BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. SOSIOLINGUISTIK Sosiolinguistik berasal dari kata sosio dan linguistik. Bila dilihat dari masingmasing katanya, sosio merupakan kata yang senada dengan kata sosial, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi kemasyarakatan. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat), dan hubungan antara unsur-unsur tersebut. Jadi, sosiolinguistik adalah suatu studi bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah suatu ilmu yang mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1993 : 2). Hal ini sejalan dengan pandangan Nancy Parrot Hickerson dalam Pateda (1987 : 3), yang menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah perkembangan sub bidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ajaran serta mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial tersebut dengan variasi bahasa. Faktor-faktor sosial yang dimaksud disini adalah faktor umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Hampir sama dengan pandangan tersebut di atas, Rahardi (2001 : 13) mengungkapkan bahwa :
“Sosiolinguistik
adalah
studi
ilmu
yang
mengkaji
bahasa
dengan
mempertimbangkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu sendiri”. Menurut Spolsky (1998 : 3), “Sosiolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat, yaitu antara bahasa yang digunakan dengan struktur sosial dimana si pengguna bahasa berada”. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa cara orang berbicara dipengaruhi oleh konteks sosial dimana mereka berada. Sangat penting untuk mengetahui dengan siapa kita berbicara, dalam setting seperti apa dan dalam kondisi seperti apa, karena saat kita bertutur secara tidak langsung tuturan kita akan menginformasikan dari mana kita berasal, bagaimana tingkah laku dan cara berfikir kita. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Holmes (1972 : 1), yang menyatakan bahwa “Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat”. Ilmu ini mempelajari mengapa kita berbicara dengan cara yang berbeda dalam suatu konteks sosial yang berbeda. Holmes juga menambahkan bahwa sosiolinguistik adalah suatu studi bahasa yang mengidentifikasikan fungsi sosial suatu bahasa dan cara bagaimana bahasa tersebut digunakan untuk membawakan suatu makna sosial tertentu. Sedikit berbeda dengan pendapat diatas, Fishman (1972 : 4) mengemukakan bahwa “Sosiolinguistik adalah ..... the study of the characteristics of language varieties, the characteristics of their function, and characteristics of their speaker as these three constantly interact and change one another within a speech community” .
Jadi sosiolinguistik bukan hanya mempelajari tentang variasi bahasa dan fungsinya, melainkan juga mempelajari tentang karakteristik penuturnya. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, perasaan penutur akan berpengaruh pada variasi bahasa yang dia gunakan. Pada saat seseorang sedang merasa senang akan menjawab pertanyaan yang kita ajukan dengan bahasa yang baik, sehingga fungsi bahasanya adalah memberi informasi. Namun apabila dia sedang marah / kesal terhadap sesuatu, dia cenderung akan menjawab pertanyaan yang kita ajukan dengan bahasa cenderung agak kasar sebagai tanda luapan emosi. Akibatnya, fungsi bahasa dari tuturan tersebut berubah dari fungsi informatif menjadi fungsi emotif yang menyatakan perasaan penutur pada saat itu.
B. ASPEK-ASPEK SOSIOLINGUISTIK Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka dalam setiap proses komunikasi ini terjadilah apa yang disebut dengan peristiwa tutur (speech event). Menurut Chaer (1995 : 61) yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya / berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran / lebih yang melibatkan 2 pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang disebutkan diatas, atau seperti yang dikatakan oleh Hymes dan Coulthard (1972 : 41), Giglioli (1977 : 44), Saville (1986 : 137), dan
Wardhaugh (1986 : 239) bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi sebuah akronim SPEAKING yang merupakan dasar dalam berinteraksi dan menjadi panutan ahli bahasa lain untuk memaparkan dan mengembangkannya secara lebih mendetail. Komponen-komponen tersebut adalah : 1. Setting dan Scene Setting berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa tutur. Secara umum, faktor ini menunjukkan kepada keadaan dan lingkungan fisik tempat tuturan itu terjadi. Misalnya, suatu tuturan dapat terjadi di jalan, rumah, kantor, dan sebagainya pada waktu pagi, siang, sore, atau malam hari. Scene memacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Dalam sosiolinguistik, ada 2 macam situasi yang sering kita jumpai, yaitu situasi formal dan informal. a. Situasi Formal Jenis situasi ini membawa seorang partisipan untuk menggunakan bahasa baku atau standar. Situasi seperti ini sering kita jumpai pada saat rapat perusahaan, pidato kenegaraan, wawancara pekerjaan, dan sebagainya, dimana penutur tidak dapat berbuat banyak dalam berbahasa selain menggunakan variasi bahasa standar. b. Situasi Informal Jenis situasi seperti ini menawarkan kebebasan kepada para partisipan untuk menggunakan berbagai variasi bahasa yang diinginkan dalam
percakapan. Biasanya mereka menggunakan variasi bahasa non standar untuk membuat suasana lebih akrab. Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Pembicaraan di sebuah ruangan kelas dalam suatu diskusi antara mahasiswa dengan seorang dosen akan berbeda dengan pembicaraan dalam suatu acara malam keakraban yang dihadiri para mahasiswa dan beberapa dosen di aula kampus. Pada saat berdiskusi bahasa yang digunakan adalah bahasa baku, sedangkan pada acara malam keakraban situasi yang terjadi adalah situasi informal yang penuh keakraban, sehingga variasi bahasa yang digunakan juga penuh dengan keinformalitasan. 2. Participants Orang-orang yang terlibat dalam peristiwa bahasa, dimana pemilihan variasi bahasa diantara mereka dipengaruhi oleh : a. Jarak Sosial Mengacu pada seberapa baik kita mengenal mitra tutur. Hal ini merupakan faktor penting yang menentukan bagaimana cara kita berbicara dengan mitra tutur kita. Secara umum, ada 2 jenis hubungan dari faktor ini. Hubungan tersebut adalah hubungan akrab atau intimate dan hubungan jauh atau distant. Hubungan intimate biasa digunakan oleh orang-orang yang telah mengenal dengan baik, sementara hubungan distant adalah hubungan antara orang-orang yang baru saling mengenal atau orang-orang yang tidak begitu mengenal mitra tuturnya dengan baik.
Semakin akrab seseorang dengan lawan bicaranya, solidaritas sosial akan semakin tinggi sehingga para partisipan akan cenderung menggunakan bahasa informal seperti slang. b. Status Sosial Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat. Tinggi rendahnya status seseorang dapat ditentukan oleh jabatan dan pekerjaan, latar belakang ekonomi, politik, pendidikan, maupun keturunan. Dalam hal status ada 2 jenis status, yang sebagai seseorang yang memiliki status lebih tinggi atau yang biasa disebut superior, dan mereka yang memiliki status sosial rendah atau subordinate. Seorang penutur akan berusaha menggunakan bentuk bahasa yang lebih sopan dan baku bila berinteraksi dengan orang yang statusnya lebih tinggi, dan sebaliknya seseorang yang berstatus tinggi akan cenderung menggunakan bahasa yang lebih sederhana dengan orang yang status sosialnya lebih rendah. Misalnya, hubungan antara karyawan dan atasannya. 3. Ends Dibagi menjadi 2 macam, yaitu outcomes dan goals. Outcomes adalah tujuan dari peristiwa bahasa yang dilihat dari sudut pandang kebudayaan. Sedangkan goals adalah tujuan dari para partisipan itu sendiri. Misalnya, dalam peristiwa perdagangan, outcomes-nya adalah pertukaran suatu barang dari satu pihak ke pihak lainnya. Sedangkan goals-nya bagi pedagang adalah mendapatkan laba sebesar-besarnya, dan bagi para pembeli adalah memperoleh barang dengan harga semurah mungkin. 4. Act Sequences
Merujuk message form dan message content. Message form atau bentuk pesan adalah cara bagaimana kita mengungkapkan suatu topik atau informasi. Bentuk tersebut tergantung pada situasi. Sedangkan message content atau isi pesan adalah apa yang kita katakan. Bentuk pesan dibagi menjadi 2 macam, yaitu bentuk pesan langsung dan tidak langsung. a. Bentuk Pesan Langsung Pesan yang disampaikan secara langsung tanpa adanya makna tersembunyi dari tuturan si penutur tersebut. Menurut Vanderveken (1990 : 14 – 15) ada 7 bentuk sintaksis dari kalimat yang digunakan untuk mengidentifikasikan bentuk pesan langsung, yaitu : 1) Kalimat deklaratif adalah kalimat yang digunakan untuk menyampaikan suatu keadaan. Misalnya, You’re working late. 2) Kalimat pengandaian, yaitu kalimat yang digunakan untuk menyampaikan keinginan penutur terhadap sesuatu yang telah terjadi atau akan terjadi di masa yang akan datang. Misalnya, He was a bit proud as I recall. 3) Kalimat imperatif adalah kalimat yang digunakan agar mitra tutur melakukan sesuatu. Misalnya, Door open ! 4) Kalimat interogatif adalah kalimat yang digunakan untuk bertanya. Misalnya, Isn’t that right, Deanna ? 5) Kalimat
eksklamatori
adalah
kalimat
yang
digunakan
mengekspresikan perasaan seseorang. Misalnya, You sick bastard !
untuk
6) Kalimat optatif adalah kalimat yang digunakan untuk mengekspresikan harapan penutur. Misal; Really, it’s not too late to resconsider. 7) Kalimat subjunctif adalah kalimat yang digunakan untuk mengekspresikan keinginan penutur. Misal, Let’s hope that luck holds. b. Bentuk Pesan Tidak Langsung Pesan yang ingin disampaikan dituturkan secara tersirat oleh si penutur. Bentuk pesan ini bisa diketahui jika mitra tutur dapat mengerti maksud tersirat dari tuturan tersebut. Misalnya, there is stain in your cloth. Kalimat ini tidak hanya memberikan informasi bahwa ada kotoran di kemeja penutur, tetapi juga memiliki maksud tersirat agar penutur membersihkan kemejanya. 5. Keys Kunci (keys) memacu kepada cara, nada atau jiwa (semangat) dimana suatu pesan disampaikan. Kunci itu kira-kira serupa dengan modalitas dalam kategori gramatika. Suatu tindak tutur bisa berbeda karena kunci. Misalnya antara serius dan santai, hormat dan tidak hormat, sederhana dan angkuh atau sombong, dan sebagainya. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat, seperti kedipan mata, gerak tubuh, gaya berpakaian, dan sebagainya. Bedakan kedua ungkapan berikut dari seorang ibu kepada anaknya yang nakal : a. “Kamu ini kok nakal lagi, nakal lagi, .....” b. “Kamu ini kok nakaaaaaalll terus ....” Pemanjangan vokal pada kata nakal, pada suku kata kedua terasa lebih ekspresif. Nadanya menunjukkan kejengkelan yang memuncak.
6. Instrument Mencakup channel atau saluran dan form speech atau bentuk tuturan. a. Saluran (Channel) Memacu kepada medium penyampaian tuturan, apakah lisan, tertulis, melalui telegram, telepon, dan sebagainya. Dalam hal saluran, orang harus membedakan cara menggunakannya. Saluran lisan (oral), misalnya dipakai untuk menyanyi, bersenandung, bersiul, mengujarkan tuturan, dan lain-lain. Ragam lisan untuk tatap muka berbeda dengan untuk telepon. Ragam tulis telegram berbeda dengan ragam tulis surat, dan sebagainya. Adapun ciri-ciri bahasa lisan menurut De Vito dalam Alwasilah (1993 : 21 – 23) adalah sebgai berikut : 1) Bahasa lisan lebih sedikit menggunakan kata-kata yang berbeda. 2) Bahasa lisan lebih abstrak daripada bahasa tulis. 3) Bahasa lisan lebih banyak menggunakan “miscellaneous group” (kata campuran), yang meliputi : a) Attention claimer atau penarik perhatian, adalah kata yang digunakan untuk menarik perhatian petutur agar memperhatikan tuturan si penutur. Misalnya, kata hey,oh, dan lain-lain. b) Attention signal atau penunjuk perhatian, adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan bahwa petutur mendengarkan tuturan penutur. Kata yang termasuk dalam kategori ini adalah kata seperti yes,ugghhh,ahhh.
c) Responses atau sambutan, adalah jawaban atas pertanyaan si penutur. Kata-kata tersebut yaitu yes, okay, no, dan lain-lain. d) Infinitive marker atau tanda infinitif, yaitu to. e) Negation atau penindak, yaitu no. f) Hesitators atau penunjuk bingung, adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan bahwa penutur merasa bingung untuk berbicara. Kata yang termasuk kategori ini yaitu well, umm, dan lain-lain. Dalam hal ini penulis hanya akan menggunakan ciri yang terakhir, yaitu “Miscellanous” group karena ciri-ciri tersebut merupakan ciri yang paling menonjol dalam bahasa lisan. b. Bentuk Tuturan Mengarah kepada tatanan bahasa yang digunakan oleh pembicara untuk menyampaikan pesan. Bahasa itu dapat berupa bahasa baku, dialek, register, ataupun ragam bahasa tertentu lainnya. 7. Norms Normas atau norma adalah aturan-aturan yang berlaku pada suatu tindak tutur dan harus ditaati oleh para peserta tutur. Norma ini terdiri dari norma interaksi dan norma pernafsiran. a. Norma Interaksi (Norms of Interaction) Norma interaksi adalah norma yang mengatur saat yang tepat kapan kita harus berbicara, kapan harus diam, kapan kita harus menggunakan bahasa formal, dan kapan kita menggunakan bahasa informal, dan lain-lain. Misalnya, dalam suatu diskusi pada saat kita ingin menginterupsi, kita
dianjurkan untuk mengacungkan jari telunjuk kanan ke atas sebagai tanda meminta ijin berbicara. b. Norma Penafsiran (Norms of Interpretation) Norma yang behubungan dengan maksud tuturan dari si penutur. Norma
interpretasi
memungkinkan
pihak-pihak
yang
terlibat
dalam
komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas yang berbeda. Misalnya, para mahasiswa Amerika berbeda dengan para mahasiswa Arab dalam hal norma interpretasi. Para mahasiswa Arab berbicara dengan suara yang lebih keras daripada mahasiswa Amerika. Orang-orang Amerika bisa saja salah mengartikan perilaku mahasiswa Arab tersebut. Suara yang keras bisa mereka artikan bahwa orang Arab tersebut dalam keadaan bertengkar. 8. Genres Richard dalam Sumarsono (2002 : 333) mengatakan bahwa : “Genre adalah sekelompok peristiwa tutur yang oleh masyarakat tutur dianggap mempunyai tipe yang sama”. Genre berhubungan dengan jenis kegiatan bahasa, apakah dalam bentuk doa, khotbah, pidato, surat, puisi, iklan, cerita rakyat, pengajaran, pepatah, nasehat, wawancara, diskusi, dan sebagainya. Setiap genre bisa disebut suatu kelompok genre, misalnya misa di gereja Katolik mengandung beberapa genre, seperti nyanyian pujian (hymne), madah suci dari kitab Injil, doa, dan khotbah.
C. SLANG 1. Pengertian Slang Slang berasal dari kata slang atau slanguage. Istilah ini pertama kali digunakan di Inggris pada pertengahan abad ke-18 (Pei, 1965 : 161). Dahulu slang pada awalnya dipakai oleh berbagai kelompok sosial masyarakat, seperti penjahat, narapidana, pelaut, anggota angkatan bersenjata, dan sebagainya. Dimana tujuan dari penggunaan variasi bahasa ini adalah : a. Untuk menggalang kesetiakawanan dan kebersamaan kelompok serta mencegah orang lain mengetahui terlalu banyak tentang sub-kelompok sosial yang bersangkutan. Namun, dalam perkembangannya kata-kata slang dipakai secara luas menjadi suatu kosakata umum dan kemudian para pemakainya mungkin tidak lagi mengenal asal mula kata-kata tersebut (Robin, 1992 : 496). Pendapat dari Robin ini sejalan dengan pandangan Hartman and Storck dalam Alwasilah (1985 : 57) yang menyatakan bahwa slang adalah suatu variasi ujaran yang dicirikan dengan kosakata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kawula muda atau kelompok-kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi “di dalam”, jadi cenderung untuk tidak diketahui oleh pihak lain dalam masyarakat. b. Hampir semua orang seringkali menggunakan slang dalam situasi tertentu. Penggunaan slang dalam hal ini adalah untuk memperkaya kosakata bahasa dengan mengkomunikasikannya dengan kata-kata lama yang bermakna baru atau kata-kata baru dengan makna yang juga baru.
Hal ini diperkuat oleh Keraf (1991 : 108), bahwa slang adalah kata-kata non standar yang informal, yang disusun secara khas, bertenaga, dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. c. Kadangkala slang yang dihasilkan dari salah ucapan disengaja, atau kadangkala berupa perusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu bidang makna yang lain. d. Selain itu Keraf (1991 : 108) juga berpendapat bahwa kata-kata slang sebenarnya terdapat pada semua lapisan masyarakat. Tiap lapisan atau kelompok masyarakat dapat menciptakan istilah yang khusus, atau mempergunakan kata-kata yang umum dan pengertian yang khusus, yang harus berlaku untuk kelompoknya. Menguatkan pandangan tersebut, Spolsky (1998 : 35) menyatakan bahwa : Slang is kind of jargon, marked by it’s rejection of formal rules, it’s comparative freshness, and it’s common ephemerality and it’s marked use to claim solidarity. e. Kata-kata slang sering dipinjam dari kosakata yang khusus dalam jabatan tertentu, kemudian diberi arti umum. Oleh karena itu, kata-kata slang juga mempunyai iuran pada perkembangan bahasa. Banyak kata slang berubah menjadi kosakata umum, bila kata-kata tersebut memiliki kegunaan dan kehidupan bahasa umum dan karena penutur kata-kata tersebut semakin meningkat. Seperti juga kata-kata yang lain, kata slang bertolak dari keinginan agar bahasa itu lebih hidup dan asli. Semua orang terutama pemuda-pemudi,
selalu mencoba mempergunakan bahasa atau kata-kata lama dengan caracara baru atau dengan arti baru. f. Jadi bisa kita katakan bahwa kata-kata ataupun frase-frase slang yang sering kita jumpai merupakan hasil kesesuaian yang terjadi akibat adanya gagasan dan kebiasaan bahasa yang tumbuh dalam masyarakat. Hal ini dipertegas oleh Pei dan Gaynor dalam Alwasilah (1985 : 56), yang menyatakan bahwa “slang adalah suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum dibuat dengan adaptasi yang populer dan perluasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata, pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok usia tertentu”. Kehadiran bahasa slang pada umumnya bukan untuk merusak atau mengubah tatanan bahasa yang sudah ada, melainkan hanya sebagai sebuah media untuk berkomunikasi antar anggota sebuah komunitas agar terjalin suatu keakraban.
2. Ciri-Ciri Slang Dari beberapa pengertian slang, kita bisa menyimpulkan ciri-cirinya, yaitu : a. Merupakan ragam bahasa non standar atau informal. b. Berupa kosakata yang digunakan oleh suatu kelompok tertentu untuk tujuan tertentu.
c. Mempunyai bentuk yang khas melalui berbagai macam proses pembentukan kata. d. Menggunakan kata-kata lama dengan makna baru atau kata baru dengan arti yang baru pula. Dalam linguistik, istilah ini disebut dengan perubahan makna, yaitu berubahnya makna kata yang dahulu ke makna kata yang sekarang.
3. Proses Pembentukan Slang Berdasarkan ciri-ciri slang c dan d tersebut di atas, dapat dilihat bahwa seperti Bahasa Inggris Standar, pembentukan unsur slang juga terjadi melalui proses perubahan makna. Proses Perubahan Makna Perubahan makna adalah suatu proses perubahan suatu makna kata dari makna dahulu ke makna sekarang. Menurut Djadjasudarma (1993 : 63), perubahan makna yang penting adalah : 1) Perluasan makna : suatu proses perubahan makna kata dimana cakupan makna yang sekarang lebih luas daripada makna pada masa lalu. Misalnya, kata sailing dahulu berarti persetubuhan yang sah, sedangkan pada masa sekarang kata ini berarti persetubuhan secara umum baik secara sah maupun tidak sah. 2) Penyempitan makna : suatu proses dimana cakupan makna yang sekarang lebih sempit dibandingkan dengan makna kata yang dahulu. Misalnya,
dahulu kata leg diartikan sebagai kaki manusia.
Kemudian kata leg
sekarang menyempit maknanya, yaitu kaki pada suatu benda. 3) Ameliorasi : proses perubahan makna dimana makna yang sekarang lebih baik daripada makna yang dahulu. Misalnya, kata ladies dan female. Meskipun sama-sama berarti “wanita” tampak bahwa kata ladies lebih enak didengar daripada kata female. 4) Peyorasi : Proses perubahan makna kata yang menjadi lebih jelek daripada makna dahulu. Misalnya, kata damn dahulu berarti celaka. Sekarang kata damn digunakan untuk sialan. 5) Asosiasi : hubungan makna asli, makna di dalam lingkungan tempat tumbuh semula kata yang bersangkutan dengan makna baru, yaitu makna baru tempat makna kata tersebut dipindahkan. Misalnya, dulu kata cold diartikan hanya berdasarkan makna denotatifnya yaitu dingin. Sekarang kata cold juga diartikan berdasarkan makna konotatifnya yaitu kejam. 6) Sinestesia : Proses perubahan makna yang terjadi akibat pertukaran panca indera terhadap hal yang sama. Contoh, “Their confusion turns to outright shock when Shinzon calmly pulls out a Reman knife and cuts his arm, drawing a little blood”. Fungsi kata drawing biasanya diartikan menggambarkan, mengeluarkan.
namun
pada
pernyataan
tersebut
diartikan