BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologik, psikologik, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas, budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan. Oleh karena itu ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku makan yang disebut dengan kebiasaan makan (Baliwati, dkk, 2004). Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. Pola konsumsi pangan di Indonesia masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam pola pangan harapan. Konsumsi dari kelompok padi-padian (beras, jagung, terigu). Masih dominan baik di kota maupun di desa namun perlu diwaspadai bahwa jenis konsumsi pangan yang bersumber lemak, minyak dan gula sudah berlebihan. Kelebihan dari kedua pangan ini akan membawa dampak negatif bagi kesehatan terutama penyakit degeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung dan diabetes (Ariani, M, 2004).
6 Universitas Sumatera Utara
Pangan atau makanan yang dikonsumsi pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kehidupan manusia yaitu sebagai sumber energi dan pertumbuhan serta mengganti jaringan atau sel tubuh yang rusak. Menurut Sediaoetama (1999), tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan. Kualitas makanan menunjukkan adanya zat gizi yang diperlukan tubuh didalam susunan hidangan dan perbandingannya terhadap satu dan lainnya. Kuantitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. tingkat konsumsi individu dapat mempengaruhi status gizinya. Cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh manusia, secara kuantitatif dapat diperkirakan dari nilai energi (kal) yang dikandungnya. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam bahan makanan (Almatsier, 2003). 2.2. Mi Aceh Mi Aceh digolongkan ke dalam mi basah, yaitu produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa bahan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan. Mi Aceh merupakan makanan berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan dan paling cepat mengalami kerusakan atau pembusukan terutama karena dalam pembuatannya tidak menggunakan pengawet sehingga pemakaiannya untuk diolah lebih lanjut menjadi mie siap saji tidak boleh melebihi 24 jam. Pembuatan mi aceh sebenarnya sama saja dengan pembuatan mi basah pada umumnya. Pembuatan secara tradisional biasanya dengan menambahkan air abu (air alkali) dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik mi serta untuk meningkatkan daya tahan atau keawetan mi tersebut agar dapat digunakan selama 24 jam atau kurang lebih pemakaian untuk satu hari. Pada pembuatan mi yang lebih maju,
Universitas Sumatera Utara
berbagai bahan tambahan diberikan untuk menggantikan fungsi air abu (air alkali) ini. Namun air abu ini memiliki efek yang negatif bagi kesehatan, dimana dari setiap kadar air abu yang dikonsumsi tubuh manusia secara akumulasi mempunyai efek tajam atau berbahaya bagi organ lambung (Winarno, 1994). 2.2.1. Bahan Baku Mi Aceh Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan Mi Aceh adalah tepung terigu, air, air abu, telur, pewarna, garam, tepung kanji atau tepung pulut dan minyak makan. Semua bahan harus dalam kondisi baik, misalnya tepung terigu dan tepung kanji harus dalam kondisi tidak berbau apek, berwarna normal, bersih, bebas jamur dan serangga. Air yang merupakan komponen penting dalam mempengaruhi bentuk, tekstur, bau dan rasa juga harus dalam kondisi baik, begitu juga dengan bahan-bahan lainnya. 2.2.2. Kandungan Zat Gizi Pada Mi Aceh Kandungan zat gizi pada Mi Aceh antara lain : a. Karbohidrat Bahan utama mi adalah tepung terigu yang merupakan karbohidrat komplek. Makanan kaya karbohidrat seperti pada Mi Aceh mengandung pati (zat tepung) yang tinggi. b. Protein Kebanyakan protein dari Mi Aceh berasal dari daging, kepiting dan udang yang di olah dan dimasukkan ke dalam Mi Aceh.
Universitas Sumatera Utara
c. Lemak Kebanyakan dari Mi Aceh di buat dengan cara deep frying (menggoreng dalam rendaman minyak) menggunakan minyak kelapa sawit. Komponen lemak yang terdapat pada Mi Aceh sebesar 1,0-2,5% d. Natrium Karbonat Natrium karbonat merupakan sejenis garam yang membuat mi berwarna kekuningan. Natrium karbonat tidak memiliki nilai nutrisi tetapi bukan berarti tidak menyehatkan. Selain Natrium Karbonat, kandungan bumbu dalam Mi Aceh kebanyakan produk garam, jika kita memiliki penyakit darah tinggi diharuskan membatasi asupan garam. e. Air Air yang digunakan untuk proses pembuatan Mi Aceh serta untuk pencucian alat-alat ataupun untuk membersihkan sarana produk lainnya yang dipergunakan air yang memenuhi persyaratan untuk pengolahan pangan. Air merupakan komponen penting didalam proses pengolahannya karena air mempengaruhi bentuk atau tekstur, bau (aroma) dan rasanya. Komponen air yang terdapat dalam Mi Aceh sebesar 35,050,0%, 2.3. Kebiasaan Makan Pengunjung Warung Mi Aceh Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif atau negatif. Sikap positif dan negatif terhadap makanan dapat bersumber pada nilai-nilai “affective” yang bersumber dari lingkungan dan manusia atau kelompok manusia.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan, hanya saja wilayah kejiwaannya adalah nilai-nilai “koghnitive” yang berkaitan dengan kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik dan pemilihan adalah proses “psychomotor” untuk memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya (Khumaidi, 1994). Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat di pengaruhi oleh (Khumaidi, 1994) : a) Faktor perilaku (behavior),
yang termasuk
faktor ini adalah cara
berfikir/berpengetahuan, berperasaan dan pandangan (persepsi) itu kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Jika mekanisme ini terjadi berulang-ulang maka tindakan (perilaku konsumsi) itu menjadi kebiasaan makan yang dapat diukur dan diamati dengan pola konsumsi pangan. b) Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, strata dan sifatsifatnya. c) Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan dan sebagainya. d) Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologis, sistem usaha tani, sistem pasar dan sebagainya. e) Faktor ketersediaan bahan pangan, di pengaruhi oleh kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian, prasarana dan sarana, perundang-undangan dan pelayanan pemerintah. f) Faktor perkembangan teknologi, yang berpengaruh pada pola kebiasaan makan. Bioteknologi dapat menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang
Universitas Sumatera Utara
lebih praktis atau lebih bergizi (durian tidak berduri, semangka tidak berbiji, ayam berdaging lunak), teknologi pasca panen dapat menghasilkan berbagai jenis pangan olahan yang praktis, murah dan menarik (misalnya jenis mie, sosis dan sebagainya). 2.4. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) adalah banyaknya masingmasing zat gizi essensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika dan keadaan fisiologis seperti ibu hamil dan menyusui (Almatsier, 2005). Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Keadaan gizi dapat bermanifestasi kurang atau lebih. Seseorang yang kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dapat menyebabkan penyakit defisiensi. Kekurangan yang hanya ringan dapat menimbulkan menurunnya kemampuan fungsi walaupun kadang-kadang tidak disadari hal tersebut disebabkan faktor gizi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga membahayakan kesehatan. misalnya konsumsi energi dan protein yang berlebihan akan menyebabkan kegemukan sehingga berisiko terhadap penyakit kelainan kardiovaskuler. Oleh karena itu, untuk mencapai kesehatan yang optimal perlu disusun angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) sesuai untuk rata-rata penduduk yang hidup disuatu daerah tertentu. Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi nilai sosial, ragam jenis bahan makanan dan cita rasa. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Berbagai zat gizi makro seperti karbohidrat, protein dan lemak maupun kelompok zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral merupakan komponen bahan makanan (FKM UI, 2007). 2.4.1. Angka Kecukupan Energi Angka Kecukupan Energi adalah banyaknya asupan (intake) makanan dari seseorang yang seimbang dengan curahan (expenditure) nya sesuai dengan susunan dalam ukuran tubuh, tingkat kegiatan jasmani dalam keadaan sehat dan mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan secara ekonomis dalam jangka waktu lama. (Khumaidi, 1994). Zat gizi utama yang berfungsi sebagai sumber energi adalah karbohidrat, lemak dan protein. Zat gizi utama yang berfungsi untuk pertumbuhan dan mempertahankan jaringan adalah, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Zat gizi utama yang berfungsi untuk mengatur proses didalam tubuh adalah vitamin, mineral dan air (Baliwati, dkk, 2004). Agar dapat menjalankan berbagai fungsi tubuh dan untuk aktivitas sehari-hari diperlukan sejumlah tenaga atau energi yang meliputi (Baliwati, dkk, 2004): 1.
Energi luar, yaitu energi yang diperlukan untuk bekerja, berjalan, mengangkat barang dan lain-lain yang memerlukan kegiatan otot.
2.
Energi dalam, yaitu energi yang diperlukan untuk pekerjaan alat-alat tubuh seperti ginjal, jantung, latihan pernafasan.
3.
Energi yang diperlukan untuk pembentukan jaringan baru, untuk berbagai proses metabolik dan untuk memanaskan badan.
Universitas Sumatera Utara
Cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh manusia secara kuantitatif dapat diperkirakan dari nilai energi yang dikandungnya, sedangkan secara kualitatif mutu pangan dapat diperkirakan dari besarnya protein terhadap nilai energinya. Apabila kecukupan energi dan protein terpenuhi maka kecukupan zat gizi lain pada umumnya sudah dapat terpenuhi pula atau sekurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya. Jadi energi dan protein merupakan faktor pembatas yang dapat dipakai untuk membahas secara umum masalah kebutuhan hidup manusia yang paling pokok yaitu makanan (Khumaidi, 1994). Bayi dan anak berusia dari 0-10 tahun memerlukan energi untuk pertumbuhan, bermain, makan dan aktifitas lain. Sementara itu remaja (10-18 tahun) selain pertumbuhan jasmaninya pesat juga mengalami perubahan bentuk dan susunan jaringan tubuh. lama dan jenis kegiatan jasmani remaja sangat menentukan besarnya Angka Kecukupan Energi (AKE). Tabel 2.1. Angka Kecukupan Energi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin. Angka Kecukupan Energi (kkal/hari) Laki-laki Perempuan 1 10-12 tahun 2000 1900 2 13-15 tahun 2400 2100 3 16-19 tahun 2500 2000 4 20-59 tahun 3600 2600 5 >60 tahun 2200 1850 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi 1993 LIPI dalam Ariani, M (2004). No
Kelompok Umur
2.4.2. Angka Kecukupan Protein Angka kecukupan protein adalah asupan protein dari makanan yang sedikit seimbang karena hilangnya nitrogen yang dikeluarkan oleh tubuh dalam
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan energi pada tingkat kegiatan jasmani yang dilakukan (Khumaidi, 1994). Protein diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengganti sel-sel tubuh yang rusak, membantu antibodi, mengatur keseimbangan air dan lainlain. Protein yang diperoleh dari makanan harus diubah terlebih dahulu menjadi asam amino. Kekurangan konsumsi protein pada anak-anak dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan anak seperti kwarsiorkor dan marasmus. Pada orang dewasa kekurangan protein mempunyai gejala yang kurang spesifik, kecuali pada keadaan yang parah seperti busung lapar (Almatsier, 2003). Tabel 2.2. Angka Kecukupan Protein Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin. No
Kelompok Umur
1 2 3 4 5
10-12 tahun 13-15 tahun 16-19 tahun 20-59 tahun >60 tahun
Angka Kecukupan Protein (gram/hari) Laki-laki Perempuan 45 45 64 62 66 61 55 48 55 48
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi 1993 LIPI dalam Ariani, M (2004).
2.5. Menghitung Kecukupan Energi dan Protein dengan Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency) Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tetapi karena periode pengamatannya
Universitas Sumatera Utara
lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi energi dan protein, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden (Supariasa, 2002). 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Pola konsumsi Mi Aceh - Frekuensi - Jenis Mi Aceh - Jumlah konsumsi Mi Aceh Kecukupan Energi dan Protein Kontribusi Mi Aceh - Energi - Protein
Gambar 2.1.
Kerangka Konsep Pola Konsumsi Mi Aceh dan Kontribusinya Terhadap Kecukupan Energi dan Protein
Pola konsumsi Mi Aceh (frekuensi, jenis dan jumlah konsumsi Mi Aceh) dan kontribusi Mi Aceh (energi dan protein) berpengaruh pada kecukupan energi dan protein.
Universitas Sumatera Utara