BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sintaksis Penelitian ini berlandaskan pada salah satu cabang keilmuan bahasa yang disebut sintaksis (syntax). Kata syntax dalam linguistik berasal dari kata dalam bahasa Yunani syntaxis yang merupakan gabungan dari kata syn yang berarti “bersama” dan taxis yang berarti “pengatur”. Yule (1996:100) mengartikan “The word syntax came originally from Greek and literally meant „a setting out together‟ or „arrangement‟” yang berarti pengaturan secara bersamaan. Jadi secara harfiah, kata syntax berarti „pengaturan secara bersamaan‟. Carnie (2007:26) menjelaskan bahwa sintaksis adalah “The level of linguistics organization that mediates between sounds and meaning, where words are organized into phrases and sentences”. Hal ini berarti sintaksis merupakan tingkatan organisasi linguistik yang menjembatani bunyi dan makna, di mana kata-kata diorganisasikan ke dalam frasa dan kalimat. Pengertian tersebut berbeda jika dibandingkan dengan pendapat Chomsky dalam Yule (1996:102), yaitu “Syntax is the study of the principles and processes by which sentences are constructed in particular languages”. Artinya, sintaksis merupakan studi tentang prinsip dan proses terbentuknya kalimat di dalam suatu bahasa. Sintaksis dijelaskan dalam bahasa Indonesia oleh Ramlan (1996:21), yaitu “bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana,
7
8
kalimat, klausa, dan frasa”. Berdasarkan ketiga pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah prinsip-prinsip mengenai organisasi linguistik yang menjembatani unsur bunyi dan makna, yang secara keseluruhan mencakup seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa.
2.2 Kategori Sintaktis Kategori sintaktis (syntactic category) atau dikenal juga dengan sebutan „part of speech‟, adalah label yang diberikan kepada suatu konstituen, yang akan menentukan posisi suatu kata di dalam kalimat. “Part of speech (a.k.a word class, syntactic categories) is the labels we give to constituents (N, V, Adj, Adv, D, P, C, T, Neg, Conj). These determine the position of the word in the sentence.” (Carnie, 2007:54). Secara lebih jelas, bentuk-bentuk part of speech sebagaimana dimaksud oleh Carnie adalah: nomina (nouns), verba (verbs), adjektiva (adjectives), adverbia
(adverbs),
determiners,
preposisi
(prepositions),
komplemen
(complementizers), kala (tenses), negasi (negations) dan konjungsi (conjunctions). Kategori sintaktis dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas terbuka (open class) dan kelas tertutup (closed class). Carnie (2007: 45) menyatakan “Part of speech that allow new members are said to be open class. Those that don‟t (or where coinages are very rare) are closed class”. Kategori sintaktis kelas terbuka keanggotaannya meliputi nomina (nouns), verba (verbs), adjektiva (adjectives), dan
adverbia
keangotaannya
(adverbs), meliputi
sedangkan
kategori
sintaktis
kelas
determiner,
preposisi
(prepositions),
tertutup, konjungsi
9
(conjunctions), kala (tenses), serta negasi (negations). O‟Grady, et al., (1989:127) pada dasarnya menerangkan hal yang sama, tetapi dengan istilah berbeda, yakni kategori leksikal besar (major lexical categories) untuk open class, dan kategori leksikal kecil (minor lexical categories) untuk closed class. Menurut O‟Grady, et al., (1989:127) kategori leksikal besar adalah “… lexical classes in which membership in those categories is open in the sense that new words are always being added”. Intinya, kategori leksikal besar adalah kelas leksikal di mana hubungan kelas kata dalam kategorinya dapat ditambahkan kata baru. Selain itu, kategori leksikal kecil adalah “... lexical classes in which membership is closed in the sense that it is restricted to a fixed of elements already in the language”. Artinya, kategori leksikal kecil adalah kelas leksikal di mana anggotanya tertutup, dalam pengertian unsurunsurnya tetap. Kedua paparan teori tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa kategori sintaktis “kelas terbuka” atau “kategori leksikal besar” adalah kelompok kata berdasarkan karakteristiknya yang selalu bisa mengalami penambahan kata-kata baru, sementara “kelas tertutup” atau “kategori leksikal besar” adalah kelompok kata dengan karakteristik tidak bisa mendapat tambahan kata-kata baru.
2.2.1 Kategori Sintaktis Leksikal Carnie (2007:45) berpendapat bahwa kategori sintaktis leksikal menjelaskan isi atau content dari sebuah kalimat. Kategori ini terdiri dari nomina (nouns),
10
verba (verbs), adjektiva (adjectives), dan adverbia (adverbs). Berikut adalah penjelasan atas masing-masing kategori, dilihat dari distribusi sintaktisnya: 1. Nomina (Nouns) Menurut O'Grady, et al., (1989:460), “Noun is a major lexical category whose members typically name entities, or concrete or abstract things”. Pendapat ini berarti nomina adalah kategori leksikal besar, yang umumnya digunakan untuk menamai suatu entitas, atau benda konkret maupun abstrak. Adapula Carnie (2007:42) menjelaskan bahwa, biasanya, nomina muncul setelah determiner, seperti the, those, dan these, setelah adjektiva, atau setelah preposisi. Contoh: 1) The earth 2) A big town 3) The boys are in bed Masing-masing contoh di atas memberikan gambaran bahwa posisi nomina bisa berada setelah determiner, ajektiva, dan preposisi. Pada contoh 1), nomina “earth” berada setelah determiner “the”. Pada contoh 2), nomina “town” berada setelah adjektiva “big”. Pada contoh 3), nomina “bed” berada setelah preposisi “in”. Selain itu, Carnie (2007:42) mengemukakan cara yang paling mudah untuk memastikan bahwa suatu kata tergolong ke dalam jenis nomina atau tidak, adalah dengan mengganti kata tersebut dengan kata lain yang sudah jelas merupakan
11
nomina. Contoh: 4) I saw people running all over the place, 5) I saw John running all over the place,
Contoh di atas menerangkan bahwa kata “John” yang merupakan nomina menggantikan kata “people” sehingga bisa disimpulkan bahwa kata “people” juga merupakan nomina. 2. Verba (Verbs) Richard, et al., (1985:305) berpendapat,“Verb is word which a) occurs as part of the predicate of a sentence, b) carries makers of grammatical categories such as tense, aspect, person, number, and mood, and c) refers to an action or state). Pendapat tersebut bisa diartikan bahwa verba adalah a) kata yang menjadi bagian dari predikat dalam sebuah kalimat, b) kata yang menjembatani hadirnya sejumlah kategori gramatikal, seperti keterangan waktu, aspek, persona, numeralia, dan perasaan, juga merupakan 3) kata yang merujuk suatu tindakan atau keadaan. Pendapat tersebut berbeda dengan Carnie (2007:43) yang menerangkan bahwa: “Verbs can follow auxilaries and modals such as will, have, having, had, has, am, be, been, being, is, are, were, was, would, can, could, shall, should, and the special invinitive maker to. Verbs follow subjects, and can follow
12
adverbs such as often and frequently. Verbs can be negated with not...”,
Pendapat Carnie di atas dapat dipahami bahwa verba bisa mengikuti auxiliaries dan modals, seperti will, have, having, had, has, am, be, been, being, is, are, were, was, would, can, could, shall, should, dan invinitive maker, yakni to. Verba mengikuti subjek, dan dapat mengikuti adverbia, seperti often dan frequently, serta verba bisa diubah ke dalam bentuk negasi. Contoh: 6) He will help you 7) I am waiting 8) I have to work 9) He can never understand Menyimak contoh di atas, dapat dilihat verba umumnya mengikuti modal, seperti pada contoh 6), verba “help” mengikuti modal “will”. Verba juga mengikuti auxiliary seperti pada contoh 7), verba “waiting” mengikuti auxiliary “am”. Selain itu, verba mengikuti invinitive maker seperti pada contoh 8), verba “work” mengikuti invinitive maker “to”, dan yang terakhir, verba mengikuti adverbia seperti contoh 9), verba “understand” mengikuti adverbia “never”. 3. Adjektiva (Adjectives) Menurut Crystal (2008:11) “Adjective is a term used in the grammatical classification of words to refer to the main set of items which specify the attributes of noun”. Artinya, adjektiva adalah sebuah istilah yang digunakan dalam
13
klasifiksai kata secara gramatikal, yang merujuk pada tatanan item-item utama yang menyempitkan atribut dari suatu nomina. Selain pengertian di atas, ada pula penjelasan bahwa “Adjectives can appear between determiners such as the, a, these, etc. and nouns. They also follow the auxilary am/is/are/was/were/be/been/being... Frequently, adjectives can be modified by adverb very...” (Carnie, 2007:43). Artinya, adjektiva umumnya berada di antara determiner, (seperti a, the, that, these, those) dan nomina. Selain itu, adjektiva juga bisa hadir setelah auxilliary, sepeti am, is, are, was, were, be, been, dan being, kemudian adjektiva bisa dimodifikasi oleh kata very. Contoh: 10) A blue car 11) It was cold, wet, and windy 12) We have very little time Contoh di atas menjelaskan bahwa adjektiva umumnya terdapat di antara determiner dan nomina seperti pada contoh 10), kata “blue” merupakan adjektiva yang terdapat di antara determiner “a” dan nomina “car”. Selain itu adjektiva hadir setelah auxiliary seperti pada contoh 11), adjektiva “cold” hadir setelah auxiliary “was”, dan yang terakhir pada contoh 12), adjektiva “little” dimodifikasi oleh kata “very”. 4. Adverbia (Adverbs) Richard, et al., (1985:6) menjelaskan adverbia sebagai “ ...a word that describes or adds to the meaning of a verb, an adjective, another adverb of a sentence, and which anwers such question as how, where, and when”. Artinya,
14
adverbia adalah kata yang menjelaskan makna sebuah verba, adjektiva, atau verba lain dalam kalimat, yang menjawab pertanyaan, seperti bagaimana, di mana, dan kapan. Adverbia, secara umum dikenal meliputi adverbia yang menerangkan waktu (adverb of time), cara/tindakan (adverb of manner), dan tempat (adverb of place). Contoh: 13) He is coming tomorrow 14) They walk quickly, 15) She painted that picture here Pada contoh 13), adverbia “tomorrow” merupakan adverb of time yang menerangkan verba “coming” dan menjawab pertanyaan kapan. Pada contoh 14), adverbia “quickly” merupakan adverb of manner yang menerangkan verba “walk” dan menjawab pertanyaan bagaimana. Pada contoh 15), adverbia “here” merupakan adverb of place yang menerangkan verba “painted” dan menjawab pertanyaan bagaimana. Carnie (2007:45) menjelaskan cara untuk mengidentifikasi adverbia: The syntactic distribution of adverbs is most easily described by stating where they can‟t appear. Adverbs can‟t appear between a determiner and a noun or after the verb be and its variants. Frequently, like adjectives, they can be modified by adverb very.
Pendapat
diatas
dapat
diartikan
bahwa
cara
termudah
untuk
mengidentifikasi adverbia adalah dengan meletakkannya di tempat, di mana dia tidak mungkin berada, misalnya di antara determiner dan nomina atau setelah
15
verba be dan variannya. Seperti halnya adjektiva, adverbia juga sering kali bisa dimodifikasi dengan kata very. Contoh: 16) The quickly fox, 17) She is quickly, 18) He goes very quickly, Contoh-contoh di atas, menerangkan upaya mengidentifikasi adverbia, seperti yang dijelaskan Carnie, yakni bahwa adverbia tidak bisa ditempatkan di antara determiner dan nomina, seperti pada contoh 16), adverbia “quickly” tidak bisa ditempatkan di antara determiner “the” dan nomina “fox”. Selain itu adverbia tidak bisa ditempatkan setelah verba be, seperti pada contoh 17), adverbia “quickly” tidak bisa ditempatkan setelah verba “is”. Adverbia juga tidak bisa dimodifikasi oleh adverb “very” seperti pada contoh 18).
2.2.2 Kategori Sintaktis Fungsional Kategori sintaktis fungsional (functional part of speech), yaitu kategori sintaktis yang memberikan informasi yang bersifat gramatikal. Kategori sintaksis fungsional berperan seperti halnya “lem” yang merekatkan kalimat dalam satu kesatuan secara bersama-sama. Hal tersebut diungkapkan oleh Carnie (2007:45): “Functional part of speechs provides the grammatical information. Functional item are “glue” that holds a sentence together.” Kategori
sintaktis
fungsional
terdiri
dari
determiner,
preposisi
16
(prepositions), komplemen (complementizers), konjungsi (conjunctions), kala (tenses), dan negasi (negations). Hal tersebut diungkapkan Carnie (2007:54), “Functional categories contain the grammatical information in a sentence: D, P, Conj, T, Neg, C”. 1. Determiners Menurut O‟Grady, et al., (1989:453), “Determiner is minor lexical category whose members combine with nouns to form noun phrases and specify whether is definite or indefinite”. Artinya, determiner merupakan bagian dari kategori leksikal
kecil
yang
anggota-anggotanya
bersama-sama
dengan
nomina
membentuk frasa nomina, dan menerangkan bahwa frasa tersebut bersifat tentu atau tidak tentu. Hal tersebut diperjelas oleh Carnie (2007:46) yang mengklasifikasikan determiner menjadi enam subkategori, yaitu: 1) articles (the, a, an), 2) deitic articles (this, that, these, those, yon), 3) quantifiers (every, some, many, most, few, all, each, any, less, fewer, no), 4) numerals (one, two, three, etc), 5) possesive pronouns (my, yours, his, her, its, our, their), dan 6) some wh- question (which, whose). Determiner muncul di awal frasa nomina (noun phrases). Contoh: 19) A man 20) The boy Pada contoh 19), “a” merupakan determiner yang menerangkan kata “man” sebagai indefinite article, selain itu, pada contoh 20), determiner “the” merupakan
17
definite article, yang menerangkan kata “boy”. Contoh-contoh di atas menerangkan, dengan adanya determiner dalam suatu kalimat atau frasa, dapat diketahui informasi yang bersifat gramatikal dari kalimat atau frasa tersebut. Sebagai contoh, dengan adanya artikel a atau an dapat disimpulkan bahwa suatu objek bersifat tunggal, atau dengan adanya artikel this, dapat disimpulkan bahwa suatu objek dekat dengan posisi penutur. 2. Preposisi (Prepositions) Carnie (2007:46) menerangkan bahwa “Prepositions appear before nouns (or more precisely noun phrases)”. Hal ini berarti preposisi muncul sebelum nomina (atau lebih tepatnya frasa nomina). Hal tersebut sama seperti yang diungkapkan Richard, et al., (1989:209), bahwa preposisi adalah “Word placed before a noun equivalent to show in what relation the person or thing denoted by the noun stands to something else”. Artinya, preposisi merupakan kata yang diletakkan sebelum kata nomina untuk menunjukkan hubungan yang terbangun di antara orang atau benda yang ada di dalam kalimat. Kedua pendapat di atas bisa dijadikan bahan kesimpulan bahwa preposisi diletakkan sebelum nomina untuk menunjukan hubungan antara orang atau benda di dalam kalimat. Jenis-jenis preposisi dalam Bahasa Inggris, di antaranya adalah: to, from, under, over, with, by, at above, before, after, through, near, on, off, for, in, into, off, during, accross, without, dan since. Contoh:, 21) I have done nothing since I arrived
18
Contoh di atas menggambarkan bagaimana peran preposisi menjelaskan hubungan antara dua unsur yang ada di dalam struktur. Pada contoh 21), preposisi “since” menerangkan waktu dan menghubungkan klausa “I have done nothing” dengan frasa “I arrived”. 3. Komplemen (Complementizers) Komplemen (complementizers) adalah part of speech atau kelas kata yang digunakan untuk mengenalkan klausa komplemen (complement clause). Komplemen meliputi subordinate conjunctions, relative pronouns, and relative adverbs. Menurut Carnie (2007:47), “... complementizer connect structure together, but they embeded one clause inside of another instead of keeping them on equal level”. Hal ini berarti komplemen menghubungkan beberapa struktur, namun menggabungkan satu klausa menjadi bagian dari klausa lainnya agar keduanya menjadi setara. Carnie (2007:47) mengatakan komplemen dalam bahasa inggris terdiri atas that, for, if, dan whether. Contoh: 22) I hope that I shall succeed Pada
contoh
di
atas,
bisa
dilihat
bahwa
setiap
kompelemen
menghubungkan dua klausa yang tidak setara, seperti pada contoh 22), komplemen “that” yang menghubungkan klausa (1) “I hope” dan (2) “I shall succeed”, di mana bagian (1) tidak bisa berdiri sendiri dan tidak memiliki makna yang utuh, sementara bagian (2) bisa berdiri sendiri dan memiliki makna utuh.
19
4. Konjungsi (Conjunction) Menurut Carnie (2007:47), “Conjunctions are words that connect two or more phrases together on an equal level”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa konjungsi merupakan kata yang menghubungkan dua frasa atau lebih pada tingkat yang setara. Sementara menurut O'Grady, et al., (1989:451),“Conjunction is a minor lexical category whose members serve to join categories of the same type”. Artinya konjungsi merupakan kategori leksikal kecil yang mana anggotanya menjadi penghubung kategori-kategori struktur yang sejenis. Pendapat senada juga diberikan Richard, et al., (1989:172), yang menyebutkan bahwa “A word to join words or phrases together or one clause to another clause”. Berarti konjungsi merupakkan kata yang menggabungkan kata lainnya atau frasa, atau klausa dengan klausa lainnya. Ketiga pendapat tersebut bisa dijadikan bahan kesimpulan bahwa konjungsi adalah bagian dari kategori leksikal kecil yang berfungsi menghubungkan kata, frasa, klausa, atau kalimat. Konjungsi dikenal mempunyai dua jenis, yakni coordinating conjunction (for, and, nor, but, or, yet, so) yang berfungsi menghubungkan kata, kalimat, atau klausa dalam tingkatan yang sama, serta subordinating conjunction (after, although, as, as far as, as if, as long as, as soon as, as though, because, before, if, in order that, since, so, so that, than, though, unless, until, when, whenever, whether, where, whereas, wherever, and while) yang berfungsi menghubungkan klausa dalam tingkatan yang berbeda. O'Grady, et al., (1989:451).
20
Contoh: 23) He was angry, but he listened to me patiently 24) I did it because I was angry Contoh-contoh di atas menjelaskan tentang kedudukan dan fungsi konjungsi di dalam sebuah struktur. Contoh 23) memuat konjungsi yang bersifat koordinatif atau menghubungkan struktur yang setara. Pada contoh 23), konjungsi “but” menghubungkan dua struktur yang setara, yakni “He was angry” dan “he listened to me patiently”, sementara contoh 24) memuat contoh konjungsi yang bersifat subordinatif, di mana konjungsi “because” menghubungkan struktur “I did it” dan “I was angry”. 5. Kala (Tenses) Kala dalam bahasa Inggris disebut tense, yaitu kategori kata kerja yang menunjukan waktu terjadinya suatu peristiwa (masa lampau, sekarang, dan masa depan). Carnie (2007:47) menerangkan bahwa “Tenses consist of auxiliaries, modals, and the non-finite tense marker to”. Intinya, kala terdiri dari auxiliaries (have, has, had, am, is, are, was, were, do, does, did), modals (will, would, shall, should, can, could), serta non-finite tense maker “to”. Contoh: 25) I am working 26) I shall/will work Contoh-contoh tersebut menerangkan bahwa kala menunjukkan waktu
21
terjadinya peristiwa. Pada contoh 25), terdapat kala berbentuk auxiliary “am” yang menunjukkan bahwa kejadian sedang berlangsung. Adapula contoh lainnya pada contoh 26), terdapat kala berbentuk modal “shall/will” yang menunjukkan kejadian yang akan datang. 6. Negasi (Negation) Negasi (negation) adalah bentuk pernyataan negatif dan merupakan kategori special yang mengandung hanya satu kata yaitu not. Carnie (2007:47) menyatakankan “There is one special category containing only one word: not which we‟ll call negation (Neg). There are other categories that express negation (e.g., the determiners no, any and the noun none)”. Berarti, ada sejumlah kategori yang mengekspresikan negasi, contohnya adalah no, any, dan none.
2.3 Frasa (Phrase) Menurut Reid (2000:290), “A Phrase is a group of words that is missing a subject, a verb, or both”. Artinya, frasa adalah kelompok kata yang tidak memiliki subjek, kata kerja, atau keduanya. Pendapat itu berbeda dengan Trask (1999:237), yaitu “A phrase is a grammatical unit which is smaller than clause..., consists of two or more words...". Artinya, frasa merupakan unit gramatikal yang lebih kecil daripada klausa, terdiri dari dua kata atau lebih. Senada dengan kedua pendapat tersebut, Ramlan (1996:151) berpendapat bahwa frasa adalah “satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa”. Ketiga pendapat tersebut dapat
22
disimpulkan bahwa frasa adalah kelompok kata yang terdiri dari dua kata atau lebih, tidak memiliki subjek, kata kerja, atau keduanya, dan bentuknya lebih kecil daripada klausa dalam arti fungsinya tidak melampaui batas fungsi klausa.
2.3.1
Jenis-Jenis Frasa Carnie (2007:63-71) membagi frasa ke dalam lima jenis, yakni 1) frasa
nomina (noun phrase), 2) frasa verba (verb phrase), 3) frasa adjektiva (adjective phrase), 4) frasa adverbia (adverb phrase), dan 5) frasa preposisi (prepositional phrase).
2.3.1.1 Frasa Nomina Frasa Nomina adalah kelompok kata, dengan nomina atau pronomina sebagai unsur pusatnya (head). Frasa nomina, umumnya berfungsi sebagai subjek, objek, atau komplemen. Carnie (2007:66) menjelaskan: “The simplest noun phrase (NP) contains only a noun....”. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa sebuah frasa nomina yang paling sederhana mengandung hanya satu nomina, atau jika dituliskan dalam pola adalah NP
N. Lebih jauh, sebuah frasa nomina bisa
terdiri dari sejumlah unsur, seperti yang dirangkum dalam rumus NP
(D)
(AdjP+) N (PP+), yang artinya sebuah frasa nomina bisa memiliki satu determiner (opsional), sejumlah frasa ajektiva (opsional), sebuah nomina, dan sejumlah frasa preposisi (opsional).
23
Contoh: 27) NP
N: box
28) NP
(D) (AdjP+) N (PP+): the big yellow box of cookies with
the pink lid Pada contoh 27), frasa nomina (NP) bisa terdiri dari hanya satu unsur nomina (N), yakni “box”. Pada contoh 28), frasa nomina bisa terdiri dari sejumlah unsur, yakni determiner (D), frasa adjektiva (AdjP), nomina (N), dan frasa preposisi (PP), seperti yang tergambar dalam kalimat “the big yellow box fo cookies with the pink lid”
2.3.1.2 Frasa Verba Frasa verba merupakan kelompok kata, dengan sebuah verba utama (main verb) dan auxilaries sebagai unsur pusatnya (head). Menurut Carnie (2007:68) “Minimally a VP consists of a single verb”. Artinya, frasa verba, minimal terdiri dari satu unsur verba, atau jika diikat dalam pola berbentuk VP
V. Dalam
kapasistasnya yang paling luas, frasa verba bisa terdiri dari sejumlah unsur, seperti yang tergambar dalam pola VP
(AP+) V (NP) (AP+), atau dapat
dijelaskan, satu frasa verba bisa terdiri dari sejumlah frasa adjektiva (opsional), sebuah verba, sebuah frasa nomina (opsional), sejumlah frasa ajektiva (opsional). Contoh: 29) VP 30) VP quietly
V: (Ignacious) left (AP+) V (NP) (AP+): (Bill) kissed his mother-in-law
24
Pada contoh 29), frasa verba (VP) bisa tersusun dari hanya satu verba (V), yakni “left”, sementara pada contoh 30), frasa verba (VP) lebih jauh bisa tersusun dari sejumlah unsur, yakni frasa adjektiva (AP), verba (V), dan frasa nomina (NP), seperti yang tergambar dalam kalimat "(Bill) kissed his mother-in-law quietly”
2.3.1.3 Frasa Adjektiva Frasa adjektiva adalah kelompok kata dengan ajektiva sebagai unsur pusatnya (head). Adjektiva umumnya diikuti oleh modifiers, determiner, dam qualifiers. Dalam menjelaskan struktur frasa adjektiva, Carnie (2007:68) menggambarkan pola AdjP
(AdvP) Adj, atau dengan kata lain, sebuah frasa
adjektiva terdiri dari sebuah frasa adverbia (opsional) dan sebuah adjektiva. Contoh: 31) AdjP
(AdvP) Adj: very yellow
Pada contoh 31), frasa adjektiva bisa tersusun atas unsur frasa adverbia (AdvP) dan juga adjektiva (Adj), seperti yang tergambar dalam struktur “very yellow”.
2.3.1.4 Frasa Adverbia Frasa adverbia merupakan kelompok kata, dengan adverbia sebagai unsur pusatnya (head). Adverbia dapat diikuti oleh modifier atau quantifiers. Carnie (2007:69) menggambarkan pola AdvP
(AdvP) Adv, yang berarti sebuah frasa
25
adverbia terdiri dari sebuah frasa adverbial (opsional) dan sebuah adverbia. Contoh: 32) AdvP
(AdvP) Adv: very quickly
Pada contoh 32), digambarkan bahwa frasa adverbia terdiri dari unsur frasa adverbia (AdvP) dan unsur adverbia (Adv), seperti yang berlaku pada struktur “very quickly”.
2.3.1.5 Frasa Preposisi Carnie (2007:71) menjelaskan “Most PPs take the form of a preposition (the head) followed by an NP”. Dalam pola berikut ini, Carnie menggambarkan frasa preposisi: PP
P (NP). Dari pola tersebut, bisa dimaknai bahwa sebuah
frasa preposisi bisa terdiri dari sebuah preposisi dan sebuah frasa nomina (opsional). Contoh: 33) PP
P (NP): with an axe
Pada contoh 33), digambarkan bahwa frasa preposisi (PP) terdiri dari unsur preposisi (P) dan frasa nomina (NP), seperti berlaku pada struktur “with an axe”.
2.3.2
Tata Aturan Struktur Frasa Dalam menganalisis frasa, dikenal tata aturan struktur frasa (phrase
26
structure rules/PSRs) yang secara umum berfungsi memetakan peta arah hubungan anta runsur dalam frasa. Carnie (2007:66) memberi gambaran sebagai berikut:
XP
XYZ
XP
XYZ
the label for the constituents
the elements that make up the constituent
“consists of”
Terdapat dua cara dalam melakukan analisis kategori sintaktis dengan menerapkan rumus PSRs ini, dengan diagram pohon (tree diagram) dan diagram kurung (bracketed diagrams), sebagaimana dijelaskan Carnie (2007:81-86). 1. Diagram Pohon Diagram pohon adalah bentuk analisis dengan menggunakan garis, yang secara runut menjelaskan hubungan antar bagian di dalam objek teks (kalimat) yang di analisis. Analisis ini tergolong lebih mudah, dibandingkan dengan analisis kurung. Berikut adalah contoh diagram pohon: TP NP
VP
AdjP
NP
AdvP
D The
Adv very
Adj small
N boy
V kissed
D the
N platypus
27
2. Diagram Kurung Diagram kurung merupakan model analisis dengan menggunakan tanda kurung “[ ]”. Model ini lebih sederhana dan terutama sangat berguna dalam menganalisis data dalam jumlah yang banyak. Berikut adalah contoh diagram kurung dan cara membacanya:
[TP[NP[DThe][AdjP[AdvP[Advvery]][Adjsmall]][[N boy]][VP[Vkissed][NP[Dthe][Nplatypus]]] Klausa [The very small boy kissed the platypus] terdiri dari Frasa Nomina [The very small boy] dan Frasa Verba [kissed the platypus]. Frasa Nomina [The very small boy] terdiri dari determiner [The], Frasa Adjektiva [very small] dan nomina [boy].Frasa Adjektiva [very small], terdiri dari adverbia [very] dan adjektiva [small]. Semantara Frasa Verba [kissed the platypus] terdiri dari verba [kissed] dan Frasa Nomina [the platypus]. Frasa Nomina [the platypus] terdiri dari determiner [the] dan nomina [platypus].
2.3.3 Unsur Pembentuk Frasa Frasa terdiri dari dua unsur pembentuk, yani unsur pusat (head) dan modifier. Hippisley, et al., (2002:123) menyatakan: The notion of head and modifier is inherent to many grammatical descriptions. It is assumed in Dependency Grammar, X-bar grammar, Generalized Phrase Structure Grammar, Head-Driven Phrase Structure Grammar and in Word Grammar approaches to the lexicon (see, for example, Bauer 1994; Fraser, Corbett and McGlashan 1993; and Zwicky 1985, for details). In a syntactic construction one of the constituents acts as the head, or core of the phrase, and the other constituents as dependents on it, or modifiers of it.
28
Menurut Hippisley et al., gagasan mengenai unsur pusat (head) dan modifier terdapat pada sejumlah teori tata bahasa. Gagasan tersebut terdapat pada teori Dependency Grammar, X-bar grammar, Generalized Phrase Structure Grammar, Head-Driven Phrase Structure Grammar dan pada Word Grammar approaches to the lexicon. Menurut Hippisley et. al, dalam suatu konstruksi sintaktis, salah satu unsur pembentuknya berfungsi sebagai unsur pusat (head), yang merupakan inti dari frasa, sementara unsur-unsur pembentuknya yang lain terikat padanya, atau menjadi modifier.
2.3.3.1 Unsur Pusat (Head) Menurut Richards, et al., (1989:128), "head is the central part of phrase (other elements in the phrase are in some grammatical or semmantic relationship to the head". Artinya, unsur pusat atau head merupakan pusat dari frasa, sementara elemen-elemen lainnya menjadi bagian yang terkait dengan unsur pusat. Contoh: 34) (a) [ film [ society ] ] (b) [ [ film society ] committee ] (c) [ [ [ film society ] committee ] scandal ] Pada contoh 34) (a), nomina [society] yang merupakan unsur pusat (head) dimodifikasi oleh nomina [film]. Pada contoh 34) (b), frasa nomina [film society] menjadi premodifier untuk nomina [commitee] yang merupakan unsur pusat. Pada
29
contoh 34) (c) frasa nomina [film society committee] menjadi premodifier untuk nomina [scandal] yang merupakan unsur pusat.
2.3.3.2 Modifier Sementara terkait dengan modifier, Kridalaksana (2001:139) menerangkan bahwa modifier merupakan unsur yang membatasi, memperluas atau menyifatkan unsur pusat. Selanjutnya, Kies membagi modifier menjadi dua, yakni pre-modifier dan post-modifier. 1. Pre-modifier Menurut Kies (1995:96) "premodification, which comprises all the modifying or describing constituents before the head, other than determiners". Artinya, pre-modifier merupakan konstituen-konstituen yang memodifikasi atau menjelaskan konstituen yang terletak sebelum unsur pusat, selain determiner. Contoh: 35) [the large [dog] ] Pada contoh 35), unsur [the large] berfungsi sebagai pre-modifier yang memodifikasi unsur pusat [dog]. 2. Post-Modifier Sementara
terkait
post-modifier
Kies
(1995:96)
mengatakan
"postmodification, those which comprises all the modifying constituents placed after the head". Artinya, post-modifier merupakan konstituen-konstituen yang memodifikasi setelah unsur pusat.
30
Contoh: 36) [ [barked] loudly ] Pada contoh 36), unsur [loudly] berfungsi sebagai post-modifier yang memodifikasi unsur pusat [barked].
2.3.4 Kategori Frasa Berdasarkan Unsur Pembentuknya Berdasarkan unsur pembentuknya, frasa dibedakan menjadi dua, yakni endosentik dan eksosentrik. Menurut Newson, et al., (2006:90): There is a traditional distinction made between endocentric and exocentric language elements. An endocentric phrase gets its properties from an element that it contains and hence this element can function by itself as the whole phrase. ... An exocentric phrase on the other hand contains no element that can have the same function as the whole phrase and so appears to have properties that are independent from the elements it contains.
Newson, et al., berpendapat bahwa suatu frasa disebut endosentrik berhubungan dengan unsur pembentuknya, yakni jika unsur pembentuknya bisa berfungsi mewakili keseluruhan frasa. Sementara di lain sisi, frasa eksotrensik tidak memiliki unsur pembentuk yang bisa berfungsi mewakili seluruh frasa, sehingga nampak memiliki unsur pembentuk yang bisa berdiri satu sama lain. Pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa endosentrik dan eksosentrik merupakan klasifikasi frasa berdasarkan ada dan tidaknya unsur pusat yang dapat berfungsi mewakili keseluruhan frasa.
31
2.3.4.1 Frasa Endosentrik Sejalan dengan Newson et al., Bloomfield (dalam Levelt, 2008:91) menjelaskan, “A construction is called „endocentric‟ if it contains a part which has the same distribution as the construction itself....”. Artinya, sebuah konstruksi disebut endosentrik bila ia memuat bagian yang memiliki distribusi yang sama dengan konstruksinya, atau jika unsur pembentuk selain unsur pusatnya dihilangkan, maka unsur pusatnya masih memiliki fungsi yang mewakili keseluruhan frasa. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Ramlan (1996:155) yang memaparkan bahwa “frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frasa endosentrik”. Pada umumnya, frasa nomina, frasa verba, dan frasa adjektiva tergolong ke dalam kategori endosentrik. Sementara Quirk, et al., menjelaskan konstruksi endosentrik sebagai headed construction atau dengan kata lain, konstruksi endosentrik adalah konstruksi yang memiliki unsur pusat (head). Secara ringkas, Quirk, et al., (1985:60)
menyatakan,
“Technical
terms
for
headed
and
nonheaded
(construction) are 'endocentric' and 'exoccentric'”. Contoh: 37) I saw [three blind mice] Pada contoh 44), frasa [three blind mice] merupakan frasa endosentrik karena memiliki unsur pusat (head), yakni nomina [mice], seperti terlihat pada
32
analisis berikut:
three blind
Mice
Pre-
Head
modifier Selain itu, nomina [mice] dapat berfungsi mewakili keseluruhan frasa, seperti pada analisis berikut: I saw [mice]
2.3.4.2 Frasa Eksosentrik Pada dasarnya, suatu konstruksi bahasa dikategorikan sebagai eksosentrik bilamana unsur utamanya tidak memiliki unsur pusat, sehingga tidak ada unsur yang dapat berfungsi mewakili kesuluruhan frasa. Levelt (2008:91) menambahkan, “All constructions which are not endocentric are exocentric”. Hal ini berarti konstruksi yang bukan endosentrik merupakan eksosentrik. Contoh: 37) We saw him [in the park] Pada contoh 45), [in the park] tidak memiliki unsur pusat (head) yang bisa berfungsi mewakili keseluruha frasa, seperti terlihat pada analisis berikut ini: We saw him [in] We saw him [the park]
33
Pada analisis tersebut, bisa diamati bahwa pada frasa [in the park], unsur [in] tidak bisa mewakili seluruh frasa, begitupun juga dengan unsur [the park].
2.4 Semantik Sebagai sistem simbol yang dianggap paling mapan dan kompleks, unsurunsur bahasa mewakili realitas yang ada dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain mengandung makna tertentu. Berkenaan dengan makna, secara khusus ilmu bahasa memiliki cabang tersendiri yang disebut “semantik” (semantics). Menurut Lyons (1993:1) “Semantics is generally definded as the study of menaning”. Berarti, semantik umumnya didefinisikan sebagai studi mengenai makna. F.H. George dalam Tarigan (1993:2) secara sederhana memberikan pemaknaan bahwa “Semantik adalah telaah mengenai makna”. Lebih jauh, Tarigan (1993:7) menjelaskan semantik menelaah lambang-lambang atau tandatanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Ketiga pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semantik adalah cabang ilmu yang menelaah seluk-beluk tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lainnya, serta pengaruhnya terhadap manusia.
34
2.4.1 Makna Richards, et al., (1989:172) menyatakan, “Meaning is what a language expresses about the world we live or any possible or imaginary world”. Definisi ini menjelaskan bahwa makna adalah sesuatu yang di ekspresikan oleh bahasa tentang dunia dimana kita hidup atau dunia khayalan. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Bloomfield, (1995:139) yang mengatakan bahwa “The meaning of linguistic form is the situation in which the speaker utters it and the response which it calls forth in the hearer”. Artinya, makna adalah situasi dimana pembicara bertutur kepada pendengar atau lawan bicara, sehingga pendengar memberikan tanggapan atas tuturan pembicara tersebut. Penulis menyimpulkan dari kedua pendapat tersebut bahwa makna adalah sesuatu yang diekspresikan oleh bahasa dimana terdapat pendengar dapat menanggapi apa yang dikemukakan oleh pembicara.
2.4.2
Jenis-Jenis Makna Leksikal Heatherington dalam Tarigan (1985:11) membagi makna menjadi dua:
makna leksikal dan makna struktural. Menurut Kridalaksana (1984:120), makna leksikal ini merupakan unsur-unsur bahasa sebagai lambang atau peristiwa dan lain sebagainya dan mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya. Sebagai contoh adalah kata “a” dalam kalimat “a dog barked”, menunjukkan salah satu binatang tertentu.
35
Makna gramatikal menurut Kridalaksana (1984:120) adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar, misalnya hubungan antara kata dengan kata yang lain dalam frasa atau kalimat. Sebagai contoh adalah kata “right” yang bisa berarti hak, benar atau kanan, tergantung pada fungsi dan konteks kata tersebut dalam hubungannya dengan satuan yang lebih besar, yaitu frasa atau kalimat. Mengutip Heathherington, Tarigan (1985:11) menyebutkan pula bahwa “makna leksikal terdiri dari makna denotatif dan makna konotatif”.
2.4.2.1 Makna Denotatif Menurut Chandler (2002:140), “‟Denotation' tends to be described as the definitional, 'literal', 'obvious' or 'commonsense' meaning of a sign. In the case of linguistic signs, the denotative meaning is what the dictionary attempts to provide”. Artinya denotasi menjelaskan makna tanda yang bersifat literal, sesuai dengan pikiran masyarkat umum. Hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh Lyons (1995:81), “Denotation is relation which holds primarily or basically, between expressions and physical entities in the external world”, yang berarti bahwa denotasi merupakan relasi yang menghubungkan entitas ekspresi dan fisikal yang ada di dunia nyata. Kedua pendapat di atas menunjukan bahwa makna denotatif merupakan pengertian kata sebatas definisi yang umum dimengerti orang, sebagaimana makna yang tertera di dalam kamus, yang menjembatani antara ekspresi bahasa dengan entitas fisikal yang ada di dunia nyata.
36
Contoh: 38) Linda is „thin‟, or „slender‟, or „skinny‟ Pada contoh 38), dalam Bahasa Inggris, kata thin, slender, dan skinny, secara denotatif merujuk pada makna yang sama, yakni bentuk tubuh tertentu, yaitu “kurus”. 2.4.2.2 Makna Konotatif Menurut Chandler (2002:140), “The term „connotation‟ is used to refer to socio-cultural and „personal‟ (ideological, emotional, etc.) of the sign. These are typically related to the interpreter‟s class, age, gender, ethnicity, and so on”. Artinya makna konotatif merujuk pada beragam asosiasi atas tanda yang bersifat sosio-kultural dan personal (ideologi, emosi, dan lain sebagainya), yang bergantung pada latar belakang kelas, usia, jender, etnisitas, dan lain-lain, dari si penafsir tanda. Menurut Barthes (dalam Chandler, 2002:142): Connotation is a second-order of signification which uses the denotative sign (signifier and signified) as its signifier and attaches to it an additional signified. In this framework, connotation is a sign which derives from the signifier of a denotative sign (so denotation leads to a chain of connotations).
Berdasarkan paparan Barthes, dapat disimpulkan bahwa konotasi merupakan tahap pemaknaan lebih jauh, yang berpijak pada tanda (sign) yang menjelaskan makna denotatif, atau dengan kata lain, makna denotatif mendorong lahirnya rangkaian makna konotatif.
37
Sejalan dengan pendapat di atas, Tarigan (1993:56) mengartikan konotasi sebagai suatu makna yang tambahan yang dinyatakan secara tidak langsung oleh kata tersebut. Konotasi suatu kata merupakan lingkaran gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang mengelilingi kata tersebut. Pengertian konotasi tersebut disederhanakan oleh Jefferies (1998:109) yang memaknai konotasi sebagai “...a word we use lightly and often in everyday language to refer to obvious, but indirectly expressed emotion”. Artinya, kata yang sering kita gunakan dalam bahasa sehari-hari merujuk pada ekpresi emosi yang nyata, akan tetapi tidak langsung. Ketiga pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna konotatif adalah tahap pemaknaan lebih jauh yang menjelaskan makna denotatifnya dan pemaknaannya mempunyai suatu dasar seperti lingkaran gagasan atau perasaan yang mengelilingi makna tersebut. Contoh: 39) Linda is „thin‟, or „slender‟, or „skinny‟ Pada contoh di atas, dalam Bahasa Inggris, kata thin, slender, dan skinny, secara konotatif memiliki makna yang berbeda, di mana „thin‟ bersifat netral, „skinny‟ bersifat merendahkan, dan „slender‟ bersifat menyanjung.
2.4.3
Struktur Artikel Artikel adalah tulisan lepas berisi opini seseorang yang mengupas tuntas
suatu masalah tertentu yang sifatnya actual dan kadang-kadang kontroversional
38
(Sumadiria, 2004:1). Hal itu berarti artikel merupakan sebuh karangan berparagraf yang mempunyai isi atau content berstruktur. Dalam sebuah artikel, judul (headline/heading) dan subhead merupakan dua bagian penting. Menurut Steven (2011), “Headlines draw people into your copy and they help strengthen information scent. Subheadings create a hierarchy and allow you to communicate messages to those who scan”. Artinya, judul menarik perhatian pembaca dan menguatkan pesan yang disampaikan pembuatnya, sementara subhead merupakan langkah penulis untuk mulai mengomunikasikan pesannya kepada mereka sekilas meluangkan aktu untuk membaca tulisan si pembuat. Dalam hirarkis struktur artikel, menurut Steven (2011), terdapat tiga bagian. Pada tingkat pertama adalah judul, yang targetnya adalah menarik perhatian pembaca dan mengajaknya masuk pada bagian tulisan selanjutnya, “The goal here is to draw the reader in and lead him or her toward secondary type”. Pada tingkat kedua, terdapat subhead, yang mencakup kutipan, caption (deskripsi singkat), dan bentuk teks lainnya yang berdiri terpisah dan mendukung informasi pada teks utama. Target dari subhead adalah untuk membantu pembaca memindai informasi dan mengajak mereka untuk membaca detil informasi. Seperti yang diungkapkan Steven (2011), “your subheads and also includes pull quotes, captions, and anything else that stands apart and supports the main text. The goal here is to aid scanability and lead the reader toward more detailed information”. Pada tingkat ketiga adalah isi (main content). Menurut Steven (2011) “The goal here is to stay out of the reader‟s way”. Artinya, target dari isi adalah menghentikan aktivitas calon pembaca dan mulai membaca tulisan si pembuat.
39
Paparan tentang isi artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga tingkatan yaitu judul, subhead, dan isi dalam suatu artikel saling berkesinambungan.