BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Obesitas 2.1.1
Definisi Obesitas
Obesitas adalah suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan di jaringan lemak dan dapat menimbulkan beberapa penyakit. Obesitas pada dewasa berkaitan dengan sindroma metabolik, sedangkan obesitas serta sindroma metabolik yang berkembang pada masa anak dapat berlanjut sampai dewasa (Indriati, 2010). Obesitas sebagai suatu keadaan kelebihan lemak di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan keadaan peningkatan total lemak dalam tubuh yang mengakibatkan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita (Ganong, 2003). Obesitas sentral dapat didefinisikan sebagai penimbunan lemak berlebihan dalam jaringan tubuh terutama pada daerah perut. Obesitas sentral juga sering disebut sebagai obesitas abdominal. Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur distrubusi lemak dalam tubuh adalah ukuran antropometri yaitu dengan mengukur IMT dan mengukur lingkar perut untuk menentukan obesitas sentral (Perkeni, 2011). 2.1.2
Klasifikasi Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi yang tidak normal atau kelebihan akumulasi lemak dalam jaringan adiposa. Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori yaitu obesitas tipe I, obesitas tipe II, dan obesitas tipe
10
11
III. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi dua kategori yaitu obesitas sentral dan obesitas general/umum. Obesitas berkaitan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas berdasarkan pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi dua yaitu obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity). Obesitas tubuh bagian atas disebabkan adanya penimbunan lemak tubuh di trunkal. Pada trunkal terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak terjadi pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai “android obesity” atau disebut juga dengan obesitas sentral. Penentuan obesitas tipe sentral menggunakan IMT dan lingkar perut. Obesitas tipe sentral berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler dari pada obesitas tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah adalah keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Obesitas tipe ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut “gynoid obesity”. Obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (Indriati, 2010). 2.1.3
Patofisiologi Obesitas
Proses pencernaan alkohol menyerupai pada saat tubuh mencerna lemak, sehingga jumlah kalori meningkat tajam. Komponen kalori dalam beberapa minuman beralkohol persajian bisa mencapai 120 kalori. Alkohol juga dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam tubuh, apabila akumulasi trigliserida
12
terdapat di hati dan di otot akan mengakibatkan resistensi insulin. Jaringan lemak (adiposit) mengeluarkan beberapa hormon, secara kolektif dinamai adipokin yang berperan penting dalam kesimbangan energi dan metabolisme. Salah satu adipokin adalah resistin yang dibebaskan terutama pada obesitas yang menyebabkan resistensi insulin (Sherwood, 2012). Asupan glukosa berlebihan dan pengeluaran energi minimal menimbulkan keseimbangan energi positif yang menyebabkan terjadi akumulasi lemak berlebihan di jaringan adiposa abdominal dan dapat dilihat sebagai obesitas sentral (Soegondo, 2005). Pada penderita obesitas terjadi berbagai gangguan metabolisme antara lain diabetes mellitus tipe dua, hipertensi, penyakit jantung, dan batu empedu. Besarnya risiko mengalami penyakit-penyakit ini sebanding dengan besar penumpukan lemak yang terjadi. Pada diabetes mellitus tipe dua peranan obesitas dijelaskan dalam berbagai teori, salah satu teori menyebutkan bahwa sel-sel lemak yang mengalami hipertropi dapat menurunkan jumlah reseptor insulin. Teori lain menyebutkan tingginya asam lemak, peningkatan hormon resistin, dan penurunan adiponektin sebagai akibat penumpukan lemak pada penderita obesitas dapat mempengaruhi kerja insulin sehingga dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa darah (Indriati, 2010). World Health Organization (WHO) mendefinisikan sindroma metabolik sebagai suatu kelainan metabolik meliputi hipertensi, hiperlipidemia, obesitas (general dan sentral), dan mikroalbuminuria. National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) tahun 2001
13
menyatakan bahwa sindroma metabolik adalah sekelompok kelainan metabolik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida meningkat, kadar kolesterol high-density lipoprotein rendah), hipertensi, dan peningkatan kadar glukosa plasma (Indriati, 2010). Peningkatan kejadian sindroma metabolik sejalan dengan peningkatan obesitas. Obesitas adalah suatu keadaan ditemukannya kelebihan lemak dalam tubuh, terbagi menjadi obesitas general dan obesitas sentral. Penimbunan lemak dalam perut dikenal dengan obesitas sentral atau obesitas viseral berkaitan erat dengan kejadian penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus. Penelitian yang berhubungan dengan hal ini telah banyak dilakukan, sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan lemak subkutan atau lemak tubuh total (obesitas general) lemak viseral (obesitas sentral) lebih kuat hubungannya dengan kelainan sindroma metabolik. Adiposit jaringan lemak ini adalah adiposit dengan ukuran besar, kurang peka terhadap kerja antilipolisis sehingga lebih mudah dilipolisis yang menyebabkan peningkatan asam lemak bebas. Peningkatan kadar asam lemak bebas dapat meningkatkan distribusi asam lemak di hati. Hal tersebut meningkatkan proses glukoneogenesis, menghambat pengambilan serta penggunaan glukosa di otot. Akumulasi trigliserida di hati dan di otot akan mengakibatkan resistensi insulin, jaringan lemak sendiri menghasilkan beberapa sitokin dan hormon yang menghambat kerja insulin. Hormon insulin merupakan regulator penting pada metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein. Setiap
14
gangguan yang terjadi pada kerja insulin menimbulkan konsekuensi metabolik yang tampak pada sindroma metabolik. Menurut Jellife dalam buku Supariasa, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Ukuran tubuh yang dimaksud antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak bawah kulit. Pengukuran ini banyak dilakukan karena relatif murah, mudah digunakan untuk mengukur populasi yang banyak, objektif, hasilnya cukup baik, dan bisa menunjukkan
adanya
kelainan
nutrisi
maupun
pertumbuhan.
Beberapa
kekurangan dari pengukuran ini yaitu tidak tepat dan adanya keterbatasan untuk mendiagnosa secara teliti (Supariasa, 2010). Beberapa cara yang digunakan untuk pengukuran lemak tubuh antara lain triceps skinfold, subscapular skinfold, biceps skinfold, Lingkar Lengan Atas (LLA), lingkar pinggang, dan lingkar panggul. Pengukuran BB/TB2 sering disebut Body Mass Index atau BMI, di Indonesia dikenal dengan Indeks Massa Tubuh atau IMT (Indriati, 2010). 2.1.4
Epidemiologi Obesitas Obesitas merupakan permasalahan yang serius di dunia karena berperan
penting dalam meningkatkannya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi obesitas pada negara maju dan negara berkembang sekarang ini terus meningkat. Diperkirakan jumlah obesitas di seluruh dunia dengan Indeks Massa Tubuh >25 kg/m2 sudah melebihi 250 juta orang atau sekitar 7% dari populasi orang dewasa di dunia. Banyak negara mengalami peningkatan laju obesitas selama 10-20 tahun terakhir ini. Menurut WHO peningkatan jumlah obesitas berat akan dua kali lipat
15
dibandingkan dengan orang dengan berat badan kurang dari tahun 1995 sampai 2025 nanti dan prevalensinya akan meningkat mencapai 50% pada tahun 2025. Prediksi WHO pada tahun 2005 kurang lebih terdapat 400 juta orang dewasa yang obesitas, pada tahun 2015 diperkirakan meningkat menjadi 700 juta orang yang mengalami obesitas. Pada negara maju seperti Amerika Serikat diperkiraan obesitas mencapai 45-50%, di Australia dan Inggris mencapai angka 30-40% dari total penduduk (Kemenkes RI, 2010). Survei nasional pada tahun 1996/1997 di seluruh provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 6,8% dari total populasi laki-laki dewasa yang berusia 18 tahun keatas menderita obesitas dengan IMT sebesar 27-30 kg/m2 dan dari total populasi wanita dewasa sebesar 13,5% menderita obesitas. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, prevalensi nasional obesitas general adalah 10,3% dan obesitas sentral sebesar 18,8%. Obesitas sekarang ini merupakan suatu epidemik global dan menjadi masalah kesehatan yang harus segera ditangani. Kejadian ini dipengaruhi oleh perubahan pola makan dan kurangnya aktifitas fisik. Di AS terjadi perubahan pola makan ke arah makanan tinggi kalori, tinggi lemak jenuh, tinggi kadar gula, dan tinggi kandungan garam. Pola makan seperti ini serta ditambah dengan fakta bahwa 30-60% populasi kurang melakukan aktifitas fisik memberikan
kontribusi
yang besar
pada
peningkatan
insiden
obesitas
(Muherdiyatiningsih, 2008). Keadaan epidemik obesitas merupakan penyebab di balik meningkatnya insiden diabetes mellitus. Obesitas dapat meningkatkan risiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang yang berat badannya 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai risiko kematian 1,9 kali lebih
16
besar dibandingkan dengan berat badan rata-rata baik pada pria maupun wanita, kenaikan mortalitas di antara penderita obesitas adalah akibat dari penyakitpenyakit yang mengancam seperti DM tipe dua (Indriati, 2010). Menurut WHO, dari statistik kematian di dunia 57 juta jiwa kematian terjadi setiap tahunnya yang disebabkan oleh penyakit tidak menular dan diperkirakan bahwa sekitar 3,2 juta jiwa per tahun penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, proporsi kematian akibat penyakit diabetes mellitus sebesar 5,7%. Proporsi penyebab kematian pada umur 45-54 tahun pada perempuan yang tertinggi adalah diabetes mellitus sebesar 16,3%, sedangkan pada laki-laki sebesar 6% setelah stroke, penyakit jantung iskemik, dan hipertensi. Saat ini morbiditas dan mortalitas penyakit ini menjadi masalah utama di kesehatan masyarakat. Penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit yang mahal, biaya pertahun yang dikeluarkan sehubungan dengan penyakit ini di Amerika Serikat sebesar $ 174 miliar. Pengeluaran langsung untuk diabetes, komplikasi, dan biaya perawatan medis sebesar $ 116 miliar. Pengeluaran tidak langsung dari kesakitan, disability, dan premature mortality sebesar $ 58 miliar (Mexitalia, 2009). Sekarang ini sedang terjadi peningkatan obesitas di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan (Iswara, 2015). 2.1.5
Etiologi Obesitas Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi dengan
pengeluaran energi sehingga menimbulkan kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi ini dapat disebabkan oleh konsumsi
17
makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi yang rendah diakibatkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktifitas fisik, dan termogenesis makanan. Permasalahan hemostasis disebabkan oleh faktor idiopatik yang dikenal sebagai obesitas primer atau nutrisional merupakan tipe obesitas yang paling banyak terjadi. Pada obesitas sekunder atau non-nutrisional yang disebabkan oleh faktor endogen seperti sindrom atau defek genetik sangat sedikit kejadiannya mencapai kurang dari 10% kasus (Mexitalia, 2009). 2.1.6
Faktor Risiko Obesitas Faktor risiko yang berperan dalam terjadinya obesitas secara garis besar
dapat dikelompokan menjadi tiga faktor yaitu faktor genetik, faktor orang (host), dan faktor lingkungan. Secara ilmiah obesitas terjadi akibat kelebihan asupan makanan atau energi dalam tubuh. Penyebab ketidakseimbangan yang terjadi antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum jelas, namun keadaan ini disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dihindari untuk mencegah obesitas. Faktor genetik merupakan faktor utama terjadinya obesitas, obesitas diduga cenderung diturunkan karena mempunyai penyebab genetik. Faktor genetik yang memiliki peranan kuat yaitu parental fatness, anak yang mengalami obesitas biasanya berasal dari keluarga obesitas. Apabila salah satu orang tua obesitas, risiko kejadiannya menjadi 40% dan apabila kedua orang tua tidak mengalami obesitas maka prevalensi turun menjadi 14%. Peningkatan risiko obesitas tersebut kemungkinan disebabkan karena pengaruh gen atau faktor lingkungan dalam keluarga. Faktor orang (host) yang memiliki peranan dalam terjadinya obesitas yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Faktor
18
lingkungan yang berperan terhadap terjadinya obesitas ada lima faktor yaitu nutrisional (asupan kalori) seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalori serta alkohol, prilaku/pola gaya hidup (aktifitas fisik), penyakit penyerta (neurologis dan psikologis), medikamentosa (steroid) dan sosial ekonomi. Faktor genetik dan faktor gaya hidup sangat sukar untuk dipisahkan. Seseorang tidak dapat mengubah pola genetiknya tetapi dapat mengubah pola makan dan aktifitasnya. Makanan dengan kandungan lemak tinggi merupakan salah satu faktor penyebab obesitas. Sekarang ini banyak tersedia makanan cepat saji atau fast food, makanan seperti ini mengandung lemak dan gula yang tinggi yang menyebabkan obesitas. Orang sibuk sering mengkonsumsi makanan cepat saji yang praktis dihidangkan meskipun kandungan gizinya buruk. Makanan cepat saji tidak memiliki kandungan gizi yang baik sehingga makanan cepat saji disebut dengan istilah junk food atau makanan sampah. Faktor psikologis juga berperanan penting dalam terjadinya obesitas. Beberapa sumber mengatakan bahwa pola makan sangat dipengaruhi oleh emosi seseorang. Persepsi diri yang negatif merupakan salah satu dari contoh bentuk gangguan emosi yang dapat meningkatkan pola makan individu. Gangguan ini sebagai penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas pada masyarakat terutama pada negara berkembang. Aktifitas fisik dapat meningkatkan penggunaan kalori yang berlebihan didalam tubuh namun pada orang yang tidak aktif memerlukan kalori yang lebih sedikit. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak dan kurang melakukan aktifitas fisik yang seimbang dapat mengalami obesitas.
19
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup berarti dalam proses terjadinya obesitas. Lingkungan sangat mempengaruhi bagaimana gaya hidup dan pola makan seseorang termasuk salah satunya konsumsi alkohol serta minuman dengan kadar gula dan kalori yang tinggi (Aflah & Indriasari, 2014). Sebuah penelitian mengemukakan faktor risiko obesitas sentral yang sama seperti konsumsi makanan, alkohol, riwayat merokok, aktifitas fisik, kemajuan teknologi, status faktor ekonomi dan sedantary life style (Istiqamah, 2013). Faktor genetik merupakan faktor yang tidak dapat dihindari sebagai penyebab obesitas. Selain faktor tersebut faktor-faktor yang lain sebenarnya dapat dihindari untuk mencegah kejadian obesitas di kalangan masyarakat, tetapi tingkat kesedaran masyarakat terhadap bahaya obesitas masih kurang. Masyarakat tidak terlalu khawatir terhadap masalah obesitas selama belum mengalami keluhan, mereka pergi ke pelayanan kesehatan apabila masalah ini telah menimbulkan penyakit yang lain. 2.1.7
Dampak Obesitas WHO menggolongkan obesitas sebagai kelainan kronis yang menaikkan
tingkat risiko mortalitas. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan obesitas antara lain: 1. Angina pectoris dan penyakit jantung koroner. Hasil penelitian pada wanita umur 35-55 tahun yang mengalami kenaikan BB lebih dari 10 kilogram lebih berisiko terkena penyakit Angina pectoris dan penyakit jantung koroner dibandingkan wanita yang mengalami kenaikan BB kurang dari tiga kilogram (Indriati, 2010)
20
2. Diabetes mellitus tipe dua 3. Hipertensi. Hasil penelitian menemukan bahwa mengurangi BB setelah berhenti dari obat hipertensi dapat efektif menjaga tekanan darah (Indriati, 2010) 4. Abnormalitas profil lipid darah. Penurunan BB menaikkan High Density Lipoprotein (HDL) dan menurunkan Low Density Lipoprotein (LDL) serta trigliserid (Indriati, 2010). 2.2 Konsumsi Minuman Beralkohol 2.2.1
Minuman Beralkohol Alkohol adalah zat yang diperoleh dari hasil peragian atau fermentasi
madu, gula, sari buah dan umbi-umbian. Dari peragian tersebut dapat diperoleh alkohol mencapai 15%, tetapi melalui proses penyulingan atau destilasi akan dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi bahkan bisa mencapai 100%. Alkohol merupakan zat yang mempunyai sifat mudah menguap, berwarna kuning, dan berbau khas. Alkohol juga mempunyai sifat beracun, artinya apabila dikonsumsi dalam batas yang tidak normal atau berlebihan mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Dampak seperti ini tidak berbeda antara minuman beralkohol yang pengolahannya oleh perusahaan maupun tradisional. Sifat alkohol larut sempurna dalam air, tetapi dalam tubuh manusia dapat menekan saraf pusat dan gangguan pada organ lainnya (Gaol, 2013). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 86/Menkes/Per/IV/77 tentang minuman keras, minuman beralkohol termasuk kategori minuman keras dan dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan persentase kandungan etanol per
21
volume pada suhu 200C. Minuman dengan kadar etanol 1-5% dikategorikan sebagai minuman keras golongan A, minuman dengan kadar etanol diatas 5% sampai dengan 20% tergolong minuman keras golongan B, dan minuman keras golongan C mengandung etanol lebih dari 20% sampai 55%. Substansi alkohol yang biasa diminum adalah golongan etanol atau etil alkohol dengan rumus kimia CH3CH2OH. Etanol merupakan cairan jernih tidak berwarna dan terasa membakar mulut serta tenggorokan bila ditelan. Etanol mudah sekali larut dalam air dan sangat potensial untuk menghambat sistem saraf pusat (Putra, 2010). Etanol merupakan bentuk molekul sederhana dari alkohol yang mudah diserap dalam saluran pencernaan mulai dari mulut, esofagus, lambung, sampai usus halus. Saluran pencernaan yang paling banyak menyerap alkohol adalah bagian proksimal usus halus, disini juga diserap vitamin B yang larut dalam air kemudian dengan cepat beredar dalam darah. Mengkonsumsi minuman beralkohol berarti mengkonsumsi antara 10-12 gram etanol (Sholikah, 2010). Mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan ketergantungan dan toleransi terhadap jumlah alkohol yang dikonsumsi. Konsumsi alkohol dalam jangka yang lama dalam jumlah yang berlebihan dapat merusak berbagai organ tubuh terutama hati, ginjal, otak, dan jantung. Alkohol dapat menyebabkan toleransi, orang yang teratur mengkonsumsi lebih dari dua gelas alkohol per hari bisa mengkonsumsi alkohol lebih banyak dari nonalkoholik tanpa mengalami intoksikasi (Birck, 2004).
22
2.2.2
Metabolisme Alkohol Proses metabolisme alkohol terjadi di dalam hati. Apabila alkohol
dikonsumsi dalam dosis rendah akan dipecah oleh enzim alkohol dehidrogenase menjadi asetaldehida. Enzim ini membutuhkan seng sebagai katalisator. Asetildehida kemudian diubah menjadi asetil KoA oleh enzim dehdrogenase asetaldehida. Kedua proses reaksi ini membutuhkan koenzim NAD. Ion H yang terbentuk diikat oleh NAD dan membentuk NADH. Asetil KoA akan memasuki siklus menghasilkan NADH, FADH2 dan GTP yang digunakan membentuk ATP. Metabolisme alkohol menyerupai metabolisme lemak karena langsung diubah menjadi asetil KoA. Apabila alkohol yang diminum cukup banyak, enzim dehidrogenase tidak cukup untuk memetabolisme alkohol menjadi asetil dehida. Pada keadaan ini hati menggunakan sistem enzim lain yang dinamakan Microsomal Ethanol Oxidizing System (MEOS). MEOS juga digunakan hati untuk memetabolisme obat-obatan dan senyawa asing lain. Penggunaan MEOS pada metabolisme alkohol menurunkan kemampuan hati untuk memetabolisme obatobatan seperti obat penenang. Alkohol dalam jumlah banyak bersifat racun, bila dicampur obat penenang tingkat racunnya akan berlipat ganda (Almatsier, 2010). Efek mengkonsumsi satu gelas kecil alkohol (200 cc) setara dengan dua kali jumlah kalori per gram dari karbohidrat dan protein. komponen kalori dalam beberapa minuman beralkohol per sajian bisa mencapai 120 kalori. Metabolisme alkohol dilakukan di hati sehingga alkohol dapat meningkatkan kadar trigliserida, akumulasi trigliserida di hati dan di otot mengakibatkan resistensi insulin. Jaringan lemak mengeluarkan beberapa hormon secara kolektif yang disebut
23
adipokin. Hormon ini berperanan penting dalam kesimbangan energi dan metabolisme. Salah satu adipokin adalah resistin yang dibebaskan terutama pada obesitas sehingga dapat menyebabkan resistensi insulin (Mandagi, 2012). Asupan makanan berlebihan dan pemanfaatan energi yang kurang akan menimbulkan keseimbangan energi positif. Keseimbangan energi positif yang terjadi dari asupan makanan berlebihan terutama berasal dari kelebihan asupan energi dan sumber karbohidrat. Asupan sumber energi yang berlebihan juga disebabkan kandungan glukosa dalam bentuk sukrosa yang terkandung dalam tuak. Energi yang tidak dimanfaatkan disimpan dalam bentuk lemak sehingga terjadi akumulasi lemak berlebihan di jaringan adiposa abdominal (Soegondo, 2005). 2.2.3
Pencernaan dan Absorbsi Alkohol Alkohol tidak mengalami pencernaan sehingga dengan cepat dapat
diserap. Sebanyak 20% alkohol yang diminum dalam keadaan perut kosong dapat mencapai sel otak dalam waktu satu menit sehingga dapat memberikan rasa sangat gembira pada seseorang setelah minum alkohol. Sebaliknya apabila alkohol diminum disaat perut terisi maka penyerapan alkohol akan terhambat, di dalam lambung sebagian alkohol mengalami pemecahan oleh enzim alkohol dehidrogenase sehingga dapat mengurangi jumlah alkohol yang diserap ke dalam aliran darah hingga 20%. Perempuan lebih mudah mengalami intoksikasi alkohol karena lambungnya lebih sedikit mengandung enzim alkohol dehidrogenase daripada laki-laki (Almatsier, 2010)
24
Alkohol yang diabsorpsi dibawa melalui pembuluh darah ke dalam hati. Sel-sel hati mengandung enzim alkohol dehidrogenase dan mengoksidasi alkohol dalam jumlah yang cukup. Jumlah alkohol yang dioksidasi oleh hati sekaligus rata-rata sebanyak 15 gram etanol per jam tergantung pada ukuran tubuh, keadaan kesehatan, jarak waktu makan, kebiasaan umum, dan lain-lain. Apabila melebihi dari jumlah itu maka alkohol akan dikeluarkan dari hati dan masuk ke sirkulasi darah untuk dibawa ke bagian-bagian tubuh lain. Seseorang dikatakan mabuk bila di dalam darahnya mengandung lebih dari satu persen alkohol (Almatsier, 2010). Alkohol jika dikonsumsi berlebihan menimbulkan efek seperti merasa lebih bebas berekspresi tanpa ada perasaan yang menghambat, menjadi lebih emosional seperti sedih, senang, dan marah secara berlebihan. Hal ini dapat berakibat pada fungsi fisik motorik yaitu bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, dan biasanya sampai tidak sadarkan diri. Seseorang dapat mengalami hambatan mental seperti gangguan untuk memusatkan perhatian dan daya gangguan daya ingat. Pada kenyataannya mereka yang mengkonsumsi alkohol tidak mampu mengendalikan diri, oleh sebab itu banyak ditemukan kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk (Birck, 2004). 2.2.4
Penggunaan Alkohol di Dalam Tubuh Alkohol mempunyai pengaruh terhadap makhluk hidup terutama karena
peranannya sebagai pelarut lipid. Kemampuan alkohol dalam melarutkan lipid yang terdapat dalam membran sel memungkinkannya dengan cepat masuk ke selsel dan menghancurkan struktur sel tersebut, oleh karena itu alkohol dikategorikan
25
bersifat toksik atau racun (Almatsier, 2010). Sebuah hasil penelitian menemukan bahwa efek menguntungkan dari minum alkohol pada obesitas didapatkan ketika alkohol yang dikonsumsi dalam jumlah menengah secara teratur (Arif & Rohrer, 2005). Berbagai
penelitian
dilakukan
untuk
mengetahui
dampak
dari
mengkonsumsi alkohol terhadap tubuh salah satunya terhadap kejadian obesitas. Sebuah penelitian longitudinal menemukan bahwa frekuensi mengkonsumsi alkohol pada masa remaja sampai dewasa muda sangat kecil pengaruhnya terhadap kenaikan berat badan atau terjadinya obesitas abdominal (Pajari, 2010). Peneliti lainnya menemukan pada mereka yang sering melakukan pesta alkohol atau dikategorikan peminum berat dimana mengkonsumsi alkohol dengan frekuensi empat kali atau lebih per hari memiliki 30% kemungkinan lebih besar untuk terjadi kelebihan berat badan dan 46% lebih besar untuk mengalami obesitas, tetapi pada mereka yang mengkonsumsi alkohol satu atau dua kali per hari memiliki peluang yang lebih rendah mengalami obesitas. Pada mereka yang mengkonsumsi alkohol kurang dari lima kali per minggu memiliki 0,62 kali mengurangi
kemungkinan
obesitas
dibandingkan
dengan
yang
tidak
mengkonsumsi alkohol atau mantan peminum alkohol (Arif & Rohrer, 2005). 2.2.5
Tuak Sebagai Minuman Tradisional Beralkohol Tuak termasuk minuman tradisional yang mengandung alkohol karena
selama proses penyadapan terjadi proses fermentasi. Proses penyadapan tuak kurang memperhatikan kebersihan dan kerapatan penutup lumbung bambu yang digunakan pada saat penampungan sehingga terbentuk senyawa alkohol yang
26
mudah menguap. Jika proses fermentasi dibiarkan secara terus menerus berlangsung sampai beberapa hari akan menjadi asam cuka. Setelah penyadapan, jika tuak dibiarkan dalam batang bambu atau jerigen dalam waktu yang cukup lama akan mengalami proses fermentasi karena adanya kontaminasi oleh mikroorganisme khususnya khamir dan bakteri jenis Sarcchaonyces sp dan Acetobacter
sp.
Nira
yang sudah
mengalami
proses
fermentasi
oleh
mikroorganisme disebut dengan tuak (Lutony dalam Udayana, 2009). Komposisi utama yang terdapat dalam tuak adalah air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral dalam jumlah yang sedikit. Karbohidrat yang terkandung dalam tuak berbentuk sukrosa yang mengakibatkan air nira terasa manis, tetapi kadang-kadang terasa asam. Komposisi yang terkandung dalam tuak tersebut memungkinkan tuak diolah lebih lanjut menjadi berbagai ragam produk baru seperti pemanis, minuman beralkohol, asam cuka, dan juga sebagai media yang baik untuk perkembangbiakan mikroorganisme terutama bakteri dan khamir (Udayana, 2009). Tuak wayah adalah sebutan untuk tuak yang sudah dicampur dengan sabut kelapa ke dalam penampangnya sehingga rasanya sedikit sepat karena sabut kelapa mengandung tanin yang larut di dalam tuak. Selain mengandung alkohol, di dalam tuak terdapat 0,07% tanin dan 0,66% asam asetat (Udayana, 2009). Tuak manis adalah sebutan untuk tuak yang langsung disajikan sebagai minuman setelah disadap tanpa dicampur dengan bahan lain. Zat-zat yang terkandung dalam tuak atau nira siwalan antara lain: gula 10,93 gram per 100 cc, protein 0,35 gram per 100 cc, gula reduksi 0,96 gram per 100 cc, nitrogen 0,056 per 100 cc, mineral
27
0,54 per 100 cc, fosfor 0,14 per 100 cc, besi 0,4 per 100 cc dan vitamin C 13,25 per 100 cc (Sholikhah, 2010). Penelitian lainnya menemukan komposisi nira dari pohon nipah adalah: air 86,30%, glukosa 12,23%, protein 0,21%, lemak 0,02% dan abu 0,43%. Dalam sehari peminum tuak mengkonsumsi gula 163,95 gram dan protein 5,25 gram dari 1,5 liter tuak dengan kalori yang dihasilkan sama dengan 676,8 kkal (Halim, 2008). Hasil uji analisis Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana menemukan kandungan alkohol 6,57% dan protein 0,1312% dalam 100 cc tuak (Udayana, 2009). Glukosa yang masuk secara kontinyu ke dalam sel pada saat mengkonsumsi tuak apabila tidak segera dibutuhkan untuk energi akan disimpan sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak. Glukosa disimpan dalam bentuk glikogen untuk menyuplai kebutuhan energi tubuh selama 12 sampai 24 jam. Saturasi glikogen akan terjadi apabila glikogen yang tersimpan dalam sel hati dan otot jumlahnya sangat banyak. Glukosa tambahan yang dihasilkan akan diubah menjadi lemak di sel hati dan sel lemak serta disimpan sebagai lemak di dalam jaringan adiposa (Aritonang, 2013). Dahulu tuak bukan merupakan minuman yang dapat diperdagangkan tetapi hanya untuk diminum sendiri, tetapi sekarang ini perubahan terjadi dimana tuak sudah mulai diperdagangakan. Setelah melakukan pekerjaan di sawah maupun ladang pria dewasa berkumpul untuk melepaskan lelah sambil berbincang-bincang permasalahan adat, politik, keluarga, pertanian, dan masalah-masalah lainnya. Pada Saat ini dari pihak keluarga menyuguhkan tuak untuk dinikmati bersama.
28
Menikmati tuak bersama disamping untuk menambah keakraban juga diyakini sebagai tempat untuk menanamkan pengetahuan terhadap budaya Bali. 2.2.6
Komposisi Tuak Tuak merupakan minuman tradisional yang dijumpai pada beberapa daerah
di Bali dengan Kabupaten Karangasem adalah sebagai penghasil utama . Bahan baku utama yang biasa dipakai membuat tuak adalah cairan yang diambil dari tanaman seperti nira dari pohon kelapa, aren, dan pohon siwalan atau lontar. Tuak adalah minuman khas yang disadap dari pohon aren kemudian disimpan selama enam sampai tujuh jam sehingga mengalami proses fermentasi dan berubah menjadi minuman yang memiliki kadar alkohol empat sampai enam persen (Sholikah, 2010). Tuak yang dikonsumsi oleh masyarakat di Desa Tegallinggah adalah tuak yang terbuat dari batang aren (Arenga Pinnata) yang di Indonesia hasil sadapannya disebut dengan nira dengan kadar alkohol yang berbeda-beda tergantung daerah pembuatnya. Tuak sebagai minuman tradisional telah menjadi turun-temurun, dimana konsumsi tuak dalam sehari bisa mencapai satu sampai dua liter. Kebiasaan konsumsi tuak sangat sulit dihilangkan dari kebiasaan masyarakat, sampai sekarang tuak masih menjadi kegemaran pada daerah Bali yang dipakai sebagai minuman untuk penghangat tubuh pada waktu pesta-pesta di malam hari. Selain di Bali, daerah lain sebagai penghasil dan pengkonsumsi tuak yang cukup tenar adalah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra Utara (Sitompul, 2012). Komposisi tuak wayah berbeda dengan tuak manis karena berbeda dalam proses pembuatannya. Dalam membuat tuak wayah, ke dalam penampangnya
29
dicampurkan sabut kelapa yang mengandung tanin yang dapat larut dalam tuak sehingga menimbulkan rasa yang sedikit sepat. Selain kandungan tanin yang membedakan tuak wayah dan tuak manis, pada dasarnya kandungan tuak secara umum sama yaitu alkohol 5% per 100 cc, gula 10,93 gram per 100 cc, protein 0,35 gram per 100 cc, gula reduksi 0,96 gram per 100 cc, nitrogen 0,056 per 100 cc, mineral 0,54 per 100 cc, fosfor 0,14 per 100 cc, besi 0,4 per 100 cc dan vitamin C 13,25 per 100 cc (Sholikhah, 2010). Proses pembuatan tuak dilakukan dengan cara tradisional sehingga sulit untuk mengetahui dan mengkontrol kadar alkohol yang ada dalam minuman tersebut,
tetapi
secara
umum
tuak
hasil
fermentasi
nira
aren
yang
diperdangangkan dan dikonsumsi masyarakat rata-rata mengandung alkohol empat sampai enam persen (Sholikah, 2010). Keputusan Menteri Kesehatan No. 151/A/SK/V/81 menyatakan bahwa minuman atau obat tradisional yang tergolong dalam minuman keras mengandung alkohol diatas satu persen, dengan demikian tuak merupakan minuman beralkohol yang tidak jauh berbeda dengan minuman keras lainnya. Konsentrasi alkohol yang terkandung dalam tuak cukup tinggi, karena itu masyarakat yang mengkonsumsi secara terus menerus dapat mengalami gangguan kesehatan. 2.2.7
Makna Tuak Bagi Masyarakat Bali Tuak adalah minuman yang cukup memiliki arti penting untuk masyarakat
di kawasan Karangasem. Minuman tuak dikonsumsi pada waktu santai, pesta, kelahiran anak, perkawinan, kematian, musyawarah, dan juga sebagai obat. Masyarakat yang baru pulang bekerja biasanya akan berkumpul dengan teman-
30
temannya di salah satu rumah secara bergiliran untuk bersantai dan berbincangbincang sambil minum tuak. Dalam sebuah pesta-pesta adat dan keagamaan hampir selalu disediakan tuak, menurut mereka seandainya mereka minum tuak semakin lancar dalam berbicara dan dapat mengungkapkan apapun yang ada dalam perasaannya. Tuak mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat Bali khususnya daerah Karangasem karena dapat digunakan sebagai sarana keakraban, sebagai pengungkapan rasa terimakasih, dan minuman persahabatan. 2.2.8
Kebiasaan Konsumsi Tuak Sampai saat ini belum ada ketentuan atau standar yang menegaskan tentang
tingkat keamanan peminum alkohol, namun menurut Woteki dan Thomas dalam Aritonang 2013 mengelompokkan peminm alkohol secara sederhana dalam tiga kelompok: 1. Pertama peminum ringan (linght drinker), adalah mereka yang mengkonsumsi antara 0,28 sampai dengan 5,9 gram atau setara dengan minum satu botol bir 2. Kedua peminum menengah (moderate drinker), kelompok ini mengkonsumsi antara 6,2 sampai dengan 27,7 gram alkohol atau setara dengan satu sampai dengan empat botol bir 3. Ketiga peminum berat (heavy drinker), kelompok ini mengkonsumsi lebih dari 28 gram alkohol atau lebih dari empat botol bir perhari. Berdasarkan observasi pada penduduk di Desa Tegallinggah, laki-laki yang mengkonsumsi tuak bisa menghabiskan satu sampai empat botol bir dalam sekali minum. Acara minum tuak ini dilakukan di rumah warga secara bergiliran
31
minimal lima hari sekali disertai dengan acara bermain kartu, bermain catur, dan bermain musik. Riskesdas 2007 menggolongkan penduduk yang mengkonsumsi alkohol minimal tiga kali dalam sebulan termasuk kedalam frekuensi tinggi dan mengkonsumsi alkohol kurang dari tiga kali sebulan termasuk kedalam frekuensi rendah. Penduduk yang mengkonsumsi alkohol dalam 12 bulan terakhir dan masih tetap mengkonsumsi dalam satu bulan terakhir digolongkan dalam durasi konsumsi alkohol yang lama, sedangkan yang mengkonsumsi alkohol kurang dari 12 bulan terakhir dan masih tetap mengkonsumsi dalam satu bulan terakhir digolongkan dalam durasi konsumsi alkohol yang baru. 2.2.9
Kaitan Kebiasaan Konsumsi Tuak dengan Status Gizi Alkohol bukan merupakan zat gizi, tetapi bila diminum menghasilkan
energi, satu gram alkohol dapat menghasilkan tujuh kilokalori. Alkohol yang terdapat dalam bir, anggur, dan minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol. H
H
C
H
H-C-H OH Gambar 2.1 Etanol Sumber: Almatsier Sunita, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, 2010
32
Alkohol secara alami dibentuk melalui proses fermentasi karbohidrat oleh mikroorganisme dalam keadaan anaerobik. Tiap negara mempunyai minuman beralkohol yang khas, tetapi secara umum minuman beralkohol yang diperdagangkan biasanya dibuat dari permentasi buah anggur, apel, dan serelia. Indonesia banyak memproduksi minuman beralkohol tradisional seperti tuak yang dibuat dari pohon nira dan brem yang terbuat dari beras. Pengaruh alkohol terhadap tubuh sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lalu, apabila dikonsumsi dalam jumlah terkendali dapat menimbulkan pengaruh baik terhadap seseorang seperti mengurangi ketegangan dan menimbulkan rasa percaya diri. Permasalahan akan timbul apabila alkohol yang dikonsumsi tidak terkendali, tetapi sangat sukar menentukan batasannya karena setiap orang berbeda-beda dalam tingkat toleransinya terhadap alkohol. Tingkat toleransi terhadap alkohol dipengaruhi oleh keturunan, keadaan kesehatan, gender, berat badan, dan umur (Almtsier, 2010). Pengaruh mengkonsumsi minuman beralkohol termasuk minuman tradisional beralkohol seperti tuak terhadap status gizi seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kuantitas, frekuensi dan lama waktu mengkonsumsi minuman beralkohol tersebut. Frekuensi, kuantitas dan lama waktu mengkonsumsi tuak sangat mempengaruhi metabolisme dan toksisitas alkohol terhadap tubuh manusia yang akan berpengaruh terhadap status gizi dari seorang peminum (Breslow dalam Aritonang, 2013). Status gizi seseorang yang mengkonsumsi alkohol dapat diketahui berdasarkan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Para ahli berpendapat mengenai akibat yang ditimbulkan etanol diantaranya bahwa etanol
33
menekan system saraf pusat secara tidak teratur tergantung dari jumlah yang dicerna, dikatakan pula bahwa etanol secara akut dapat menimbulkan oedema pada otak serta oedema pada saluran pencernaan (Hernawati dalam Mandagi, 2011). Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan dapat mengganggu pencernaan makanan dalam tubuh sehingga zat-zat yang seharusnya diserap tubuh tidak sesuai dengan yang dikonsumsi. Pemabuk berat biasanya kurang memperhatikan lagi asupan gizinya yang disebabkan oleh jadwal makan yang tidak normal dan nafsu makan yang berkurang. Pecandu tuak yang mengkonsumsi tuak dengan frekuensi dan kuantitas tinggi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan permasalahan status gizi, mengalami penyakit-penyakit kronis yang dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh, dan penurunan fungsi organ. Kandungan
glukosa
dalam
bentuk
sukrosa
dalam
tuak
dapat
mengakibatkan asupan sumber energi yang meningkat pada pria pengkonsumsi tuak. Apabila energi ini tidak dimanfaatkan oleh tubuh akan terjadi keseimbangan energi positif dimana kelebihan energi ini disimpan dalam bentuk lemak pada jaringan adiposa. Jika proses ini berlangsung terus-menerus maka seorang yang mengkonsumsi tuak mempunyai risiko mengalami obesitas. Pengkonsumsi alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan lain seperti radang usus, penyakit hati, kerusakan ginjal dan kerusakan pada otak. Alkohol sering dikonsumsi dengan dikombinasikan bersama obat-obatan berbahaya lainnya seperti obat tidur, obat penenang dan obat penambah stamina sehingga efeknya menjadi lebih berbahaya (Rama & Raka, 2010)
34
2.3
Penilaian Status Gizi Status gizi adalah suatu keadaan seseorang yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara gizi-gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaan zatzat tersebut oleh tubuh untuk pertumbuhan produksi energi dan proses dalam tubuh. Status gizi yang optimal dapat dicapai apabila kebutuhan zat gizi seseorang terpenuhi dengan optimal. Status gizi dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu gizi kurang, gizi baik atau normal dan gizi lebih. Kekurangan pada salah satu zat gizi dapat mengakibatkan penyakit defisiensi. Kekurangan dalam batas marginal dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau menurunkan kemampuan fungsional, misalnya kekurangan vitamin B1 dapat menyebabkan badan cepat merasa lelah (Supariasa, 2012). Menurut data Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013, kebutuhan energi ratarata orang dewasa berdasarkan food recall 24 hour adalah 2150 kilo kalori per hari. Klasifikasi kecukupan energi dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu dikategorikan kurang apabila <80% AKG, dikategorikan baik apabila 80-110% AKG, dan dikategorikan lebih jika >110% AKG. Peranan dan kedudukan penilaian status gizi adalah untuk mengetahui status gizi seseorang seperti mendeteksi ada tidaknya malnutrisi pada individu dan masyarakat. Kesakitan dan kematian terkait dengan status gizi sering terjadi di masyarakat, dengan melakukan pemeriksaan gizi pada individu atau masyarakat kita dapat mendeteksi secara dini kelainan tersebut.
35
2.4
Pengukuran Nilai Antropometri Indeks antropometri pada dasarnya merupakan rasio dari suatu pengukuran
terhadap satu atau lebih pengukuran lainnya atau yang di hubungkan dengan umur. Antropometri merupakan indikator yang sudah lama dan paling sering digunakan dalam penentuan status gizi. Indeks antropometri yang biasa digunakan untuk mendeteksi obesitas sentral antara lain IMT dan lingkar perut atau IMT dan rasio lingkar pinggang-panggul (RLPP). Dalam penelitian ini dipergunakan IMT dan lingkar perut karena penelitian ini dilakukan pada pria dewasa 18-65 tahun. Lingkar perut merupakan indikator yang paling tepat dalam mendeteksi obesitas sentral/abdominal yang erat kaitannya dengan permasalahan kardiovaskuler dan diabtes mellitus. Di Indonesia batasan berat badan normal pada orang dewasa ditentukan dengan menggunakan perhitungan IMT. Indikator ini merupakan alat yang paling sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Seseorang yang mampu mempertahankan berat badan dalam batas normal memungkinkan untuk dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. Indeks massa tubuh hanya digunakan untuk orang dewasa diatas 18 tahun. Indikator ini tidak dapat digunakan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Batasan ambang nilai IMT merujuk pada ketentuan WHO yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal IMT pada laki-laki adalah 20,1-25,0 kg/m2 dan pada perempuan adalah 18,7-23,8 kg/m2. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defisiensi energi atau
36
kegemukan, lebih lanjut WHO menyarankan menggunakan satu ambang batas antara laki-laki dan perempuan. Pengukuran antropometri digunakan untuk menilai apakah komponen tubuh seseorang sesuai dengan standar normal atau ideal. Antropometri yang digunakan adalah rasio antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m) kuadrat, yang disebut Indeks Massa Tubuh (IMT), persamaan dari perhitungan antropometri tersebut dapat dilihat pada rumus (1). BB (kg) IMT = -------------TB x TB (m)
…………………………………………..…………….. (1)
Ketentuan yang digunakan menentukan seseorang obesitas atau tidak merujuk pada ketentuan dari WHO, ketentuan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1. Table 2.1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia. Status gizi
Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat
<17,0
Kekurangan berat badan tingkat sedang
17,0-18,5
Kurus
>18,5-25,0
Normal Obesitas ringan
>25,0-27,0
Obesitas berat
>27,0
Obesitas
Sumber: Supariasa, 2010 Penelitian ini menggunakan antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam menentukan obesitas pada orang dewasa dan menggunakan lingkar perut untuk menentukan obesitas sentral/abdomen dengan ketentuan terjadi obesitas pada pria dewasa jika lingkar perutnya lebih dari 90 cm. Dewasa ini kesejahteraan
37
masyarakat sudah semakin meningkat, seiring dengan itu jumlah kasus obesitas cenderung meningkat. Banyak faktor sebagai pemicu terjadinya obesitas seperti peningkatan pendapatan masyarakat, perubahan pola makan menjadi tinggi kalori dan lemak serta rendah serat, dan perubahan pola aktifitas fisik masyarakat yang menjadi semakin berkurang. Obesitas sendiri merupakan faktor risiko terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, penyakit jantung dan kardiovaskular (Mukhibbin, 2012). 2.4.1
Keunggulan Penggunaan Antropometri Pengukuran antropometri sekarang ini sudah lazim digunakan di seluruh
dunia karena memiliki beberapa kelebihan dalam penerapannya. Kelebihan penggunaan pengukuran antropometri antara lain karena alat pengukuran mudah didapatkan dan digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif, pengukuran tidak selalu harus oleh tenaga khusus profesional, biaya relatif murah, hasilnya mudah disimpulkan, memiliki ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti secara ilmiah diakui kebenarannya, hasil pengukurannya dapat mengidentifikasi status gizi dengan baik karena sudah ada ambang batas yang jelas, dapat mengevaluasi perubahan status gizi yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya dan dapat digunakan untuk penafsiran kelompok yang rawan terhadap permasalahan gizi. 2.4.2
Kelemahan Penggunaan Antropometri Penggunaan antropometri juga memiliki kekurangan dan kelemahan dalam
penerapannya selain keuntungan-keuntungan yang sudah disampaikan diatas.
38
Kelemahan penggunaan antropometri antara lain kurang sensitif, tidak mampu mendeteksi status gizi dalam waktu singkat, tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu, faktor di luar gizi (penyakit dan genetik) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri dan memungkinkan terjadi kesalahan pada proses pengukuran. Kesalahan dapat disebabkan karena proses pengukuran, perubahan hasil pengukuran (fisik dan komposisi jaringan), analisis serta asumsi yang keliru, petugas yang tidak cukup dan kurang mahir dalam menggunakan alat pengukuran, kesalahan alat ukur yang tidak dilakukan kalibrasi secara rutin dan kesulitan pengukuran yang disebabkan oleh faktor responden yang diukur seperti misalnya kesulitan berdiri tegak oleh karena kelainan bangun tubuh. Kekurangan-kekurangan yang disampaikan tersebut dapat mempengaruhi hasil dari pengukuran antopometri sehingga hasil yang didapatkan bisa saja tidak mencerminkan keadaan bangun tubuh yang sebenarnya dari resoponden yang diukur. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran. Untuk memperoleh hasil pengukuran dengan presisi dan akurasi yang baik maka dalam melakukan pengukuran antopometri hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran harus dapat diminimalkan sebelum pengukuran dilaksanakan.