BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Usia Prasekolah 2.1.1 Pengertian Anak merupakan individu yang unik karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan perkembangan juga berbeda (Soetjiningsih, 2010). Anak usia tiga sampai enam tahun digolongkan sebagai anak usia prasekolah. Usia prasekolah merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga yang merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia. Masa anak dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggara pendidikan yang merupakan fase yang penting bagi perkembangan individu, karena fase ini terjadi peluang yang sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang (Sembiring, 2012). Anak memiliki rentang usia yang sangat berharga dibandingkan usia-usia selanjutnya dan berada pada masa proses perubahan berupa pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan penyempurnaan, baik pada aspek jasmani maupun rohaninya yang berlangsung seumur hidup, bertahap, dan berkesinambungan (Mulyasa, 2012). Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang dan ukuran tulang (Soetjningsih, 2010). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses 10
11
pematangan yang menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa, sehingga
masing-masing
dapat
memenuhi
fungsinya.
Termasuk
juga
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2010). 2.1.2 Ciri-ciri anak usia prasekolah Ciri-ciri anak usia prasekolah menurut Hurlock (2005) meliputi : 1) Secara fisik, otot-otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras. 2) Secara motorik, anak mampu memanipulasi objek kecil menggunakan balokbalok dalam berbagai ukuran dan bentuk. 3) Secara intelektual, anak mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri dan cemburu. Hal ini timbul karena anak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya. 4) Secara sosial, anak mampu menjalin kontak sosial dengan orang-orang yang ada di luar rumah, sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang-orang dewasa, saudara kandung di dalam keluarga. 2.1.3 Tugas perkembangan Tugas perkembangan yang harus dicapai anak usia prasekolah menurut Santrock (2007) adalah : 1) Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
12
2) Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis. 3) Belajar bergaul dengan teman sebaya. 4) Belajar memainkan peranannya sesuai jenis kelamin. 5) Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung. 6) Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari. 7) Mengembangkan kata hati. 8) Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi. 9) Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial. 2.1.4 Tahap Perkembangan Menurut Supartini (2004), tahap perkembangan anak meliputi sebagai berikut: 1) Perkembangan psikososial Berdasarkan dengan tahap perkembangan psikososial, anak prasekolah berada pada tahap inisiatif melawan rasa bersalah. Perkembangan inisiatif anak dapat diperoleh dengan melakukan pengkajian lingkungan melalui kemampuan inderanya. 2) Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif dibahas berdasarkan tahap sensorik dan motorik praoperasional. Sesuai dengan tahap perkembangan kognitif, anak usia empat sampai lima tahun berada pada tahap praoperasional. Karakteristik utama perkembangan praoperasional didasari oleh adanya sifat egosentris.
13
3) Perkembangan fisik Perkembangan fisik meliputi perkembangan gerakan motorik kasar dan gerakan motorik halus. 2.1.5 Faktor yang mempengaruhi perkembangan Menurut Adriana (2011), secara umum terdapat dua factor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu factor internal dan eksternal. Adapun faktor internal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak antara lain : 1) Ras Anak yang dilahirkan dari ras/bangsa Amerika tidak memiliki faktor herediter ras/bangsa Indonesia atau sebaliknya. 2) Keluarga Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek, gemuk, atau kurus. 3) Umur Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan, dan masa remaja. 4) Jenis Kelamin Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat daripada laki-laki. Akan tetapi setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan anak lakilaki akan lebih cepat.
14
5) Genetik Genetik adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak, contohnya seperti kerdil. 6) Kelainan Kromosom Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan seperti pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s. Berikut adalah faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pada tumbuh kembang anak : 1) Faktor Prenatal a. Gizi Nutrisi
ibu
hamil
terutama
pada
trimester
akhir
kehamilan
akan
mempengaruhi pertumbuhan janin. b. Mekanis Posisi fetus yang abnormal dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti club foot. c. Toksin/zat kimia Beberapa
obat-obatan
seperti
Aminopetrin
atau
thalidomide
dapat
menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis. d. Endokrin Diabetes mellitus dapat menyebabkan makrosomia, kardiomegali dan hyperplasia adrenal.
15
e. Radiasi Paparan radiasi dan sinar rontgen dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan congenital mata, serta kelainan jantung. f. Infeksi Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH (Toksoplasma, Rubella, Citomegalo virus, Herpes simpleks) dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti katarak, bisu tuli, mikrosefali, retardasi mental, dan kelainan jantung congenital. g. Kelainan Imunologi Eritoblastosis fetalis timbul akibat perbedaan golongan darah antara ibu dan janin sehingga ibu membentuk antibody terhadap sel darah merah janin, kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan hiperbilirubinemia dan kernikikterus yang akan menyebabkan kerusakan jaringan otak. h. Anoreksia Embrio Anoreksia embrio yang disebabkan oleh gangguan fungsi plasenta menyebabkan pertumbuhan terganggu. i. Psikologi Ibu Kondisi seperti kehamilan yang tidak diinginkan serta perlakuan salah atau kekerasan mental pada ibu hamil dan lain-lain.
16
2) Faktor Persalinan Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia, dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak. 3) Faktor Pasca Persalinan a. Gizi Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan yang adekuat. b. Penyakit kronis atau kelainan congenital Penyakit seperti TBC, anemia, dan kelainan jantung bawaan dapat menyebabkan anak mengalami retardasi pertumbuhan anak secara jasmani. c. Lingkungan fisik dan kimia Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan sinar radioaktif dan zat kimia tertentu (merkuri, rokok) mempunyai dampak yang negative terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. d. Psikologis Anak yang selalu merasa tertekan secara psikologis, akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangan. e. Endokrin Gangguan hormone, misalnya pada penyakit hipotiroid, akan menyebabkan anak mengalami hambatan pertumbuhan. f. Sosio ekonomi Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan serta kesehatan lingkungan yang kurang baik dapat berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan anak.
17
g. Lingkungan pengasuhan Pada lingkungan pengasuhan, interaksi ibu dan anak sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. h. Stimulasi Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi, khususnya dalam keluarga, misalnya penyediaan mainan, sosialisasi anak, serta keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak. i. Obat-obatan Pemakaian kortikosteroid jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf yang menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan.
2.2 Perilaku 2.2.1 Pengertian Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Fitriani, 2011). Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain seperti : berjalan, tertawa, bernyanyi, dan aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain seperti : berpikir, berfantasi dan bersikap. Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) dan terdapat teori SOR (StimulusOrganisme-Respon) yang merupakan stimulus terhadap organism kemudian organism meresponnya (Notoatmodjo, 2010).
18
Teori SOR dalam Notoatmodjo (2010), membagi perilaku menjadi dua jenis, yaitu: 1) Perilaku tertutup/covert behavior merupakan respon terhadap stimulus dimana hanya dalam batas persepsi, perhatian, pengetahuan/kesadaran, tanpa dapat diamati. 2) Perilaku terbuka/overt behavior yaitu respon terhadap stimulus dimana telah ditunjukkan dalam bentuk nyata atau terbuka sehingga dapat diamati oleh orang lain. Teori Skinner dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan ada dua jenis respon: a. Respondent respons, yaitu respon yang timbul bersifat menetap akibat rangsangan yang disebut eleciting stimuli. b. Operant respons, yaitu repson yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh rangsangan lain yang disebut reinforcing stimuli. 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku yaitu : 1) Faktor Predisposisi yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. Seorang anak mau mencuci tangan dengan sabun sebelum makan karena tahu bahwa cuci tangan dapat menghilangkan kuman sehingga dapat mencegah penyakit. Tanpa adanya pengetahuan, anak akan malas mencuci tangan.
19
2) Faktor Pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin merupakan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya penyediaan sabun dan air yang bersih untuk mencuci tangan. 3) Faktor Penguat adalah faktor pendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor pendorong ini mencakup sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, serta sikap dan perilaku petugas kesehatan. Contohnya adalah seorang anak akan terbiasa mencuci tangan apabila ibunya mempunyai kebiasaan mencuci tangan. 2.2.3 Aspek perilaku Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2010) membagi perilaku manusia ke dalam tiga kawasan yakni : 1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Fitriani, 2011). Secara garis besar dibagi menjadi enam tingkat pengetahuan, yaitu : a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Contohnya dapat menyebutkan manfaat dari cuci tangan.
20
b. Memahami
(comprehension),
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar sehingga dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi. c. Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang sudah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Misalnya dapat menggunakan rencana keperawatan yang telah ia pahami sebelumnya. d. Analisis (analysis), diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi kemudian mencari hubungan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah. Misalnya dapat membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. e. Sintesis
(synthesis),
diartikan
sebagai
kemampuan
seseorang
untuk
merangkum dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimilikinya. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation), diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian tersebut berdasarkan criteria yang ditentukan sendiri maupun yang sudah ada. Misalnya anak dapat menilai anak yang menderita gizi buruk dan yang tidak.
21
2) Sikap Sikap merupakan respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek yang sudah melibatkan factor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Newcomb dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Berdasarkan intensitasnya, sikap dapat dibagi menjadi : a. Menerima (Receiving) Seseorang atau subjek mau dan memperhatikan menerima stimulus yang diberikan. Misalnya dapat dilihat dari kesediaan anak untuk mendengarkan penyuluhan. b. Menanggapi (Responding) Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. c. Menghargai (Valuing) Subjek memberikan nilai yang positif terhadap stimulus kemudian membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merepsons. d. Bertanggung jawab (Responsible) Sikap yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya harus bersedia mengambil risiko dan merupakan paling tinggi tingkatannya.
22
3) Praktik atau tindakan Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan diperlukan fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan : a. Respon terpimpin Apabila subjek telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan. Misalnya anak mencuci tangan masih harus diingatkan oleh ibunya. b. Mekanisme Apabila subjek telah melaksanakan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya anak mencuci tangan setelah buang air tanpa perlu diingatkan oleh ibunya. c. Adopsi Adopsi merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang sehingga dilakukan tidak sekedar rutinitas tetapi sudah dilakukan modifikasi yang berkualitas. Misalnya anak dapat mencuci tangan sesuai langkah-langkah cuci tangan yang benar. 2.2.4 Upaya Perubahan Perilaku Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
23
1) Menggunakan kekuasaan atau dorongan Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran sehingga mau melakukan perilaku yang diharapkan. Misalnya dengan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. 2) Pemberian informasi Adanya informasi tentang cara mencapai hidup sehat, pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit akan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan tersebut akan timbul kesadaran sehingga seseorang akan berperilaku sesuai pengetahuan yang dimilikinya. 3) Diskusi partisipatif Cara ini merupakan pengembangan dari cara kedua dimana penyampaian informasi kesehatan bukan hanya searah tetapi secara partisipatif. Hal ini berarti bahwa seseorang tidak hanya menerima secara pasif tetapi juga ikut aktif dalam diskusi tentang informasi yang diterima. 2.2.5 Proses Adopsi Perilaku Menurut Rogers (1974) dalam Effendi dan Makhfudli (2009) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni sebagai berikut : 1) Timbul kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari (mengetahui) stimulus terlebih dahulu. 2) Ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus. 3) Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation), yakni sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi.
24
4) Mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai mencoba perilaku baru. 5) Mengadaptasi (adoption), yakni orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Untuk membuat seseorang mengadopsi perilaku yang baru, terlebih dahulu harus mengetahui arti maupun manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan keluarga. Dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi pengetahuan tentang sakit dan penyakit, pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, dan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Indikatornya antara lain sikap terhadap sakit dan penyakit, sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat, dan sikap terhadap kesehatan lingkungan.
Proses
selanjutnya
diharapkan
akan
melaksanakan
atau
mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya antara lain tindakan sehubungan dengan penyakit, baik pencegahan maupun penyembuhan, tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, dan tindakan kesehatan lingkungan (Fitriani, 2011). 2.2.6
Cara mengukur perilaku kesehatan
Menurut Green (1980) dalam Maulana (2009), pendidikan kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengubah perilaku seseorang. Perubahan perilaku memerlukan waktu dan dievaluasi dalam waktu tiga minggu (Lally,
25
2011). Menurut Kuswandari (2012) cara mengukur perilaku kesehatan dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung (observasi).
2.3 Cuci Tangan 2.3.1 Pengertian Cuci tangan adalah kegiatan membersihkan kotoran yang melekat pada kulit dengan memakai sabun dan air yang mengalir (Depkes, 2007). Pernyataan ini selaras dengan Potter (2006) yang menjelaskan bahwa cuci tangan adalah aktifitas membersihkan tangan dengan cara menggosok dan menggunakan sabun serta membilasnya pada air yang mengalir. Mencuci tangan adalah proses menggosok kedua permukaan tangan dengan kuat secara bersamaan menggunakan zat yang sesuai dan dibilas dengan air dengan tujuan menghilangkan mikroorganisme sebanyak mungkin (Jonshon, 2005). Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari-jemari menggunakan air dan sabun untuk menjadi bersih. Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk, gelas). Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan binatang, ataupun cairan tubuh lain (seperti ingus) dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan sabun
26
dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang tidak sadar bahwa dirinya sedang ditulari (Isaac, 2007). Brooker (2008) mengungkapkan bahwa cuci tangan adalah satu-satunya prosedur terpenting dalam pengendalian infeksi nosokomial. WHO menganjurkan untuk melakukan cuci tangan pakai sabun untuk mengatasi healthcare associated infection (HAIs) karena pada tangan manusia terdapat flora transient yaitu flora yang ada di permukaan tangan yang berkaitan dengan lingkungan dan sebagainya dan biasanya berkaitan dengan penularan infeksi di rumah sakit (Semijurnal Farmasi & Kedokteran, 2012). Oleh karena itu cuci tangan pakai sabun dapat mencegah penyebaran penyakit-penyakit menular seperti diare, ISPA, dan flu burung bahkan disarankan untuk mencegah penyebaran H1N1 (Depkes RI, 2009). Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi insiden diare sampai 50% atau sama dengan menyelamatkan sekitar 1 juta anak didunia dari penyakit tersebut setiap tahunnya (Rompas, 2013). 2.3.2 Tujuan Cuci Tangan Tujuan mencuci tangan adalah untuk menghilangkan mikroorganisme sementara yang mungkin ditularkan ke orang lain dan mencuci tangan merupakan tindakan yang paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan adanya infeksi nosokomial (Kozier dan Erb’s, 2009). Cuci tangan adalah salah satu unsur pencegahan penularan infeksi (Depkes RI, 2007). Cuci tangan menggunakan sabun, bagi sebagian masyarakat sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari, tapi bagi sebagian masyarakat lainnya, cuci tangan
27
menggunakan sabun belum menjadi kegiatan rutin, terutama bagi anak-anak. Cuci tangan menggunakan sabun dapat menghilangkan sejumlah besar virus dan bakteri yang menjadi penyebab berbagai penyakit, terutama penyakit yang menyerang saluran cerna, seperti diare dan penyakit infeksi saluran nafas akut (Tietjen, 2004). 2.3.3 Manfaat Cuci Tangan Mencuci tangan menggunakan sabun yang dipraktikkan secara tepat dan benar dapat mencegah berjangkitnya beberapa penyakit. Mencuci tangan dapat mengurangi risiko penularan berbagai penyakit termasuk flu burung, cacingan, influenza, hepatitis A, dan diare terutama pada bayi dan balita. Anak yang mencuci tangan tanpa menggunakan sabun berisiko 30 kali lebih besar terkena penyakit tipoid empat kali lebih parah daripada yang terbiasa mencuci tangan menggunakan sabun (Wahid, 2007). Selain itu, manfaat positif lain dari mencuci tangan adalah tangan menjadi bersih dan wangi (Kemenkes, 2011). 2.3.4 Macam-macam Cuci Tangan Kegiatan mencuci tangan dibagi menjadi tiga yaitu: cuci tangan bersih, cuci tangan aseptic, dan cuci tangan steril (Potter, 2006). 1) Cuci tangan bersih Mencuci tangan bersih adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan. Waktu yang penting cuci tangan bersih dengan sabun adalah sebelum makan dan sesudah makan, setelah dari toilet, sebelum mengobati luka, sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukkan
28
jari-jari kedalam mulut dan mata, setelah bermain dan olahraga, setelah mengusap hidung atau bersin ditangan, setelah buang sampah, setelah menyentuh hewan atau unggas termasuk hewan peliharaan (Potter, 2006). WHO (2009) mengeluarkan regulasi tentang peraturan mencuci tangan baik pada kalangan medis maupun kalangan umum (perseorangan). 2) Cuci tangan aseptic Mencuci tangan aseptic adalah mencuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptic pada pasien dengan menggunakan larutan antiseptic. Mencuci tangan dengan larutan antiseptic, khususnya bagi petugas yang berhubungan dengan pasien yang mempunyai penyakit menular atau sebelum melakukan tindakan bedah aseptic dengan antiseptic dan sikat steril. Prosedur mencuci tangan aseptic sama dengan persiapan dan prosedur pada cuci tangan higienis atau cuci tangan bersih, hanya saja bahan deterjen atau sabun diganti dengan antiseptic dan setelah mencuci tangan tidak boleh menyentuh bahan yang tidak steril (Kozier, et al, 2009). 3) Cuci tangan steril Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara steril, khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan atau operasi. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan steril adalah menyediakan bak cuci tangan dengan pedal kaki atau pengontrol lutut, sabun antimicrobial, sikat scrub bedah dengan pembersih kuku dari plastic, masker kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril, pakaian di ruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu (Kozier, et al, 2009). Prosedur mencuci tangan steril berbeda dengan mencuci tangan bersih dan
29
septic. Perbedaannya terletak pada frekuensi cuci tangan dan peralatan sikat untuk menggosok kuku. Mencuci tangan steril dilakukan sebanyak dua kali cuci tangan baru kemudian dikeringkan oleh handuk sekali pakai. 2.3.5 Prosedur Cuci tangan Prosedur cuci tangan bersih dengan sabun menurut WHO (2009) adalah sebagai berikut : a. Pertama, basuh kedua tangan dengan air bersih yang mengalir, ratakan sabun dengan kedua telapak tangan b. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan, begitu pula sebaliknya c. Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan kanan d. Jari-jari sisi dalam kedua tangan saling mengunci e. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan juga pada tangan kanan f. Gosok telapak tangan dengan ujung jari tangan satunya dengan gerakan memutar. Lakukan pada tangan yang satunya juga g. Bilas dengan air bersih mengalir dan keringkan tangan dengan handuk/tissue sekali pakai. Gunakan handuk atau tissue tersebut untuk menutup kran air.
30
Langkah Mencuci Tangan dengan Sabun dan Air (WHO, 2009)
Gambar 1. Langkah Cuci Tangan Pakai Sabun
31
2.3.6 Faktor yang mempengaruhi perilaku cuci tangan Menurut Potter & Perry (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk mencuci tangan di antaranya adalah citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi, pengetahuan, dan kebiasaan. 1) Citra diri Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan dirinya. Misalnya karena ada perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kesehatan. 2) Praktik sosial Pada anak-anak yang selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka akan terjadi perubahan pola cuci tangan. 3) Status sosioekonomi Mencuci tangan memerlukan alat dan bahan seperti sabun, lap tangan atau tisu dan semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. 4) Pengetahuan Pengetahuan cuci tangan sangat penting karena pengetahuan baik dapat meningkatkan kesehatan. 5) Kebiasaan Adanya kebiasaan untuk tidak cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas sedari kecil akan terbawa sampai dewasa.
32
2.4 Pendidikan Kesehatan 2.4.1
Pengertian
Menurut Suliha (2002) dalam Zuraidah (2013) menyebutkan bahwa pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang mengubah pengetahuan kesehatan menjadi suatu kebiasaan hidup. Pendidikan kesehatan yaitu proses perubahan untuk mengubah individu, keluarga, maupun masyarakat menuju hal yang positif dengan susunan yang terencana melalui proses belajar mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Machfoed, 2006). Sasaran pendidikan kesehatan yaitu kepada masyarakat umum, masyarakat dengan kelompok tertentu seperti wanita, pemuda, remaja serta termasuk pula kelompok khusus yaitu lembaga pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, sekolah agama baik negeri ataupun swasta (Fitriani, 2011). Dalam Fitriani (2011) tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku orang atau masyarakat yang tidak sehat atau belum sehat menjadi perilaku sehat dan mengubah perilaku yang kaitannya dengan budaya. Sedangkan menurut Tarnawan dalam Zuraidah (2013), tujuan dari pendidikan kesehatan adalah melanjutkan penanaman kebiasaan dan norma hidup sehat serta memberikan pengetahuan tentang kesehatan. 1.4.2 Proses Pendidikan Kesehatan Menurut Fitriani (2011), di dalam kegiatan belajar terdapat prinsip pokok yaitu proses belajar yang di dalamnya terdapat tiga persoalan pokok, yaitu :
33
1) Persoalan masukan (input) Menyangkut pada sasaran belajar (sasaran didik) yaitu individu, kelompok serta masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan berbagai latar belakangnya. 2) Persoalan proses Mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada diri subjek belajar tersebut. Dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara berbagai faktor antara lain subjek belajar, pengajar metode, teknik belajar, alat bantu belajar serta materi atau bahan yang dipelajari. 3) Persoalan keluaran (output) Merupakan hasil belajar itu sendiri yaitu berupa kemampuan atau perubahan perilaku dari subjek belajar. 2.4.3 Media pendidikan kesehatan Yang dimaksud media pendidikan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan. Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan informasi kesehatan karena alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan kesehatan bagi masyarakat atau klien (Fitriani, 2011). Menurut Waryanto (2007) mengelompokkan media ini berdasarkan jenisnya, yaitu : 1) Media audio Media ini hanya mengandalkan kemampuan suara saja. Jenisnya antara lain adalah tape recorder, CD maupun radio.
34
2) Media visual Media yang hanya mengandalkan indra penglihatan dalam wujud visual. Puzzle merupakan salah satu dari jenis media ini. 3) Media audiovisual Media yang mempunyai unsur suara dan gambar.
2.5 Puzzle 2.5.1 Pengertian Puzzle merupakan media yang berbentuk potongan-potongan gambar yang digunakan untuk menyalurkan pesan pembelajaran, sehingga dapat menstimulus perhatian, minat, pikiran dan perasaan anak selama proses pembelajaran (Zakarya, 2013). Permainan puzzle adalah permainan yang terdiri atas kepingan-kepingan dari satu gambar tertentu yang dapat melatih kreativitas, keteraturan, dan tingkat konsentrasi (Soebachman, 2012). Puzzle adalah permainan menyusun dan mencocokan bentuk dan tempatnya sesuai dengan gambar yang sebenarnya (Yulianty, 2008). Menurut Olivia (2009), puzzle adalah sebuah permainan menggabungkan gambar yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan yang memiliki arti. 2.5.2 Tujuan Permainan Puzzle Memberikan permainan puzzle pada anak merupakan permainan yang menarik dan memberikan pengetahuan yang dapat mengasah strategi anak. Permainan anak yang diberikan dapat memberikan simbol. Permainan membuat anak belajar dengan senang, dan dengan belajar melalui permainan anak dapat menguasai
35
pelajaran yang lebih menantang. Permainan puzzle menurut Sunarti (2005) mempunyai tujuan, yaitu: 1) Mengenalkan anak beberapa strategi sederhana dalam menyelesaikan masalah. 2) Melatih kecepatan, kecermatan, dan ketelitian dalam menyelesaikan masalah. 3) Menanamkan sikap pantang menyerah dalam menghadapi masalah. 2.5.3 Manfaat Permainan Puzzle Permainan puzzle bisa memberikan kesempatan belajar yang banyak kepada anak. Memainkan puzzle bersama-sama dapat merekatkan hubungan antara orangtua dan anak. Permainan puzzle memberikan tantangan tersendiri untuk anak disaat anak berada dalam kondisi bingung sebagai orangtua dapat menyemangati anak agar tidak patah semangat. Semangat yang diperoleh anak dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa mampu menyelesaikan permainan puzzle tersebut. Rasa percaya diri dapat menambah rasa aman kepada anak sehingga anak akan lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lainnya. Manfaat permainan puzzle menurut Yulianty (2008) adalah: 1) Mengasah otak, kecerdasan otak anak akan terlatih karena permainan puzzle yang melatih sel-sel otak untuk memecahkan masalah. 2) Melatih koordinasi mata dan tangan, permainan puzzle melatih koordinasi tangan dan mata anak. Hal itu dikarenakan anak harus mencocokan kepingkeping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar utuh. 3) Melatih membaca, membantu mengenal bentuk dan langkah penting menuju pengembangan keterampilan membaca.
36
4) Melatih nalar, permainan puzzle dalam bentuk manusia akan melatih nalar anak-anak karena anaak-anak akan menyimpulkan dimana letak kepala, tangan, kaki, dan lain-lain sesuai dengan logika. 5) Melatih kesabaran. Aktivitas permainan puzzle, kesabaran akan terlatih karena saat
bermain
puzzle
di
butuhkan
kesabaran
dalam
menyelesaikan
permasalahan. 6) Memberikan pengetahuan, permainan puzzle memberikan pengetahuan kepada anak-anak untuk mengenal warna dan bentuk. Anak juga akan belajar konsep dasar binatang, alam sekitar, jenis-jenis benda, anatomi tubuh manusia, dan lain-lain.
2.5.4 Jenis Potongan Puzzle Menurut Hadfield dalam Rahmanelli (2007) dunia anak-anak terdapat berbagai jenis permainan, salah satu jenis permainan yang bermanfaat bagi anak dan bersifat edukatif adalah puzzle. Puzzle terdiri dari kepingan-kepingan. Kegiatan membongkar dan menyusun kembali kepingan puzzle menjadi bentuk yang utuh bertujuan melatih koordinasi mata, tangan dan pikiran anak dalam menyusun kepingan puzzle yang terdiri dari berbagai bentuk yang berbeda dengan cara mencocokkan potongan gambar satu dengan lainnya, sehingga membentuk satu gambar yang utuh dan baik. Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Anak terbiasa dalam permainan puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu.
37
Beberapa jenis potongan puzzle menurut Hadfield dalam Rahmanelli (2007) diantaranya: 1. Spelling puzzle, yakni puzzle yang terdiri dari gambar-gambar dan huruf-huruf acak untuk dijodohkan menjadi kosakata yang benar. 2. Jigsaw Puzzle, yakni puzzle yang berupa beberapa pertanyaan untuk dijawab kemudian dari jawaban itu diambil huruf-huruf pertama untuk dirangkai menjadi sebuah kata yang merupakan jawaban pertanyaan yang paling akhir. 3. The thing puzzle, yakni puzzle yang berupa deskripsi kalimat-kalimat yang berhubungan dengan gambar-gambar benda untuk dijodohkan. 4. The letter readiness puzzle, yakni puzzle yang berupa gambar-gambar disertai dengan huruf-huruf nama gambar tersebut, tetapi huruf itu belum lengkap. 5. Crosswords puzzle, yakni puzzle berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan cara memasukkan jawaban tersebut ke dalam kotak-kotak yang tersedia baik secara horizontal maupun vertikal. 2.5.5 Cara Memainkan Puzzle Permainan puzzle dapat merangsang daya pikir anak, termasuk diantaranya meningkatkan kemampuan konsentrasi dan memecahkan masalah. Permainan ini juga dituntut agar membuat anak untuk teliti dan tekun ketika mengerjakannya. Kegiatan yang aktif dalam bermain ini dapat meningkatkan aktifitas sel otaknya dan juga merupakan masukan-masukkan pengamatan atau ingatan yang selanjutnya akan menyuburkan proses pembelajaran dan menggunakan semua panca indranya secara aktif. Menurut Yulianti (2008) langkah-kangkah memainkan permainan puzzle adalah sebagai berikut:
38
1. Lepaskan kepingan puzzle dari papannya 2. Acak kepingan puzzle tersebut 3. Mintalah anak untuk memasangkannya kembali 4. Berikan tantangan pada anak untuk melakukannya dengan cepat, biasanya dengan hitungan angka dari 1 sampai 10, stopwatch, dll. 2.6 Pengaruh penggunaan media puzzle terhadap perilaku cuci tangan anak usia pra sekolah Anak usia tiga sampai enam tahun digolongkan pada usia prasekolah dimana anak akan mengalami tumbuh kembang yang sangat pesat yang berlangsung secara holistik atau menyeluruh (Martuti, 2008). Anak mulai dapat diajarkan untuk menggunakan aturan-aturan untuk memahami penyebab, seperti sebelum makan agar tidak sakit perut, anak dapat diajarkan perilaku cuci tangan dengan sabun (Potter & Perry, 2005). Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah kesehatan (Listuayu, 2012). Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan tentang kebersihan diri dan hidup sehat sangat dibutuhkan dalam mempertahankan kebiasaan hidup yang sesuai dengan kesehatan dan akan menciptakan kesejahteraan dan kesehatan yang optimal. Pengalaman terhadap praktek yang didasari oleh pengetahuan akan lebih menetap dari praktek yang tidak didasari pengetahuan. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Mencuci
39
Tangan Dengan Benar pada Siswa Kelas V SDIT An-Nida’Kota Lubuklinggau Tahun 2013”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Zuraidah (2013) yang mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku cuci tangan yang benar seseorang. Pada usia prasekolah ini perilaku dapat dibentuk melalui cara menumbuhkan pengertian, kebiasaan, dan penggunaan model sehingga dapat dibentuk perilaku kesehatan sesuai dengan harapan. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan pengembangan kemampuan dasar merupakan fokus pengembangan pada anak usia tersebut. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu cara menumbuhkan pengertian kepada anak untuk mengubah perilaku (Fitriani, 2011). Pentingnya pendidikan kesehatan tersebut dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Susilaningsih (2013) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Perilaku Mencuci Tangan Siswa Sekolah Dasar”. Penelitian tersebut dilakukan di SD 1 Gonilan dengan 36 responden yang mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cuci tangan anak melalui pendidikan kesehatan. Dalam mengajarkan anak usia prasekolah untuk mencuci tangan diperlukan media yang tepat sehingga dapat mengubah perilaku (Fitriani, 2011). Salah satu media yang bisa digunakan adalah media puzzle untuk meningkatkan minat anak sehingga pesan tersampaikan. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa melalui media puzzle minat siswa dalam belajar menjadi lebih tinggi sehingga memunculkan sikap yang baik bagi anak.
40
Penelitian yang dilakukan oleh Samiyati (2012) dengan judul “Peningkatan Minat dan Hasil Belajar IPA Pokok Bahasan Penggolongan Makhluk Hidup Menggunakan Metode Demonstrasi dengan Media Puzzle pada Siswa Kelas III SDN Kaliwining”. Dalam penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan minat dan hasil belajar siswa melalui media puzzle. Penelitian lain dilakukan oleh Fuad (2012) dengan judul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Game Tournament (TGT) Dengan Media Permainan Puzzle Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Bidang Studi Matematika Pokok Bahasan Bangun Datar Pada Siswa Kelas II SD Negeri Mumbulsari”. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa melalui media puzzle. Penelitian terbaru dilakukan oleh Zakarya (2013) dengan judul “Pengaruh Pelatihan Cuci Tangan Bersih Dengan Metode Bermain Puzzle Terhadap Kemampuan Melakukan Cuci Tangan Anak Tunagrahita Di SDLB TPA Kab. Jember”. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh pelatihan cuci tangan bersih dengan metode puzzle terhadap kemampuan cuci tangan bersih anak. Penelitian tentang penggunaan media puzzle pada anak usia prasekolah yang dilakukan oleh Safitri, Syukri dan Yuniarni (2014) dengan judul “Peningkatan Kemampuan Daya Ingat Melalui Permainan Puzzle Pada Anak Usia 5-6 Tahun”. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pembelajaran dengan media puzzle meningkatkan kemampuan daya ingat anak usia 5-6 tahun.
41
Hal itu terbukti bahwa selain meningkatkan minat belajar anak, dengan penggunaan puzzle dalam pembelajaran juga meningkatkan daya ingat anak sehingga pengetahuan cuci tangan yang diberikan menetap dalam pikiran anak dan diadopsi dalam kehidupan sehari-hari.