BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Profesionalisme
2.1.1.1 Pengertian Profesionalisme Menurut Islahuzzaman (2012:369) profesionalisme adalah sebagai berikut: “Tanggung jawab untuk bertindak lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab diri sendiri maupun ketentuan hukum dan peraturan masyarakat. Akuntan publik, sebagai profesional, mengakui adanya tanggung jawab kepada masyarakat, klien, serta rekan praktisi, termasuk perilaku yang terhormat, meskipun itu berarti pengorbanan diri.” Sedangkan menurut Arens, et al., (2014:129) mengartikan profesionalisme adalah sebagai berikut: “Professional means a responsibility for conduct that extends beyond satisfying individual responsibilities and beyond the requirements of our society’s laws and regulations.” Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah tanggung jawab atas tindakan yang melampaui tanggung jawab kepuasan seorang individu berdasarkan persyaratan hukum dan peraturan masyarakat. Seorang yang profesional mempunyai kewajiban untuk memenuhi aturan perilaku yang spesifik, yang menggambarkan suatu sikap atau hal-hal yang ideal. Kewajiban tersebut berupa tanggung jawab bagi profesi untuk memantapkan jasa yang ditawarkan. Seseorang yang profesional mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena diasumsikan bahwa seorang profesional memiliki kepintaran,
10
11
pengetahuan, dan pengalaman untuk memahami dampak aktivitas yang dilakukan (Iriyadi dan Vannywati, 2011). Profesionalisme juga merupakan elemen dari motivasi yang memberikan sumbangan pada seseorang agar mempunyai kinerja tugas yang tinggi. Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugastugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan, dan menghindari kelalaian dan ketidakjujuran (Ifada dan M. Ja’far, 2005). Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi. Seorang auditor dapat dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standarstandar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) (Hendro Wahyudi dan Aida Ainul M, 2006). 2.1.1.2 Dimensi Profesionalisme Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: 1. Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap
12
ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi. 2. Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3. Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. 4. Keyakinan terhadap profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5. Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok
13
kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional. Ada beberapa prinsip etika profesi menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2011; Seksi 100) yang harus dimiliki oleh seseorang yang profesional untuk menunjang sikap profesionalismenya, yaitu: 1. Prinsip integritas Setiap Praktisi harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya. 2. Prinsip objektivitas Setiap praktisi tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue influence) dari pihak-pihak lain yang mempengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya. 3. Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional (professional competence and due care) Setiap praktisi wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara berkesinambungan, sehingga klien atau pemberi kerja dapat menerima jasa profesional yang diberikan secara kompeten berdasarkan perkembangan terkini dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan pekerjaan. Setiap praktisi harus bertindak secara profesional dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya.
14
4. Prinsip kerahasiaan Setiap praktisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien atau pemberi kerja, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku. Informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis tidak boleh digunakan oleh praktisi untuk keuntungan pribadinya atau pihak ketiga. 5. Prinsip perilaku profesional Setiap praktisi wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Etika secara garis besar dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip atau nilai-nilai moral yang mengindikasikan bagaimana seseorang harus bertingkah laku, dan etika profesional adalah sekumpulan prinsip atau nilai moral yang dikeluarkan oleh organisasi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktik profesinya bagi masyarakat (Islahuzzaman, 2012:139). 2.1.1.3 Standar Profesional Akuntan Publik Seorang yang profesional juga harus memiliki standar profesi dalam setiap menjalankan setiap kegiatan profesionalnya. Standar Profesional Akuntan Publik adalah standar auditing yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), terdiri dari 10 standar yang dibagi dalam 3 bagian, yaitu standar umum, standar pekerjaan
15
lapangan, dan standar pelaporan, beserta semua interpretasinya yang sering kali disebut standar auditing (Islahuzzaman, 2012:435). Berbagai jenis jasa yang disediakan oleh profesi akuntan publik bagi masyarakat didasarkan pada panduan yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Dimana menurut Sukrisno Agoes (2012:29) terdapat lima tipe standar profesional yang mengatur mutu jasa yang dihasilkan akuntan publik yaitu: 1. Standar auditing 2. Standar atestasi 3. Standar jasa akuntansi dan review 4. Standar jasa konsultasi 5. Standar pengendalian mutu Adanya standar profesional tersebut akan mengikat auditor profesional untuk menurut pada ketentuan profesi dan memberikan acuan bagi pelaksanaan pekerjaannya dari awal sampai akhir (Sukrisno Agoes, 2012:29). Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (SPAP, 2011; SA Seksi 150) terdiri atas sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: 1. Standar Umum a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
16
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama 2. Standar Pekerjaan Lapangan a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 3. Standar Pelaporan a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan standar akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan standar akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat
17
diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor. Standar-standar tersebut di atas dalam banyak hal sering berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Keadaan yang berhubungan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang lain. Materialitas dan risiko audit melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (Sukrisno Agoes, 2012:29).
2.1.2
Materialitas
2.1.2.1 Konsep Materialitas Menurut International Standard on Auditing 320 (2012:322) menjelaskan materialitas sebagai berikut: “Materiality is a misstatements, including omissions, are considered to be material if they, individually or in the aggregate, could reasonably be expected to influence the economic decisions of users taken on the basis of the financial statements.” Adapun definisi materialitas menurut Arens, et al., (2014:168) adalah: “Materiality is the magnitude of an omission or misstatement of accounting information that, in the light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgment of a reasonable person relying on the information would have been changed or influenced by the omission or misstatement.”
18
Sedangkan pengertian materialitas menurut SPAP (2011; SA Seksi 312) adalah sebagai berikut: “Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut.” Materialitas adalah suatu pertimbangan penting dalam menentukan jenis laporan yang tepat untuk diterbitkan dalam situasi tertentu. Jika salah saji relatif tidak material terhadap laporan keuangan suatu entitas selama periode berjalan, maka tepat untuk menerbitkan pendapat wajar tanpa pengecualian. Bila jumlah salah saji begitu signifikan sehingga keseluruhan laporan keuangan akan dipengaruhi secara material, auditor perlu menolak memberikan pendapat atau menerbitkan pendapat tidak wajar, tergantung pada sifat salah saji tersebut (Arens, et al., 2014:79). Arens, et al., (2014:80) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat materialitas yang digunakan untuk menentukan pendapat untuk dikeluarkan yaitu: 1.
Jumlahnya tidak material. Apabila ada salah saji dalam laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, hal tersebut dianggap sebagai tidak material. Karena itu, pendapat wajar tanpa pengecualian layak diterbitkan.
2.
Jumlahnya material tetapi tidak memperburuk laporan keuangan secara keseluruhan. Tingkat materialitas yang kedua terjadi apabila salah saji dalam laporan keuangan akan mempengaruhi keputusan para pemakai laporan itu, tetapi
19
laporan keuangan secara keseluruhan tetap disajikan secara wajar dan karenanya masih berguna. 3.
Jumlahnya sangat material atau begitu pervasif sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Tingkat materialitas tertinggi terjadi apabila pemakai mungkin akan membuat keputusan yang tidak benar jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan.
2.1.2.2 Pertimbangan Materialitas Menurut Standar Perikatan Audit (2012; paragraf 2) kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas konsep materialitas dalam konteks penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka pelaporan keuangan mungkin membahas materialitas dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda, kerangka tersebut secara umum menjelaskan bahwa:
Salah saji, Termasuk penghilangan, dianggap material bila salah saji tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan dapat mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan keuangan oleh pemakai laporan keuangan tersebut.
Pertimbangan tentang materialitas dibuat dengan memperhitungkan berbagai kondisi yang melingkupinya dan dipengaruhi oleh ukuran sifat salah saji, atau kombinasi keuangan.
Pertimbangan tentang hal-hal yang material bagi pemakai laporan keuangan didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan yang umum yang diperlukan oleh pemakai laporan keuangan sebagai suatu grup.
20
Pertimbangan mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan penilaian kuantitatif maupun kualitatif. Metode penilaian kualitatif dan kuantitatif dapat membantu auditor untuk membentuk argumen pertimbangan profesional (Sukrisno Agoes, 2012:149). Sampai saat ini belum ada pedoman atau standar, baik dalam akuntansi maupun auditing untuk menentukan tingkat materialitas baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Pertimbangan materialitas secara kualitatif berkaitan dengan penyebab kesalahan saji. Kesalahan saji mungkin secara kuantitatif tidak material tetapi secara kualitatif material. Misalnya salah saji yang disebabkan oleh adanya ketidakberesan atau adanya unsur pelanggaran hukum yang dilakukan oleh klien. Walaupun jumlahnya tidak material namun secara kualitatif sangat material. Untuk menentukan tingkat materialitas secara kuantitatif, berikut adalah pedoman umum yang biasa digunakan (Mulyadi, 2008:162):
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva.
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari modal.
21
Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto.
2.1.2.3 Materialitas Dalam Proses Audit Menurut Standar Perikatan Audit (2012; Alinea 1) dalam melakukan suatu audit atas laporan keuangan, tujuan auditor adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kecurangan atau kesalahan. Oleh karena itu memungkinkan auditor untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku umum atau tidak. Auditor memperoleh keyakinan dengan memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk mengurangi risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima. Risiko audit adalah risiko bahwa auditor menyatakan opini yang tidak tepat ketika terdapat salah saji material dalam laporan keuangan. Risiko audit merupakan fungsi gabungan risiko salah saji material dan risiko deteksi. Materialitas dan risiko audit perlu dipertimbangkan sepanjang pelaksanaan audit, oleh karena itu materialitas dan risiko audit selalu berhubungan. Materialitas di dalam proses audit memiliki beberapa tahap seperti yang dikemukakan oleh Theodorus M. Tuanakotta (2013:157) yaitu: 1. Tahap penilaian risiko (risk assessment) a. Menentukan dua macam materialitas, yakni materialitas untuk laporan keuangan secara menyeluruh dan performance materiality (materialitas pelaksanaan).
22
b. Merencanakan
prosedur
penilaian
risiko
apa
yang
harus
dilaksanakan. c. Mengidentifikasi dan menilai risiko salah saji yang material. 2. Tahap menanggapi risiko (risk response) a. Menentukan sifat (nature), waktu (timing), dan luasnya (extent) prosedur audit selanjutnya (further audit procedures). b. Merevisi angka materialitas karena adanya perubahan situasi (change ini cirmumstances) selama audit berlangsung. 3. Tahap pelaporan (reporting) a. Mengevaluasi salah saji yang belum dikoreksi oleh entitas itu. b. Merumuskan pendapat auditor. Terdapat dua tingkat dalam menyajikan konsep materialitas menurut Theodorus M. Tuanakotta (2013:166), yakni tingkat laporan keuangan serta tingkat jenis transaksi, saldo akun dan pengungkapan (disclosures). Tabel 2.1 Materialitas di Dua Tingkat Financial statement level
Overall Materiality (for the financial statements as a whole) Overall Performance Materiality
Account balance, class of
Specific Materiality
transactions and
(for particular financial statement areas)
disclosures level
Specific Performance Materiality
Sumber: Theodorus M. Tuanakotta (2013:166)
23
Dari kedua tingkat materialitas tersebut terdapat empat konsep materialitas yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Overall Materiality Overall materiality didasarkan atas apa yang layaknya diharapkan berdampak terhadap keputusan yang dibuat pengguna laporan keuangan. Jika auditor memperoleh informasi yang menyebabkan ia menentukan angka materialitas yang berbeda dari yang ditetapkannya semula, maka angka materialitas semula harus direvisi. 2. Overall Performance Materiality Performance materiality ditetapkan lebih rendah dari overall materiality. Performance materiality memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko tertentu (tanpa mengubah overall materiality), dan menurunkannya ke tingkat yang lebih rendah (appropriately low level), dan jika probabilitas salah saji yang tidak dikoreksi dan salah saji yang tidak terdeteksi secara agregat (aggregate of uncorrected and undetected misstatements) melampaui overall materiality, maka performance materiality perlu diubah berdasarkan temuan audit yang didapatnya. 3. Specific Materiality Specific materiality untuk jenis transaksi, saldo akun atau disclosures tertentu di mana jumlah salah sajinya akan lebih rendah dari overall materiality.
24
4. Specific Performance Materiality Specific performance materiality ditetapkan lebih rendah dari specific materiality. Hal ini memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko tertentu dan memperhitungkan kemungkinan adanya salah saji yang tidak terdeteksi dan salah saji yang tidak material, yang secara agregat dapat berjumlah material. Auditor mengikuti lima langkah yang saling terkait erat dalam menerapkan materialitas. Arens, et al., (2014:269) menjelaskan langkah-langkah dalam menerapkan materialitas mencakup lima langkah seperti yang tertera pada gambar di bawah yaitu: Tabel 2.2 Langkah-langkah dalam Menerapkan Materialitas Langkah 1
Set materiality for the financial
Planning extent of tests
statements as a whole Langkah 2
Determine performance materiality
Langkah 3
Estimate total misstatement in segment
Langkah 4
Estimate the combined misstatement
Langkah 5
Compare combined estimate with preliminary or revised judgment about materiality
Sumber: Arens, et al., (2014:269)
Evaluating results
25
Berdasarkan gambar di atas, pertama auditor harus menetapkan angka materialitas laporan keuangan secara keseluruhan (overall materiality) yang membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah saji tetapi tidak mempengaruhi keputusan para pemakai laporan keuangan, lalu langkah kedua menetapkan besarnya performance materiality yang dimana harus ditetapkan lebih rendah dari angka materialitas laporan keuangan secara keseluruhan (overall materiality) untuk mengumpulkan bukti sebagai salah saji yang dapat ditoleransi. Kedua langkah tersebut merupakan bagian dari perencanaan yang menjadi fokus utama dalam penetapan tingkat materialitas. Langkah ketiga berlangsung selama penugasan, dimana auditor mengestimasi jumlah salah saji dalam setiap segmen ketika sedang mengevaluasi bukti audit. Pada tahan ke empat, jumlah salah saji yang diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap akun kemudian digabungkan dalam kertas kerja. Menjelang akhir audit, langkah kelima yaitu auditor menggabungkan salah saji yang mungkin dapat dibandingkan dengan penetapan tingkat material yang ditetapkan di tahap perencanaan (Arens, et al., 2014:269).
2.2
Kerangka Pemikiran Menurut Sukrisno Agoes (2012:149) pertimbangan mengenai materialitas
merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan penilaian kuantitatif maupun kualitatif.
26
Profesionalisme merupakan sifat memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan. Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai auditor eksternal. Auditor eksternal yang memiliki pandangan profesionalisme yang tinggi akan memberikan kontribusi yang dapat dipercaya oleh para pengambil keputusan. Kepercayaan yang besar inilah yang akhirnya mengharuskan auditor memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Untuk dapat mencapai mutu dan kualitas yang baik tentunya salah satu hal yang dipertimbangkan adalah tingkat materialitas (Milka, 2010). Gordeeva (2011) menyatakan “the auditor’s consideration of materiality is a professional judgment of perception of the financial information needs of users of the financial statements. The auditor is concerned with misstatements, including omissions, which could reasonably be expected to influence the economic decisions of users taken on the basis of the financial statements. The auditor often uses a precentage as benchmark in determining a materiality level for financial statements”. Berdasarkan hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan auditor tentang materialitas adalah pertimbangan profesional dari persepsi para pengguna laporan keuangan. Pertimbangan materialitas berkaitan dengan salah saji, termasuk kelalaian, yang diperkirakan bisa mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil atas dasar laporan keuangan tersebut. Dalam menentukan pertimbangan materialitas, auditor sering menggunakan persentasi sebagai patokan dalam menentukan tingkat materialitas laporan keuangan (Gordeeva, 2011).
27
Sebagai auditor profesional, dalam melaksanakan proses audit dan penyusunan laporan keuangan, seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara profesional maka auditor harus membuat perencanaan audit sebelum memulai proses audit. Dalam perencanaan audit, auditor diharuskan untuk menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin seorang auditor itu profesional maka semakin auditor tersebut tepat dalam menentukan tingkat materialitas (Sukrisno Agoes, 2012:149). Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003:11) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: pengabdian auditor terhadap profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi, dan hubungan dengan sesama profesi. Dari hasil yang dilakukan oleh Hendro Wahyudi dan Aida Ainul M (2006) menyatakan bahwa 4 dari 5 dimensi profesionalisme auditor yang berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas yaitu pengabdian pada profesi, kemandirian, keyakinan terhadap profesi, dan hubungan dengan rekan seprofesi. Sedangkan dimensi kewajiban sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Sedangkan dari hasil penelitian Febrianty (2012) dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 5 dimensi profesionalisme yaitu: pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan
28
hubungan dengan rekan seprofesi yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas adalah hanya dimensi keyakinan terhadap profesi. Sedangkan dimensi yang lain tidak mempunyai hubungan signifikan. Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Profesionalisme Auditor (X)
(Arens, et al., (2014), SPAP (2011), Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009)
2.3
Pertimbangan Tingkat Materialitas (Y)
(Hendro Wahyudi dan Aida Ainul M (2006), Febrianty (2012), Herawati dan Susanto (2009))
(ISA 320 (2012), SPAP (2011), Arens, et al., (2014), Theodorus M. Tuanakotta (2013), SPA (2012))
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran dan uraian penelitian ini, maka hipotesis
yang akan diuji dalam penelitian ini adalah profesionalisme auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan.