relations selanjutnya. 2.1.8.
Strategi Public Relations dalam Merespon Krisis Peran dan fungsi Public Relations dapat terwujud dan terealiasi dengan
adanya strategi yang terencana dengan matang sesuai dengan tujuan yang dicapai oleh perusahaan. Jika Public Relations tidak memiliki strategi yang jelas, akan lebih sulit untuk menentukan taktik sebagai turunannnya dan mempertimbangkan cara-cara yang dapat mengintegrasikan semua aktivitasnya seperti yang dikemukakan oleh Oliver. Strategi public relations harus mempertimbangkan cara-cara yang dapat mengintegrasikan semua aktivitasnya, dan cara yang paling praktis serta definitif saat ini adalah mendasarkan program-program public relations pada analisis audiens atau stakeholder. 8 Strategi Public Relations biasanya adalah turunan dari strategi manajemen, sebelum Public Relations merumuskan strateginya, Public Relations harus mempertimbangkan cara-cara yang dapat mengintegrasikan semua aktivitasnya, dan cara yang paling praktis serta definitif saat ini adalah mendasarkan program-program Public Relations pada analisis audiens atau stakeholder.
8
Oliver,. Strategi Public Relations, Jakarta: Erlangga, 2007 hal 6.
20
Dalam menentukan strategi, Public Relations harus mempelajari perspektif internal terhadap divisi Public Relations dan posisi eksternal perusahaan melalui analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat). Setelah melakukan penganalisaan, Public Relations dapat mendefinisikan dan mengatur hubungan stakeholder yang strategis yang kemudian dua konsep di atas diintegrasikan ke dalam pengembangan rencana-rencana taktis dan strategis yang spesifik. Apabila pencegahan krisis tidak berhasil maka ada enam langkah berikut segara harus diambil, seperti melakukan penilaian yang objektif terhadap penyebab krisis, menentukan apakah penyebab terjadinya krisis memiliki dampak jangka panjang atau hanyalah fenomena sesaat, perhitungkan setiap kejadian dalam krisis dengan cermat sehingga setiap peristiwa yang terjadi dapat diantisipasi dengan baik, memusatkan perhatian pada upaya menyelesaikan masalah, memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk memperbaiki keadaan, dan segera bertindak untuk melindungi cash flow perusahaan. 2.1.9. Komunikasi Organisasi Komunikasi dan organisasi tidak dapat dipisahkan, di dalam organisasi selalu ada aktivitas komunikasi, entah itu verbal (melalui kata dan ucapan) maupun nonverbali (melalui symbol, gambar, lambing, warna dan yang sifatnya tidak diucapkan). Menurut Deddy Mulyana, komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit
21
komunikasi dalam hubungan-hubungan hierarkis antara yang satu dengan yang lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan9. Jika diartikan dari definisi di atas, komunikasi berperan penting dalam keberlangsungan organisasi. Di dalam organisasi terdapat hubungan hierarkis antara satu dengan yang lainnya, misalkan dalam sebuah perusahaan terdapat divisi Public Relations, top manajemen, divisi operasional dan divisi-divisi lainnya. Di dalam hubungan hierarkis ini komunikasi organisasi mengatur hubungan divisi-divisi tersebut. Setiap perusahaan atau organisasi memiliki garis hierarkis yang berbedabeda karena sifatnya yang flexible, dalam hal ini bergantung kepada perusahaan atau organisasi tersebut.
2.2.
Komunikasi Krisis/Public Relations
2.2.1. Manajemen Krisis Manajemen krisis adalah perencanaan strategis untuk mencegah dan merespon krisis atau peristiwa negatif, proses yang dapat menghilangkan resiko dan ketidakpastian yang memungkinkan organisasi dapat mengendalikan situasi lebih baik.10 Jika perusaaan dapat mendeteksi krisis sejak dini, maka krisis dapat dicegah dan kerusakan yang melanda perusahaan tidak akan parah.
9
Deddy Mulyana,. Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005 hal 31.
10
Fearn Banks. Crisis Communications: A Casebook Approach (Routledge Communication Series), USA: SAGE Publications. 2001 hal 480
22
Coombs membagi tahapan crisis management ke dalam tiga tahapan: precrisis stage, crisis event, dan postcrisis stage. Tahapan pra krisis melibatkan tindakan krisis yang dihadapi seperti mendeteksi sinyal, melakukan pencegahan, dan persiapan krisis.11 Dalam tahapan pra krisis, Public Relations harus mengembangkan sistem yang dapat mendeteksi potensial krisis dan bagaimana meresponnya. Ketika potensi krisis terdeteksi, perusahaan harus melakukan aksi untuk mencegahnya. Public Relations harus selalu bersiap-siap jika krisis masih terjadi. Dalam tahapan krisis, diawali dengan pemicu yang mendandai mulainya krisis terjadi dan berakhir ketika krisis diakui selesai oleh perusahaan. Public Relations juga memerlukan pemetaan dalam tahapan ini dan dalam semua tahapan, Public Relations harus selalu berkomunikasi dengan stakeholder melalui pernyataan dan aksi. Dalam tahapan pasca krisis, manajemen krisis belum berakhir sampai di sini. Ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan di tahapan ini seperti apa yang dikemukakan oleh Coombs bahwa dalam tahapan ini perusahaan harus mengevaluasi manajemen krisis yang telah dilakukan, belajar dari krisis yang telah terjadi, dan aktivitas paska krisis harus terus terjalin dengan stakeholder dan memonitor terhadap isu yang terkait dengan krisis.12 2.2.2. Komunikasi Krisis Umumnya, krisis dilihat sebagai situasi yang menyulitkan perusahaan dan bagian di dalamnya sebagai akibat dari sebuah situasi yang berdampak negatif
11 12
Coombs, 2007. Ongoing Crisis Communication, USA: SAGE Publications. 2014 Hal 18. Ibid hal 219
23
terhadap perusahaan. Robet P. Powel dalam Nova13 menyatakan bahwa krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos). Menurut Coombs komunikasi krisis dapat didefinisikan secara luas sebagai pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk mengatasi situasi krisis mulai dari tahap pra-krisis sampai pasca-krisis14. Dalam tahap pra-krisis, kegiatan krisis komunikasi berkisar antara mengumpulkan informasi/mengumpulkan data dan analisa akan risiko krisis, membuat keputusan tentang bagaimana mengelola potensi krisis, dan memberikan pelatihan kepada orang-orang yang akan terlibat dalam proses manajemen krisis. Pelatihan meliputi anggota tim krisis, spokeperson, dan setiap individu yang akan membantu dalam merespon krisis. Selain itu komunikasi krisis meliputi pengumpulan dan pengolahan informasi untuk pengambilan keputusan bersama oleh tim krisis dengan menciptakan dan melakukan penyebaran pesan krisis kepada masyarakat luas. Setelah pra-krisis, masuk ke tahap pasca-crisis yaitu membedah dan mengevaluasi manajemen krisis bagaimana komunikasi yang dilakukan dapat merubah individu, dan jika diperlukan menyediakan pesan yang akan disampaikan.
13
14
Firsan, Nova,. Crisis Public Relations, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011 hal 68. Coombs, W. Timothy dan Holladay, Sherry J. The Handbook of Crisis Communications, UK: Blackwell Publishing Ltd. 2010 hal 20.
24
2.2.3. Situational Crisis Communication Theory (SCCT) Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori komunikasi krisis situasional (Situasional Crisis Communication Theory/SCCT) yang dikemukakan oleh Coombs. Teori ini menekankan bahwa manajemen krisis harus menjadikan keselamatan publik sebagai priortitas nomor satu daripada fokus menjaga reputasi. SCCT berorientasi pada audiens karena berusaha menerangkan bagaimana orang melihat krisis, reaksi mereka terhadap strategi perusahaan merespon krisis, dan reaksi audiens terhadap organisasi dalam keadaaan krisis). 15 Alasan peneliti menggunakan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dalam penelitian ini adalah karena Situational Crisis Communication Theory merupakan satu-satunya teori yang mempelajari respon sebuah perusahaan terhadap suatu kasus atau krisis. Inti dari Situational Crisis Communication Theory adalah pada tanggung jawab krisis. Atribusi dari tanggung jawab krisis telah mempunyai pengaruh yang signifikan pada bagaimana orang melihat reputasi suatu organisasi dalam keadaan krisis dan tanggapan perasaan dan perilaku mereka terhadap organisasi atas krisis tersebut. 16 Ada tiga elemen dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT), yaitu situasi krisis, strategi respon krisis, dan sistem yang menghubungkan situasi krisis dengan strategi respon krisis.17
15
W. Timothy Coombs, dan Sherry J. Holladay. The Handbook of Crisis Communications, UK: Blackwell Publishing Ltd. 2010 hal 38. 16 Ibid. 17 Ibid hal. 243.
25
2.2.4. Sejarah Situational Communication Crisis Situational Teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) merupakan penyempurnaan dari Attribution theory yang menjelaskan hubungan rasional antara banyak variabel yang digunakan oleh Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dan menjelaskan mengenai kerangka pemikiran dalam konsep manajemen krisis, dan dasar dalam menjelaskan hubungan antara situasi krisis dan strategi respon krisis.18 Situational Crisis Communication Theory (SCCT) digagas oleh Timothy W. Coombs dan Holladay S.J. Situational Crisis Communication Theory dikembangkan dari pendekatan retorika dan banyak mengadaptasi asumsi teori apologia. Situational Crisis Communication Theory ini mengidentifikasi bagaimana aspek dari situasi krisis memengaruhi atribusi tentang krisis dan reputasi yang dibuat oleh publik. Kemudian memahami bagaimana respon stakeholder terhadap strategi krisis (crisis response), baik berupa simbol retoris maupun tindakan – yang dibuat oleh praktisi Public Relations. Respons ini pada akhirnya menentukan evaluasi stakeholder terhadap reputasi organisasi dan kondisi emosional stakeholder yang menentukan apakah mereka tetap berinteraksi atau tidak dengan organisasi di masa yang akan datang.19
Coombs menjadikan teori atribusi sebagai dasar merumuskan
Situational Crisis Communication Theory atas dasar penelitiannya bagaimana atribusi public terhadap organisasi di saat krisis dan bagaimana dampaknya terhadap reputasi. 18
Ibid hal 166 Rachmat Kriyantono,. Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal. 2014. Jakarta: Prenadamedia, hal. 187. 19
26
Krisis selalu memiliki dampak buruk terhadap perusahaan, namun dapat diatasi agar tidak menjadi lebih buruk bagi perusahaan asalkan strategi penanggulangan krisis yang digunakan sudah tepat, salah satunya dengan menggunakan strategi komunikasi yang baik. Menurut Coombs dan Holladay strategi komunikasi harus dikemas secara baik dengan tujuan untuk melindungi reputasi perusahaan karena krisis dapat diatasi jika perusahaan mampu merumuskan strategi komunikasi yang baik. Begitu juga sebaliknya, strategi komunikasi yang buruk dapat memperparah krisis itu sendiri. 20 Untuk menentukan strategi komunikasi efektif sebagai bagian dari upaya respon terhadap krisis yang akan dijadikan pegangan perusahaan salah satunya adalah dengan pendekatan situasional. Benson (1988) adalah pioneer teori tetang strategi komunikasi penanggulangan krisis dengan menggunakan situasional dalam krisis. Teori berkembang sampai dengan temuan teori komunikasi situasional terbaru yang disampaikan oleh Coombs yang disebut dengan istilah Situational Crisis Communication Theory (SCCT) atau Teori Komunikasi Krisis Situasional. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitin Benson sebelumnya di mana strategi respon krisis dengan situasi krisis digabungkan dengan konsep pilihan manajemen krisis. Inti dari fokus Situational Crisis Communication Theory (SCCT)
adalah bagaimana
mengatur reputasi saat terjadinya krisis. Dari sini muncul satu temuan jika reputasi
20
Coombs, W. T., & Holladay, S. J. An extended examination of the crisis situation: A fusion of the
relational management and symbolic approaches. Journal of Public Relations Research.2001 hal 79.
27
perusahaan sangat dipengaruhi oleh bentuk-bentuk pilihan pertanggungjawaban respon krisis21. Situational Crisis Communication Theory (SCCT) membantu praktisi Public Relations sebagai manajer krisis mengukur situasi krisis untuk menguji tingkatan ancaman terhadap reputasi organisasi. Yang dimaksud ancaman adalah sejumlah kerusakan yang ditimbulkan krisis terhadap reputasi jika organisasi tidak mengambil tindakan menyelesaikan krisis dengan baik.22 Public Relations dapat menggunakan situational crisis communication theory (SCCT) untuk mengevaluasi atau mengukur seberapa besar ancaman terhadap reputasi organisasi, khususnya di masa krisis. 2.2.5.
Variabel – Variabel situational crisis communication theory (SCCT) dan
Klaster Krisis Situational crisis communication theory (SCCT) menjelaskan tiga variabel – penanggung jawab krisis pertama; sejarah krisis; dan reputasi sebelumnya – dalam situasi krisis yang berpotensi memengaruhi reputasi organisasi. Ketiga variabel ini dapat membentuk reputasi positif atau negatif. Pada dasarnya, pemahaman Public Relations atas ketiga variabel ini sebagai upaya untuk mengetahui situasi actual dalam suatu krisis yang menjadi dasar penentuan strategi respons untuk mengetahui krisis.23 Penjelasan ketiga variabel di atas menurut Situational Crisis Communication Theory (SCCT) adalah tingkat tinggi rendahnya atribusi publik terhadap tanggung jawab organisasi atau seberapa besar kepercayaan publik bahwa krisis terjadi karena perilaku organisasi (initial public responsibility), apakah organisasi mempunyai pengalaman mengalami situasi krisis yang sama di masa lalu atau tidak (crisis history), dan Persepsi publik tentang bagaimana perlakuan organisasi terhadap korban (publik) pada situasi sebelumnya. Apakah, misalnya, organisasi memberikan
21
Ibid. Hal 81. Ibid.hal 188. 23 Ibid hal 191. 22
28
perhatian yang besar kepada publik atau tidak reputasi organisasi sebelumnya (pior relational reputation). 24 . Menurut Situational Crisis Communication Theory (SCCT), jika organisasi tidak memperlakukan publik dengan baik pada beberapa situasi sebelumnya, dapat dipastikan organisasi itu mempunyai prior relational reputation yang buruk. Rachmat Kriyanto dalam bukunya menyatakan hal yang sama. Atribusi publik tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap krisis pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok krisis, disebut juga sebagai klaster krisis (crisis -
cluster), yaitu klaster korban (victim cluster), Klaster
kecelakaan atau tanpa kesengajaan (accidental cluster) dan Klaster kesengajaan (intentional cluster)25. Organisasi yang dikategorikan ke dalam klaster korban jika publik meyakini bahwa organisasi bukanlah penyebab krisis. Dengan kata lain, organisasi dipercaya sebagai korban dari krisis. Contoh, krisis akibat gempa bumi, tanah longsor, banjir, sabotase produk, atau pembunuhan yang terjadi di kamar hotel. Contoh perusahaan yang termasuk klaster korban adalah Putri Duyung Cottage Ancol di mana reputasi organisasi menjadi negatif akibat adanya pembunuhan yang dilakukan oleh artis Lydia Pratiwi dan keluarganya di salah satu kamar hotel. Klaster kecelakaan atau tanpa kesengajaan (accidental cluster) muncul ketika publik meyakini bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah kesengajaan yang dilakukan 24
W, Timothy Coombs, Protecting Organization Reputations During A Crisis: The Development and Application of Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review. Tahun 2007 hal 163 – 176. 25 Ibid hal 163 – 176.
29
organisasi. Dengan kata lain, organisasi tidak mempunyai maksud sengaja yang menyebabkan krisis. Contoh krisis yang disebabkan adanya zat racun di dalam produk atau kecelakaan kerja, mungkin terjadi bukan karena kesengajaan. Contoh perusahaan yang termasuk klaster kecelakaan atau tanpa kesengajaan adalah kecelakaan pesawat Air Asia yang menyebabkan awak dan seluruh penumpang meninggal. Klaster kesengajaan (intentional cluster) terjadi jika organisasi diatribusi sebagai penyebab terjadinya krisis. Artinya, krisis terjadi karena kesalahan. Contoh, kesalahan proses pengeboran minyak disebut sengaja jika organisasi tidak melaksanakan standar pengeboran yang berlaku. Contohnya adalah kasus Lapindo yang diakibatkan oleh proses pengeboran minyak yang sengaja dilakukan tanpa mengindahkan standar pengeboran yang berlaku dan mengakibatkan kerusakan akibat lumpur yang terus-terusan menyembur di Sidoarjo dan sekitarnya sehingga menggeser tempat tinggal masyarakat daerah Sidoarjo. Tabel 3. Klaster/Tipe Krisis Tipe Klaster
Penjelasan
Tipe Krisis
Victim
- Organisasi sebagai korban - Atribusi bahwa organisasi bertanggung jawab pada krisis sangat lemah, ancaman terhadap reputasi berada pada level lemah - Ancaman terhadap reputasi ringan/rendah - Krisis terjadi karena ketidaksengajaan
- Bencana Alam - Rumor yang menjelakkan organisasi - Kriminalitas/kekerasan di tempat kerja
cluster
Accidental
- Kegagalan teknologi atau kecelakaan akibat
30
cluster
Intentional Cluster (preventable cluster)
- Atribusi bahwa organisasi kesalahan teknologi. bertanggung jawab pada krisis - Kesalahan teknologi yang berada pada level mengakibatkan masalah minimal/renda pada produk, seperti - Ancaman terhadap reputasi keracunan produk, berada pada level sehingga produk harus moderat/sedang. ditarik dari pasar. - Tuduhan dari stakeholder bahwa aktivitas organisasi merugikan mereka. - Organisasi diketahui secara - Human errors yang sengaja menyebabkan krisis menyebabkan kecelakaan yang membahayakan kerja. stakeholder. - Human errors yang - Organisasi mengambil tindakan menyebabkan kerusakan yang tidak benar/tidak cocok produk atau melanggar regulasi. - Pelanggaran hukum atau - Atribusi bahwa organisasi aturan yang dilakukan bertanggung jawab pada krisis organisasi (organization berada pada level kuat. misdeed): - Ancaman terhadap reputasi a. With no injuries: besar/severe. stakeholder dibohongi tetapi tidak mengakibatkan korban luka. b. Management misconduct: Pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen. c. With injuries: Stakeholder berada dalam situasi bahaya akibat tindakan manajemen dan mengakibatkan korban
Kesimpulannya, dalam the victim cluster, perusahaan tidak dikaitkan sebagai penyebab krisis, dalam hal ini perusahaan dipandang sebagai korban dari suatu situasi. Dalam the accidental cluster, perusahaan dipandang sebagai penyebab krisis,
31
namun situasi ini umumnya dipandang oleh stakeholder sebagai kebetulan saja sehingga tanggung jawab perusahaan sedikit. Sedangkan dalam the intentional cluster, perusahaan dianggap sebagai pelaku yang menyebabkan krisis sehingga perusahaan harus bertanggung jawab penuh. 2.2.6. Model Teori Situational Crisis Communication Situational Crisis Communications Theory (SCCT) dapat disederhanakan dalam bentuk suatu model. Model ini membantu Public Relations mengevaluasi ancaman terhadap reputasi organisasi, melalui dua langkah26. Pertama, menentukan bagaimana level dari variabel penanggung jawab krisis (Initial Crisis Responsibility). Artinya, apakah organisasi dipersepsi atau diatribusikan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap timbulnya krisis atau tidak. Langkah pertama ini akan menempatkan organisasi ke dalam salah satu dari ketiga klaster (crisis cluster/types of crisis), apakah masuk ke dalam klaster korban, klaster kecelakaanm atau klaster kesengajaan. Klaster tersebut pada dasarnya mencerminkan atribusi publik tentang siapa penyebab krisis, dan karenanya mesti bertanggung jawab terhadap dampak krisis. Pada langkah kedua, Situational Crisis Communication Theory (SCCT) mengadaptasi pemikiran Harrold Kelley tentang faktor-faktor yang menentukan atribusi seseorang terhadap orang lain, yaitu konsistensi dan distinctiveness. Deskripsi dari klaster pertama, yaitu victim cluster adalah organisasi dianggap publik sebagai korban, atribusi bahwa organisasi bertanggung jawab pada krisis sangat lemah, ancaman terhadap reputasi berada pada level yang lemah dan 26
Ibid
32
anccaman terhadap reputasi ringan/rendah. Contoh dari victim cluster seperti bencana alam, rumor yang menjelekkan organisasi, kriminalitas/kekerasan di tempat kerja, dan kerusakan produk yang disebabkan pihak luar (product tampering), sabotase dan teroris (malevolence). Deskripsi dari klaster kedua, yaitu accidental cluster adalah krisis terjadi karena ketidaksengajaan, atribusi bahwa organisasi bertanggung jawab pada krisis berada pada level minimal/rendah, dan ancaman terhadap reputasi berada pada level moderat/sedang. Contohnya adalah kegagalan teknologi atau kecelakaan akibat kesalahan teknologi, kesalahan teknologi yang mengakibatkan masalah pada produk, seperti keracunan produk, sehingga produk harus ditarik dari pasar, dan tuduhan dari stakeholder bahwa aktivitas organisasi merugikan mereka. Deskripsi dari klaster ketiga, yaitu intentional cluster (preventable cluster) adalah organisasi diketahui secara sengaja menyebabkan krisis yang membahayakan stakeholder, organisasi
mengambil tindakan yang tidak benar/tidak cocok atau
melanggar regulasi, atribusi bahwa organisasi bertanggung jawab pada krisis berada pada level kuat, dan ancaman terhadap reputasi besar/severe. Contohnya seperti krisis akibat human errors yang menyebabkan kecelakaan kerja, human errors yang menyebabkan kerusakan produk, pelanggaran hukum atau aturan yang dilakukan organisasi (organizational misdeed) seperti stakeholder dibohongi tetapi tidak mengakibatkan korban luka (with no injuries), pelanggaran hukum yang dilakukan
33
manajemen (management disconduct), dan stakeholder berada dalam situasi bahaya akibat tindakan manajemen dan mengakibatkan korban. 2.2.7. Rekomendasi Respon Menangani Krisis dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT) Setiap perusahaan yang memiliki divisi Public Relations atau divisi sejenis memiliki strategi dalam menghadapi krisis perusahaan dan memperbaiki reputasi pasca krisis. Ada juga perusahaan yang membentuk tim khusus untuk mengatasi krisis dan merumuskan strategi serta SOP (Standard of Procedure) krisis. Dalam perspektif Situational Crisis Communication Theory (SCCT), teori ini menekankan prinsip etis krisis yang harus menjadi dasar upaya strategi dalam merespons krisis, yaitu “save the public as the first priority.” Jenis strategi respon dalam Situation Crisis Communication Theory (SCCT) tergantung pada tipe-tipe krisisnya, maka dari itu diperlukan pengelompokan tipe krisis terlebih dahulu seperti yang sudah dijelaskan di sub-bab sebelumnya, setelah itu merumuskan strategi respons krisis. Penelitian yang dilakukan Claeys, Cauberghe & Vyncke (2010) dan Coombs & Holladay (2002) membuktikan bahwa strategi respon yang dirancang harus sesuai (match) dengan tipe-tipe krisisnya. Ada tipe prioritas dalam strategi respon komunikasi krisis; strategi respons primer dan strategi respon sekunder. Strategi respon primer dapat digunakan untuk perusahaan yang termasuk ke dalam victim cluster karena krisis yang diakibatkan oleh bencana alam. Jika perusahaan mengalami krisis karena bencana alam, maka
34
strategi respons yang dapat digunakan adalah strategi menyangkal (deny strategy) yang berupaya memindah/menghilangkan segala keterkaitan antara organisasi dan krisis. Misalnya dengan cara menyerang/mengkritik/berkonfrontasi dengan seseorang atau kelompok yang mengklaim bahwa organisasi bersalah (attack the accuser). Krisis yang disebabkan oleh adanya rumor dapat diterapkan strategi krisis yang fokus untuk menjelaskan bahwa tidak ada krisis yang terjadi atau melakukan penyangkalan (denial). Jika krisis terjadi karena kekerasan/kriminalitas di tempat kerja, kerusakan produk oleh pihak luar (product tampering), dan sabotase/teroris (malvalence) dapat menggunakan strategi respons yang fokus pada upaya menyalahkan orang atau kelompok lain di luar organisasi sebagai penyebab krisis (scapegoat). Strategi respons primer juga dapat digunakan untuk perusahaan yang masuk ke dalam accidental cluster, dimana dapat diterapkan strategi dimish strategy yaitu strategi mengurangi efek krisis, berusaha meyakinkan publik bahwa krisis tidak seburuk yang dikira publik dan organisasi akhirnya dapat mengontrolnya. Jika perusahaan yang masuk ke dalam accidental cluster mendapat tuduhan-tuduhan (challenges), maka respons yang dapat diberikan adalah berupaya meminimalkan tanggung jawab organisasi dengan cara menyangkal adanya maksud untuk mencelakakan dan/atau mengaku bahwa krisis yang terjadi di luar kemampuan organisasi untuk mengontrolnya (excuse strategy).
Jika krisis terjadi akibat
kecelakaan karena kesalahan teknis (technical - error accident) atau karena masalah
35
produk akibat kesalahan teknis (technical -error product harm), strategi justification dapat digunakan, yaitu strategi untuk meminimalkan persepsi tentang kerusakan yang diakibatkan krisis. Rebuild strategy, strategi membangun kembali dapat diterapkan untuk perusahaan dengan tipe krisis intentional cluster (preventable cluster) seperti krisis yang disebaban oleh human errors yang menyebabkan kecelakaan kerja, human errors yang menyebabkan kerusakan produk. Strategi respons yang dapat diberikan adalah menawarkan/membayar ganti rugi (compensation strategy). Ini merupakan strategi yang paling akomodatif dan memerlukan biaya yang besar. Jika krisis terjadi karena pelanggaran hukum atau aturan yang dilakukan organisasi (organizational misdeed) seperti stakeholder dibohongi tetapi tidak mengakibatkan luka (with no injuries), dan pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen (management misconduct), strategi respon yang dapat dilakukan adalah menanggung semua tanggung jawab secara penuh dan meminta maaf kepada publik (apology strategy). Seluruh tipe krisis dalam accidental cluster juga dapat menerapkan strategi framing, yaitu menyediakan informasi secara terbuka dan membuka saluran komunikasi dua arah untuk memengaruhi frame media dan frame publik. Strategi respon yang kedua adalah strategi respons sekunder yang penerapannya dapat diterapkan kepada setiap situasi krisis, tujuannya untuk melengkapi strategi respon primer dan sebagai strategi memberi informasi untuk
36
menyesuaikan dengan lingkungannya dengan menjalin hubungan yang baik dengan publik. Strategi yang dapat digunakan adalah strategi meneguhkan (bolstering), yaitu meneguhkan kerja sama dengan publik untuk menjaga reputasi. Selain bolstering, strategi respons yang dapat diaplikasikan adalah menyampaikan pesan-pesan atas prestasi dan jasa organisasi di masa-masa sebelum krisis (reminder) sebagai upaya bertahan terhadap isu-isu negatif krisis dengan menampilkan kembali prestasi-prestasi sebelumnya, kemudian strategi yang lain adalah memuji publik yang telah menunjukkan kesungguhan dalam mendukung kegiatan organisasi di masa-masa sebelum krisis (ingratiation) untuk meraih simpati publik. Pilihan strategi respons yang lain adalah mengingatkan publik bahwa organisasi yaitu korban juga dari krisis yang terjadi (victimage). Tujuan dari strategi ini untuk meneguhkan dan memengaruhi persepsi publik bahwa organisasi berhak memperoleh simpati. Menurut Firsan Nova, strategi Public Relations dalam merespon krisis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menyerang pihak yang memojokkan perusahaan dengan memberikan fakta yang mendukung dan menjelaskan kepada publik bahwa tuduhan itu tidak beralasan. Menurut Firsan Nova, ada beberapa pedoman umum yang dapat membantu public relations dalam penanganan krisis seperti mempersiapkan contingency plan (anggota tim krisis manajemen dapat dibentuk dalam waktu singkat, selalu adakan pelatihan untuk menghadapi berbagai macam krisis), segera umumkan official
37
spokeperson (anggota tim krisis) yang berhak bicara dan memberikan keterangan mengenai krisis ke publik dan media, bergerak cepat (jam pertama ketika krisis terjadi sangat krusial karena media sering memberitakan informasi berdasarkan kejadian awal, gunakan konsultan krisis (saran dari konsultan public relations sangat penting), memberikan informasi yang akurat dan benar (mencoba untuk memanipulasi informasi akan berbalik menjadi bahaya jika kebenaran ditemukan, dan ketika memutuskan untuk bertindak, jangan hanya mempertimbangkan kerugian jangka pendek, tetapi juga pikirkan jangka panjang).27 2.2.8. Pedoman Situational Crisis Communication Theory (SCCT) Berdasarkan penelitian yang terkait dengan Situational Crisis Communication Theory (SCCT), Coombs memberikan pedoman dalam merespon krisis seperti28; perusahaan cukup menginformasikan dan menyesuaikan informasi ketika perusahaan menjadi korban dalam situasi krisis, tidak ada riwayat krisis serupa dan reputasi sebelumnya netral atau positif; perusahaan dikatakan sebagai korban seperti kekerasan di tempat kerja, gangguan produk, bencana alam, dan isu/rumor; mengurangi strategi respon krisis dapat digunakan untuk krisis dengan atribusi minimal ditambah dengan riwayat krisis serupa dan atau reputasi sebelumnya negative; mengurangi strategi respon krisis dapat digunakan untuk krisis dengan atribusi minimal tanggung jawab karena krisis yang disebabkan oleh kecelakaan, tidak memiliki riwayat krisis serupa, dan reputasi sebelumnya netral atau positif; 27
Firsan Nova, Crisis Public Relations. Jakarta: Grasindo, Tahun 2009. hal 183. Coombs, W.T. (2007b). Protecting organization reputations during a crisis: The development and application of situational crisis communication theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163-176. 28
38
strategi ‘rebuild’ dapat digunakan bagi krisis dengan atribusi tanggung jawab rendah (krisis kecelakaan), ditambah dengan sejarah krisis serupa dan atau reputasi sebelumnya negative; strategi ‘rebuild’ dapat digunakan untuk krisis dengan atibusi tanggung jawab penuh (krisis yang dapat dicegah) terlepas dari sejarah krisis atau reputasi sebelumnya; penyangkalan dapat digunakan untuk rumor dan krisis karena adanya ancaman bila memungkinkan; menjaga konsistensi dalam respon krisis, mengkombinasikan penyangkalan dengan baik atau membangun kembali strategi akan mengikis efektivitas respon secara keseluruhan. 2.2.8.
Pemanfaatan Media Massa dan Media Baru Peranan media massa sebagai sarana informasi terhadap masyarakat
sangatlah besar. Secara sadar atau tidak sadar, pola hidup manusia sudah dikendalikan oleh media massa. Gamble dan Gamble menyebutan banyak orang menghabiskan waktunya sekitar tujuh jam untuk mengkonsumsi media massa di tengah kesibukan pekerjaannya.29 Melihat dari hal itu, media massa tentunya mempunyai ketentuan besar yang patut diperhitungkan sebagai saluran penyampai informasi. Menurut teori agenda setting media massa memiliki kegiatan menyusun, memunculkan isu, dan menempatkan isu tersebut dengan tujuan untuk mempengaruhi apa yang dianggap penting oleh khalayak. Asumsinya adalah bahwa media menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.
29
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. Tahun 2000 hal 14.
39
Agenda setting adalah fungsi media yang memiliki kekuatan menyeleksi objek yang diberitakan, sehingga memengaruhi apa yang dipikirkan publik (what to think) dan menyeleksi jenis informasi atau frame dari objek yang diberitakan itu sehingga memengaruhi bagaimana cara publik memikirkan objek itu (how to think). Publik akan menganggap isu yang sering dimunculkan di media massa sebagai isu yang perlu mendapat perhatian.30 Public Relations dan media massa tentunya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Public Relations membutuhkan media sebagai penyalur informasi dan media massa membutuhkan informasi mengenai perusahaan dari sumber informasi, yaitu Public Relations. Dalam penyelesaian krisis peranan media sangatlah besar dalam membentuk opini publik. Dalam keadaan ini Public Relations ditantang untuk mempengaruhi persepsi publik melalui media masa untuk melakukan komunikasi krisis dan memerlihatkan respon perusahaan kepada publik atas suatu krisis sehingga publik dapat mendukung perusahaan dan memberikan penilaian yang cenderung positif. Hal yang membedakan Public Relations dengan yang lainnya adalah adanya penggunaan atau pemanfaatan orang ketiga yang biasanya dipilih sebagai opinion leader atau yang biasa disebut dengan Key Opinion Leader. Opinion leader penting dalam penyebaran informasi. Mereka terlibat dengan media dalam penyebaran ide dan informasi kepada khayalak luas yang peduli akan idustri, isu, interes, maupun ideologi. (Chaney, 2001).31
30
Op. Cit hal 325 Isabella M Chaney. Opinion leaders as a segment for marketingcommunications. Marketing Intelligence & Planning, tahun 2001, hal 302.
31
40
Bobbitt dan Sullivan membedakan dua bentuk opinion leaders; formal opinion leaders dan informal opinion leaders. Formal informal leaders merupakan mereka yang sering kali dimintai oleh wartawan dan merupakan orang yang memiliki posisi terkait, sementara informal opinion leaders merupakan mereka yang mungkin bukan ahli di bidangnya namun memiliki karisma untuk memengaruhi orang lain.32 Opinion leader adalah media yang penting bagi Public Relations untuk memengaruhi persepsi publik terhadap reputasi perusahaan yang sering diminta menjadi narasumber atau sering diminta pendapatnya mengenai suatu kasus atau isu oleh media massa, maka dari itu Public Relations harus menjalin hubungan baik dengan opinion leader agar mereka yang berkepentingan dapat memberikan opini yang positif terhadap perusahaan, terlebih jika perusahaan sedang mengalami krisis karena Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dalam perkembangannya sering dipadupadankan dengan teori agenda setting, framing, dan analisa isi. Selain media masa, channel penyampaian pesan oleh Public Relations di jaman digital seperti ini bisa menggunakan media baru, yaitu internet yang di dalamnya terdapat media sosial. Di dalam krisis,
perusahaan harus memiliki
perencanaan strategis untuk memastikan bahwa pesan atau tujuan perusahaan bisa sampai ke masyarakat luas.. Ingat: wei-ji, salah satu kalimat dari bahas Cina tentang krisis, krisis bisa saja membahayakan namun juga dapat membuka peluang.33 Media sosial menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan saat ini, untuk individu maupun korporasi.
32
Randy Bobbitt dan Ruth Sullivan. Developing the Public Relations Campaign . USA: Pearson Education. Tahun 2009. 33 Steven, Fink. Crisis Communications. USA: Mc Graw Hill. Tahun 2013 halaman 87.