BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Patron Klien Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa dalam suatu interaksi sosial masing-masing aktor melakukan hubungan timbal-balik. Hubungan ini dilakukan secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal (masing-masing aktor kedudukannya sama). Istilah „patron‟ berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung pada zaman Romawi kuno. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para klien secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka. Ikatan antara patron dan klien mereka bangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun (Pelras, 2009: 21). Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari sebuah ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosioekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi
10 Universitas Sumatera Utara
seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh Scott (1994) berkaitan dengan kehidupan petani adalah: 1. Penghidupan subsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocoktanam. 2. Jaminan krisis subsistensi, yaitu patron menjamin dasar subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan mengganggu kehidupan kliennya 3. Perlindungan dari tekanan luar 4. Makelar dan pengaruh. Patron selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya, ia juga dapat menggunakan kekuatannya untuk menarik
keuntungan/hadiah
dari
kliennya
sebagai
imbalan
atas
perlindungannya. 5. Jasa patron secara kolektif. Secara internal patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomisnya secara kolektif, yaitu mengelola berbagai bantuan secara kolektif bagi kliennya. Adapun pertukaran dari klien ke patron, adalah jasa atau tenaga yang berupa keahlian teknisnya bagi kepentingan patron. Adapun jasa-jasa tersebut berupa jasa pekerjaan dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa
11 Universitas Sumatera Utara
domestik pribadi, pemberian makanan secara periodik. Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan loyalitasnya kepada patron adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron dan dan hasil/jasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan patron-klien itu menjadi sah dan legal. Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan bertahan jika patron terus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam pola interaksi tersebut karena kaum elit/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini berlaku karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar kedua posisi. Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah
12 Universitas Sumatera Utara
berfungsi linear dari neraca pertukaran itu. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengindentifikasi pola hubungan yang terjadi antara toke dengan petani kemenyan, apakah pola patron klien yang disebutkan Scott memang berlaku pada petani Pandumaan atau sudah mengalami pergeseran. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan patron klien dilakukan oleh Astuti (2012) yang berjudul “Relasi Sosial Petani dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian”. Penelitian ini mengkaji tentang relasi patron klien yang terjadi antara petani dengan buruh tani. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Relasi yang yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian tidak hanya relasi kerja melainkan relasi tersebut telah meluas pada relasi-relasi sosial yang berbeda-beda diantara petani dengan buruh tani. 2) Relasi sosial ini terjalin dalam berbagai bentuk yaitu relasi sosial petani dengan buruh tani bebas, relasi sosial petani dengan buruh tani langganan, dan relasi sosial petani dengan buruh tani tetap dan (3) Relasi sosial disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun sejak lama. Adapun penelitian lainnya yang membahas hubungan patron klien berasal dari Kurniawan dan Kolega (2011). Hasil penelitian ini adalah : 1) Pola hubungan Petani karet dengan tauke yang terjadi pada masyarakat petani Desa Muara Musu adalah hubungan produksi dan saling
menguntungkan. Dalam melakukan
hubungan patron klien ini antara petani karet dengan tauke tidak saja bermotifkan
13 Universitas Sumatera Utara
hubungan ekonomi, tetapi meluas hingga hubungan sosial. Umumnya terlihat pada kesediaan tauke untuk menjamin kebutuhan petani pada masa sulit misalnya: musim hujan dan kemarau yang panjang. Di sisi lain petani bersedia membantu tauke bila diperlukan tanpa mengharapkan imbalan apapun. 2) Kerjasama antarapetani karet dengan tauke berlangsung dalam proses produksi yang mana tingginya tingkat ketergantungan antara petani karet terhadap tauke karena didasarkan sama-sama mempunyai kepentingan.
2.2 Hubungan Eksploitatif Hubungan patron klien yang dilihat Scott sebagai melindungi yang lemah, bagi Popkin adalah suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja. Petani diberi kesempatan untuk hal-hal kecil seperti mencari butir-butir padi yang tersisa agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Pada hakekatnya, Popkin (dalam Kosala dan Kolega,2011) menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “free- riders” tidak signifikan mempengaruhi perilaku kolektif. Premis dasar terciptanya pola hubungan eksploitasi disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial, yakni adanya perbedaan status diantara pelaku ekonomi. Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Pihak yang mengeksploitasi semata-
14 Universitas Sumatera Utara
mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka.. Kelompok dengan sumber daya yang melimpah dan berkuasa dapat memaksakan sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka. Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi. Pertama, harus dilihat sebagai suatu hubungan antara perorangan, dan ada pihak yang mengeksploitasi dan dieksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Eksploitasi berbeda dengan resiprositas dalam hubungan patron klien. Resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa individu atau kelompok harus membantu mereka yang pernah membantunya atau jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima bagi si penerima menimbulkan satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakatmasyarakat tradisional (Scott, 1994). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaran yang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil (Hettne, 2001:289). Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengidentifikasi pola hubungan yang terjadi antara petani kemenyan dengan toke apakah termasuk pola yang
15 Universitas Sumatera Utara
eksploitatif pada petani Pandumaan. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan yang ekslpoitatif dilakukan oleh Purnamasari (2002:111) menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ponggawa dengan aset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas (timbal-balik). 2. Hal ini karena hubungan ponggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, disamping hubungan ponggawa-petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat (berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu). Adapun penelitian yang masih berhubungan dengan pola eksploitatif adalah penelitian Alhada (2011) tentang konstruksi sosial buruh tani tembakau terhadap eksploitasi yang dilakukan majikannya di Desa Mayang, Kecamatan Mayang, KabupatenJember. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani yang bekerja keras setiap kali diminta untuk mengerjakan lahan pertanian milik majikan sangatlah pasrah terhadap keadaan yang ada. Tak ayalnya banyak sekali kita temui beberapa buruhtani bekerja sepanjang hari mendapat upah yang relatif minim. Pemberian upah yang tidak sebanding dengan kerja keras yang buruhtani
16 Universitas Sumatera Utara
untuk menggarap lahan majikan ini nampaknya menimbulkan ketimpangan yang cukup berarti. Fenomena tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal misalnya: kuasa
majikan
yang
cenderung
bertindak
sewenang-wenang,
majikan
menganggap bahwa posisi majikan lebih tinggi dibandingkan dengan posisi buruhtani, adanya pemikiran dari mayoritas buruhtani bahwa memang sudah sewajarnya buruh harus tunduk dan menuruti kemauan majikan tersebut merupakan suatu kesepakatan masyarakat di Desa Mayang dan tidak dapat diubah lagi.
2.3 Pola Mutualisme Pola mutualisme merupakan suatu bentuk hubungan yang dilakukan oleh dua orang yang mengutamakan keuntungan masing-masing dan dinilai setimpal atas apa yang dikerjakan. Popkin (dalam Kosala, 2011) mengungkapkan tentang rasional ekonomi petani. Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional.Ada beberapa perdebatan antara James Scott dan Samuel Popkin. Rasionalitas petani menurut Scott adalah moral ekonomi petani yang hidup di garis batas subsistensi, yaitu dengan norma mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott hal ini merupakan perilaku yang rasional.Namun Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Popkin yakin, pada hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.Intinya, Popkin mengkritik Scott dan menyakini bahwa petani pada hakekatnya ingin meningkatkan
17 Universitas Sumatera Utara
ekonominya dan berani mengambil resiko. Bahkan, bila kesempatan terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu menerapkan praktek untung rugi. Rasionalitas petani akan lebih menonjol jika ditunjang oleh adanya independensi petani, karena mampu mendorong tumbuhnya kreativitas. Perpaduan antara rasionalitas dan independensi mampu menumbuhkan keberanian menghadapi resiko. Pola ini sesuai dengan teori Pilihan Rasional. Teori pilihan rasional Coleman (dalam Hariyanto,2014) merupakan tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Teori pilihan rasional memusatkan perhatiannya pada aktor. Aktor dilihat sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor memiliki tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Aktorpun dipandang memiliki pilihan (nilai atau keperluan). Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Relevan dengan tindakan rasional tersebut, Coleman (dalam Hariyanto, 2014) mengembangkan melalui teori pilihan rasional yang menyatakan bahwa, tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Pernyataan Coleman bersumber dari akar pemikiran ilmu ekonomi yang melihat aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya, dan menyatakan bahwa basis minimal untuk sistem sosial
18 Universitas Sumatera Utara
tindakan adalah dua orang aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak yang lain. Perhatian satu orang terhadap sumber daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam tindakan saling membutuhkan, terlibat dalam sistem tindakan. Selaku aktor yang mempunyai tujuan, masing-masing bertujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingannya yang memberikan ciri saling bergantung atau ciri sistemik terhadap tindakan mereka. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan mutualisme dilakukan oleh Hariyanto (2014) menunjukkan bahwa petani sebagai aktor dan lahan sebagai sumber daya yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Jadi, hubungan diantara keduanya adalah kuasa dan kepentingan (Coleman, 2011:37). Sumber daya yang dimiliki oleh seorang petani memiliki daya tarik sendiri bagi orang lain untuk memilikinya. Proses terbentuknya pilihan rasional dalam konteks ini yaitu ketika seorang petani menyewakan lahannya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya seperti biaya pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Lahan merupakan sumber daya yang dimiliki oleh petani yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Kuasa disini maksudnya petani pemilik lahan berhak untuk menggarap, menyewakan, atau bahkan menjual lahan tersebut untuk memenuhi kepentingan atau tujuannya. Ketika berbicara kepentingan, maka tidak semua sumber daya yang dimiliki petani bisa memenuhi kepentingannya. Masih ada beberapa sumber daya yang tidak dimiliki oleh petani dan dimiliki oleh orang lain sehingga untuk memilikinya diperlukan adanya pertukaran (transaksi) untuk memenuhi kepentingan dari masing-masing individu. Penyewaan lahan dilakukan karena petani sebagai pemilik lahan membutuhkan
19 Universitas Sumatera Utara
uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sedangkan pihak penyewa membutuhkan lahan untuk memperluas lahan pertaniannya. Konsep ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi hubungan yang terjadi antara petani dengan toke. Apakah hubungan petani dengan kemenyan yang terjalin diantaranya hanya berdasarkan keuntungan saja atau mencari jaminan perlindungan dan subsistensi akibat sedikitnya bantuan yang diperoleh dari saudara mereka sendiri seperti yang dikatakan Scott (1994) dalam moral ekonomi petani.
2.4 Hutan Adat Hutan adat adalah kawasan hutan yang dijadikan hutan larangan melalui keputusan masyarakat atas dasar kesepakatan bersama (Alfitri,2010). Pengawasan kawasan ini dilakukan oleh ketua adat, kelompok marga sertakepala desa. Hutan adat dijadikan sebagai aset perekonomian yang bisa dimanfaatkan oeh masyarakat untuk melakukan kegiatan berladang guna memenuhi kepentingan ekonomi keluarga berupa kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan adat yang bukan berasal dari desa/ menikah dengan masyarakat adat di desa tersebut, terlebih dahulu harus melapor dan mendapat izin dari Ketua adat sebagai kepala pemerintahan marga. Hutan adat pada prinsipnya dikelola oleh pemerintahan marga dengan aturan sebagai berikut: 1. Semua keluarga yang ingin membuka hutan marga berhak atas pengelolaan lahan seluas kemampuan membabat hutan. Jika suatu keluarga mampu membuka lahan seluas dua hektar, tetap diizinkan oleh ketua adat.
20 Universitas Sumatera Utara
2. Keluarga yang membuka hutan tidak boleh menanam tanaman keras dengan alasan bahwa tanaman tersebut berumur pendek, sehingga bisa dilakukan penggiliran bagi keluarga lain. 3. Hasil dari tanaman dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bukan untuk dijual atau memperoleh keuntungan ekonomi. 4. Hutan adat yang sudah beberapa tahun (empat sampai lima tahun berturut-turut) ditanam oleh masyarakat harus dihutankan kembali (dibiarkan menjadi hutan) agar tanah hutan menjadi subur kembali 5. Keluarga yang menggunakan hutan adat diwajibkan membayar pajak marga dalam satu tahun, jika ingin melanjutkan kembali diharuskan mengajukan pengusulan ulang kepada Ketua adat. 6. Keluarga yang melanggar aturan adat dapat dikenakan sanksi adat sesuai dengan hukum adat yang ditetapkan oleh rapat dewan marga. Dari keenam prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa pengelolaan hutan adat
masih memiliki kearifan lokal
dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat adat, yaitu antara lain : a. Masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia
merupakan
bagian
dari
ekosistem
yang
luas
dan
dijaga
keseimbangannya.
21 Universitas Sumatera Utara
b. Adanya hak penguasaan atau kepemilikan bersama komunitas atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan. c. Adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalahmasalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumber daya hutan. d. Adanya sistem pembagian kerja dan penegakan hutan adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar. e. Ada mekanisme pemerataan distribusi hasil panen-panen sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Alfitri,2010). Menurut hasil penelitian Silaya (2008) menyatakan : 1) Masyarakat Desa Walakone masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeens-chap)karena memiliki ikatan-ikatan kekeluargaan seperti marga, mata rumah, soa, dll.2) Masyarakat desa ini memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adat,memiliki wilayah
hukum
adat
yang
jelas,
pranata
serta
perangkat
hukum,
khususnyaperadilan adat, yang masih ditaati. Selain itu masyarakatnya masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhanhidup sehari-hari. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zoraya (2002) menyatakan: 1) Hutan Tana Toa diakui sebagai hutan adat yang berfungsi sebagai pengatur tata air, tempat pelaksanaan upacara adat (fungsi sosial) dan 2) menanam dua jenis pohon hingga tumbuh dengan baik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat adat.
22 Universitas Sumatera Utara
Kelestarian hutan dapat terjaga karena adanya patang yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat keamatoaan, adanya tokoh Amma Toa, ketegakan hukum, keteguhan dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran pasang. Dengan demikian keberadaan hutan adat merupakan warisan secara turuntemurun dari leluhur marga mereka. Para leluhur, mewariskan hutan tersebut untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para generasi mereka. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap ketersediaan sumber daya alam membuat masyarakat lokal sangat mematuhi aturan-aturan marga mereka terutama dalam hal pemanfaatan pepohonan (Wulandari dan Kolega,2010).
23 Universitas Sumatera Utara