BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keluhan Muskuloskeletal 2.1.1 Pengertian Keluhan Muskuloskeletal Menurut Occupational Health and Safety Council of Ontario (OHSCO) tahun 2007, keluhan muskuloskeletal adalah serangkaian sakit pada tendon, otot, dan saraf. Aktivitas dengan tingkat pengulangan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada otot. Keluhan muskuloskeletal dapat terjadi walaupun gaya yang dikeluarkan ringan dan postur kerja yang memuaskan.
Menurut American Conference of Governmental Industrial Hygienis (ACGIH) tahun 2007, keluhan muskuloskeletal adalah gangguan kronis pada otot, tendon, dan saraf yang disebabkan oleh pengguna tenaga secara berulang (repetitive), gerakan secara cepat, beban yang tinggi, tekanan, postur tubuh yang janggal, vibrasi, dan rendahnya temperatur.
Berdasarkan berbagai definisi dari lembaga-lembaga tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluhan muskuloskeletal adalah kumpulan kondisi patologis pada tendon, otot, dan saraf yang disebabkan oleh penggunaan tenaga secara berulang (repetitive), gerakan secara cepat, beban yang tinggi, tekanan, postur tubuh yang janggal, vibrasi dan rendahnya temperatur sehingga menyebabkan rasa nyeri serta rasa tidak nyaman pada otot. 10
11
2.1.2 Jenis-Jenis Keluhan Muskuloskeletal Secara garis besar keluhan otot dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan. b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot terus berlanjut.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang terlalu berlebihan akibat pembebanan kerja yang terlalu panjang dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20% maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat
terhambat
dan
sebagai
akibatnya
terjadi
penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Tarwaka, 2010).
2.1.3 Gejala Keluhan Muskuloskeletal Menurut Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS) pada tahun 2014, nyeri adalah gejala yang paling umum yang merupakan tanda dan gejala dari keluhan muskuloskeletal. Gejala lain yang ditimbulkan
12
yaitu
kekakuan
sendi,
kekakuan
otot,
kemerahan,
pembengkakan,
kesemutan, dan perubahan warna kulit.
Keluhan muskuloskeletal secara bertahap memiliki gejala dari ringan sampai berat menurut CCOHS tahun 2014, yaitu: a. Tahap awal: nyeri dan kelelahan pada anggota tubuh yang mengalami keluhan muskuloskeletal yang terjadi selama shift kerja, namun gejala ini menghilang pada malam hari dan selama libur kerja. b. Tahap peralihan: nyeri dan kelelahan terjadi pada awal shift kerja dan menetap di malam hari. Intensitas berkurang untuk pekerjaan yang berulang. c. Tahap akhir: nyeri, kelelahan dan kelemahan menetap selama beristirahat. Mengalami gangguan tidur dan melakukan pekerjaan ringan.
Gejala keluhan muskuloskeletal tidak dilewati oleh semua orang dengan cara yang sama. Bahkan, mungkin sulit untuk mengatakan kapan tepatnya satu tahap berakhir dan berikutnya dimulai. Rasa nyeri pertama adalah sinyal bahwa otot-otot dan tendon harus beristirahat dan dipulihkan (CCOHS, 2014).
13
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluhan Muskuloskeletal a. Faktor Penyebab Primer 1. Posisi Kerja Setiap posisi tubuh dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan kelelahan jika dipertahankan dalam jangka waktu lama. Maijunidah (2010) mengkategorikan posisi tubuh janggal dalam bekerja adalah berdiri, duduk tanpa dukungan lumbar, duduk tanpa dukungan punggung, duduk tanpa footrest (tumpuan kaki) yang baik dengan ketinggian yang sesuai, duduk dengan mengistirahatkan bahu pada permukaan alat kerja yang terlalu tinggi, tangan bagian atas terangkat tanpa dukungan dari alas vertikal, tangan meraih sesuatu yang sulit terjangkau
(jauh
atau
tinggi),
kepala
mendongak,
posisi
membungkuk, punggung yang mengarah ke depan, membawa beban berat dengan cara memanggul atau memikul, semua posisi tegang, posisi ekstrim yang terus menerus setiap sendi. Sedangkan posisi statis merupakan postur kerja fisik dalam posisi yang sama dimana pergerakan yang terjadi sangat minimal. Contoh dari gangguan statik termasuk di dalamnya: meningkatkan bahu untuk periode yang lama, menggenggam benda dengan lengan, mendorong dan memutar benda berat, berdiri di tempat yang sama dalam waktu yang lama dan memiringkan kepala ke depan dalam waktu yang lama.
Menurut Bridger (2009), mengungkapkan pula hal yang sama. Posisi kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan
14
pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Posisi kerja tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dari sistem kerja yang ada. Jika kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja melakukan pekerjaan yang tidak aman. Posisi tubuh saat kerja yang salah, canggung, dan di luar kebiasaan akan menambah risiko cidera pada bagian sistem muskuloskeletal.
Terdapat 3 macam posisi dalam bekerja, yaitu: a) Posisi Kerja Duduk Ukuran tubuh yang penting adalah tinggi duduk, panjang lengan atas, panjang lengan bawah dan tangan, jarak lekuk lutut dan garis punggung, serta jarak lekuk lutut dan telapak kaki. Posisi duduk pada otot rangka (muskuloskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah (Tarwaka, 2010).
Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar. Tekanan posisi tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk ke depan (Tarwaka, 2010).
15
b) Posisi Kerja Berdiri Posisi kerja berdiri merupakan salah satu posisi kerja yang sering dilakukan ketika melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh satu ataupun kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran beban tubuh mengalir pada kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya gravitasi bumi. Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi kedua kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan menjaga tubuh dari tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota bagian atas dengan anggota bagian bawah (Rahmaniyah, 2007).
Posisi kerja berdiri merupakan posisi kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Posisi kerja berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Tarwaka, 2010).
16
c) Posisi Kerja Membungkuk Salah satu posisi kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam pekerjaan adalah membungkuk. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika bekerja. Pekerja mengalami keluhan nyeri pada bagian punggung bagian bawah (low back pain) bila dilakukan secara berulang dan periode yang cukup lama. Pada saat membungkuk tulang punggung bergerak ke sisi depan tubuh. Otot bagian perut dan sisi depan invertebratal disk pada bagian lumbar mengalami penekanan. Pada bagian ligamen sisi belakang dari invertebrata justru mengalami peregangan atau pelenturan. Kondisi ini akan menyebabkan rasa nyeri pada punggung bagian bawah.
Bila
sikap
kerja
ini
dilakukan
dengan
beban
pengangkatan yang berat dapat menimbulkan slipped disk, yaitu rusaknya bagian invertebratal disk akibat kelebihan beban pengangkatan (Rahmaniyah dan Bambang, 2007).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Diana (2005) tentang sikap membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor risiko nyeri punggung bawah menunjukan bahwa
sikap
kerja
membungkuk memperbesar risiko nyeri punggung bawah sebesar 2,68 kali dibandingkan dengan pekerja dengan sikap badan tegak.
Pada perawat, beberapa posisi yang dapat menyebabkan keluhan low back pain adalah posisi saat pengangkatan pasien (dari
17
brangkar ke brangkar atau dari brangkar ke kursi roda), saat mendorong/menarik pasien, saat memandikan pasien, saat merapikan tempat tidur, posisi membungkuk saat membuka kunci pengaman pada kursi roda dan membuka pijakan, posisi kerja statis dalam waktu yang lama (lebih dari 4 jam) dan berulang saat melakukan tindakan invasif, dan posisi tempat tidur yang tidak mendukung body aligment saat melakukan tindakan (Diana, 2005).
2. Peregangan otot Peregangan otot yang berlebihan, sering dilakukan oleh pekerja yang aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat (Tarwaka, 2010).
3. Aktivitas berulang Keluhan otot terjadi akibat menerima beban terus menerus tanpa relaksasi.
Pekerjaan
yang
melibatkan
gerakan
berulang,
mengakibatkan kelelahan karena pekerja tidak sepenuhnya pulih dalam jangka waktu yang singkat antara gerakan (CCOHS, 2014).
4. Force atau Load Jumlah usaha fisik yang digunakan untuk melakukan pekerjaan seperti mengangkat beban berat. Jumlah tenaga bergantung pada tipe pegangan yang digunakan, berat obyek, durasi aktivitas, postur
18
tubuh, dan jenis aktivitasnya. Massa atau beban dari objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal (Soleh, 2009).
5. Getaran Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini akan menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akibatnya menimbulkan rasa nyeri otot (CCOHS, 2014). Hal yang sama ditemukan oleh John (2007) bahwa getaran yang berlebihan menyebabkan rasa sakit pada otot, sendi dan organ-organ internal; menyebabkan mual dan trauma ke tangan, lengan, kaki dan kaki. Getaran diukur dengan arah, kecepatan dan frekuensi pada tubuh.
b. Faktor Risiko Individu 1. Usia Pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada usia lansia, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun, sehingga risiko terjadi keluhan otot meningkat (Tarwaka, 2010). Sedangkan menurut Bridger (2009), sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi di saat seseorang berusia
19
30 tahun. Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan sehingga hal tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang. Berdasarkan hasil penelitian Collins dan O'Sullivan (2009) yang dilakukan pada 200 perempuan dan 132 laki-laki dengan jenis pekerjaan yang berbeda di Irlandia dan rentang umur antara 18-66 tahun, diperoleh keluhan pada tulang belakang, bahu dan bagian leher lebih banyak dialami pada pekerja yang muda dari pada pekerja yang tua.
2. Jenis Kelamin Menurut Tarwaka
(2010), jenis kelamin sangat berpengaruh
terhadap risiko keluhan otot skeletal. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Hasil penelitian Betti’e et al (1989) dalam Tarwaka (2010) menunjukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60 % dari kekuatan otot pria khususnya untuk otot lengan, punggung, dan kaki.
3. Waktu Kerja Penentuan waktu dapat diartikan sebagai teknik pengukuran kerja untuk mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja mengenai suatu unsur pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu pula serta untuk menganalisa keterangan itu hingga
20
ditemukan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan itu pada tingkat prestasi tertentu (Taufik, 2010). Berdasarkan hasil studi mengenai keluhan muskuloskeletal pada supir bis yang dilakukan oleh Karuniasih (2009), diketahui bahwa supir yang telah bekerja atau mengendarai lebih dari 2 jam merasakan pegal-pegal pada punggung dan leher.
4. Kebiasaan Merokok Sama halnya dengan jenis kelamin, kebiasaan merokok pun masih dalam taraf perdebatan para ahli. Namun dari penelitian oleh para ahli diperoleh bahwa meningkatnya frekuensi merokok akan meningkatkan keluhan otot yang dirasakan. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang rokok per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama setahun memiliki risiko low back pain sama dengan mereka yang tidak merokok. Kebiasaan merokok
akan
menurunkan
kapasitas
paru-paru,
sehingga
kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah (Croasmun, 2003). Bustan (2000), kebiasaan merokok dibagi menjadi 4 kategori yaitu, kebiasaan merokok berat (> 20 batang per hari), sedang (10-20 batang per hari), ringan (< 10 batang per hari) dan tidak merokok.
21
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Annuals of Rheumatic Diseases (Croasmun, 2003) terhadap 13.000 perokok dan non perokok dengan rentang umur antara 16-64 tahun, dilaporkan bahwa perokok memiliki risiko 50% lebih besar untuk merasakan keluhan muskuloskeletal. Hal ini dikarenakan efek rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau sebagai permulaan rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium pada tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena osteoporosis, menghambat penyembuhan luka patah tulang serta menghambat degenerasi tulang.
5. Masa Kerja Masa kerja adalah lama seseorang bekerja dihitung dari pertama masuk hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja ini menunjukan lamanya seseorang terkena paparan di tempat kerja hingga saat penelitian. Semakain lama masa kerja seseorang, semakin lama terkena paparan di tempat kerja sehingga semakin tinggi risiko terjadinya penyakit akibat kerja (Septiawan, 2013). Derajat peningkatan keluhan muskuloskeletal semakin bertambah ketika masa kerja seseorang semakin lama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Taufik (2010), didapatkan hasil p value sebesar 0.002 (p value < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal. Adapun pembagian masa kerja menurut Putri tahun 2012, adalah masa kerja baru ≤ 5 tahun, dan masa kerja lama > 5 tahun
22
6. Indeks Masa Tubuh Indeks masa tubuh dapat digunakan sebagai indikator kondisi status gizi pekerja. Menurut WHO (2005) rumus indeks masa tubuh adalah BB2/TB (berat badan2 per tinggi badan) dan dikategorikan menjadi tiga yaitu kurus (< 18,5) normal (18,5-25) dan gemuk (25-30) serta obesitas (> 30). Kaitan IMT dengan keluhan muskuloskeletal adalah semakin gemuk seseorang maka bertambah besar risikonya untuk mengalami keluhan muskuloskeletal. Hal ini dikarenakan seseorang dengan kelebihan berat badan akan berusaha untuk menyangga berat badan dari depan dengan mengontraksikan otot punggung bawah. Kondisi ini akan meyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan HC dan Horn SE. 1998). Kegemukan dan obesitas mengarah pada konsekuensi kesehatan yang serius. Risiko semakin meningkat seiring dengan meningkatnya body mass index (BMI). Indeks massa tubuh merupakan faktor risiko utama untuk penyakit kronis seperti muskuloskeletal disorders terutama osteoarthritis. Penelitian Heliovaara (1987), yang dikutip NIOSH (1997) menyebutkan bahwa tinggi seseorang berpengaruh terhadap timbulnya herniated lumbar disc pada jenis kelamin wanita dan pria, tapi berdasarkan IMT, hanya berpengaruh pada jenis kelamin pria. Selain itu IMT tidak berhubungan terhadap MSD karena pengukuran menggunakan Nordic hanya terkait pada tubuh
23
bagian atas dan keluhan muskuloskeletal extrimitas atas. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Karuniasih (2009) terhadap 52 orang supir bus travel, 90,4% keluhan muskuloskeletal dialami oleh supir yang memiliki indeks masa tubuh >25.
2.1.5 Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal Untuk memperoleh gambaran gejala keluhan muskuloskeletal dapat menggunakan Nordic Body Map (NBM) dengan keluhan mulai dari rasa tidak sakit, agak sakit, sakit, sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisa Nordic Body Map (NBM) maka dapat diestimasi tingkat dan jenis keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana, namun kurang teliti karena mengandung nilai subyektifitas yang tinggi (Tarwaka, 2010).
Kuesioner Nordic Body Map merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi. Kuesioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja, dan kuesioner ini paling sering digunakan karena sudah terstandarisasi dan tersusun rapi. Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu leher, bahu, punggung bagian atas, siku, punggung bagian bawah, pergelangan tangan atau tangan, pinggang atau pantat, lutut dan tumit atau kaki (Kroemer, 2001).
Adapun gambarnya sebagai berikut:
24
Gambar 1. Nordic Body Map
Sumber: Ketut Tirtayasa, et al. 2003
Skor akhir kuisioner akan menunjukkan keluhan yang dirasakan dan tindakan perbaikan yang harus dilakukan. Menurut Tarwaka tahun 2010, menyebutkan pedoman sederhana yang dapat dilakukan untuk menentukan klasifikasi subjektivitas keluhan muskuloskeletal.
Tabel 1. Klasifikasi Subjektivitas Keluhan Muskuloskeletal Berdaarkan Total Skor Individu Total Skor Keluhan Individu 0-20 21-41 42-62 63-84
Tingkat Risiko
Level Risiko
Aksi (termasuk tindakan penilaian)
0 1 2 3
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan Mungkin diperlukan tindakan dikemudian hari. Diperlukan tindakan segera. Diperlukan tindakan menyeluruh sesegera mungkin.
2.2 Konsep Ergonomi 2.2.1 Pengertian Ergonomi Ergonomi dapat juga dikatakan sebagai suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyeserasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan
25
keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, Bakri, Sudiajeng, 2004).
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia
(2010),
mendefinisikan
ergonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan dan dapat dikatakan sebagai ergonomik yaitu penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Ergonomi merupakan praktek dalam mendesain peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja yang bertujuan untuk mencegah cidera pada pekerja (OSHA, 2004).
Dapat disimpulkan ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan kerja sehingga manusia tersebut dapat merasa nyaman saat bekerja.
2.2.2 Ruang Lingkup Ergonomi Ergonomi mempunyai ruang lingkup yang memberi batasan area sehingga dalam penerapannya ergonomi dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, seperti: ergonomi fisik yang berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, ergonomi kognitif yang berkaitan dengan proses mental manusia, ergonomi organisasi yang berkaitan dengan kebijakan, struktur organisasi dan proses organisasi, ergonomi lingkungan yang berkaitan dengan pencahayaan, temperatur, kebisingan dan getaran (OSHA, 2004).
26
2.2.3 Tujuan Dan Manfaat Ergonomi Ilmu ergonomi belum banyak dipahami dan diterapkan oleh pekerja. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya pengetahuan dan informasi yang diberikan oleh para pengelola tempat kerja. Secara umum tujuan dan manfaat dari penerapan ergonomi adalah upaya untuk mencegah cidera akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengurangi kelelahan setelah bekerja, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja yang tinggi (OSHA, 2004).
2.2.4 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Ergonomi Penampilan kerja membutuhkan keseimbangan yang dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi lingkungan yang sehat, aman, nyaman. Apabila tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi ketidaknyamanan, kelelahan, kecelakaan, cidera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif (Elyas, 2012). a. Kapasitas atau kemampuan kerja Kemampuan seorang pekerja sangat mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan
kerja.
Kemampuan
kerja
ditentukan
oleh:
karakteristik pribadi seperti faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan pengalaman, status sosial, status kesehatan.
Kapasitas kerja juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja fisik. Kemampuan kerja fisik merupakan suatu kemampuan seseorang untuk
27
mampu melakukan suatu pekerjaan dengan menggunakan aktivitas otot pada periode waktu tertentu. kemampuan kerja fisik seseorang ditentukan oleh kekuatan otot dan ketahanan otot. b. Tuntutan tugas Pekerja melakukan pekerjaannya untuk memenuhi tuntutan tugas yang diberikan. Tuntutan tugas pekerjaan tergantung pada task and material characteristics yang ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan, dan irama kerja. Organization characteristics, yang berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti, dan libur, manajemen. Environment characteristics, yang berkaitan dengan manusia yaitu teman setugas, suhu dan kelembaban, bising, dan getaran, penerangan, sosio budaya, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar (Elyas, 2012).
2.2.5 Aplikasi Pelaksanaan Ergonomi Kerja Ergonomi harus dilaksanakan agar keluhan muskuloskeletal dalam bekerja dapat dikurangi sehingga tidak terjadi cedera dalam bekerja. Menurut International Labour Organisation (ILO) mengeluarkan panduan bagi pekerja dalam melakukan aktivitasnya. Panduan tersebut ditujukan untuk pekerja dengan posisi duduk dan berdiri. Berikut adalah panduan ergonomis untuk bekerja dalam posisi duduk menurut ILO (2004): a. Pekerja dapat menjangkau seluruh area kerja tanpa adanya peregangan atau tidak memutar.
28
b. Posisi duduk yang baik adalah dengan duduk lurus dan dekat dengan pekerjaan. c. Meja dan kursi harus dirancang sehingga permukaan tempat kerja kirakira pada tingkat yang sama dengan siku. d. Bagian belakang harus lurus dan bahu rileks. e. Jika memungkinkan, harus ada beberapa bentuk topangan yang sesuai untuk lengan bawah siku atau tangan.
Sedangkan panduan ergonomis dalam posisi berdiri adalah: a. Menurut tinggi kepala 1. Sediakan tempat yang memadai untuk pekerja yang paling tinggi. 2. Posisi kepala pada atau dibawah level mata karena orang secara alami melihat sedikit ke bawah b. Tinggi bahu 1. Pusat kontrol harus ditempatkan antara bahu dan setinggi pinggang. 2. Hindari menempatkan benda di atas ketinggian bahu, tempatkan sesuatu yang sering digunakan dan dapat dijangkau oleh lengan. 3. Posisikan alat atau fasilitas sesuai dengan kondisi pekerja sehingga pekerja yang paling tinggi tidak perlu membungkuk. c. Tinggi siku Sesuaikan tinggi permukaan pekerjaan sesuai dengan tinggi siku atau di bawah tinggi siku untuk tugas-tugas pekerjaan yang paling sering dilakukan.
29
d. Panjang kaki 1. Sesuaikan tinggi kursi sesuai dengan panjang kaki dan tinggi permukaan kerja. 2. Sediakan tempat sehingga kaki bisa terentang, dengan cukup ruang untuk kaki panjang. Memberikan pijakan kaki disesuaikan sehingga kaki tidak menggantung dan untuk membantu posisi pekerja perubahan tubuh.
2.2.6 Posisi Tubuh Saat Melakukan Tindakan Keperawatan Tindakan keperawatan yang dilakukan di ruang IGD banyak jenisnya dan memiliki risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Ditinjau dari banyaknya tindakan keperawatan, tindakan rawat luka, menjahit luka, pemasangan infus, dan pengambilan darah merupakan tindakan tersering dilakukan dan perawat bekerja dengan posisi tubuh tidak ergonomis. Perawat melakukan tindakan tersebut dengan posisi tubuh berdiri dan membungkuk, dan lamanya tindakan pun beragam. Tindakan pengambilan darah dilakukan kurang dari lima menit dan tiga tindakan lainnya dilakukan lima hingga sepuluh menit. Pada tindakan menjahit luka lamanya tindakan bervariasi tergantung dari luas dan kedalaman luka.
Mekanika tubuh yang baik berawal dari posisi tubuh yang tepat. Posisi tubuh yang tepat berarti terdapat keseimbangan antara kelompok-kelompok otot dan bagian-bagian tubuh dalam kesejajaran yang baik. Posisi tubuh
30
yang benar adalah sama dalam semua posisi-berdiri, duduk, dan membungkuk.
Pada posisi berdiri, tinggi optimum area kerja adalah 5-10 cm dibawah siku. Agar tinggi optimum dapat diterapkan, maka perlu diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan lengan bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Berdiri harus dengan posisi yang benar, dengan tulang punggung yang lurus dan bobot badan terbagi rata pada kedua kaki (Elyas, 2012).
Tulang belakang bagaikan tongkat lentur dengan palang dekat bagian atasnya dan palang yang lain dekat bagian bawah. Otot-otot tulang punggung berbentuk kecil dan tidak untuk mengangkat beban berat. Tugas utama otot ini adalah untuk membengkokkan punggung ke berbagai arah dan menahan punggung dengan stabil. Sementara otot kaki dan bahu melaksanakan pekerjaan berat (Barbara, 2003).
Ada 10 aturan dasar yang dapat diterapkan dalam melakukan proses keperawatan
sehingga
membantu
otot
untuk
mengurangi
keluhan
muskuloskeletal (Barbara, 2003): a. Pertahankan punggung tetap lurus. b. Kaki direntangkan agar dapat menjadi landasan penunjang yang baik. c. Membungkuk dari pinggul dan lutut agar lebih dekat ke objek. Jangan membungkuk dari pinggang. d. Gunakan berat badan untuk membantu mendorong atau menarik objek.
31
e. Gunakan otot terkuat untuk melakukan pekerjaan. f. Hindari memutar bagian badan ketika bekerja dan membungkuk dalam waktu lama. Putarlah seluruh tubuh. g. Pegang dan tahan objek yang berat dekat dengan tubuh. h. Dorong atau tariklah objek daripada mengangkatnya. i. Selalu meminta bantuan bila pasien atau benda terlalu berat untuk digerakkan sendiri. j. Serempakkan gerakan. Siapkan pasien dan anggota staf yang lain dengan memberitahukan bila sudah siap, atau dengan hitungan sampai tiga dan semua bergerak serntak pada hitungan ketiga.
2.2.7 Penilaian Ergonomi Menurut Rapid Entire Body Assessment (REBA) Penilaian ergonomi menurut Rapid Entire Body Assessment (REBA) (Highment and McA tamney, 2000) dikembangkan untuk mengkaji postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan industri pelayanan lainnya. Data yang dikumpulkan termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe dari pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Skor akhir REBA diberikan untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko mana dan pada bagian mana yang harus dilakukan penanggulangan. Metode REBA digunakan untuk menilai postur pekerjaan berisiko yang berhubungan dengan muskuloskeletal disorder/ work related musculoskeletal disorder (keluhan muskuloskeletal).
32
Metode REBA telah banyak digunakan secara luas di tingkat internasional, bahkan sudah menjadi standar penilaian ergonomi di USA (OSHA, 2004). Metode ini telah digunakan di Indonesia dalam beberapa penelitian mengenai analisis faktor risiko ergonomic di tingkat universitas (FKM UI, dalam Elyas, 2012).
Kelebihan REBA antara lain: a. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi. b. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang). c. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil. d. Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan. e. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan
Kelemahan metode REBA antara lain: a. Hanya menilai aspek postur dari pekerja. b. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang berkaitan dengan faktor psikososial.
33
c. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperature dan jarak pandang.
Langkah- langkah penilaian metode REBA: a. Melakukan pengamatan aktivitas kerja dan mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja. b. Menentukan postur kerja yang akan diamati, antara lain batang tubuh, pergelangan tangan, leher, kaki,lengan atas, dan lengan bawah. c. Menentukan nilai untuk masing-masing postur tubuh serta penentuan skor aktivitas. Secara garis besar penilaian dilakukan untuk menilai dua kelompok besar yaitu kelompok A untuk punggung, leher dan kaki, serta kelompok B untuk penilaian lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan tangan.
Kriteria penilaian postur: a. Kriteria penilaian postur grup A: 1. Kriteria penilaian area leher: a) Skor 1 = posisi leher 0o-20o ke depan b) Skor 2 = posisi leher > 20o ke depan dan ke belakang c) Skor + 1, jika leher berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah
2. Kriteria penilaian area punggung: a) Skor 1 = posisi punggung lurus atau o b) Skor 2 = posisi 0o- 20o ke depan dan ke belakang
34
c) Skor 3 = posisi 20o-600 ke depan dan > 20o ke belakang d) Skor 4 = posisi > 60o ke depan e) Skor + 1 , jika punggung berputar atau miring ke kanan, dan atau ke kiri serta ke atas dan atau ke bawah. 3. Kriteria penilaian area kaki: a) Skor 1 = tubuh bertumpu pada kedua kaki, berjalan,duduk b) Skor 2 = berdiri dengan satu kaki,tidak stabil c) Skor + 1, jika lutut di tekuk 30o – 60o ke depan, dan skor + 2, jika lutut di tekuk > 60o ke depan.
Setelah didapat skor postur punggung, leher dan kaki kemudian diperoleh skor tabel A. Nilai dari tabel A kemudian di jumlahkan dengan berat beban yang diangkat. 1. Skor 0 = berat beban < 5 kg 2. Skor 1 = berat beban 5-10 kg 3. Skor 2 = berat beban > 10 kg 4. Skor + 1, jika disertai dengan pergerakan yang cepat.
b. Kriteria penilaian postur grup B: 1. Kriteria penilaian area lengan atas: a) Skor 1 = posisi lengan atas 0o-20o ke depan dan ke belakang b) Skor 2 = posisi lengan atas > 20o ke belakang, dan 20o – 40o ke depan c) Skor 3 = posisi lengan atas antara 45o – 90o
35
d) Skor 4 = posisi lengan atas > 90o ke atas e) Skor + 1, jika bahu berputar atau bahu dinaikan atau diberi penahan f) Skor – 1 , jika lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang yang membantu. 2. Kriteria penilaian area lengan bawah: a) Skor 1 = posisi lengan 60o – 100o ke depan b) Skor 2 = posisi lengan antara 0o – 60o ke bawah, dan > 100o ke atas 3. Kriteria penilaian area pergelangan tangan: a) Skor 1 = posisi pergelangan tangan 0o – 15o ke depan dan ke belakang b) Skor 2 = posisi pergelangan tangan > 15o ke depan dan ke belakang c) Skor +1, jika terdapat penyimpangan pada pergelangan tangan.
Setelah skor area lengan atas,lengan bawah dan pergelangan tangan dimasukan ke dalam tabel skor B. tahap selanjutnya dijumlahkan dengan nilai genggaman tangan. Kriteria penilaian cara memegang: a) Skor 0 = memegang beban dengan dibantu oleh alat pembantu b) Skor 1 = memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang c) Skor 3 = memegang beban tidak pada tempat pegangan yang disediakan
36
c. Setelah nilai dari grup A dan grup B didapat, maka dimasukkan ke tabel C. d. Kemudian diperoleh nilai C dan dijumlah dengan nilai aktivitas. Kriteria nilai aktifitas yaitu: 1. Skor + 1, jika salah satu atau lebih dari anggota tubuh statis > 1 menit 2. Skor + 1, jika melakukan gerakan berulang > 4 kali dalam waktu 1 menit 3. Skor + 1, jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil.
Setelah nilai C di jumlahkan dengan nilai aktivitas, maka di peroleh nilai REBA atau skor akhir REBA serta level perubahan yang harus dilakukan. Dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Skor Akhir REBA Level Aksi
Skor REBA
Level Risiko
Aksi (termasuk tindakan penilaian)
0 1 2 3
1 2-3 4-7 8-10
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi
4
11-15
Sangat tinggi
Risiko masih dapat diterima dan tidak perlu dirubah Mungkin diperlukan perubahan Butuh pemeriksaan dan perubahan Kondisi berbahaya, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dan perubahan dengan segera Perubahan dilakukan saat itu juga
2.3 Hubungan Masa Kerja dan Posisi Tubuh Saat Bekerja dengan Keluhan Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor ergonomi. Dalam melakukan pekerjaan diperlukan posisi kerja
37
yang tepat untuk mengurangi kelelahan dan mencegah terjadinya cidera di dalam bekerja. Salah satu kelelahan yang dapat muncul adalah kelelahan otot, yang merupakan kelelahan yang disebabkan akibat aktivitas fisik yang terlalu lama dan banyak (Muchinsky dalam Putri, 2009).
Bekerja dalam postur tubuh yang janggal contohnya dalam tindakan rawat luka, menjahit luka, pemasangan infus, dan pengambilan darah, dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat berdampak pada pergerakan atau pemendekan jaringan lunak dan otot (Pheasant,1991 dalam Kurniawati, 2009). Postur janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan (Department of EH&S, 2002). Bekerja dengan posisi janggal meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk bekerja. Posisi janggal menyebabkan kondisi dimana transfer tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien sehingga mudah menimbulkan lelah (Octarisya, 2009).
Seseorang bekerja dengan baik dipengaruhi oleh masa kerjanya, dimana kemampuan fisik akan berangsur menurun dengan bertambahnya masa kerja akibat MSDs dari pekerjaannya. Makin lama masa kerjanya, makin lama pula keterpaparan terhadap waktu dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja, sehingga akan menimbulkan berbagai keluhan-keluhan fisik akibat pekerjaannya. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Hajrah pada tahun 2013, yang meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal pada cleaning service. Didapatkan hasil bahwa 53
38
responden dengan masa kerja lama mengalami gangguan muskuloskeletal berat dan 9 responden mengalami gangguan muskuloskeletal ringan. Sedangkan masa kerja yang baru, sebanyak 47 responden mengalami gangguan muskuloskeletal ringan. Tenaga kerja yang tergolong dalam kelompok tua serta yang masa kerjanya lebih dari 3 tahun, sebaiknya memperhatikan kesegaran jasmani, sehingga keluhan muskuloskeletal dapat diturunkan. Sikap kerja yang salah, canggung dan diluar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian muskuloskeletal (Hajrah, 2013).
Berdasarkan hal itu kita dapat lihat pentingnya memahami prinsip-prinsip ergonomi dalam bekerja. Kita bisa lihat dari tujuan dan manfaat dari penerapan ergonomi adalah upaya untuk mencegah cidera akibat kerja, menurunkan
beban
kerja
fisik
dan
mental,
mengurangi
keluhan
muskuloskeletal setelah bekerja, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja yang tinggi. Dengan menerapkan ergonomi di dalam melakukan tindakan keperawatan khususnya pada tindakan rawat luka, menjahit luka, pemasangan infus, dan pengambilan darah, dapat mengurangi kelelahan muskuloskeletal yang dirasakan oleh perawat. Semakin tubuh kita dapat menyesuaikan antara posisi kerja dengan proses kerja yang tepat maka keluhan muskuloskeletal dapat diturunkan.