BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijabarkan sejumlah temuan empiris yang relevan dengan judul penelitian ini, yaitu persepsi personil Polri mengenai polisi sukses berdasarkan dua kelompok kepangkatan. Sub bab pertama memuat pembahasan mengenai nilai-nilai persepsi, dan atribusi. Sub bab kedua memuat mengenai hasil studi kepustakaan mengenai perspektif sukses. Sub bab ketiga memuat hasil studi kepustakaan mengenai perekrutan dan seleksi polisi, dan karakteristik psikologi pada polisi. Selanjutnya pada sub bab keempat memuat sejarah terbentuknya Polri, visi dan misi Polri, fungsi dan tugas pokok Polri, kode etik profesi Polri, serta definisi kepangkatan polisi di dalam organisasi Polri. Dan Sub bab kelima memuat kerangka berfikir penelitian.
2.1 Persepsi Alat penghubung antara individu dengan dunia luar adalah alat indera (Sunaryo, 2002). Persepsi visual melibatkan alat indera yaitu mata dengan struktur saraf yang kompleks, sebelum pada akhirnya sensori pesan tersebut dikirim ke dalam otak (Hochberg dalam Lahey, 2008). Sensasi dalam mengirimkan makna pesan ke dalam otak yang tersusun berdasarkan struktur saraf yang kompleks untuk selanjutnya diinterpretasikan atau diorganisasikan pada suatu objek disebut dengan persepsi (Lahey, 2008). Persepsi melibatkan proses kognitif yang kompleks, proses terjadinya persepsi dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Proses Persepsi Objek
Stimulus
Otak
Reseptor
Saraf Sensorik
Saraf Motorik
Persepsi
Sumber: Sunaryo. (2002). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Menurut Bell (dalam Laurens, 2004), persepsi bukan sekedar penginderaan tetapi persepsi juga sebagai penafsiran pengalaman. Pada tahun 2008, Lahey mengidentifikasikan beberapa aspek yang mempengaruhi persepsi manusia, yaitu perbedaan budaya, pengalaman masa lalu, memori atau ingatan, motivasi, dan emosi individu. Persepsi melibatkan proses organisasi dan interpretasi dari stimulus-stimulus untuk memberikan makna tertentu (Seamon & Kenrick dalam Satiadarma, 2004). Menurut Sunaryo (2002), dengan persepsi individu dapat memahami lingkungan sosial dan keadaan dirinya (selfperception).
2.2 Sukses Keberhasilan atau sukses dalam suatu pekerjaan dibangun berdasarkan kepentingan individu. Sukses di dalam suatu pekerjaan menjadi mekanisme utama untuk memenuhi
peran lainnya (Deutschendorf & Tolson dalam Dyke & Murphy, 2006). Sukses didefinisikan sebagai keberhasilan seseorang dalam mencapai target yang telah ditentukan (Khera dalam Munadi, 2007). Persepsi mengenai keberhasilan karir atau sukses dalam karir mengacu pada tujuan pribadi dan bersifat subjektif. Menurut Gattiker, Larwood, dan Peluchette (dalam Dyke & Murphy, 2006) konsep keberhasilan subjektif mengacu pada prestasi individu sehingga sukses ditentukan berdasarkan kriteria pribadi. Dalam penelitiannya Gattiker dan Larwood (dalam Dyke & Murphy, 2006) mengukur lima aspek keberhasilan karir secara subjektif yaitu, tanggungjawab kerja, hubungan interpersonal, aspek finansial, karir yang progresif dan pemenuhan pribadi. Dalam perkembangan karir seseorang, sukses dapat digambarkan sebagai proses psikologis yang terkait dengan kinerja positif atau prestasi yang telah terakumulasi sebagai hasil dari pengalaman kerja (Hakim & Bretz dalam Hannequin, 2007).
2.2.1
Indikator Kinerja Kunci Menurut Parker dan Chusmir (dalam Dyke & Murphy, 2006) lima dimensi
keberhasilan atau sukses berdasarkan domain kehidupan adalah status finansial, tanggungjawab atau kontribusi terhadap masyarakat, hubungan keluarga, pemenuhan profesional atau karir yang progresif, serta pemenuhan pribadi. Munadi, (2007) memaparkan bahwa kesuksesan yang hakiki tidak terlepas dari nilai religius atau keimanan seseorang. Dengan demikian, peneliti mengacu pada dimensi keberhasilan atau sukses subjektif dalam kehidupan yang didasarkan pada hubungan keluarga, profesionalitas kerja
untuk mencapai karir yang progresif, aspek religiusitas, responsibilitas atau tanggung jawab kerja terhadap masyarakat, serta aspek finansial. 2.2.1.1 Profesionalisme dan Peran Keluarga terhadap Kinerja Personil Polisi Mayoritas polisi memilih karir mereka untuk menjadi seorang anggota kepolisian dengan alasan yang beragam yaitu, polisi merupakan pekerjaan yang menantang, polisi berperan dalam menjaga keamanan, polisi memiliki tingkat penghasilan atau gaji yang tinggi, dan polisi memiliki peluang untuk mencapai pangkat atau karir tertinggi (Bland, Mundy, Russell, & Tuffin, 1999). Mengacu pada hubungan antara kualifikasi pendidikan dan kemajuan karir, menurut Bland (1999) kualifikasi pendidikan tidak dapat memprediksi pencapaian keberhasilan karir seorang personil polisi. Perkembangan karir personil polisi memiliki kecenderungan meningkat yang didasarkan pada pengalaman mereka dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, bukan ditentukan oleh harapan pribadi maupun kualifikasi pendidikan. Menurut Bland, Mundy, Russell, dan Tuffin, (1999) dalam pelaksanaan tugas dan pelatihan, personal control atau pengendalian pribadi seorang anggota kepolisian berperan dalam mengarahkan perkembangan karir mereka. Hal demikian berkontribusi terhadap pencapaian karir seorang anggota kepolisian demi tercapainya etos kerja yang professional. Profesionalitas adalah kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan dan melaksanakan fungsi tugasnya secara efisien, inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja yang tinggi (Tjokrowinoto dalam Nogi, 2005).
Bucke (dalam Bland, Mundy, Russell, dan Tuffin, 1999) memperkaya konsep perkembangan karir polisi, berdasarkan hasil penelitian yang memaparkan bahwa peran keluarga dan rekan seprofesi memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menentukan suatu keputusan. Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Hill dalam Lestari, 2008). Penelitian Reiner (dalam Corey, 2003) turut memaparkan keberhasilan personil polisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang didasari dorongan dari lingkungan, peran keluarga berupa dukungan positif, serta sikap yang positif akan berpengaruh secara signifikan dalam mendapatkan promosi jabatan atau pangkat yang lebih tinggi. Temuan berbeda (dalam Corey, 2003) data kepolisian Amerika sampai dengan tahun 2003, memaparkan tingkat perceraian tertinggi didominasi oleh pasangan yang berprofesi sebagai personil polisi, dengan persentase sebesar 60 sampai dengan 75% perceraian. Hal tersebut dikarenakan ketidakpahaman pasangan mereka dalam memahami peran profesi sebagai personil polisi. Selain itu menurut Terry (dalam Corey, 2003) hal tersebut terjadi dikarenakan timbulnya faktor penyebab stres pada polisi yaitu, perubahan kepemimpinan supervisor, hilangnya waktu kebersamaan dengan keluarga, upah yang rendah, waktu istirahat yang tidak teratur, konflik dengan keluarga dan rekan seprofesi. Kurangnya waktu kebersamaan dengan keluarga, membuat keluarga merasa bahwa secara signifikan personil polisi menempatkan profesi mereka diatas kepentingan keluarganya. Guna mendapatkan
pemahaman yang komprehensif penelitian Terry (dalam Corey, 2003) menjelaskan mayoritas polisi berpangkat perwira mengutamakan profesi mereka sebagai seorang polisi dan menomor duakan hubungan dengan keluarga. Hal tersebut berdampak pada hubungan keharmonisan dan kebersamaan anggota kepolisian dengan keluarga mereka. Ketika seorang polisi mampu mengendalikan stres atau tekanan yang terjadi di rumah dan di tempat kerja maka akan menghasilkan efisiensi kinerja yang lebih besar, memiliki sikap yang lebih baik terhadap pekerjaan. Selain itu, pasangan dan keluarga mereka pun dapat lebih mendukung perkembangan karir sebagai personil polisi. Dan jika instansi kepolisian mampu mengendalikan serta mengatasi stres yang terjadi pada personilnya maka suatu keuntungan bagi kemajuan dan perkembangan instansi polisi (Corey, 2003).
2.2.1.2 Peran Agama dalam Organisasi Kepolisian Pada awal abad ke 20, dalam menyelesaikan konflik atau kerusuhan antar ras yang terjadi di Eropa, sikap dan tindakan polisi dinilai tidak memberikan peran yang signifikan, aparat kepolisian mendominasi perlindungan pada kaum mayoritas dibandingkan kaum minoritas. Keputusan Komisi Etnis Inggris, pada tahun 2000 memaparkan bahwa organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik sebaiknya dapat membangun etos kerja profesional yang sesuai, tegas, serta tidak terpengaruh adanya perbedaan etnis, agama dan budaya. Menurut Norris (2006), identitas etnis merupakan kombinasi dari kategori sosial, agama merupakan salah satu variabel yang terkandung di dalam identitas etnis. Sarwono (1999), memaparkan faktor agama mempengaruhi perilaku seseorang termasuk kedisiplinan. Menurut Ancok dan Suroso (dalam Octaviani, Rustam, &
Rohmatun, 2011) religiusitas merupakan perilaku terhadap agama berupa penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang dapat ditandai dengan ketaatan dalam menjalankan ibadah, adanya keyakinan, pengamalan, dan pengetahuan mengenai agama yang dianutnya. Hasil penelitian yang dilakukan Lange (dalam Norris, 2006) agama dan budaya merupakan suatu keputusan tunggal. Agama berperan penting dalam pengambilan suatu keputusan yang memungkinkan para karyawan untuk mengevaluasi keimanan dalam diri mereka masing-masing (Fahy dalam Norris, 2006). Sedangkan budaya di dalam instansi kepolisian, menjadi faktor utama dalam menentukan perilaku aparat kepolisian. Perbedaan agama di dalam masyarakat berguna dalam mengarahkan respon tanggungjawab pada instansi kepolisian dan instansi pemerintahan. Peran agama memiliki potensi untuk mendamaikan konflik atau perpecahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, kepemimpinan di setiap level memiliki peran penting untuk mengedepankan etika kerja dalam membangun budaya untuk menghormati sesama, dan melibatkan tanggungjawab kepolisian demi terwujudnya standar etika pada unit layanan kepolisian (Neyroud & Beckley dalam Norris, 2006). Penelitian Norris pada tahun 2006 terhadap anggota kepolisian Inggris memaparkan, mayoritas responden setuju bahwa agama memiliki peran sebagai identitas etnis dan mengarahkan dalam pengambilan keputusan atau respon yang tepat. Dengan demikian, peran agama dapat mengarahkan para personil polisi dalam meningkatkan pelayanan dan melindungi masyarakat yang rentan akan konflik dan perseteruan.
2.2.1.3 Responsibilitas Personil Polisi Tanggungjawab dalam bahasa Inggris disebut dengan responsibility atau responsibilitas. Responsibilitas adalah kemampuan dalam melaksanakan atau memenuhi tanggung jawab atas suatu pekerjaan yang dipercayakan (Atosokhi & Panca, 2005). Besarnya tanggung jawab terhadap suatu pekerjaan dapat dilihat dari hasil pekerjaan dan kemampuan kita dalam menanggung segala konsekuensi yang telah dikerjakan. Dalam pencapaian perubahan di dalam sebuah organisasi, tolok ukur karyawan yang dilakukan dengan evaluasi kinerja berperan penting dalam meningkatkan tanggung jawab karyawan terhadap pekerjaan demi membangun promosi jabatan dan pemberian reward atau penghargaan. Di dalam budaya organisasi kepolisian Inggris, perubahan yang dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja polisi dapat membantu organisasi dalam membangun proses promosi dan membangun budaya organisasi untuk kemajuan instansi kepolisian (Ikerd & Walker, 2010). Tolok ukur kinerja aparat kepolisian dapat mendorong terwujudnya strategi baru untuk meningkatkan kinerja anggota polisi. Evaluasi kinerja karyawan menurut Schultz dan Ellen, (2006) bertujuan untuk melihat kesesuaian values atau nilai-nilai yang dianut suatu organisasi dengan performance atau kinerja karyawan. Tanpa ekspektasi dan tujuan yang jelas memungkinkan para karyawan tidak dapat memahami tujuan organisasi. Pada tahun 2010, temuan Ikerd dan Walker terhadap kinerja para petinggi kepolisian Inggris menjelaskan bahwa evaluasi kinerja anggota kepolisian didasarkan pada kemampuan pemecahan suatu masalah yang berorientasi pada tujuan organisasi kepolisian. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
kemampuan memecahkan masalah yang berorientasi pada tujuan organisasi kepolisian dapat mendorong mereka untuk mendapatkan promosi jabatan dan membangun keterlibatan antar anggota polisi lainnya dan keterlibatan di dalam organisasi kepolisian. Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai kinerja kunci anggota kepolisian, Green (dalam Ikerd & Walker, 2010) memaparkan kemampuan pemecahan suatu masalah dapat berjalan dengan efektif jika masyarakat dapat dilibatkan dalam proses orientasi. Hubungan kerja anggota polisi dengan masyarakat bukan merupakan suatu kewajiban dalam proses orientasi organisasi kepolisian. Survey penelitian pada tahun 1995 terhadap 1400 personil polisi menunjukkan bahwa sikap polisi terhadap terbentuknya Alternatif Community Policing Strategi (CAPS) di Inggris telah membantu sikap para personil polisi menjadi lebih terbuka dan optimis mengenai terbentuknya organisasi kepolisian masyarakat (Green dalam Ikerd & Walker, 2010).
2.2.1.4 Aspek Finansial Personil Polisi Menurut Effendi (2002), kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang diterima oleh pegawai sebagai imbalan dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi dalam bentuk uang, gaji, bonus, insentif, dan tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan, dan lain-lain. Tujuan utama pemberian kompensasi adalah untuk menarik pegawai yang berkualitas, mempertahankan pegawai, memotivasi kinerja, membangun komitmen karyawan, dan mendorong pengetahuan serta ketrampilan karyawan dalam meningkatkan kompetensi organisasi. Gaji merupakan salah satu alasan bagi karyawan
untuk berprestasi, berafiliasi dengan oranglain, mengembangkan diri dan untuk mengaktualisasikan diri. Untuk meningkatkan kinerja, perusahaan dapat mengkaitkan kinerja dengan jumlah pembayaran yang diterima seseorang dalam bentuk insentif. Insentif menurut Effendi (2002), diartikan sebagai bentuk pembayaran langsung yang didasarkan atau dikaitkan langsung dengan kinerja individual dan gain sharing. Pada tahun 2010, Latief memaparkan hasil penelitian mengenai keberhasilan personil Polri dalam melaksanakan tugas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan kerja, motivasi, pemberian insentif, serta lingkungan kerja yang kondusif. Masyarakat tidak dapat memperlakukan polisi seperti kerbau yang harus tahu pengabdian saja, polisi juga manusia yang harus diperhatikan hak-hak asasi manusianya Rahardjo (2002). Untuk dapat bekerja dengan baik, polisi harus diberi gaji yang cukup. Pemberian insentif merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi naik turunnya kinerja anggota polisi dalam melaksanakan tugas terutama dalam memberikan pelayanan ketertiban dan keamanan masyarakat. Schuler (dalam Latief, 2010) insentif merupakan pemberian hak-hak pegawai berupa penghargaan dan uang kepada pengawai yang berhak menerimanya. Lebih jauh lagi, Nawawi (dalam Latief, 2010) menjelaskan insentif merupakan penghargaan yang diberikan untuk memotivasi para pekerja agar produktivitas kerja lebih tinggi. Tujuan pemberian insentif adalah untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi dengan memberikan dorongan finansial melebihi upah dan gaji pokok pegawai. Uang merupakan salah satu konsekuensi yang sangat penting bagi seorang karyawan, sebab uang
dapat menjadi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (Effendi, 2002). Dengan demikian, kebutuhan finansial menjadi keutamaan seorang pegawai untuk bekerja, sehingga pemberian insentif diluar gaji pokok dapat mendorong motivasi kerja yang lebih baik karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan primernya.
2.2.2
Karakteristik Polisi Sukses Menurut Fyfe (dalam Sanders 2007), kinerja kepolisian yang baik sulit untuk
diukur sebab peran dan fungsi tugas polisi sulit untuk dipahami jika dibandingkan dengan organisasi pelayanan publik lainnya. Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Bartol (dalam Sanders, 2007) mengidentifikasi karakteristik polisi dengan kinerja yang baik, yaitu : 1. Polisi dengan karakteristik yang baik adalah polisi yang berpenampilan maskulin, berwibawa, serta tegas dalam mengambil keputusan, memiliki tanggungjawab tugas yang dapat diandalkan, dan tidak mempersulit keadaan atau situasi. 2. Polisi dengan karakteristik yang baik adalah polisi yang menikah muda, berasal dari latar belakang yang stabil, serta disosialisasikan atau mendapat promosi jabatan dengan baik. 3. Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan lingkungan, tidak menggunakan personanya atau tidak menjadi orang lain, melainkan menampilkan dirinya sendiri.
Survey yang dilakukan oleh Hogue (dalam Sanders, 2007), departemen atau organisasi kepolisian menilai kinerja polisi dengan karakteristik yang baik, dengan cara : 1. Mengutamakan nilai kejujuran, memiliki karakter, dapat mengendalikan stabilitas emosional yang terarah. 2. Berdasarkan ciri-ciri kepribadian dapat menjadi prediktor yang baik untuk menilai kinerja polisi, yaitu kinerja yang dapat diandalkan, berorientasi pada tujuan, gigih atau pekerja keras, memiliki rangkaian aktivitas yang terorganisir. Skala kepribadian dapat menjadi prediktor yang baik dalam menilai kinerja polisi (Sanders, 2007). Teori big five personality dapat merangkum seluruh kepribadian individu yang memiliki keterkaitan antara hubungan kinerja karyawan dengan pekerjaan, termasuk kinerja aparat kepolisian (Black, Cortina, Barrick dalam Sanders, 2007). Menurut Hellen, John, dan Srivistava (dalam Sanders, 2007) big five personality dapat menggambarkan aspek kepribadian yang dominan. Kelima faktor kepribadian tersebut adalah : 1. Openess (Keterbukaan) Sifat keterbukaan yang tinggi digambarkan dengan imajinatif, berwawasan luas, memiliki ketertarikan terhadap pengalaman baru (Barrick & Mount dalam Sanders, 2007). Individu dengan keterbukaan yang tinggi memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap pengalaman baru, sedangkan individu dengan keterbukaan yang rendah cenderung menghindari pengalaman baru (Digman dalam Sanders, 2007). Menurut Barick dalam
Sanders (2007), sifat kepribadian openess (keterbukaan) tidak memiliki keterkaitan dengan kinerja polisi. 2. Conscientiousness (Kesadaran) Sifat conscientiousness berkaitan dengan ketekunan dan motivasi individu dalam mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan (Barrick & Mount dalam Sanders, 2008). Beberapa
psikolog
kepribadian
di
Inggris
berpendapat
bahwa
dengan
sifat
conscientiousness yang tinggi, menggambarkan individu tersebut teliti, bertanggungjawab, selalu berhati-hati dalam bertindak, dan memiliki program yang terorganisir, selain itu juga memiliki kemauan untuk mencapai suatu tujuan (Sanders, 2007). 3. Extroversion (Keterbukaan) Dilihat berdasarkan kualitas dan keterkaitan dengan respon positif terhadap rangsangan atau lingkungan dan sosialisasi umum (Heller dalam Sanders, 2007). Individu dengan kepribadian yang terbuka (extravert) memiliki gaji yang lebih tinggi, promosi yang lebih dan memiliki kepuasan terhadap karir mereka. 4. Agreebleness (Keramahan) Digambarkan sebagai pribadi yang menyenangkan, yaitu sopan, fleksibel, saling percaya, baik hati, kooperatif, pemaaf dan memiliki toleransi yang tinggi (Barick, Mount, Digman dalam Sanders, 2007). Meskipun demikian, dalam penelitian kepolisian, menunjukkan bahwa aparat kepolisian cenderung menampilkan perilaku yang kurang menyenangkan yaitu melakukan pelanggaran di tempat kerja (Cuttler & Muchinsky dalam Sanders, 2007).
5. Neuroticism Terkait dengan ketegasan, responsible terhadap stabilitas emosi, tingkat kecemasan yang tinggi (Sanders, 2007). Umumnya neuroticism dipandang sebagai sifat yang negatif, karyawan dengan neuroticism yang tinggi cenderung tidak puas terhadap kinerjanya dan cenderung untuk murung (John & Srivistava dalam Sanders, 2007). Nilai neuroticism dapat memprediksi ketidakpuasan dalam karir karyawan (Seibert & Kreimer dalam Sanders, 2007).
2.3 Kepolisian Negara Republik Indonesia Pada tanggal 1 Juli 1947, Presiden mengesahkan dengan resmi berdirinya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sejak saat itu, tanggal 1 Juli ditetapkan sebagai hari lahirnya Kepolisi Negara Republik Indonesia (Polri). Merujuk pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Nomor VI/MPR/2000, menimbang bagian b, tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat.
2.3.1
Tugas dan Fungsi Polri
Tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia secara umum sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, BAB I Ketentuan Umum Pasal 4 adalah :
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2. Menegakan hukum. 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, BAB I Ketentuan Umum Pasal 5, menerangkan bahwa Polri juga merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2.4.5 Kepangkatan Polisi di dalam Organisasi Polri
Purwanto (2005), mendefinisikan jabatan serta pangkat di dalam suatu organisasi, yaitu sukses diukur dari otoritas suatu jabatan atau posisi yang ditempati. Sedangkan pangkat merujuk pada organisasi berbasis proses, sukses yang ditentukan berdasarkan ketrampilan atau kompetensi yang dimiliki oleh individu. Merujuk pada Surat Keputusan Kapolri nomor Pol : SKEP/232/IV/2005 pada tanggal 19 April 2005, pangkat adalah kedudukan anggota Polri dalam rangkaian susunan anggota Polri yang digunakan sebagai dasar pengkajian dan kehormatan serta keabsahan wewenang dan tanggungjawab dalam hirarki yang diberikan negara kepada anggota Polri sesuai dengan kemampuan dan klasifikasi yang dimiliki. Dan definisi golongan kepangkatan berdasarkan Surat Keputusan Kapolri (2005) adalah kepangkatan di lingkungan Polri yang disusun menurut ketentuan yang berlaku dan secara garis besar terbagi menjadi lima
golongan, yaitu golongan Perwira Tinggi, golongan Perwira Mengah, golongan Perwira Pertama, Bintara. Tabel 2.1 Kepangkatan Anggota Polri TARAF
PANGKAT Jenderal Polisi Perwira Komisaris Jenderal Polisi Tinggi Inspektur Jenderal Polisi Brigadir Jenderal Polisi Komisaris Besar Polisi Perwira Menengah Ajun Komisaris Besar Polisi Komisaris Polisi Ajun Komisaris Polisi Perwira Pertama Inspektur Polisi Satu Inspektur Polisi Dua Ajun Inspektur Polisi Satu Bintara Tinggi Ajun Inspektur Polisi Dua Brigadir Polisi Kepala Brigadir Polisi Bintara Brigadir Polisi Satu Brigadir Polisi Dua Sumber:
Kepangkatan
Polri.
(2009).
Diunduh
PANGKAT LAMA Jenderal Polisi Letnan Jenderal Polisi Mayor Jenderal Polisi Brigadir Jenderal Polisi Kolonel Letnan Kolonel Mayor Kapten Letnan Satu Letnan Dua Pembantu Letnan Satu Pembantu Letnan Dua Sersan Mayor Sersan Kepala Sersan Satu Sersan Dua Mei
29,
2012,
dari
http://polreskotacimahi.com/index.php?option=com_content&view=article&id= 114&Itemid=115 dan
Berdasarkan tabel kepangkatan Polri, kepangkatan anggota Polri yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah para personil Polisi bertaraf Bintara dan Bintara Tinggi yang memiliki tugas dan wewenang atau tanggung jawab hukum di wilayah Polda Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya).
2.4 Kerangka Berfikir Penelitian
Religiusitas Keluarga Karir Financial Responsibilitas
Persepsi
Polisi Sukses