BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Lamtoro tersebar secara luas di Mexico dan Amerika Tengah pada tahun 1520 saat datangnya orang Spanyol ke negara tersebut. Baru pada akhir abad ke 20 lebih menyebar luas sampai ke Filipina, dari sini penggunaan sebagai peneduh tanaman perkebunan, kayu bakar dan hijauan pakan ternak makin meluas. Sebelum tahun 1950-an hanya satu varietas yang dikenal yaitu varietas “common” dari subspecies leucocephala. Kemudian muncul namanama untuk tanaman ini seperti varietas Hawaii (tipe shrubby) yang sebetulnya tidak berasal dari Hawaii, Peru (tipe low branching) tidak berasal dari Peru, Salvador (tipe arboreal) yang juga tidak berasal dari Salvador. Varietas Cunningham yang telah banyak dikenal dibudidayakan di Indonesia berasal dari Australia, hasil persilangan antara tipe varietas Salvador dengan tipe varietas Peru.
Gambar 1 : Lamtoro (Leucaena leucocephala L). 20
Taksonomi Leucaena yang ada sebelumnya sangat membingungkan dan menyesatkan sehingga menghambat dalam pemanfaatannya, perbaikan genetik, dan konservasinya. (Dalimartha, 2008)
2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan Berdasarkan pustaka, berikut klasifikasi secara umum dari tumbuhan Lamtoro (Leucaena leucocephala) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Family
: Fabaceae
Genus
: Leucaena
Spesies
: Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit.
(Loh KY, 2008).
2.1.2 Morfologi Tumbuhan Tanaman semak atau pohon tingggi sampai 18 m, bercabang banyak dan kuat, dengan kulit batang abu-abu dan lenticel yang jelas. Daun bersirip dua dengan 4-9 pasangan sirip, bervariasi dalam panjang sampai 35 cm, dengan glandula besar (sampai 5 mm) pada dasar petiole, helai daun 11-22 pasang/sirip, 8-16 mm x 1-2 mm, akut. Bunga sangat banyak dengan diameter kepala 2-5 cm,stamen (10 per bunga)
21
dan pistil sepanjang 10 mm. Buah polong 14-26 cm x 1,5-2 cm, pendant, coklat pada saat tua. Jumlah biji 18-22 per buah polong, berwarna coklat.
2.1.3 Nama Daerah Kemlandingan, Lamtoro (Jawa); Palanding, Peuteuy selong (Sunda), Kalandingan (Madura); (Sinaga, 2002). 2.1.4 Kandungan Kimia Biji yang sudah tua setiap 100 g mempunyai nilai kandungan kimia berupa zat kalori sebesar 148 kalori, protein 10,6 g, lemak 0,5 g, hidrat arang 26,2 g, kalsium 155 mg, besi 2,2 mg, vitamin A, Vitamin BI 0,23 mg. Daun petai cina mengandung zat aktif alkaloid, saponin, flavonoid dan tanin. Dalam petai cina, mengandung zat aktif yang berupa alkaloid, saponin, flavonoid, mimosin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin B. Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman petai cina yang diperkirakan sebagai antiinflamasi adalah flavonoid. Flavonoid dalam bentuk aglikon bersifat nonpolar, sedangkan dalam bentuk glikosida bersifat polar. Berdasarkan sifat flavonoid tersebut, maka untuk ekstraksi dapat digunakan etanol 70% sebagai bahan penyarinya, karena etanol 70% bersifat semi polar yang dapat melarutkan senyawa yang bersifat polar maupun non-polar. Selain itu, etanol 70% tidak menyebabkan
22
pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. (Dalimartha, 2008). 2.1.5 Sifat dan Khasiat Herba sedikit pahit rasanya dan bersifat netral. Berkhasiat sebagai peluruh kencing (diuretik), obat cacing, susah tidur karena gelisah, luka terpukul, patah tulang, abses paru dan bisul. Bijinya untuk mengobati cacingan, bengkak (oedem), radang ginjal dan kencing manis, sedangkan akar digunakan sebagai peluruh haid. (Dalimartha, 2008). 2.2 Flavonoid Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur umum flavonoid dapat juga digambarkan sebagai deretan senyawa C6 – C3 – C6. struktur umum molekul ini ditunjukkan dalam gambar 2.2 (Sastrohamidjojo,1996).
Gambar 2. Struktur umum flavonoid
23
Semua flavonoid, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan. Semua turunan senyawa flavonoid mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoid dengan penyebaran dan ciri khasnya pada tabel 2.1 (Harborne, 1987). Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat
pada seluruh
dunia tumbuhan dari Fungus
sampai
Angiospermae. Pada tumbuhan tingkat tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga (Robinson, 1995). Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida dimana unit flavonoid terikat pada satu gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di atau triglikosida (Achmad, 1986). Flavonoid yang berupa glikosida merupakan senyawa polar sehingga dapat diekstrak dengan etanol, metanol ataupun air. Karena merupakan senyawa fenol, maka warnanya akan berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram. Flavonoid merupakan pigmen berwarna yang terdapat pada tanaman, misalnya antosianin adalah penyusun warna biru, violet dan merah; flavon dan flavonol merupakan penyusun warna kuning redup; khalkon
dan
terang;sedangkan
auron
merupakan
isoflavon,
flavonol
penyusun merupakan
warna
kuning
senyawa
tak
berwarna. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi.
24
Oleh karena itu menunjukkan pita serapan yang kuat pada daerah spectrum UV dan tampak (Harborne, 1987).
Tabel 1. Sifat berbagai golongan flavonoid Golongan Flavonoid Flavonol
Flavon
Penyebaran
Ciri Khas
Terutama ko-pigmen tak warna dalam bunga sianak dan asianak; tersebar dalam daun.
Setelah hidrolisis berupa bercak kuning mirip pada kromatogram forcotall bila di sinari dengan sinar UV; maksimum spectrum pada 350-386 nm. Setelah hidrolisis berupa, berupa bercak coklat redup pada kromatogram forestall; maksimum spectrum pada 330-350 nm. Bergerak pada kertas dengan pengembangan air; tak ada uji warna yang khas.
Seperti flavonol
Tak warna, seringkali dalam akar; hanya terdapat dalam satu suku, leguminosae. Sumber: Harborne, 1987 Isoflavon
Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga, buah dan biji. Flavonoid terdiri dari beberapa golongan utama antara lain antosianin, flavonol dan flavon yang tersebar luas dalam tumbuhan. Sedangkan khalkon, auron, falvonon, dihidrokhalkon dan isoflavon penyebarannya hanya terbatas pada golongan tertentu saja (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan sekelompok senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak merupakan pigmen tumbuhan.
25
Flavonoid meliputi antosianin, flavonol, dan flavon. Pola sebaran flavonoid digunakan dalam kajian taksonomi spesies tumbuhan (Daintith, 1990). 2.3 Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (BPOM, 1995). 2.3.1
Tujuan Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses melarutkan komponen – komponen
kimia yang terdapat dalam suatu bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan komponen yang diinginkan. Pemilihan pelarut harus memenuhi criteria : murah, dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah
terbakar,
selektif,
tidak
mempengaruhi
zat
berkhasiat,
diperbolehkan oleh peraturan (Harbone, 1996). Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen – komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan dengan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi ini berdasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk menembus dinding sel dan masuk dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya perbedaan konsentrasi di dalam dan
26
konsentrasi di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut oragnik yang mengandung zat aktif ke luar sel. Proses ini berlangsung terus – menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (BPOM, 1996). 2.3.2
Maserasi Maserasi istilah adalah macerare (bahasa latin, artinya merendam)
adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air, misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan buku resmi kefarmasian (BPOM, 1995). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 3 hari terlindung dari cahaya samil berulamg – ulang diaduk. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil – kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Cairan penyari akan menembus dinding sel (BPOM, 1996). 2.4 Kromatografi 1. Kromatografi Lapis Tipis Salah satu metode pemisahan yang sederhana ialah kromatografi lapis tipis (Hortettmann, 1986). Pada dasarnya prinsip pada KLT sama
27
dengan kromatografi kertas hanya KLT mempunyai kelebihan yang khas dibandingkan
dengan
kromatografi
kertas
yaitu
keserbagunaan,
kecepatan, dan kepekaannya (Harborne, 1996). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupaka metoode kromatografi cair yang paling sederhana, penggunaannya telah meluas dan diakui merupakan cara pemisahan yang baik. KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, ataupun preparatif. Maksudnya, KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion – ion anorganik, kompleks senyawa – senyawa organic dan anorganik, dan senyawa – senyawa organic baik yang terdapat dialam dan senyawa – senyawa organic sintetik. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga
yang
akan
dipakai
pada
kromatografi
kolom
atau
kromatografi cair kinerja tinggi/KCKT (Gritter, 1991). KLT mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: waktu yang dibutuhkan tidak lama (2 – 5 menit) dan sampel yang dipakai hanya sedikit sekali (2 – 20 µg). Kerugiannya dengan menggunakan KLT adalah tidak efektif untuk skala industri. Walaupun lembaran KLT yang digunakan lebih lebar dan tebal, pemisahannya sering dibatasi hanya sampai beberapa miligram sampel saja (Mayo, 2000). Selain itu, kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, cepat dan mudah dengan menggunakan peralatan yang
28
sederhana dan dapat dilaksanakan lebih cepat. Kromatografi ini menggunakan lempeng kaca atau plastic yang dilapisi dengan adsoben berupa serbuk halus dengan ketebalan 0,1 – 0,25 mm (Sudjadi, 1998). Perpindahan komponen atau senyawa pada kromatografi ini tergantung pada jenis pelarut, zat pelarut, zat penyerap dan sifat daya serapnya terhadap masing – masing komponen. Komponen yang larut terbawa oleh fase gerak (cairan pengelusi) melalui adsorben (fase diam) dengan kecepatan perpindahan yang berbeda. Perbedaan kecepatan ini dinyatakan dengan Rf (factor retensi), yaitu perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dan jarak yang diutempuh pelarut (Adnan, 1997)
Harga Rf berkisar antara 0,1 – 0,99 dan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain : pelarut, suhu, struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari lapisan penyerap, jumlah cuplikan yang digunakan serta teknik percobaan (Sastrohamidjojo, 2002). Identifikasi senyawa tak berwarna pada lempeng, biasanya digunakan sinar UV (254 atau 366 nm) dan reagen semprot (Hostetman dan Marston, 1995).
29