BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ternak Babi di Bali Ternak babi di Bali masih mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang ekonomi masyarakat, khususnya di pedesaan. Sekitar 80% rumah tangga di pedesaan memelihara ternak babi yang jumlahnya antara 1 – 3 ekor. Meskipun bersifat sambilan, namun terbukti menjadi salah satu sumber pendapatan yang sangat diandalkan oleh keluarga. Pemeliharaan ternak babi sangat membantu menstabilkan ekonomi masyarakat, terutama saat-saat keperluan dana mendadak dalam jumlah yang cukup banyak. Di Bali ternak babi dipelihara mulai daerah dataran tinggi sampai dataran rendah (Ardana dan Putra, 2008). Berdasarkan pada aspek kependudukan di Bali sebenarnya sangat mendukung untuk usaha peternakan babi. Penduduk pulau Bali tahun 2012 tercatat 3.686.665 jiwa dan yang termasuk dalam usia kerja sebanyak 3.008.973 orang (81,67%) dengan komposisi non muslim dan muslim adalah 86,63% dan 13,37%, karena itu merupakan potensi yang sangat besar untuk menggerakkan sektor peternakan babi. Dikaitkan dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 tercatat 408.233 rumah tangga, terdiri atas jasa pertanian 5.257 rumah tangga, kehutanan 14.101 rumah tangga, perikanan 14.869 rumah tangga, perkebunan 22.089 rumah tangga, pangan 21.859 rumah tangga, hortikultura 23.883 rumah tangga dan sub sektor peternakan 305.862 rumah tangga. Berdasarkan data tersebut jelas terlihat bahwa usaha rumah tangga di bidang peternakan jumlahnya paling banyak yakni 74,80% (Badan Pusat Statistik, 2013). 5
Hal ini merupakan potensi yang luar biasa dalam pengembangan usaha peternakan di Bali, termasuk peternakan babi didalamnya. Mengamati data populasi ternak babi di Bali selama lima tahun, maka telah terjadi penurunan populasi yaitu dari 925.290 ekor pada tahun 2009 menjadi 852.319 ekor pada tahun 2013, atau terjadi penurunan rata-rata 1,71% setiap tahunnya (Tabel 2.1)
Tabel 2.1. Populasi Ternak Babi di Bali Lima Tahun Terakhir (Tahun 2009 – 2013). Babi Bali, Babi Saddle Back Peranakan dan Babi Landrace Persilangan Tahun Pejantan
Kucit
Jantan Muda
Kebiri
Induk
Betina Muda
Jnt/Kbr
Betina
Jumlah*
2013
7.486
29.297
227.155
86.296
143.215
189.889
178.325
852.319
2012
9.375
31.631
233.043
94.479
147.646
187.712
186.311
890.197
2011
11.081
31.740
244.856
95.624
149.849
197.411
192.178
922.739
2010
6.655
26.115
252.362
98.158
147.873
195.788
191.136
918.087
2009
5.854
30.119
250.604
99.832
148.949
197.022
192.910
925.290
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Tahun 2013.
Penurunan populasi ini disebabkan karena meningkatknya kebutuhan daging babi, sehingga terjadi peningkatan pemotongan. Laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2013, memperlihatkan bahwa pemotongan ternak babi di Bali dari tahun ketahun meningkat. Pemotongan babi paling banyak tahun 2008 yaitu 1.802,451 ekor (Tabel 2.2)
6
Tabel 2.2 Pemotongan Ternak Babi dan Produksi Daging di Bali (Tahun 2008-2012)
2012
Jumlah babi yg dipotong (ekor) 1.780.055
Perkiraan karkas (ton) 115.703,575
59.008,823*
99.683,10**
2011
1.608.362
104.543,53
53.317,200
90.068,28
2010
1.589.882
103.342,33
52.704,590
89.033,37
2009
1.538.082
99.975,33
50.987,418
86.132,58
2008
1.802.451
117.159,315
59.751,251
85.872.23
Tahun
Daging (ton)
Sumber : BPS Provinsi Bali 2013 (diolah) Keterangan: * Daging tanpa lemak ** Kemungkinan dengan lemak (BPS Provinsi Bali, 2013)
Di samping karena jumlah pemotongan yang meningkat, penurunan populasi juga disebabkan karena penurunan jumlah pemeliharaan babi yang disebabkan karena faktor lahan dan faktor makanan. Lahan ternak babi semakin lama semakin berkurang, karena peternakan babi sering dianggap mencemari lingkungan. Ketersediaan dan harga pakan yang tinggi juga ikut memberikan andil terhadap penurunan populasi. 2.2 Eceng Gondok. Eceng gondok adalah tumbuhan yang hidup di perairan terbuka, mengapung di air apabila tempat tumbuhnya dalam dan berakar di dasar apabila airnya dangkal (Wibisono et al., 2014). Tingginya 0,4 – 0,8 m daunnya tunggal berbentu oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung, permukaan daun licin dan berwarna hijau (Gambar 2.1). Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung.
Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang
tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Perkembang biakan dapat terjadi secara vegetatif maupun secara generatif. 7
Eceng gondok dapat menggandakan
daunnya pada 7 – 10 hari, berbunga 6 – 35 tangkai, bunga majemuk, sehingga memungkinkan penyerbukan, setelah 20 hari bunga akan masak, terbebas, pecah dan bijinya masuk ke perairan, kemudian menjadi tanaman baru. Satu tanaman dapat menghasilkan 5000 – 6000 biji tiap musim (Soedarmadji, 1991).
Gambar 2.1. Eceng gondok yang tumbuh di perairan Dam Estuari Suwung Eceng gondok dapat tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai.
Eceng gondok dapat
beradaptasi dengan perubahan yang ekstrem dari ketinggian air, arus air dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun dalam air. Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi (Rahmawati et al. 2003). Fahmi (2009) mengklasifikasikan tanaman eceng gondok sebagai berikut Kingdom
: Embryophytasi phonogama
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Liliales
Famili
: Pontederiaciae
Genus
: Eichornia
Spesies
: Eichornia crassipes
8
Don et al. (2010) menyatakan, bahwa eceng gondok saat ini telah banyak dimanfaatkan sebagai filter air dari polusi logam berat. Bahkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan dan pakan ternak. Tosipu (2012) yang melakukan penelitian tentang penggunaan eceng gondok untuk menurunkan kandungan logam berat Pb dan Cd pada perairan mendapatkan bahwa eceng gondok mempunyai kemampuan menurunkan kadar logam berat lebih cepat dibandingkan dengan Cyperus papyrus. 2.3 Komponen Pencemaran Air Komponen pencemaran air dapat berupa bahan padat, organik, anorganik, olahan bahan makanan, cairan berminyak, zat kimia dan panas. Limbah adalah zat, energi atau komponen lain yang dikeluarkan atau dibuang akibat suatu kegiatan industrI maupun non industri. Air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri dan tempat umum lainnya yang biasanya mengandung bahan dan zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan terjadinya perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan (Fardiaz, 1992).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup, 2009
pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan. Dam Estuari yang berada di Desa Suwung, Denpasar Selatan, Bali berpotensi tercemar limbah yang sangat beragam diantaranya: limbah industri, limbah bengkel kendaraan, limbah rumah tangga, limbah rumah sakit, limbah peternakan, limbah pasar, dan limbah luapan jalan (BLH Bali, 2013). 9
2.4 Logam Berat Istilah logam berat mengacu pada setiap unsur kimia logam yang memiliki kepadatan relatif tinggi dan sangat beracun dan beracun pada konsentrasi rendah (Nafea dan Zyada, 2015). Lebih lanjut dinyatakan bahwa beberapa sumber dari logam berat berasal dari industri, air limbah kota, polusi udara, limpasan sungai dan erosi pantai. Kadar yang tinggi dari Pb, Cd, Cu, dan Fe dapat bertindak sebagai racun ekologi dalam ekosistem air dan darat. Salah satu bahan pencemar lingkungan adalah senyawa anorganik yang terdiri dari logam dan logam berat yang memiliki sifat beracun, logam berat cenderung meningkat sejalan dengan meningkatkannya proses industrialisasi, pencemaran dalam lingkungan bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan (Rao, 1992).
Menurut Clark (1986) logam dalam
konteks biologis dibagi 3 jenis yaitu; (1) golongan logam ringan (sodium, potassium, kalsium dan phosphor) secara normal tertransportasi sebagai mobile cation di dalam larutan. (2) logam berat essensial adalah logam berat dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme, tetapi dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan toksik (Zn, Cu, Fe, Co dan Mn), (3) logam berat non essensial adalah logam yang keberadaannya dalam tubuh manusia bersifat toksik (Pb, Cd, Hg dan Cr). Menurut Davis dan Cornwell (1991), logam yang mempunyai sifat toksik adalah: arsen (As), barium (Ba), cadmium (Cd), kromium (Cr), timah hitam/timbal (Pb), merkuri (Hg), selenium (Se) dan perak (Ag). Timah hitam (Pb) merupakan salah satu logam berat dengan nomor atom 82, berwarna kelabu kebiruan dengan titik leleh 3270 C dan titik didih 1.6200 C. Pada suhu 550 – 6000 C menguap dan bereaksi dengan oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. 10
Timbal sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, panas dan air asam. Timbal dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asamsulfat pekat (Palar, 2008). Timbal banyak digunakan dalam industri modern sebagai bahan pembuatan pipa air yang tahan terhadap korosi (Widowati, 2008). Menurut Palar (2008), timbal yang masuk keperairan sebagai dampak dari pembuangan air limbah industri yang berkaitan dengan penggunaan timbal dan sisa buangan industri baterai.
Perairan yang telah kemasukan
senyawa atau ion-ion timbal akan menyebabkan jumlah timbal yang ada melebihi kosentrasi sehingga menyebabkan kematian bagi biota perairan (Suharto, 2005). Timbal yang masuk ke perairan melalui limpasan bahan bakar bensin yang mengandung tetra etil, erosi dan limbah industri (Saeni, 1989).
Timbal yang masuk ke tubuh manusia dapat menyebabkan
keracunan, gangguan sumsum tulang, sistim saraf, ginjal, hati serta gangguan pada tulang, kuku dan rambut (Palar, 2008). Cadmium (Cd) merupakan logam lunak berwarna putih perak dan mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas ammonia (NH3) yang memiliki nomor atom 48, berat atom 112,40 titik cair 3210 C dan titik didih 7650 C. Cadmium bervalensi dua (Cd2-) adalah bentuk terlarut stabil dalam lingkungan perairan, larut pada pH dibawah 8,0. Kadar kadmium di perairan alami berkisar antara 0,29 – 0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb. Di lingkungan alami yang bersifat basa, cadmium mengalami hidrolisis, terabsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Di perairan alami, cadmium membentuk ikatan kompleks dengan logam baik organik maupun anorganik, yaitu Cd2-, Cd(OH)+, CdCl+, CdSO4, CdCO3 dan Cd organik (Sanusi, 2006). Cadmium digunakan secara luas pada berbagai industri diantaranya pelapisan logam, peleburan logam, pewarna
11
baterai, minyak pelumas dan bahan bakar. Penggunaan cadmium paling utama adalah sebagai penyeimbang dan pewarna plastik serta elektroplanting (penyepuhan dan pelapisan logam). Menurut Darmono (1995), cadmium juga digunakan dalam pengerjaan bahanbahan dengan menggunakan pigmen/zat warna, industri tekstil dan industri kimia. Cadmium bersifat kronis dan pada manusia biasanya terakumulasi pada ginjal. Keracunan timbal dalam waktu lama dapat membahayakan kesehatan paru-paru, tulang, hati, kelenjar reproduksi dan ginjal, juga bersifat neurotoksin yang menimbulkan dampak rusaknya indera penciuman. Hal yang sama disampaikan oleh Hoha et al. (2014) yang menyatakan bahwa logam berat Pb dan Cd merupakan ancaman utama bagi kesehatan manusia. Logam berat ini menjadi racun ketika logam tersebut tidak mampu dimetabolisme oleh tubuh sehingga terakumulasi di dalam jaringan (WHO, 2011; Hoha et al. 2011).
2.5 Eceng Gondok sebagai Pakan Penggunaan eceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai pakan ternak babi sudah banyak dilakukan, khususnya di negara-negara Asia Tenggara, namun di Indonesia relatif masih terbatas.
Eceng gondok dapat dijadikan konsentrat protein daun (KPD), kemudian
digunakan untuk menggantikan bungkil kedelai sehingga dengan demikian dapat menekan biaya ransum (Hartadi et al. 1985). Bahan KPD ini adalah eceng gondok yang digiling dan diperas, sarinya dipisahkan dengan cara penyaringan protein yang terlarut, kemudian dikoagulasi dengan pemanasan dan penyaringan. Kandungan protein kasarnya mencapai 40%. Sementara menurut analisis yang dilakukan oleh Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro Semarang (2005), melaporkan bahwa eceng gondok mengandung protein kasar (PK) 11,2% 12
dan bahan ekstrak tiada nitrogen (BETN) sekitar 20% berdasarkan bahan kering (100% BK). Kalau difermentasi dengan Aspergillus niger selama 6 minggu PK nya bisa meningkat menjadi 18,84% dan serat kasarnya menurun menjadi 15,73%. Tetapi yang dilaporkan oleh Mahmilia (2005), bahwa jika eceng gondok difermentasi menggunakan Trichoderma harzianhum maka kandungan protein kasarnya meningkat dari 6,31% menjadi 10,21% dan serat kasar menurun dari 26,61% menjadi 21,82%. Menurut Jafari (2010) melaporkan bahwa penggunaan eceng gondok bisa dalam bentuk segar, ada juga dalam bentuk kering, dijadikan tepung, bahkan ada yang dimasak. Di Cina sebagian besar peternak memberikan dalam bentuk dimasak, dicampur dengan limbah hijauan lain, dedak padi, bungkil kelapa, kemudian ditambahkan garam dapur supaya lebih lahap dimakan oleh babi. Di Malaysia peternak memberikan dalam bentuk dimasak setelah dicampur dengan dedak padi, tepung ikan dan bungkil kelapa. Demikian juga di Phlippina, Thailand dan Indonesia menggunakan eceng gondok dengan cara yang sama untuk ternak babi, itik dan entok. Lebih lanjut diuraikan bahwa eceng gondok menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi problem pakan ternak di negara-negara berkembang. Chhay et al. (2010)
melaporkan bahwa
pemberian eceng gondok segar yang
dicampur bayam air dengan komposisi 12% dengan 25% (DM) berpengaruh baik pada babi muda, terutama dalam memperbaiki konversi ransum. Babi muda jika hanya diberi ransum basal berupa dedak padi dan tepung singkong dengan tambahan eceng gondok 37%, konversi ransumnya 9,2, namun setelah dicampur dengan bayam air sesuai perbandingan di atas, maka konversi ransum menjadi 4,4. Penggunaan eceng gondok sebagai tambahan pakan komersial untuk babi penggemukan
telah dilaporkan oleh
Son dan Trung (2002). Kedua peneliti tersebut 13
membedakan antara daun dan batang, kemudian antara yang segar dan yang dimasak. Terjadi penurunan kadar protein kasar baik pada batang maupun daun jika eceng gondok dimasak. Dalam keadaan segar batang eceng gondok mengandung protein kasar 11,37% (DM), namun jika dimasak menurun menjadi 2,48%. Demikian juga protein kasar pada daun yang semula 19,74% (DM) setelah dimasak menjadi 6,00%. Selanjutnya terhadap pertumbuhan dan produktivitas pada babi tersebut lebih jauh dilaporkan bahwa berat badan akhir babi yang mendapat batang segar dan batang eceng gondok masak lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mendapat eceng gondok. Babi yang diberi daun segar berat akhirnya lebih rendah dengan yang tanpa eceng gondok, namun jika daun itu dimasak bobot akhir lebih tinggi dibandingkan dengan yang tanpa eceng gondok. Penambahan bobot badan harian paling tinggi (857 g/hari) pada babi yang diberi batang eceng gondok masak, dan paling rendah (719 g/hari) pada babi yang diberi daun eceng gondok segar. Namun kalau dilihat dari konversi ransum, penambahan eceng gondok nilainya lebih bagus dibandingkan dengan tanpa eceng gondok. Pada babi yang tanpa eceng gondok angka FCRnya 3,50, sedangkan dengan penambahan batang eceng gondok yang dimasak bisa mencapai 2,99, terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Son dan Trung, 2002). Pengaruh eceng gondok dalam mengganti konsentrat pada ternak babi juga dilaporkan oleh Manh, et al. (2002) yang menggunakan level eceng gondok 0 (kontrol), 2%, 4% dan 6% (DM) dalam ransumnya. Konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar, eter ekstrak, NDF dan ADF tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara perlakuan. Konsumsi GE (gross energi) cenderung menurun pada babi yang diberi eceng gondok, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Pada babi kontrol dan eceng gondok 2% dilaporkan memiliki kecernaan bahan kering dan bahan organik lebih tinggi dibandingkan 14
dengan perlakuan lainnya. Dijelaskan pula bahwa hal tersebut akibat pada ransum yang mengandung lebih banyak eceng gondok laju aliran digestanya dalam saluran pencernaan lebih cepat. Namun kecernaan protein, ekstrak ether , ADF, NDF dan retensi nitrogen tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan. Adapun konversi ransum berturutturut adalah 2,48; 2,66; 2,82; dan 2,91. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok sampai level 6% memberikan performa dan produktivitas babi yang baik. Marlina dan Askar (2001) menyatakan bahwa eceng gondok mengandung protein, serat, lemak dan energi yang cukup tinggi, di samping kandungan mineral dan karotennya diperlukan ternak non ruminansia. Pada ayam dapat diberikan sampai 10%, kalau lebih tinggi kualitas telurnya kurang baik.
Sedangkan pada ayam broiler penggunaan 2,5%
berpengaruh kurang menguntungkan. Sementara menurut Suharsono (1979), pencampuran eceng gondok sampai 15% ke dalam ransum pertumbuhan babi,
dan
tidak berpengaruh nyata
terhadap
ini tentu akan sangat menekan harga ransum karena akan
mengurangi pemakaian kosentrat. Men, et al.( 2002) membandingkan antara babi yang diberikan pakan seperti apa adanya oleh peternak (tradisional), babi dengan ransum seimbang, dan ransum yang diberi eceng gondok mendapatkan bahwa pertambahan bobot badan harian paling baik (716 g/hari) pada babi yang diberi ransum seimbang.
Sedangkan yang dipelihara dengan pakan
tradisonal adalah 644 g/hari, dan yang diberi eceng gondok 642 g/hari. Namun demikian, tebal lemak punggung babi yang diberi eceng gondok paling rendah (15,7 mm) dibanding kan perlakuan lainnya yaitu masing-masing 16,5 mm untuk babi dengan ransum seimbang dan 18,0 mm untuk babi yang diberi pakan tradisional. Tetapi keuntungan ekonomi lebih
15
tinggi pada babi yang diberi ransum seimbang dan eceng gondok dibandingkan dengan yang diberi pakan tradisional. Pemberian eceng gondok yang dijadikan silase dengan menambahkan molasis sampai 7% tidak berpengaruh secara siginifikan pada performa dan kecernaan babi yang sedang tumbuh (Dung, et al. 2002). Pada babi kontrol (tanpa eceng gondok) pertambahan bobot badan harian adalah 660 g/hari, sedangkan yang diberi silase eceng gondok 5 dan 7% berturut-turut 650 dan 700 g/hari. Jadi dengan demikian pemberian eceng gondok yang mengalami proses fermentasi dalam bentuk silase mampu memperbaiki performa babi. Di lain pihak, Nababan (2014) yang melakukan penelitian tentang pemanfaatan eceng gondok fermentasi oleh Trichoderma harzianum sebagai pakan domba lokal lepas sapih, melaporkan bahwa pemanfaatan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan.
16