BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan kepuasan bagi setiap pasien (Kemenkes dalam Muninjaya 2014). merupakan hak setiap
Pelayanan yang bermutu sangat diperlukan karena pelanggan, dan dapat
memberi peluang untuk
memenangkan persaingan dengan pemberi layanan kesehatan lainnya. Kualitas pelayanan dan nilai berdampak langsung terhadap pelanggan. Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang dirasakan (Kui Son Cui et al, 2002). Pelanggan insitusi pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua yaitu : 1.
Pelanggan internal (internal customer) yaitu mereka yang bekerja di dalam institusi kesehatan seperti staf medis, paramedis, teknisi, administrasi, pengelola dan lain sebagainya.
2.
Pelanggan eksternal (external customer) yaitu pasien, keluarga pasien, pengunjung, pemerintah, perusahaan asuransi kesehatan, masyarakat umum, rekanan, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya (Muninjaya, 2014). Supardi (2008) berpendapat hampir sama dengan teori tersebut yaitu bahwa
mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sudut pandang pengguna layanan, penyandang dana pelayanan, dan penyelenggara pelayanan.
2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan menurut Azwar, 1994 dalam Endarwati, 2012) adalah unsur masukan, lingkungan dan proses. 1.
Unsur Masukan Unsur masukan meliputi sumber daya manusia, dana dan sarana. Jika sumber daya manusia dan sarana tidak sesuai dengan standar dan kebutuhan, maka pelayanan kesehatan akan kurang bermutu. Upaya dalam meningkatkan mutu puskesmas diperlukan sumber daya manusia yang profesional (SDM) dan peningkatan fasilitas kesehatan (Muninjaya, 2004). SDM yang profesional harus mempunyai pendidikan dan keahlian serta memiliki motivasi, kompetensi dan komitmen kerja yang baik (Muninjaya, 2004).
2.
Unsur Lingkungan Unsur lingkungan meliputi kebijakan, organisasi dan manajemen.
3.
Unsur Proses Yang termasuk dalam unsur proses meliputi proses pelayanan baik tindakan medis maupun tindakan non-medis. Tindakan non medis adalah
salah satunya
penerapan manajemen puskesmas yang merupakan proses dalam
rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan puskesmas (Kemenkes, 2012). Hal ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Muninjaya (2014) bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat dikaji berdasarkan output sistem pelayanan
kesehatan. Output sistem pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu masukan/input, proses dan lingkungan. Menurut Donabedian dalam Alwi, A. (2011) ada tiga pendekatan penilaian mutu yaitu : 1. Input Aspek struktur meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan berupa sumber daya manusia, dana dan sarana. Input fokus pada sistem yang dipersiapkan dalam organisasi, termasuk komitmen, prosedur serta kebijakan sarana dan prasarana fasilitas dimana pelayanan diberikan. 2. Proses Merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga profesi lain) dan interaksinya dengan pasien, meliputi metode atau tata cara pelayanan kesehatan dan pelaksanaan fungsi manajemen. 3. Output Aspek keluaran adalah mutu pelayanan yang diberikan melalui tindakan dokter, perawat yang dapat dirasakan oleh pasien dan memberikan perubahan ke arah tingkat kesehatan dan kepuasan yang diharapkan pasien. Berdasarkan hasil penelitian oleh Melinda (2011) diketahui bahwa faktor lingkungan yaitu iklim kerja organisasi dan komitmen organisasi dapat menjadi prediktor mutu pelayanan kesehatan. Penelitian lain oleh Hardianti dkk.(2013) menyatakan bahwa kenyamanan lingkungan kerja dan hubungan antar manusia
berhubungan dengan mutu pelayanan antenatal di Puskesmas Pattingallloang Kota Makasar dengan nilai p=0,001. 2.1.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Muninjaya (2014), menganalisis dimensi mutu jasa berdasarkan lima aspek komponen mutu. Lima aspek komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama Servqual (Service Quality). Servqual mempunyai kontribusi dalam mengidentifikasi masalah dan menentukan langkah awal pemberi layanan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan (Emin Babakus, 1992). Dimensi mutu menurut Parasuraman dkk. terdiri dari lima dimensi. 1.
Bukti fisik (tangibles), mutu pelayanan dapat dirasakan langsung terhadap penampilan fasilitas fisik serta pendukung pendukung dalam pelayanan.
2.
Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditetapkan.
3.
Daya tanggap (responsiveness), yaitu kesediaan petugas untuk memberikan pelayanan yang cepat sesuai prosedur dan mampu memenuhi harapan pelanggan.
4.
Jaminan (assurance), yaitu berhubungan dengan rasa aman dan kenyamanan pasien
karena adanya kepercayaan terhadap petugas yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan ketrampilan yang tepat dalam memberikan pelayanan dan pasien memperoleh jaminan pelayanan yang aman dan nyaman.
5.
Empati (emphaty), yaitu berhubungan dengan kepedulian dan perhatian petugas kepada setiap pelanggan dengan mendengarkan keluhan dan memahami kebutuhan serta memberikan kemudahan bagi seluruh pelanggan dalam menghubungi petugas. Terkait dengan dimensi mutu pelayanan, terdapat beberapa pendapat dari
hasil penelitian. Melinda (2011) menyatakan bahwa kunci keberhasilan dari pelayanan kesehatan adalah kecepatan pelayanan, keramahan, efektifitas tindakan serta kenyamanan bagi pasien dan pengunjung lainya. Dukungan dan komitmen petugas menjadi faktor pendorong yang sangat efektif dalam tahap-tahap menuju kemajuan puskesmas. Noor, A. (2013) menyatakan bahwa
mutu pelayanan
kesehatan lebih terfokus pada dimensi daya tanggap petugas. membutuhkan
Pasien lebih
keramahan petugas dan komunikasi petugas dengan pasien.
Sedangkan pendapat Rosita dkk.(2011) adalah dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, empati atau perhatian tenaga kesehatan sangat diharapkan oleh pemakai jasa atau pasien. 2.1.3 Pengembangan Mutu Pelayanan Kesehatan Langkah-langkah pengembangan mutu pelayanan harus dimulai dari perencanaan, pengembangan jaminan mutu, penentuan standar hingga monitoring dan evaluasi hasil. Menurut Amchan dalam Muninjaya (2014) langkah-langkah pengembangan jaminan mutu terdiri dari tiga tahap. 1.
Tahap pengembangan strategi dimulai dengan membangkitkan kesadaran (awareness) akan perlunya pengembangan jaminan mutu pelayanan yang diikuti dengan berbagai upaya pelaksanaan, peningkatan, komitmen dan
pimpinan, merumuskan visi dan misi institusi diikuti dengan penyusunan rencana strategis, kebijakan dan rencana operasional, perbaikan infrastruktur agar kondusif dengan upaya pengembangan mutu. 2.
Tahap tranformasi yaitu membuat model-model percontohan di dalam institusi untuk peningkatan mutu secara berkesinambungan yang mencakup perbaikan proses perbaikan standar prosedur, dan pengukuran tingkat kepatuhan terhadap standar prosedur tersebut, pembentukan kelompok kerja (pokja) mutu yang trampil melakukan perbaikan mutu, pelatihan pemantauan, pemecahan masalah untuk selanjutnya dipakai sebagai dasar peningkatan mutu, monitoring dan evaluasinya. Rangkaian ini disingkat PDCA (Plan, Do, Check and Action).
3.
Tahap integrasi yaitu pengembangan pelaksanaan jaminan mutu diterapkan di seluruh jaringan (unit) institusi, tetapi tetap memperthanakan komitmen yang sudah tumbuh, optimalisasi proses pengembangan jaminan mutu secara berkesinambungan. Berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan, Josep Juran dalam PKMK
(2000) menyebutkan trilogi dalam perbaikan mutu yaitu perencanaan mutu, pengendalian mutu, dan peningkatan mutu. Perencanaan mutu menjamin bahwa tujuan mutu dapat dicapai melalui kegiatan operasional. Perencanaan mutu meliputi identifikasi pelanggan eksternal dan internal, pengembangan gambaran atau ciri produk, merumuskan tujuan mutu, dan merancang bangun proses untuk memproduksi produk atau jasa pelayanan sesuai dengan spesifikasi yang
ditentukan serta menunjukkan bahwa proses tersebut secara operasional mampu untuk mencapai tujuan mutu yang telah ditetapkan. Perbaikan atau peningkatan mutu bertujuan untuk mencapai kinerja yang optimal, proses operasional juga harus optimal. Kegiatan peningkatan mutu meliputi mengidentifikasi proses, membentuk tim untuk melakukan perbaikan proses tersebut, melakukan diagnosis dan analisis untuk mencari penyebab dan mengidentifikasi penyebab masalah yang utama dan mengembangkan kegiatankegiatan korektif dan preventif serta melakukan uji coba dan berikan rekomendasi untuk perbaikan yang efektif. Pengendalian mutu bertujuan untuk dokumentasi dan sertifikasi bahwa tujuan mutu tercapai. Dalam memilih metode dan menyusun instumen pengukuran yaitu melakukan pengukuran secara nyata, memahami dan menganalisis serta melakukan interpertasi antara kenyataan dibandingkan standar serta melakukan tindakan koreksi terhadap adanya kesenjangan antara kenyataan dan standar. Hasil penelitian tentang peningkatan mutu pelayanan disebutkan bahwa karyawan selalu memberikan layanan andal, konsisten, dan karyawan bersedia dan mampu memberikan layanan secara tepat waktu, karyawan mudah didekati dan mudah untuk dihubungi, sopan, hormat dapat dipercaya, dan jujur. Dalam peningkatan mutu pelayanan, fasilitas kesehatan pada umumnya menyediakan lingkungan yang bebas dari bahaya, risiko, atau keraguan (Joseph, C. 2000). Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, mutu pelayanan kesehatan dalam penelitian ini terdiri atas lima sub variabel yaitu bukti fisik (tangible)
kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (emphaty).
2.2 Komitmen Kerja Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam institusi pelayanan kesehatan (Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan, keterikatan, individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada dalam organisasinya (Mathis dan Jakson, 2001 dalam Wijaya, 2012). Komitmen petugas terhadap puskesmas ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melakukan asuhan pelayanan kesehatan (Luthans, 2006). Kesuksesan sebuah karir, dituntut adanya suatu komitmen, dimana komitmen seseorang terhadap karirnya terlihat dari kesabaran membangun karir yang dipilihnya. Seseorang yang berkomitmen terhadap karir tidak akan mudah kalah dengan tantangan yang menghadangnya di depan (Noordin et al, dalam Siswanto, 2012). Berdasarkan pandangan tersebut, faktor sumber daya manusia menjadi faktor yang penting untuk meningkatkan mutu pelayanan puskesmas. Penelitian tentang komitmen kerja dilaksanakan oleh Nursyahfitri (2011) pada karyawan Divisi Produksi PT. Marumitsu Indonesia, diketahui bahwa komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan (t = 3,037 dan p = 0,001). Penelitian tentang pengaruh komitmen anggota dan budaya kerja terhadap kinerja Tim Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi Nasional yang dilakukan oleh Rois
(2010) menemukan pengaruh yang signifikan komitmen anggota dengan kinerja Tim Kormonev Nasional dengan nilai uji t 2,3 dan uji f 0,637. Penelitian lain tentang komitmen oleh Suparman (2007) menyatakan bahwa komitmen kerja secara nyata berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Penelitian lain oleh Karsh et al (2005) yang dilakukan pada perawat di panti jompo, menyatakan bahwa komitmen dan kepuasan kerja dipengaruhi oleh pekerjaan dan faktor organisasinya dan dengan kurangnya komitmen dan kepuasan kerja sehingga berimplikasi dengan adanya keinginan untuk pindah. Penelitian tentang komitmen juga dilakukan oleh Malhotra dan Mukherjee (2004) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan memberikan layanan yang optimal. Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi selalu akan berpihak dan memberikan yang terbaik kepada organisasi (Robbins dan Judge, 2008 dalam Sopiah, 2008). Komitmen kerja dapat ditingkatkan untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan cara sebagai berikut (Djati dalam Wijaya, 2012) . 1.
Menciptakan rasa aman, suasana kerja yang kondusif serta lakukan promosi secara reguler.
2.
Menempatkan petugas sesuai dengan kapasitas, minat dan motivasi kerjanya agar memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
3.
Meningkatkan keterampilan, kesempatan pengembangan diri, dan bimbingan perencanaan karier agar perawat dan bidan merasa mantap dalam pencapaian kariernya.
4.
Mengembangkan fleksibilitas dan otonomi pelaksanaan tugas tetapi tetap memegang teguh tanggung jawab.
5.
Mengembangkan sistem monitoring, peningkatan kinerja dan pemahaman terhadap nilai dan tujuan rumah sakit untuk menjaga kesesuaian visi dan misi.
2.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Kerja Komitmen merupakan kekuatan secara menyeluruh terhadap tugas dalam pelayanan dan kondisi lingkungan puskesmas. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen kerja adalah keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, kemauan berusaha dan bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, keyakinan dan kepercayaan terhadap nilai dan tujuan organisasi (Spector, 2000). Komitmen kerja ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain seperti yang disebutkan dalam penelitian Siswanto (2012) yaitu komitmen kerja dipengaruhi oleh iklim kerja dan pengembangan karir. Kiesler dalam Siswanto (2012) berpendapat bahwa adanya komitmen akan memotivasi serta memaksa seseorang untuk bertindak lebih jauh, karena sifat ikatannya akan berpengaruh terhadap respon individu pada kekuatan yang memaksa mereka melakukan sesuatu. Menurut (Lokce et all, 1988 dalam Wijaya, 2012) tiga kategori utama penentu komitmen adalah faktor eksternal (otoritas, pengaruh teman sebaya, penghargaan eksternal), faktor interaktif (partisipasi dan kompetisi), dan faktor internal (harapan, penghargaan internal). Komitmen kerja petugas pelayanan dapat dilihat inisiatif, penghayatan terhadap visi misi puskesmas, dan peraturan-peraturan (Wijaya, 2012).
1.
Inisiatif Inisiatif merupakan kemampuan petugas pemberi pelayanan yaitu dokter, perawat dan bidan dalam melakukan tugas tanpa menunggu perintah. Hal ini terkait dengan hasil pekerjaan, menciptakan peluang untuk menghindari timbulnya masalah (Ubaydilah, 2009 dalam Wijaya, 2012). Inisiatif juga menyangkut kreativitas petugas untuk mengembangkan potensi diri dalam melaksanakan asuhan pelayanan dan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.
2.
Penghayatan terhadap visi misi puskesmas Visi merupakan suatu pernyataan yang berisi tentang cita-cita dari organisasi, sedangkan misi mencakup kegiatan jangka panjang dan jangka pendek yang akan dilaksanakan dalam mencapai visi (Mangkuprawira, 2009 dalam Wijaya, 2012). Pernyataan visi dan misi harus sesuai dengan kebutuhan puskemas dan kebutuhan pasien. Keduanya harus dapat mengantarkan puskesmas mencapai tujuan dengan menumbuhkan semangat kerja, keharmonisan dalam melaksanakan asuhan keperawatan sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO). Peningkatan komitmen kerja memerlukan penghayatan visi dan misi puskesmas.
3.
Peraturan-peraturan Peraturan dapat mengatur segala kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas. Mereka harus mematuhi karena ada sanksi yang melanggar. Peraturan dapat berupa tata tertib yang mengikat petugas melaksanakan kegiatan pelayanan sehingga tidak menyimpang dari tujuan puskesmas. Ketaatan terhadap
peraturan puskesmas oleh petugas diperlukan untuk meningkatkan kinerja di puskesmas. Berdasarkan teori dan penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya. variabel komitmen kerja dalam penelitian ini, terdiri dari tiga sub variabel yaitu inisiatif, penghayatan visi misi dan ketaatan terhadap peraturan puskesmas.
2.3 Manajemen Puskesmas Berdasarkan Kepmenkes Nomor 128/ Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, dinyatakan bahwa puskesmas merupakan unit pelaksana teknis kegiatan yang bertanggungjawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Untuk dapat melaksanakan pembangunan kesehatan di puskesmas perlu ditunjang oleh manajemen yang baik. Manajemen puskesmas adalah rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan luaran puskesmas yang efektif dan efesien (Kemenkes, 2012). Manajemen diselenggarakan sebagai proses pencapaian tujuan, menselaraskan tujuan organisasi dan tujuan pegawai puskesmas, mengelola dan memberdayakan sumber daya dalam rangka efisiensi dan efektifitas puskesmas, sebagai proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, proses kerjasama dan kemitraan dalam pencapaian tujuan puskesmas (Alamsyah, 2011). Penelitian tentang penerapan fungsi manajemen dilakukan oleh Dewi (2011) pada 77 perawat RSUP Dr. Sardjito, diketahui bahwa penerapan lima fungsi manajemen oleh kepala ruangan berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,000-0,032). Faktor yang paling berpengaruh dalam penerapan
keselamatan pasien adalah fungsi pengendalian. Sedangkan fungsi perencanaan, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian berhubungan dengan penerapan keselamatan perawat (p=0,005-0,032) dan faktor yang paling berpengaruh adalah fungsi pengarahan. Manajemen
puskesmas
terdiri
dari
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Semua fungsi manajemen tersebut berkaitan dan dilaksanakan secara berkesinambungan (Kemenkes, 2012). 2.3.1 Perencanaan Perencanaan merupakan langkah awal sebelum kegiatan dilaksanakan yang meliputi kegiatan merumuskan tujuan puskesmas sampai dengan menetapkan alternatif kegiatan. Tanpa ada perencanaan puskesmas, tidak akan ada kejelasan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh staf untuk mencapai tujuan puskesmas (Alamsyah, 2011). Perencanaan program wajib puskesmas salah satunya program pengobatan dilakukan sebagai berikut. 1.
Menyusun usulan kegiatan pada program pengobatan sesuai kondisi yang ada mulai dari perencanaan target capaian kegiatan seperti target kunjungan, tenaga, dana, obat-obatan, bahan habis pakai dan sarana dan prasarana lainnya terkait dengan pengembangan layanan pengobatan di puskesmas.
2.
Mengajukan usulan kegiatan yang direncanakan ke dinas kesehatan untuk mendapatkan persetujuan.
3.
Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan (RPK).
Hasil penelitian
oleh Ulfayani dkk. (2012) menunjukkan bahwa dalam
perencanaan pada delapan bagian unit di puskesmas Minasa Upa Kota Makasar, selalu diawali dengan penentuan program kegiatan yang mencakup penyusunan rencana kegiatan, rencana tempat dan waktu pelaksanaan kegiatan, jadwal kegiatan, biaya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ningrum (2006) bahwa perencanaan selalu menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan.
2.3.2. Pelaksanaan dan Pengendalian Pelaksanaan dan pengendalian merupakan proses penyelenggaraan, pemantauan serta penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan di puskesmas (Depkes R.I, 2004). Langkah-langkah pelaksanaan dan pengendalian pada upaya pengobatan di puskesmas adalah sebagai berikut. 1.
Pengorganisasian Pengorganisasian merupakan serangkaian kegiatan manajemen untuk menghimpun semua sumber daya yang ada di puskesmas dan dimanfaatkan secara efesien untuk program pengobatan. Pada program pengobatan ditetapkan penanggungjawab dan petugas pelaksana yang saling bekerjasama.
2.
Penyelenggaraan Langkah berikutnya adalah menyelenggarakan rencana kegiatan program pengobatan di puskesmas dan menunjuk penanggungjawab serta pelaksana program dan pelaksanaan lokakarya mini puskesmas, baik lintas program maupun lintas sektor.
3.
Pemantauan Pemantauan terhadap kegiatan dilakukan secara berkala seperti melakukan telaahan penyelenggaraan kegiatan dan hasil yang dicapai serta melakukan telaahan eksternal terkait hasil yang dicapai oleh fasilitas dan sektor lain yang terlibat di wilayah puskesmas.
4. Penilaian Penilaian kegiatan bisa dilakukan oleh pihak
eksternal dan internal
puskesmas. Kegiatan penilaian pada program pengobatan dilakukan setiap bulan, triwiulan maupun tahunan. Kegiatan penilaian mencakup penilaian terhadap cakupan jumlah kunjungan, survei kepuasan dan evaluasi dari dinas kesehatan.
Hasil penelitian di Puskesmas Minasa Upa Kota Makasar oleh Ramsar dkk. (2012) diketahui bahwa pengelompokan kelompok kerja sebelum pembagian tugas dilakukan agar rencana kegiatan akan lebih terarah pada tujuan. Dalam pergerakan dan pelaksanaan ada tiga komponen yang saling berhubungan yaitu komponen koordinasi, pengarahan dan pimpinan (Ramsar dkk, 2012). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan (2010) dalam Ramsar dkk. (2012), yang menyatakan pimpinan selaku administrator memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dan mengarahkan seluruh komponen untuk mencapai tujuan.
2.3.3 Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pengawasan dan pertanggungjawaban merupakan proses untuk mendapatkan kepastian atas kesesuaian penyelenggaraan dalam mencapai tujuan puskesmas (Depkes R.I, 2004). 1. Pengawasan Pengawasan merupakan kegiatan mengamati secara terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan puskesmas. Pengawasan dapat dilakukan oleh pihak internal (kepala puskesmas) dan eksternal (masyarakat, dinas kesehatan, serta institusi lainnya). 2. Pertanggungjawaban Untuk pertanggungjawaban kegiatan kepala puskesmas harus membuat laporan kinerja hasil dari pelaksanaan kegiatan. Bedasarkan hasil penelitian pada Puskesmas Batua Makassar oleh Mu’rifah (2012 menyatakan bahwa pelaksanaan evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan menyusun langkah perbaikan untuk mencapai tujuan.
2.4 Program Pengobatan di Puskesmas Puskesmas
bertanggungjawab
untuk
melaksanakan
upaya
kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat untuk mencapai visi pembangunan kesehatan.
Upaya kesehatan puskesmas terdiri dari upaya wajib dan
pengembangan. Salah satu upaya program wajib puskesmas dalam upaya kesehatan perorangan adalah program pengobatan. Program pengobatan
merupakan kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan pada masyarakat dalam rangka
menghentikan
proses
perjalanan
suatu
penyakit
untuk
dapat
menghilangkan penderitaan yang dirasakan (Depkes RI, 1990). Program pengobatan di puskesmas dilaksanakan dengan melakukan diagnosa, melaksanakan tindakan dan melakukan upaya rujukan bila dipandang perlu (Subekti, 2009). Tujuan dari pelayanan pengobatan di puskesmas adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat. Dalam upaya pengobatan pasien, kegiatan yang dilakukan adalah mencari riwayat penyakit, mengadakan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, membuat diagnosa, memberikan pengobatan yang tepat dan melakukan rujukan bila diperlukan. Penelitian tentang upaya pengobatan di puskesmas dilakukan oleh Subekti tahun 2009 pada balai pengobatan umum puskesmas di Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi mutu pelayanan administrasi, dokter, perawat dan obat berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien. Sedangkan sarana dan fasilitas penunjang tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien.
2.4.1 Gambaran Umum Pengobatan di Puskesmas Kabupaten Karangasem Upaya pengobatan di puskesmas dapat dilakukan di luar gedung dan di dalam gedung
dan rawat jalan maupun rawat inap. Adapun unit-unit pelayanan
pengobatan yang ada di puskesmas seperti pelayanan poli umum, Unit Gawat Darurat (UGD), poli gigi dan mulut, pelayanan rawat inap maupun puskesmas keliling.
Poli umum merupakan salah satu unit program pengobatan di puskesmas yang melayani pasien rawat jalan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam pelayanan di poli umum adalah melakukan anamnesa terhadap keluhan dan riwayat penyakit pasien, melakukan pemeriksaan fisik, melakukan pemeriksaan laboratorium, mendiagnosa penyakit pasien, melakukan tindakan pengobatan dan melakukan upaya rujukan bila dianggap perlu. Petugas yang bertugas pada Poli Umum di Puskesmas Kabupaten Karangasem adalah dokter dan perawat. Petugas tersebut selain bertugas pada poli umum juga bertugas di unit-unit pengobatan lain di puskesmas. Petugas tersebut juga mempunyai tugas sebagai pengelola program promotif dan preventif, sehingga diatur jadwal petugas yang mendapatkan tugas memberikan pelayanan pengobatan pada poli umum.
2.5
Hubungan Penerapan Manajemen dan Komitmen Kerja terhadap
Mutu Pelayanan di Puskesmas Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya diketahui bahwa ada beberapa penelitian yang menyatakan hubungan antara penerapan fungsi manajemen di puskesmas dengan pencapaian kinerja di puskesmas. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan hubungan antara komitmen kerja dengan kualitas pelayanan. Hubungan karakteristik petugas juga ditunjukkan dari hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan kinerja dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Umur diatas 30 tahun mempunyai motivasi kerja lebih tinggi daripada petugas lebih dari 30 tahun, dan masa kerja yang lebih lama menggambarkan
kinerja organisasi yang baik. Makin tinggi pendidikan maka produktivitas kerjanya juga tinggi, serta jika berdasarkan jenis kelamin jenis petugas juga berpengaruh terhadap motivasi kerjanya (Naya, 2013). 2.5.1 Hubungan Penerapan Manajemen terhadap Mutu Pelayanan di Puskesmas Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya diketahui bahwa fungsi manajemen yang diterapkan di puskesmas memiliki hubungan dengan pencapaian program di puskesmas. Hasil penelitian oleh Kustiawan R.B (2004) menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan fungsi manajemen perencanaan ((p=0,042), pelaksanaan (p=0,001) dan penilaian (p=0,001) dengan program pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue ( P2DBD) di puskesmas Kabupaten Grobogan. Penelitian lain yang dilakukan pada program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita gizi buruk di Puskesmas Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh Ningrum (2006). Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa penerapan fungsi perencanaan,
pergerakkan
dan
pengawasan
penilaian
serta
pencatatan
berhubungan dengan cakupan PMT di Puskesmas Kabupaten Tegal. Hasil yang sama terkait hubungan penerapan manajemen terhadap mutu pelayanan kesehatan pada puskesmas di Kota Semarang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Novianingrum (2007) bahwa perencanaan, pengorganisasian, pergerakkan dan pengawasan mempunyai hubungan dengan cakupan imunisasi di puskesmas Kota Semarang. Pada program lain di puskesmas juga dilakukan penelitian oleh Irmawati (2007) yaitu pada kegiatan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) balita dan anak prasekolah di
Puskesmas Kota Semarang disebutkan bahwa ada hubungan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dengan cakupan SDIDTK. 2.5.2 Hubungan Komitmen Kerja terhadap Mutu Pelayanan di Puskesmas Komitmen kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus ditumbuhkan pada petugas pemberi layanan kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2000) menyatakan bahwa komitmen kerja berhubungan dengan kualitas pelayanan. Dengan komitmen kerja yang tinggi, petugas pelayanan diantaranya dokter, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai motivasi kuat untuk berprestasi (Wijaya,
2012). Karyawan yang
memiliki
komitmen akan memberikan layanan yang optimal (Malhotra dan Mukherjee, 2004). Penelitian lain tentang pengaruh komitmen dengan prestasi kerja dilakukan oleh Arisanty (2007), diketahui bahwa komitmen kerja berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan. Komitmen kerja juga dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap puskesmas karena ingin bertahan menjadi anggota dalam organisasinya yaitu puskesmas (Wijaya, 2012). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Fawzy (2010) bahwa komitmen karyawan memberikan pengaruh negatif terhadap keinginan meninggalkan organisasi. Adanya pengaruh tersebut menunjukkan bahwa sikap karyawan yang merasa memiliki dan menjadi bagian organisasi, merasa bahwa organisasi memiliki arti tersendiri bagi pribadi karyawan, sikap bangga terhadap organisasi dan loyalitas yang dimiliki karyawan membuat karyawan mau memberikan semua kemampuan yang dimiliki bagi kemajuan organisasi.