BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Peranan Menurut Soerjono (2002:22) definisi peranan adalah sebagai berikut: “Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.”
Dari definisi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa peranan audit internal dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG) dapat berguna untuk kelangsungan dan memberikan kemajuan organisasi itu sendiri dengan menjalankan penerapan GCG yang baik. Konsep mengenai peranan menurut Komaruddin (1994:768) sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Bagian utama yang harus dilakukan oleh seseorang dalam manajemen. Pola penilaian yang diharapkan dalam menyertai suatu status. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok. Fungsi seseorang dalam kelompok. Fungsi yang diharapkan seseorang atau menjadi karakteristik yang ada padanya. 6. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan dapat memberikan petunjuk bahwa peranan audit internal dalam penerapan Good Corporate Governance dapat berguna untuk kelangsungan dan memberikan kemajuan organisasi itu sendiri dengan menjalankan penerapan GCG yang baik.
11
12
2.2
Audit Internal
2.2.1 Pengertian Audit Menurut Arens et al (2008) mengemukakan pengertian audit adalah sebagai berikut: “Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by competent and independent person”.
Pernyataan tersebut dapat diuraikan bahwa audit adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Audit merupakan suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti atau informasi. 2. Adanya bukti audit (evidence) yang merupakan informasi atau keterangan yang digunakan oleh auditor untuk menilai tingkat kesesuaian suatu informasi. 3. Adanya tingkat kesesuaian informasi dengan kriteria tertentu. 4. Audit harus dilakukan oleh seorang auditor yang memiliki kemampuan dalam memahami kriteria yang digunakan. Seseorang auditor harus kompeten dan independen terhadap fungsi atau satuan usaha yang diperiksanya. 5. Adanya pelaporan dan mengkomunikasikan hasil audit kepada pihak yang berkepentingan.
2.2.2 Pengertian Audit Internal Lawrence B. Sawyer mengutip pernyataan dari Institute of Internal Auditors mengenai pengertian audit internal, yaitu:
13
“Internal Auditing is an independent appraisal functions established within an organization to examine and evaluate its activities as a service to the organization.” (Sawyer, 1995:3)
Menurut pernyataan di atas audit internal adalah suatu fungsi penilaian independen yang dibentuk dalam suatu organisasi untuk memeriksa dan mengevaluasi aktivitas organisasi sebagai bentuk jasa yang diberikan kepada organisasi. Pengertian audit internal yang dikemukakan oleh Hiro Tugiman (2002:11): “Audit Internal atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan.”
Pengertian audit internal menurut Committee Of Sponsoring Organization (COSO) adalah: “Internal audit is process affected by an entity’s board of directors, management and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objective in: 1) effectiveness and efficiency operations; 2) reliability of financial reporting; and 3) the compliance with applicable laws and regulations.” (Arens et al, 2008:65)
COSO mendefinisikan audit internal sebagai suatu proses yang dijalankan dewan direksi, manajemen, dan personil lainnya dari suatu organisasi didesain untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian: 1) efektivitas dan efisiensi operasi; 2) keandalan laporan keuangan; dan 3) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
14
Berikut ini merupakan pengertian audit internal yang dikemukakan oleh The Auditing Practices Board, yaitu: “Internal audit is an independent appraisal function established by management for the review of the internal control system as a service to the organization. It objectively examines, evaluates on the adequacy of internal control as contribution to the proper, economic, efficient and effective use of resources.” (Arens et al, 2008;73)
Menurut pernyataan Auditing Practice Board (APB), audit internal merupakan suatu fungsi penilaian independen yang dibentuk oleh manajemen untuk meninjau sistem pengendalian internal sebagai bentuk jasa yang diberikan kepada organisasi. Pemeriksaan yang diberikan adalah pemeriksaan secara objektif, mengevaluasi dan melaporkan kecukupan pengendalian internal sebagai suatu kontribusi bagi penggunaan sumber-sumber daya yang tepat, ekonomis, efektif dan efisien. Menurut pernyataan IIA Board of Director pada bulan Juni 1999 yaitu: “Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization accomplish its objective by bringing a systematic, disiplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control and governance process”.
Menurut pernyataan IIA Board of Director audit internal adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan objektif, yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Audit internal membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses governance.
15
Perbandingan konsep kunci definisi audit internal lama dan audit internal baru yang dikutip dari Hiro Tugiman (2004) dapat dilihat dalam Tabel 2.1 yaitu: Tabel 2.1 Perbandingan Konsep Kunci Pengertian Audit Internal Audit Internal Lama (1947) 1. Fungsi penilaian independen yang
Audit Internal Baru (1999) 1)
dibentuk dalam suatu organisasi. 2. Fungsi Penilaian.
Suatu aktivitas yang independen dan objektif.
2)
Aktivitas
pemberian
jaminan
keyakinan dan konsultasi. 3. Mengkaji dan mengevaluasi aktivitas
3)
Dirancang untuk memberikan suatu
organisasi sebagai bentuk jasa yang
nilai tambah serta meningkatkan
diberikan bagi organisasi.
kegiatan operasi organisasi.
4. Membantu organisasi
agar
para
dapat
anggota
4)
menjalankan
Membantu organisasi dalam usaha mencapai tujuannya.
tanggung jawabnya secara efektif. 5. Memberikan hasil analisis, penilaian,
5)
Memberikan
suatu
yang
pendekatan
rekomendasi, konseling dan reformasi
disiplin
sistematis
yang berkaitan dengan aktivitas yang
mengevaluasi
dikaji dan menciptakan pengendalian
efektivitas
efektif dengan biaya yang wajar.
pengendalian proses pengaturan dan
dan
untuk
meningkatkan
manajemen
risiko,
pengelolaan organisasi. Sumber: Hiro Tugiman (2004)
2.2.3 Tujuan Audit Internal Tujuan audit internal dilihat dalam IIA 1995 yang dikutip dari Hiro Tugiman (2006:14) yang dikemukakan sebagai berikut: “The objective of internal auditing is to assist members of organization in the effective discharge of the responsibilities, to the end, internal auditing furnishes them with analysis, appraisals, recommendations counsels, and information concerning the activities reviewed. The audit objective includes promoting effective control at reasonable cost”.
16
Tujuan audit internal yang dialihkan oleh Hiro Tugiman (2006:15) adalah sebagai berikut: “Tujuan pelaksanaan audit internal adalah membantu para anggota organisasi agar mereka dapat melaksanakan tanggungjawabnya secara efektif. Tujuan pelaksanaan mencakup pula usaha mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang wajar.”
Adanya tujuan dari audit internal di dalam organisasi adalah untuk membantu organisasi dapat menjalankan tanggungjawabnya dengan baik, sehingga para anggota organisasi dapat saling bekerjasama untuk pencapaian suatu tujuan perusahaan dan audit internal dapat menambah nilai dan menyesuaikan pengendalian intern dapat berjalan efektif dengan biaya yang wajar.
2.2.4 Ruang Lingkup Audit Internal Ruang lingkup audit internal menurut IIA (Sawyer, 1995:29) adalah sebagai berikut: ”The scope of internal auditing should encompass the examinations and evaluation of the adequacy and effectiveness of the organization’s system of internal control and the quality of performance in carrying out assigned responbilities.”
Menurut pernyataan di atas ruang lingkup audit internal mencakup suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan kecukupan dan keefektifan manajemen risiko, pengendalian, pengelolaan organisasi serta kualitas dari kinerja organisasi dalam menjalankan tanggung jawabnya.
17
Menurut Arens et al (2008:123) audit internal terdiri dari lima kategori yang dirancang dan diimplementasikan oleh manajemen untuk memberikan jaminan bahwa pengendalian manajemen akan tercapai secara efektif yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Lingkungan pengendalian Penilaian risiko Aktivitas pengendalian Informasi dan komunikasi Pemantauan
2.2.5 Tanggung Jawab Auditor Internal Menurut Hiro Tugiman yang dikemukakan oleh IAI mengenai tanggung jawab dari auditor internal adalah sebagai berikut: “Tanggung jawab fungsi audit internal adalah memantau kinerja pengendalian entitas pada waktu auditor berusaha memahami pengendalian intern, ia juga harus berusaha memahami fungsi audit internal yang cukup banyak untuk mengidentifikasi aktivitas audit internal yang relevan dengan perencanaan audit. Lingkup prosedur yang diperlukan untuk memahaminya bervariasi tergantung sifat pada aktivitas audit internal.”
Menurut Standar Profesi Audit Internal (SPAI) tahun 2004 Standar Atribut 1000 mengenai Tujuan, Kewenangan, dan Tanggungjawab adalah sebagai berikut: “Tujuan, kewenangan, dan tanggungjawab fungsi audit internal harus dinyatakkan secara formal dalam Charter Audit Internal, konsisten dengan Standar Profesi Audit Internal (SPAI), dan mendapat persetujuan dari pimpinan dan dewan pengawas organisasi.”
2.2.6 Independensi Auditor Internal Menurut Arens et.al (2008:10) yaitu sebagai berikut: “Independence in fact exsist when the auditors is actually able to maintain an unbiased attitude throughout the audit, where as independence in appearance is the result of others interpretations of this independence”.
18
Independensi memungkinkan audit internal untuk melakukan pekerjaan audit secara bebas dan objektif, juga memungkinkan audit internal membuat pertimbangan penting secara netral dan tidak menyimpang. Auditor internal harus independen dan objektif dalam melaksanakan kegiatannya, hal ini berarti auditor harus memberikan penilaian yang tidak memihak kepada siapapun. Audit internal harus independen terhadap segala aktifitas yang akan di auditnya. Independensi dicapai melalui status organisasi dan objektivitas. a. Status Organisasi Status organisasi dari unit audit internal (bagian pemeriksaan internal) harus memberi keleluasaan untuk memenuhi dan menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaan yang diberikan kepadanya. b. Objektivitas Para pemeriksa internal (internal auditor) harus melaksanakan tugasnya secara objektif.”
2.2.7 Kompetensi Auditor Internal Menurut Konsorsium Organisasi Profesi Audit Internal (2004:13) menyatakan bahwa penugasan harus dilaksanakan dengan memperhatikan keahlian dan kecermatan profesional yaitu: a. Keahlian Auditor internal harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab. Fungsi audit internal secara kolektif harus memiliki atau memperoleh
19
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi untuk melaksanakan tanggung jawabnya. b. Kecermatan Profesional Auditor harus menerapkan kecermatan dan keterampilan yang layaknya dilakukan oleh seorang auditor internal yang bijaksana dan kompeten, dengan mempertimbangkan ruang lingkup penugasan; kecukupan dan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses governance; biaya dan manfaat penggunaan sumber daya dalam penugasan. c. Pengembangan Profesional yang Berkelanjutan Auditor internal harus meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensinya melalui pengembangan profesional yang berkelanjutan.
Menurut Hiro Tugiman (2003) yaitu: “Pemeriksaan internal audit dilaksanakan secara ahli dengan ketelitian profesional. Kemampuan profesional merupakan tanggung jawab bagian audit internal dan setiap audit internal. Pemimpin audit internal dalam setiap pemeriksaan haruslah menugaskan orang-orang yang secara bersama atau keseluruhan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan berbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan secara tepat dan pantas.”
2.2.8 Program Audit Menurut Konsorsium Organisasi Audit Internal (2004:15) mendefinisikan program audit yaitu sebagai berikut: “Dalam merencanakan penugasan auditor internal harus mempertimbangkan sasaran penugasan, sumber daya penugasan, serta program kerja penugasan. Program kerja harus menetapkan prosedur untuk
20
mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mendokumentasikan informasi selama penugasan. Program kerja harus memperoleh persetujuan sebelum dilaksanakan. Perubahan atau penyesuaian atas program kerja harus segera mendapat persetujuan.”
Program audit adalah perencanaan prosedur dan tekhnik-tekhnik pemeriksaan yang tertulis secara sistematis untuk mencapai tujuan pemeriksaan secara efektif dan efisien. Selain berfungsi sebagai alat perencanaan juga penting untuk mengatur pembagian kerja, memonitor jalannya kegiatan pemeriksaan, menelaah pekerjaan yang telah dilakukan. Tujuan audit yang ingin dicapai dengan adanya program audit antara lain: 1. Memberikan bimbingan proseduril untuk melaksanakan pemeriksaan 2. Memberikan checklist pada saat pemeriksaan berlangsung, tahap demi tahap sehingga tidak ada yang terlewatkan. 3. Merevisi program audit sebelumnya, jika ada perubahan standar dan prosedur yang digunakan oleh perusahaan.
Kelebihan program audit adalah sebagai berikut: 1. Meratanya program kerja antara auditor 2. Program audit yang rutin hasilnya lebih baik dan menghemat waktu 3. Program audit memilih tujuan yang penting 4. Program audit yang telah digunakan dapat kembali menjadi pedoman untuk tahun berikutnya 5. Program audit menampung pandangan manajer atas mitra kerjanya
21
6. Program audit memberikan kepastian bahwa ketentuan umum akuntansi telah dijalankan. 7. Penanggung jawab pelaksanaan audit jelas.
Kelemahan program audit yaitu sebagai berikut: 1. Tanggung jawab audit pelaksana terbatas pada program kerja audit saja. 2. Sering menimbulkan hambatan untuk berfikir kreatif dan membangun. 3. Kegiatan audit menjadi monoton.
Tujuan audit yang baik yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan audit yang dinyatakan dengan jelas dan harus tercapai atas pekerjaan yang direncanakan. 2. Disusun sesuai dengan penugasan yang bersangkutan. 3. Langkah kerja yang terperinci atas pekerjaan yang harus dilaksanakan dan bersifat fleksibel, tetapi setiap perusahaan yang ada harus diketahui oleh atasan auditor.
2.2.9 Pelaksanaan Audit Internal Langkah kerja pelaksanaan audit internal menurut Hiro Tugiman (2006) yaitu sebagai berikut: 1. Perencanaan pemeriksaan, meliputi: a. Penetapan tujuan pemeriksaan dan lingkup pekerjaan.
22
b. Memperoleh informasi dasar mengenai kegiatan yang akan diperiksa c. Penentuan berbagai tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan d. Pemberitahuan kepada para pihak yang dipandang perlu e. Melaksanakan survei secara tepat untuk lebih mengenali kegiatan yang
diperlukan,
risiko-risiko,
dan
pengawasan
untuk
mengidentifikasi area yang ditekankan dalam pemeriksaan, serta untuk memperoleh berbagai ulasan dan sasaran dari pihak yang akan diperiksa 2. Pengujian dan pengevaluasian informasi, pemeriksaan internal harus mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan membuktikan kebenaran informasi untuk mendukung hasil pemeriksaan. Proses pengujian dan pengevaluasian informasi adalah sebagai berikut: a. Berbagai informasi mengenai seluruh hal yang berhubungan dengan tujuan pemeriksa dan lingkup kerja harus dikumpulkan b. Informasi harus mencukup, kompeten, relevan, dan berguna untuk membuat dasar temuan pemeriksaan dan rekomendasi c. Prosedur pemeriksaan, termasuk tekhnik pengujian dan penarikan contoh yang dipergunakan, harus terlebih dahulu diseleksi bila memungkinkan menghendaki.
dan
diperluas
atau
dirubah
bila
keadaan
23
d. Proses
pengumpulan
analisis,
penafsiran,dan
pembuktian
kebenaran informasi harus diawasi untuk memberikan kepastian bahwa sikap objektif pemeriksa terus dijaga dan sasaran pemeriksaan dapat dicapai. 3. Penyampaian
hasil
pemeriksaan,
pemeriksaan
internal
harus
melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Pemeriksaan internal harus menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya. 4. Pemeriksaan
internal
harus
menyampaikan
laporan
hasil
pemeriksaannya. Pemeriksaan internal dalam tindak lanjut (follow up) harus meninjau untuk memastikan apakah telah dilakukan tindakan yang tepat.
2.2.10 Laporan Hasil Audit Laporan Hasil Audit menurut Hiro Tugiman (2006) bahwa hasil penugasan akan dianggap baik apabila memenuhi empat kriteria yaitu: 1. 2. 3. 4.
Objektivitas (Objectivity). Kewibawaan (Authority). Keseimbangan (Balance). Penulisan yang profesional (Professional Writing).
Dari uraian diatas diartikan bahwa laporan hasil audit internal dibuat setelah selesai melakukan audit, laporan ditujukan manajemen. Pada dasarnya audit internal dirancang untuk memperkuat pengendalian intern, menentukan ditaatinya prosedur atau kebijakan yang telah digariskan oleh manajemen dan meyakinkan bahwa pengendalian intern yang telah diterapkan cukup baik,
24
ekonomis dan efektif. Hasil pemeriksaan haruslah dikomunikasikan secara tepat waktu baik untuk pihak di dalam maupun pihak di luar organisasi. Hasil laporan pemeriksaan harus mencakup sasaran, lingkup penugasan, simpulan, rekomendasi dan rencana tindakannya. Keempat kriteria mendasar menurut Hiro Tugiman (2006) dapat diartikan: 1. Objektivitas Suatu laporan hasil pemeriksaan yang objektif membicarakan pokok persoalan dalam pemeriksaan, bukan perincian prosedural atau hal-hal lain yang diperlukan dalam proses pemeriksaan. Objektivitas juga harus dapat memberikan uraian mengenai dunia auditee dengan tidak menunjuk pada pribadi tertentu dan tidak menyinggung perasaan orang lain. 2. Kewibawaan Laporan pemeriksaan harus dapat dipercaya dan mendorong para pembacanya menyetujui substansi yang terdapat di dalam laporan. Para pembaca belum tentu akan menerima temuan, kesimpulan dan rekomendasi
pengawasan
internal
namun
mereka
cenderung
menolaknya. Mereka percaya kepada pengawasan internal dan percaya kepada
laporan
pemeriksaan.
Kewibawaan
merupakan
pemeriksaan dan penulisan laporan pemeriksaan yang efektif.
inti
25
3. Keseimbangan Laporan
pemeriksaan
yang
seimbang
adalah
laporan
yang
memberitahukan mengenai organisasi atau aktivitas yang ditinjau secara wajar dan realistis. Keseimbangan adalah keadilan. 4. Penulisan yang profesional Laporan yang ditulis secara profesional memperhatikan beberapa unsur yaitu struktur, kejelasan, keringkasan, nada laporan, dan pengeditan.
Oleh karena itu auditor internal harus melaporkan hasil pemeriksaan kepada manajemen dan dapat mengkomunikasikan hasil pemeriksaan, apabila terdapat penyimpangan-penyimpangan yang berarti, auditor internal mengusulkan cara-cara perbaikannya, apabila disetujui oleh manajemen, auditor internal akan mengawasi perbaikan tersebut.
2.3
Good Corporate Governance
2.3.1 Pengertian Good Corporate Governance Kata governance berasal dari bahasa Prancis “gubernance” yang artinya adalah pengendalian. Pengertian governance menurut Azhar Kasim yang dikutip oleh Imam S. Tunggal dan Amin W. Tunggal (2002) yaitu sebagai berikut: “Governance adalah proses pengelolaan bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik) dalam suatu negara serta penggunaan sumber daya (alam, keuangan, manusia) dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.”
26
Definisi
menurut
Cadbury
mengatakan
bahwa
Good
Corporate
Governance adalah mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar tercapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan. Sedangkan menurut Center for European Policy Study (CEPS) menformulasikan Good Corporate Governance adalah seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak, proses dan pengendalian baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Menurut Noensi seorang pakar Good Corporate Governance dari Indo Consult mendefinisikan bahwa GCG adalah sistem yang menjalankan dan mengembangkan perusahaan yang bersih, patuh pada hukum yang berlaku dan peduli terhadap lingkungan yang dilandasi nilai-nilai sosial budaya yang tinggi. Menurut Komisi Nasional GCG mendefinisikan bahwa GCG merupakan pola hubungan, sistem serta proses yang digunakan organ perusahaan (direksi, komisaris) guna memberi nilai tambah kepada pemegang saham secara bersinambung dalam jangka panjang, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi dari Corporate Governance adalah sistem yang mengatur, mengelola dan mengawasi proses pengendalian usaha untuk menaikkan nilai saham, sekaligus sebagai bentuk perhatian kepada stakeholder, karyawan, kreditor dan masyarakat. Good Corporate Governance berusaha menjaga keseimbangan di antara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat.
27
2.3.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Menurut Zarkasyi (2008:38) setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG ditetapkan pada setiap aspek bisnis dan semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Tanggungjawab, Kemandirian dan Kewajaran diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 januari 2006 yaitu: 1. Transparansi (Transparancy) Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2. Akuntabilitas (Accountability) Kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 3. Responsibilitas (Responsibility) Kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Kemandirian (Independency) Suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen
28
yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5. Kewajaran (Fairness) Suatu keadaan dimana perilaku adil dan setara di dalam memenuhi hak hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian-perjanjian serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.3.3 Manfaat Penerapan Good Corporate Governance Manfaat dari penerapan GCG menurut Daniri (2005); Effendi (2009) adalah sebagai berikut: 1. Meminimalkan Agency Cost Para pemegang saham harus menanggung biaya yang timbul dari adanya pendelegasian wewenang kepada manajemen. Biaya ini dapat berupa kerugian karena manajemen menggunakan sumber daya manusia untuk kepentingan pribadi maupun biaya pengawasan yang harus dikeluarkan perusahaan. Dengan penyusunan struktur dan pembagian fungsi yang baik biaya ini dapat ditekan seminimal mungkin. 2. Meminimalkan Cost of Capital Perusahaan yang dikelola dengan baik dan sehat akan menciptakan suatu referensi positif bagi pihak kreditur. Kondisi ini sangat berperan dalam meminimalkan biaya modal yang harus ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman.
29
3. Meningkatkan Nilai Pemegang Saham Sebuah perusahaan yang dikelola dengan baik akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya. Penelitian yang dilakukan oleh Rusell Reynold Associates (2007) mengemukakan bahwa kualitas Dewan Komisaris adalah salah satu faktor utama yang dinilai oleh investor sebelum mereka memutuskan untuk membeli saham sebuah perusahaan. 4. Mengangkat Citra Perusahaan Citra yang melekat pada suatu perusahaan adalah hal yang paling penting. Dalam beberapa kasus, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memperbaiki citra jauh lebih mahal dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dengan mengabaikannya. Manfaat dari penerapan GCG menurut Iman S. Tunggal dan Amin W. Tunggal (2002) adalah sebagai berikut: a. Perbaikan dalam komunikasi, b. Minimalisasi potensial benturan, c. Fokus pada strategi-strategi utama, d. Peningkatan dalam produktivitas dan efisiensi, e. Kesinambungan manfaat (suistanability of benefits), f. Promosi citra korporat (corporat image), g. Peningkatan kepuasan pelanggan, h. Perolehan kepercayaan investor, i. Dapat mengukur target kinerja manajemen perusahaan.
30
2.3.4 Unsur-unsur Good Corporate Governance Menurut
Zarkasyi
(2008:93)
unsur-unsur
dari
Good
Corporate
Governance (GCG) yaitu sebagai berikut: 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) RUPS yaitu merupakan sarana bagi para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan keputusan dan kebijakan yang akan diambil perusahaan ke depannya, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar atau perundang-undangan. 2. Dewan Komisaris Dewan
Komisaris
sebagai
organ
perusahaan
bertugas
dan
bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan masukan kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan GCG. 3. Komite Penunjang Dewan Komisaris Pembentukan komite-komite bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dari kegiatan GCG di perusahaan. Komite tersebut adalah sebagai berikut: a. Komite audit Adapun tugas dari komite audit yaitu membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian intern perusahaan yang baik, pelaksanaan audit
31
internal yang dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku. b. Komite Nasional Komite Nasional bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menetapkan keriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta membantu Dewan Komisaris mempersiapkan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi. c. Komite Kebijakan Rasio Komite Kebijakan Rasio bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan. d. Komite Kebijakan Corporate Governance Komite
Kebijakan
Corporate
Governance
yaitu
bertugas
membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya. 4. Direksi Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif dalam mengelola perusahaan sesuai dengan tujuan perusahaan kedepannya.
32
2.4
Banchmark untuk Sektor Perbankan
2.4.1 Basel II Permodalan merupakan salah satu fokus utama dari seluruh otoritas pengawas bank dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk memperkuat sistem perbankan dan sebagai penyangga terhadap potensi kerugian adalah peraturan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Mengingat pentingnya peran modal bank, Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang menjadi standar secara internasional. Konsep awal kerangka permodalan bank dikeluarkan pada tahun 1988 yang kemudian disempurnakan pada tahun 2006, dengan
mengeluarkan
dokumen
International
Convergence
on
Capital
Measurement and Capital Standard (A Revised Framework) atau lebih dikenal dengan Basel II. Basel II bertujuan meningkatkan ketahanan dan kesehatan sistem keuangan dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process dan market discipline. Secara umum kerangka Basel II terdiri dari tiga pilar, yaitu Pilar 1: kecukupan modal minimum (minimum capital requirements); Pilar 2: proses review oleh pengawas (supervisory review process); dan Pilar 3: disiplin pasar (market discipline).
33
Gambar 2.1 Basel II
Pilar 1. Kebutuhan Modal Minimum (Minimum Capital Requirements) Pilar 1 menetapkan persyaratan modal minimum yang dikaitkan dengan risiko kredit (credit risk), risiko pasar (market risk) dan risiko operasional (operational risk). Dalam hal ini, bank diharuskan untuk memelihara modal yang cukup untuk menutup risiko yang dihadapi. Sesuai dokumen Basel II, rasio permodalan bank atau perbandingan antara total modal (regulatory capital) dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) tidak boleh kurang dari 8%. Pilar 1 Basel II memperkenalkan beberapa alternatif pendekatan dalam menghitung beban modal untuk risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional. Pendekatan tersebut dimulai dari pendekatan yang sederhana hingga kompleks dan dapat disesuaikan dengan tingkat kompleksitas produk dan aktivitas bank tersebut. Untuk tahap awal, bank wajib menggunakan pendekatan sederhana untuk menghitung beban modal risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional. Bank dapat menggunakan pendekatan yang lebih kompleks sepanjang bank siap
34
dan mampu untuk melakukan perhitungan beban modal dengan pendekatan yang lebih kompleks serta telah mendapat persetujuan dari otoritas pengawas.
Pilar 2. Proses Review Pengawasan (Supervisory Review Process) Pilar 2 mensyaratkan adanya proses review yang dilakukan oleh pengawas untuk memastikan bahwa modal bank telah memadai untuk menutup risiko bank secara utuh. Sesuai dengan 4 (empat) prinsip Pilar 2, bank wajib memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara keseluruhan yang dikaitkan dengan profil risiko dan strategi untuk mempertahankan tingkat permodalannya atau dikenal dengan istilah Internal Capital Adequacy Assessment Process – ICAAP (prinsip 1). Di sisi lain, pengawas akan menilai kecukupan proses penilaian yang dilakukan oleh bank atau disebut dengan Supervisory Review and Evaluation Process – SREP (prinsip 2). Sementara itu, sesuai dengan (prinsip 3), pengawas mengharapkan bank untuk beroperasi di atas minimum regulatory capital ratio serta sesuai (prinsip 4), pengawas dapat melakukan intervensi untuk mencegah modal turun dibawah tingkat minimum yang dipersyaratkan dan meminta bank untuk segera mengambil tindakan apabila modal tidak dapat dipertahankan. Dalam melakukan SREP sebagaimana Prinsip 2 tersebut di atas, pengawas dapat memperhitungkan kecukupan modal bank terhadap: 1.
Risiko-risiko yang belum sepenuhnya dapat diukur dalam Pilar 1 karena bank menggunakan pendekatan standar, misalnya concentration risk;
2.
Risiko-risiko yang belum diperhitungkan dalam Pilar 1, antara lain liquidity risk, interest rate risk in banking book, reputational risk dan
35
strategic risk. Beberapa dari risiko tersebut tidak dapat diukur secara kuantitatif sehingga akan lebih banyak berupa interpretasi kualitatif termasuk risiko dari faktor eksternal bank yang dapat timbul akibat kebijakan, dan kondisi ekonomi atau bisnis.
Pilar 3. Disiplin Pasar (Market Discipline) Melengkapi dua pilar lainnya, Pilar 3 Basel II menetapkan persyaratan pengungkapan yang memungkinkan pelaku pasar untuk menilai informasiinformasi utama mengenai eksposur risiko, proses pengukuran risiko dan kecukupan modal bank. Pada prinsipnya pilar 3 bertujuan untuk mendorong terciptanya lingkungan usaha perbankan yang sehat, antara lain dengan meningkatkan transparansi kepada publik sehingga publik dapat turut berperan dalam mengawasi kegiatan usaha bank. Beberapa prasyarat utama agar tujuan tersebut dapat tercapai antara lain : 1.
Tersedia informasi yang cukup bagi publik mengenai kondisi bank; dan
2.
Kemampuan publik dalam menilai kondisi bank melalui analisa atas informasi yang tersedia.
Implementasi Basel II di Indonesia Kerangka Basel II (Pilar 1, Pilar 2 dan Pilar 3) di Indonesia telah diimplementasikan secara penuh sejak Desember 2012. Beberapa ketentuan yang terkait dengan implementasi Basel II tersebut antara lain sebagai berikut:
36
Pilar 1 1. SE No. 13/6/DPNP mengenai Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar. Ketentuan tersebut mulai diberlakukan sejak Januari 2012, yang mewajibkan bank untuk menghitungkan eksposur risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar. 2. Perhitungan risiko pasar diatur dalam SE No. 14/21/ DPNP tentang Perubahan atas SE BI No. 9/33/ DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar. Selain itu, bagi bank yang akan menggunakan model internal, ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam SE No. 9/31/DPNP tentang Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan Kewajiban
Penyediaan
Modal
Minimum
Bank
Umum
dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar. 3. Adapun perhitungan risiko operasional diatur dalam SE No. 11/3/DPNP tentang Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar.
Pilar 2 Terkait dengan pilar 2 (Supervisory Review Process), BI telah menerbitkan ketentuan yang mewajibkan bank untuk menyediakan modal minimum sesuai profil risikonya. Ketentuan tersebut diatur dalam PBI No. 14/18/PBI/2012 tentang
37
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bagi Bank Umum dan SE Ekstern No. 14/37/ DPNP tentang KPMM sesuai Profil Risiko dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA), yang mulai diberlakukan sejak Desember 2012. Melalui ketentuan tersebut, bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko dengan kisaran sebagai berikut: 1. Bank dengan profil risiko peringkat 1, modal minimum 8% 2. Bank dengan profil risiko peringkat 2, modal minimum 9% s.d 10% 3. Bank dengan profil risiko peringkat 3, modal minimum 10% s.d 11% 4. Bank dengan profil risiko peringkat 4 atau 5, modal minimum 11% s.d 14%
Pilar 3 Dalam rangka meningkatkan disiplin pasar, BI telah menerbitkan PBI No. 14/14/PBI/2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank dan SE No. 14/35/DPNP tentang Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada BI. Dalam ketentuan dimaksud, diatur pengungkapan yang lebih komprehensif mengenai eksposur risiko yang dimiliki bank, mitigasi risiko yang telah dilakukan, dan kecukupan permodalan bank, sejalan dengan persyaratan dalam Pilar 3 Basel II. Dengan penerbitan dan penerapan ketentuan tersebut maka implementasi Basel II secara menyeluruh dapat dicapai sehingga tercipta industri perbankan Indonesia yang lebih sehat, lebih mampu bertahan dalam kondisi krisis, dan
38
semakin kompetitif dalam industri keuangan global. Selanjutnya hal ini juga akan mendorong peningkatan kesehatan sistem keuangan Indonesia.
2.4.2 Basel III Dalam rangka merespon krisis keuangan global 2008/2009, Leaders Summit pada tahun 2008 di Washington D.C. telah menyepakati 50 langkah penyelamatan ekonomi dunia atau dikenal dengan sebutan Washington Action Plans (WAP). Menindaklanjuti hal tersebut, G-20 memberikan amanat kepada Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) untuk menyusun paket reformasi keuangan global4 yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan baik di level mikro maupun di level makro. Peningkatan ketahanan di level mikro dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas permodalan bank serta ketahanan dan kecukupan likuiditas bank. Sementara peningkatan ketahanan di level makro dilakukan dengan menerapkan conservation buffer, rasio leverage yang dapat membantu memitigasi risiko yang dapat membahayakan sistem keuangan, countercyclical capital buffer untuk mengurangi prosiklikalitas (procyclicality) serta mensyaratkan bank atau institusi keuangan yang bersifat sistemik untuk menyediakan buffer. Sesuai dokumen BCBS, kerangka Basel III akan mulai diterapkan pada Januari 2013 secara bertahap hingga implementasi penuh pada Januari 2019.
39
Secara umum, cakupan Basel III adalah sebagai berikut: 1. Penguatan Kerangka Permodalan Global Peningkatan
kualitas
permodalan,
konsistensi dan transparansi
1. Persyaratan modal Tier 1 yang meningkat dari 4% menjadi 6%, dengan modal CET1 meningkat dari 2% menjadi 4,5%. 2. Modal Tier 1 harus didominasi oleh saham biasa dan laba ditahan. 3. Komponen modal inti lainnya terdiri dari instrumen yang bersifat subordinasi, noncumulative dividends/coupons, tidak memiliki tanggal jatuh tempo dan tidak memiliki insentif untuk dibeli kembali. 4. Modal inovatif yang memiliki insentif untuk dibeli kembali dengan fitur seperti step-up akan dihapus secara bertahap. 5. Modal Tier 2 akan diharmonisasi. 6. Modal Tier 3 akan dihapus. 7. Untuk meningkatkan disiplin pasar, aspek transparansi permodalan bank akan ditingkatkan dengan mensyaratkan pengungkapan seluruh elemen modal.
Perluasan cakupan risiko dalam kerangka permodalan bank
1. Bank harus menentukan kebutuhan modal untuk risiko kredit pihak lawan dengan menggunakan stressed input. 2. Bank akan dikenakan beban modal untuk potensi kerugian akibat nilai pasar. 3. Penguatan
standar
untuk
pengelolaan
agunan dan marjin awal (initial margining). 4. Pengembangan standar untuk infrastruktur pasar keuangan, termasuk central counter parties untuk transaksi OTC derivative. 5. Peningkatan standar pengelolaan risiko kredit pihak lawan, termasuk pengaturan wrong way risk dan backtesting eksposur kredit pihak lawan.
40
Penerapan leverage ratio
1. Membatasi leverage yang berlebihan di sektor perbankan untuk memitigasi risiko yang dapat membahayakan sistem keuangan dan ekonomi. 2. Memperkenalkan safeguards tambahan dari model risk dan kesalahan pengaturan. 3. Bank harus memiliki rasio leverage paling kurang 3%.
Countercyclical Capital Buffer
1. Buffer akan berkisar antara 0%-2,5% dari common equity atau jenis instrumen modal lainnya yang menyerap kerugian. 2. Untuk mengantisipasi kerugian yang timbul dari pemberian kredit yang berlebihan (excess credit growth)
Conservation Buffer
1. Untuk menyerap kerugian saat krisis. 2. Bank akan diminta untuk menyiapkan buffer 2,5% sehingga total common equity minimum bank adalah 7%. 3. Bank yang tidak dapat memenuhi capital conservation buffer akan menghadapi pembatasan pembayaran dividen, pembagian saham, dan bonus. 2. Standar Likuiditas Global
Liqudity Coverage Ratio
Liquidity Coverage Ratio (LCR) adalah rasio untuk memastikan kecukupan aset likuid berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank dalam 30 hari saat terjadi krisis.
Net Stable Funding Ratio
Net Stable Funding Ratio (NSFR) adalah rasio untuk mengukur ketahanan jangka panjang bank yaitu ketersediaan sumber dana bank yang lebih stabil untuk mendukung kegiatan bisnis secara struktural berkesinambungan
Monitoring Tools
1. Pengembangan matrik yang harus dipertimbangkan sebagai jenis informasi minimum yang dapat digunakan oleh pengawas untuk menangkap profil risiko likuiditas. 2. Matrik monitoring likuiditas fokus pada maturity mismactch, konsentrasi pendanaan dan aset yang dijaminkan (unencumbered asset) yang tersedia.
41
Persiapan Implementasi Basel III di Indonesia Sebagai salah satu anggota BCBS, BI turut berpartisipasi dalam global QIS (Quantitative Impact Study) yang sejauh ini telah dilakukan untuk posisi data Desember 2010, Juni 2011, Desember 2011 dan Juni 2012 dengan diikuti oleh 2 bank besar yang dipilih menjadi responden. Hasil studi menunjukkan bahwa level pemenuhan 2 bank responden terhadap standar permodalan dan likuiditas secara konsisten berada diatas angka minimum yang dipersyaratkan. Hal ini antara lain disebabkan komponen modal perbankan Indonesia didominasi oleh common equity, dan sebagian besar dari regulatory adjustment yang saat ini telah diatur oleh BI lebih konservatif dibandingkan dengan yang diwajibkan oleh Basel III. Leverage ratio kedua bank responden tersebut juga berada di atas batas minimum 3% sehingga permodalan bank dipandang dapat men-cover risiko aset bank. Di sisi likuiditas, tingkat LCR dan NSFR kedua bank juga berada di atas threshold 100%. Melengkapi pelaksanaan Global QIS terhadap 2 bank responden serta dalam rangka persiapan implementasi Basel III di Indonesia, BI juga melakukan domestic QIS terhadap seluruh bank umum konvensional dengan menggunakan template BCBS khususnya yang terkait dengan permodalan dan leverage, serta analisa tingkat permodalan seluruh perbankan dengan menggunakan data Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). BI juga telah menerbitkan Consultative Paper (CP) Basel III yang telah diunggah di website BI serta disampaikan kepada sektor perbankan dan satker terkait di BI untuk mendapatkan tanggapan dan masukan.
42
2.5
Hubungan Audit Internal dengan Good Corporate Governance Audit internal merupakan salah satu profesi yang menunjang terwujudnya
GCG saat ini dan telah berkembang menjadi komponen utama dalam mewujudkan pengelolaan perusahaan secara sehat, bahkan untuk pengendalian korporasi yang lebih luas, pertanggungjawaban bagi publik ditampilkan dengan kewajiban pembentukan audit internal dan dewan audit. Audit internal berperan dalam : 1. Membantu dewan dalam menilai risiko dan memberi nasehat kepada pihak manajemen 2. Mengevaluasi Sistem Pengawasan Internal dan bertanggungjawab kepada komite audit 3. Menelaah peraturan corporate governance minimal satu tahun sekali
Hubungan audit internal dengan GCG dapat dilihat dari definisi, ruang lingkup dan tanggung jawab audit internal yang dihubungkan dengan prinsipprinsip GCG. Dilihat dari definisinya, audit internal adalah suatu aktivitas independen yang memberikan jaminan keyakinan serta meningkatkan kegiatan operasi perusahaan, audit internal membantu organisasi dalam mencapai tujuan mengevaluasi dan meningkatkan keefektifan manajemen risiko, pengendalian, serta proses pengaturan dan pengelolaan organisasi. Sedangkan tujuan audit internal adalah membantu seluruh anggota manajemen agar dapat melaksanakan tanggungjawabnya secara efektif, dengan memberikan analisis, penilaian, rekomendasi, saran dan keterangan dari operasi atau aktivitas perusahaan.
43
Aktivitas utama audit internal yaitu: 1. Compliance 2. Operational 3. Verification 4. Evaluation Tampak jelas adanya suatu hubungan antara audit internal dengan prinsipprinsip GCG. Semua aktivitas, tujuan, dan ruang lingkup audit internal dapat mendukung terwujudnya GCG.
2.6
Kerangka Pemikiran Good Corporate Governance (GCG), adalah bentuk suatu proses dan
struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha, dan akuntabilitas perusahaan yang berguna mewujudkan atau meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berdasarkan peraturan perundang-undangan, moral dan etika. (Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006) Prinsip GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan bagi para investor. Untuk dapat melaksanakan GCG, maka harus dipenuhi prinsip-prinsip pokoknya. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 terdapat prinsipprinsip pokok GCG antara lain: 1. Transparansi (Transparancy) 2. Akuntabilitas (Accountability)
44
3. Responsibilitas (Responsibility) 4. Kemandirian (Independency) 5. Kewajaran (Fairness)
Penjelasan dari prinsip-prinsip diatas sebagai berikut: 1. Transparansi (Transparancy) Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2. Akuntabilitas (Accountability) Kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 3. Responsibilitas (Responsibility) Kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Kemandirian (Independency) Suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
45
5. Kewajaran (Fairness) Suatu keadaan dimana perilaku adil dan setara di dalam memenuhi hak hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian-perjanjian serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seiring dengan berkembangnya profesi auditor internal yang disebabkan semakin tingginya pengakuan atas pentingnya keberadaan audit internal bagi suatu perusahaan, maka fungsi audit internal mengalami perkembangan. Tanpa adanya fungsi audit internal pada suatu perusahaan, maka dewan direksi tidak memiliki suatu sumber informasi internal yang memadai. Hal yang harus ditekankan disini adalah audit internal merupakan bagian internal dari perusahaan dan fungsi yang dijalankannya adalah berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan oleh manajer senior dan dewan direksi. Pengendalian intern dalam perusahaan pada umumnya dilakukan oleh seluruh aspek sumber daya manusia tanpa terkecuali, namun audit internal menjadi pemantau atas pelaksanaan pengendalian intern yang ada. Kondisi penerapan GCG yang belum optimal pada Bank Swasta di Indonesia secara dominan dipengaruhi oleh kondisi pengendalian intern Bank Swasta yang belum optimal. Hal ini juga mengindikasikan bahwa, buruknya pengendalian intern juga sebagai dampak buruknya peranan audit internal. Laporan hasil audit menurut Hiro Tugiman (2006;191) bahwa laporan hasil penugasan akan dianggap baik apabila memenuhi empat kriteria mendasar, yaitu:
46
1. 2. 3. 4.
Objektivitas (Objectivity). Kewibawaan (Authority). Keseimbangan (Balance). Penulisan yang profesional (Professional Writing).
Oktia (2011), di dalam skripsinya ingin mengetahui apakah audit internal berpengaruh terhadap penerapan GCG. Variabel X diukur dengan Audit Internal dan Variabel Y diuji dengan Penerapan GCG. Peneliti ingin mengedepankan elemen-elemen dari Audit Internal untuk melihat bagaimana Penerapan GCG. Hasil dari analisis data menunjukan bahwa pelaksanaan Audit Internal pada BUMN dan instansi pemerintah lainnya cukup memadai namun penerapan GCG perlu ditingkatkan sehingga penyimpangan-penyimpangan dapat diminimalisir karena kinerja perusahaan yang baik dapat ditingkatkan sebelum penyimpangan terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis merumuskan kerangka pemikiran sebagai berikut: Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Internal Audit
Good Corporate Governance
(X)
(Y)
1. Objektivitas
1. Transparansi
2. Kewibawaan
2. Akuntabilitas
3. Keseimbangan
3. Responsibilitas
4. Penulisan yang
4. Kemandirian
Profesional
5. Kewajaran
47
2.7
Penelitian Terdahulu Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
No 1.
Nama Peneliti
Judul
Variabel
Hasil Penelitian
Penelitian
Astri
Pengaruh
Profesionalisme
Hasil menunjukkan bahwa
Rahayu
Profesionalisme
Auditor Internal
Profesionalisme Auditor Internal
(2012)
Auditor Internal
dan Efektivitas
berpengaruh terhadap Efektivitas
Terhadap
Good Corporate
Good Corporate Governance dan
Efektivitas Good
Governance
menyatakan bahwa korelasinya
Corporate
kuat dan positif.
Governance 2.
Rizki
Pengaruh Audit
Audit Internal dan
Hasil menunjukkan bahwa Audit
Oktia
Internal Terhadap
Good Corporate
Internal tidak berpengaruh
Putri
Penerapan Good
Governance
terhadap Good Corporate
(2011)
Corporate
Governance dan menyatakan
Governance
bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang sangat lemah dan negatif.
2.8
Hipotesis Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh Oktia (2011) menunjukan bahwa audit
internal berpengaruh positif terhadap penerapan GCG. Dari penelitian tersebut penulis menduga bahwa audit internal dapat memeriksa melalui penerapan GCG pada PT. Bank Danamon Indonesia (Persero) Tbk. Ho : Audit Internal tidak memliki peranan signifikan dalam penerapan Good Corporate Governance Ha : Audit Internal memliki peranan signifikan dalam penerapan Good Corporate Governance