1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hubungan Tanaman dengan Serangga Dilihat dari hubungan taksonomi tanaman inangnya maka dikenal tiga kelompok serangga herbivora, yaitu: (1) monofag, yaitu tanaman inangnya hanya satu jenis tanaman/sedikit jenis tanaman yang berdekatan sesama genus. (2) oligofag, yaitu tanaman inangnya berupa jenis tanaman dari beberapa genus sesama famili, dan (3) polifag, yaitu tanaman inangnya banyak jenis dari familifamili yang berbeda atau dari ordo yang berbeda. Hubungan antara tanaman dan serangga dapat dilihat dari segi perilaku dan fisiologi serangga serta sifat tanamannya sendiri. Sifat perilaku serangga herbivora yang penting dalam kaitannya dengan interaksi serangga dan tanaman adalah tentang bagimana langkah-langkah serangga dalam memberikan tanggapan (respon) terhadap rangsangan (stimuli) dari tanaman sehingga serangga herbivora datang dan memakan tanaman tersebut. Menurut Kogan (1982), ada lima langkah yang dilaksanakan oleh serangga herbivora dalam mendapatkan tanaman inangnya. Langkah pertama adalah penemuan habitat inang. Langkah pertama terjadi ketika serangga dewasa yang sedang memencar menemukan lokasi habitat umum serangga inang. Pada Langkah awal rangsangan yang menarik serangga herbivora biasanya bukan dari tanaman tetapi rangsangan fisik lingkungan seperti cahaya, suhu, kebasahan, dan angin. Begitu habitat umum ditemukan maka serangga
11
2
kemudian dengan menggunakan indera penglihatan dan penciuman dapat menemukan inang yang sebenarnya. Langkah kedua adalah penemuan inang. Faktor-faktor yang menarik dalam peristiwa tersebut adalah warna, ukuran, dan bentuk tanaman. Begitu serangga telah menemukan inangnya, rangsangan tanaman jarak pendek yang menyebabkan serangga menetap pada tanaman tersebut. Dengan indera peraba dan pengecapnya serangga menguji apakah tanaman tersebut dapat diterima sebagai inang atau tidak. Langkah ketiga adalah pengenalan inang. Pada langkah ketiga itu serangga mencoba mencicipi (respon kimiawi) dan meraba-raba (respon fisik) tanaman untuk mengetahui kesesuaiannya sebagai pakan. Apabila ternyata tanaman tersebut sesuai, maka serangga akan meneruskan aktivitas makannya. Langkah keempat adalah penerimaan inang. Pada langkah keempat, apabila rangsangan berbagai senyawa kimiawi tanaman berdasarkan pengujian oleh serangga dapat diterima, maka tanaman yang diuji tersebut akan diterima sebagai inang atau makanan. Langkah terakhir atau langkah kelima adalah kecocokan inang. Tanaman dianggap sesuai apabila nutrisi yang terkandung di dalam tanaman sangat cocok sebagai pakan untuk kehidupan dan perkembangbiakan serangga secara optimal, dan tidak mengandung zat racun yang merugikan. Selain sebagai tempat hidup serangga, tanaman juga berfungsi sebagai tempat berlindung. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa, tanaman kubis muda (umur 1 bulan) mengandung karbohidrat 2,97%, protein 2,12%, mineral (abu)
3
1,78%, kadar air 91,81%, dan Vitamin C 0,21%. Tanaman kubis yang mulai membentuk krop (umur 1,5 bulan)
mengandung karbohidrat 2,86%, protein
0,70%, mineral (abu) 1,74%, kadar air 88,48%, dan Vitamin C 0,22%. Faktor lain yang perlu dipahami dalam hubungan tanaman dan serangga adalah sifat tanaman sebagai sumber rangsangan. Sifat tanaman ada 2 yaitu: sifat morfologi dan sifat fisiologi. Sifat morfologi yaitu ciri-ciri morfologik tanaman tertentu yang dapat menghasilkan rangsangan fisik untuk kegiatan makan atau kegiatan peletakan telur serangga. Sebagai contoh adalah variasi ukuran daun, kekerasan jaringan tanaman, adanya rambut dan tonjolan yang dapat menentukan derajat penerimaan serangga terhadap tanaman inang tertentu. Sifat fisiologi tanaman adalah ciri-ciri fisiologik yang mempengaruhi serangga, dan biasanya berupa zat-zat kimia yang dihasilkan oleh metabolisme tanaman baik metabolisme primer maupun metabolisme sekunder. Hasil metabolisme primer seperti karbohidrat, lemak, protein, hormon, enzim, dan lain lain oleh tanaman digunakan untuk pertumbuhan dan pembiakan tanaman. Beberapa hasil metabolisme primer tersebut juga dapat menjadi perangsang makan dan bagian nutrisi serangga.
2.2 Komunitas Hama Pemakan Daun Kubis Hama
didefinisikan
sebagai
segala
organisme
yang
mengurangi
ketersediaan, kualitas, atau nilai sumber daya yang dimiliki manusia (Flint & van De Bosch, 1981). Beberapa hama yang menyerang tanaman kubis antara lain adalah ulat daun kubis P. xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae), ulat jantung kubis C. pavonana Fab. (Lepidoptera: Pyralidae), ulat grayak Spodoptera litura
4
Fab. (Lepidoptera: Noctuidae), Hellula undalis Fab. (Lepidoptera: Pyralidae), ulat tanah Agrotis ipsilon Hufnagel (Lepidoptera: Noctuidae), ulat jengkal Chrysodeixis orichalcea L. (Lepidoptera: Noctuidae), Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) dan kutu daun (Hemiptera: Aphidiae),.
2.2.1 Plutella xylostella L. Kalshoven (1981) mengklasifikasikan ulat daun kubis Plutella xylostella L. sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Familia
: Plutellidae
Genus
: Plutella
Spesies
: Plutella xylostella L.
Hama ulat daun kubis P. xylostella merupakan salah satu hama utama kubis. Stadia dari P. xylostella yang merusak kubis adalah saat stadia larva. Larva P. xylostella sudah mulai menyerang tanaman kubis pada saat tanaman kubis baru memiliki sekitar 3 sampai 4 helai daun, dan berlanjut hingga tanaman menjelang panen. Hama P. xylostella mempunyai kisaran inang yang cukup luas serta mampu beradaptasi pada geografi yang berbeda. Selain kubis, P. xylostella juga dapat menyerang antara lain caisin, kanola, sawi jabung, dan sawi tanah (Herlinda et al., 2004).
5
P. xylostella mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur P. xylostella sangat kecil (kurang dari 1 mm), berbentuk oval dan berwarna kehijauan. Imago meletakkan telur secara tunggal atau berkelompok dengan 2-3 butir telur sepanjang tulang daun di permukaan atas atau bawah daun (Gambar 2.1). Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 hari tergantung kondisi lingkungan (Herlinda et al., 2004). Warna telur tampak lebih gelap pada saat akan menetas (Kalshoven, 1981). Larva yang baru menetas segera menggerek ke dalam jaringan daun, kemudian memakan daging daun dan epidermis bawah dan menyisakan lapisan epidermis atas daun. Larva bersembunyi di balik daun sambil makan, daging daunnya, tetapi kulit ari (epidermis) bagian permukaan atas daun tidak dimakan sehingga pada daun terlihat bercak-bercak putih. Apabila kulit ari kering maka daun menjadi robek dan nampak berlubang-lubang. Fase larva P. xylostella terdiri atas empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Larva instar I berwarna agak keruh dengan kepala berwarna hitam, dan disekitar abdomennya terdapat rambut-rambut pendek dan halus. Larva instar I berkisar 3-4 hari. Larva instar II berwarna putih kekuningan, dengan ciri-ciri tubuh sama dengan larva instar I. Larva instar II berkisar 1-2 hari. Larva instar III berwarna hijau, dengan kepala berbercak coklat dengan bagian dasar kekuning-kuningan dan terdapat rambut-rambut hitam pada bagian abdomennya. Larva instar III berkisar 2-3 hari. Larva instar IV mirip dengan larva instar III (Gambar 2.1). Larva instar IV berlangsung selama 3-4 hari. Secara keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda et al. 2004). Shepard
6
et al. (1999) menyatakan bahwa perkembangan larva instar I hingga larva instar IV memerlukan waktu sekitar 14 hari, dengan panjang larva instar IV 8 mm. Pupa dibungkus oleh kokon yang berbentuk jala dengan panjang kokon sekitar 9 mm (Gambar 2.1). Pupa pada mulanya berwarna hijau kemudian akan berubah menjadi kekuning-kuningan dan akhirnya menjadi coklat. Pupa dibentuk pada permukaan daun bagian bawah, terutama di sekitar tulang-tulang daun. Stadium pupa berkisar 5-7 hari (Herlinda et al.2004).
1 mm ------------
10 mm ------------
8 mm ------------
A
C
10 mm ------------
B
D
Gambar 2.1 Plutella xylostella L. : telur (A) (pembesaran: 3 kali), larva (B), pupa (C) (Pembesaran : 2 kali) dan imago (D) (pembesaran : 3 kali)
Imago P. xylostella berukuran kecil dengan panjang 8-9 mm (Gambar 2.1). Betina dewasa meletakkan telurnya secara tunggal atau berkelompok 2-3
7
butir di sepanjang tulang daun pada permukaan atas atau bawah daun (Ngatimin, 2002). Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina P. xylostella selama hidupnya adalah 92 - 130 butir (Vos, 1953) dan 97 – 201 butir (Herlinda et al. 2004). Peletakan telur biasanya terjadi pada malam hari. Peletakan telur berlangsung selama 9-13 hari, lama hidup imago 9-11 hari dan siklus hidup P. xylostella adalah 19 – 25 hari.
2.2.2 Crocidolomia pavonana Fab. Crocidolomia pavonana merupakan hama yang menyerang pertanaman kubis dari munculnya krop hingga panen. Menurut CAB International Compedium of Entomology (1999), C. pavonana diklasifikasikan ke dalam: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Family
: Pyralidae
Genus
: Crocidolomia
Species
: Crocidolomia pavonana Fab.
Penyebaran serangga C. pavonana meliputi Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan Kepulauan Pasifik (Kalshoven, 1981). Di Jawa serangga C. pavonana ditemukan di dataran rendah dan tinggi. Faktor musim sangat mempengaruhi populasinya. Ada korelasi negatif antara populasi larva C. pavonana dengan curah hujan, semakin tinggi curah hujan semakin rendah
8
populasi, dan sebaliknya semakin rendah curah hujan semakin tinggi populasi. Populasi larva C. pavonana pada pertanaman kubis mulai ada pada tanaman kubis umur empat minggu dan mencapai puncaknya pada umur 10 MST, dan kemudian menurun kembali sampai saat panen kubis (Kumarawati, 2013). Serangan C. pavonana terkadang saling bergantian dengan P. xylostella sebagai hama utama pada tanaman kubis (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993). C. pavonana sangat merusak tanaman kubis pada saat stadia larva dengan memakan daun kubis terutama bagian krop yang dibentuk oleh salutan daun-daun muda di bagian tengah tanaman kubis (Widiana dan Zeswita, 2012). Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua. Tanaman yang terserang bisa hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak segera dikendalikan. Ketika serangan C. pavonana sebesar 7,14%, produksi kubis dapat mencapai 1,71 ton/ha. Sedangkan ketika serangan C. pavonana sebesar 90%-100%, produksi kubis turun menjadi 0,31 ton/ha (Paat et al. 2012). Ngengat C. pavonana memiliki panjang sekitar 18 mm dan berwarna coklat dengan dua bintik putih pada masing-masing sayap depan (Gambar 2.2 D). Ngengat hanya aktif pada malam hari dan jarang terlihat pada tanaman kubis pada siang hari. Lama hidup imago C. pavonana adalah 16-24 hari dan selama hidupnya dapat menghasilkan 11-18 kelompok telur yang masing-masing mengandung 30-80 butir telur. Telur diletakkan pada permukaan bawah daun (Khalsoven, 1981). Shepard et al. (1999) menyatakan bahwa telur C. pavonana diletakkan secara berkelompok tersusun seperti genteng. Telur akan menetas 4-5 hari setelah
9
diletakkan. Larva yang baru menetas melakukan aktivitas makan secara bersamasama, dan berkembang hingga mencapai instar V. Panjang tubuh larva instar V mencapai 16-19 mm, dan akan bergerak ke dalam tanah untuk menjadi pupa.
5 mm ------------
10 mm ------------
10 mm ------------
A
C
18 mm ------------
B
D
Gambar 2.2 Crocidolomia pavonana Fabricius : telur (A) (pembesaran : 2 kali), larva (B), pupa (C) (pembesaran : 1,5 kali) dan imago (D) (pembesaran : 2 kali)
Masa pupa berlangsung sekitar 10 hari (Shepard, et al., 1999). Pupa berwarna coklat dengan ukuran kurang lebih 1 cm dan terbentuk di dalam tanah (Gambar 2.2 C). Ngengat dewasa (Gambar 2.2 D) muncul sekitar 10 hari
10
kemudian. Siklus hidup C. pavonana berkisar 22-30 hari tergantung lingkungan (suhu dan kelembaban) (Khalsoven, 1981). Selain menyerang kubis, C. pavonana juga menyerang tanaman brokoli, petsai, caisin, dan kubis bunga. Petani di Pancasari dalam menangani ulat C. pavonana pernah menggunakan tanaman penghalang, dengan harapan mampu menghalangi pergerakan C. pavonana. Tanaman penghalang yang dipakai adalah rumput gajah. 2.3 Musuh Alami Hama Pemakan Daun Kubis Pemanfaatan musuh alami untuk menekan perkembangan populasi hama kubis sudah sejak lama dilakukan dalam sistem pengendalian hayati hama tersebut. Musuh alami dapat berupa parasitoid, predator dan entomopatogen. Di antara ketiga musuh alami tersebut serangga predator memiliki beberapa keunggulan, yaitu kemampuan memangsa dengan cepat, dapat membunuh pada berbagai stadium mangsa dan dapat mengkonsumsi beberapa jenis mangsa (Erawati, 2005).
2.3.1 Predator hama pemakan daun kubis Predator didefinisikan sebagai serangga yang membunuh mangsanya segera setelah diserang. Serangga predator umumnya adalah serangga-serangga yang aktif dan kuat (Borror et al. 1989). Beberapa ordo dan famili serangga yang dikenal sebagai predator penting yaitu: Ordo Diptera : Famili Syrphidae; Ordo Coleoptera : Famili Coccinellidae; Ordo Hemiptera : Famili Reduviidae; Ordo Neuroptera : Famili Chrysopidae; Ordo Odonata : Famili Libellulidae; dan Ordo Mantodea : Famili Mantidae (Hagen, 1987)
11
Bellows & Fisher (1999) menyatakan bahwa Reduviidae merupakan famili penting dari kompleks musuh alami yang berperan sebagai predator dalam mengendalikan serangga hama. Famili Reduviidae merupakan famili yang cukup besar. Sebagian besar anggota famili serangga tersebut bersifat sebagai predator. Serangga tersebut dikenal sebagai “kepik pembunuh” atau “pengisap darah” karena cara hidupnya adalah menghisap cairan darah mangsanya (Clausen, 1940; Richards & Davies, 1977). Terdapat kurang lebih 3000 spesies Reduviidae yang terdiri dari 29 subfamili. Subfamili Harpactorinae merupakan subfamili yang terbesar dengan anggota lebih dari 1000 spesies. Serangga tersebut mempunyai kelimpahan yang tinggi sehingga dapat ditemukan di setiap daerah (Matheson, 1951; Richards & Davies, 1977). Kepik Reduviidae hidup pada berbagai habitat, seperti di sekitar semak-semak, tanaman herba, dan daun-daunan (Richards & Davies, 1977). Matheson (1951) menyatakan bahwa mangsa utama predator Reduviidae adalah larva Lepidoptera, lundi, kutu tanaman, dan hama-hama lainnya. Famili Reduviidae mudah dikenali melalui bentuknya yang khas. Antenna Reduviidae seringkali memiliki segmen dengan total 4 ruas. Rostrum meruncing terdiri dari 3 segmen. Tibia tungkai depan memiliki fosula yang berkaitan dengan daya adhesi, sedangkan bagian tarsus terdiri dari tiga segmen (Richards & Davies, 1977). Contohnya Sycanus dichotomus, selain memiliki ciri-ciri di atas, S. dichotomus mempunyai bentuk yang khas, yaitu memiliki caput yang memanjang dengan bagian belakang yang menggenting mirip leher, dan rostrum yang pendek dan kokoh. Tubuhnya berwarna hitam dengan tanda segitiga kuning di bagian
12
tengah sayap depan. Bagian tengah abdomennya melebar sehingga tidak tertutupi oleh sayapnya (Mukhopadhyay dan Sarker, 2009). Kepik predator melumpuhkan mangsanya dengan mengeluarkan saliva yang beracun yang dapat menyebabkan paralisis pada mangsanya (Matheson, 1951; Gillott, 1995). Beberapa subfamili Reduviidae yang berperan penting sebagai predator antara lain Harpactorinae dan Peiratinae. Ishikawa et al. (2007) melaporkan bahwa salah satu anggota subfamili Harpactorinae, adalah Sycanus aurantiacus yang ditemukan pada pertanaman kubis di Bali pada ketinggian ± 1000 m dpl (Gambar 2.3). S. aurantiacus adalah spesies baru dari golongan serangga predator yang ditemukan pertama kali di Pancasari pada pertanaman kubis sedang memangsa beberapa larva dari serangga Lepidoptera yang berstatus sebagai hama pada tanaman kubis.
21 mm ------------
Gambar 2.3 Predator S. aurantiacus (pembesaran: 2 kali)
Sycanus sp. pernah dilaporkan oleh Kalshoven (1981) sebagai predator utama penghisap daun, Helopeltis antonii Sign (Hemiptera: Miridae) pada tanaman teh di Indonesia. Spesies lain dari genus Sycanus yang juga dilaporkan
13
berpotensi sebagai predator adalah S. affanis, S. pyrrhomelas (Walker), S. versicolor Dohrn (Ambrose, 1999), S. croceovittatus (Daeli, 2011), S. annulicornis (Fitriyani, 2009) dan S. dichotomus (Zulkefli et al., 2004). S. dichotomus umumnya ditemukan sebagai predator yang menyerang ulat kantong (bagworms) Metisa plana Walker (Lepidoptera: Psychidae) pada tanaman sawit. S. dichotomus dapat menusuk langsung pembungkus ulat kantong dengan rostrumnya yang sangat panjang (Zulkefli et al., 2004). Selain menyerang ulat kantong, S. dichotomus juga dilaporkan menyerang ulat beluncas Setothosea asigna Van Eecke dan Darna trima Moore (Lepidoptera: Limacodidae) (Singh, 1992). Selain itu, ada juga spesies lain yang dilaporkan dari genus Sycanus yaitu S. macracanthus Stal. yang memangsa Mahasena corbetti Tams (Lepidoptera: Psychidae) dan Setothosea asigna (Tiong, 1996) yang juga merupakan hama pada tanaman sawit. Serangga Sycanus sp. memangsa mangsanya dengan cara menusukkan stiletnya yang runcing ke bagian tubuh serangga yang lunak. Mangsa segera lumpuh akibat toksin yang dikeluarkan melalui stiletnya. Cahyadi (2004) menyatakan bahwa beberapa nimfa menghisap mangsanya secara bersama-sama apabila ukuran tubuh mangsanya lebih besar. Studi tentang biologi Sycanus sudah dilakukan oleh Syari et al. (2011) yang meneliti perkembangan S. dichotomus pada dua mangsa yang berbeda Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae) dan Tenebrio molitor Linnaeus (Coleoptera: Tenebrionidae). Siklus hidup S. dichotomus bila diberi makan larva T. molitor rata-rata 156,5 ± 4,6 hari, dan 122,8 ± 2,3 hari jika diberi
14
larva C. cephalonica. Dewasa betina S. dichotomus dapat menghasilkan satu hingga empat kelompok telur selama hidup imagonya dengan lama stadia telur 16,2 hari. Sementara itu Zulkefli, et al. (2004) melaporkan bahwa imago betina S. dichotomus mampu menghasilkan 15 – 119 butir telur dengan stadium telur 11 – 39 hari. Nimfa S. dichotomus yang baru menetas seluruh tubuhnya (caput, toraks, dan abdomen) berwarna kekuningan. Bagian tungkai berwarna coklat, dengan femur dan tibia berwarna kehitaman (Zulkefli et al. 2004). Nimfa S. dichotomus mengalami lima kali ganti kulit (Syari et al. 2011 ; Zulkefli et al. 2004). Stadia nimfa S. dichotomus berlangsung 69 hari (Zulkefli et al. 2004), sedangkan nimfa S. annulicornis berlangsung selama 79 hari (Erawati, 2005). Lama hidup imago betina S. dichotomus menurut hasil penelitian Syari et al. (2011) adalah 61,40 ± 4,90 hari, sedangkan menurut Zulkefli et al. (2004) adalah 87,64 ± 3,31 hari. Zulkefli et al. (2004) menyatakan bahwa siklus hidup S. dichotomus dari telur hingga imago yang diberi makan C. cephalonica adalah 193,44 ± 2,41 hari dan jika diberi P. xylostella siklus hidupnya adalah 203,91 ± 2,77 hari. Anggota lain dari Reduviidae adalah S. annulicornis (Hemiptera: Reduviidae). Manley (1982) menyatakan bahwa kepik pedator S. annulicornis memiliki kisaran inang yang luas terutama dari ordo Lepidoptera. Fitriyani (2009) menyatakan bahwa S. annulicornis efektif untuk mengendalikan C. pavonana. Selama ini petani kubis melakukan pengendalian hama-hama kubis dengan insektisida sintetik karena belum ditemukannya musuh alami yang cocok. S.
15
annulicornis merupakan salah satu predator yang potensial, bersifat generalis, memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai agroekosistem dan kemampuan memangsa yang cukup tinggi rata-rata 4,7 ekor per hari (De Clercq, 2000). Cahyadi (2004), menyatakan bahwa tingkat pemangsaan C. pavonana oleh S. annulicornis mencapai 3 ekor larva per hari. Dalam perkembangannya, S. annulicornis mengalami 5 kali ganti kulit. Nimfa instar I, II, III S. annulicornis berwarna jingga. Nimfa instar IV berwarna jingga kecoklatan, sedangkan nimfa instar V berwarna lebih gelap (Cahyadi, 2004). Imago Sycanus sp. melakukan kopulasi yang dapat berlangsung selama 60 menit. Waktu yang diperlukan dari proses kopulasi selesai sampai imago betina meletakkan telur adalah tujuh hari (Cahyadi, 2004). Telur yang diletakkan oleh Sycanus sp. menyerupai paket telur di mana telur tersebut memiliki lapisan pelindung (Hasibuan, 2005).
2.4 Tanggap Fungsional Tanggap fungsional adalah hubungan antara jumlah mangsa yang dimangsa oleh predator pada kerapatan populasi mangsa per satuan waktu (Sharov, 1996: Begon et al., 1986). Jumlah mangsa yang dimangsa pada kerapatan mangsa tertentu merupakan aspek penting untuk dipelajari, sehingga diperoleh gambaran tentang kemampuan predator dalam menangani mangsanya (Pervez & Omkar, 2005: Rahman et al., 2009). Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu predator atau parasitoid sebagai agens dalam pengendalian hayati (Dout, 1973).
16
Perubahan kerapatan populasi mangsa dapat mengubah perilaku predator dalam hal pemangsaan dan keefektifan predator, dicerminkan oleh intensitas tanggapnya terhadap kerapatan populasi mangsa (Hassel, 1966). Mempelajari kerapatan mangsa yang optimal yang mampu dikendalikan oleh suatu predator merupakan langkah awal dalam memahami tanggap fungsional predator tersebut. Menurut Holling (1959) tanggap fungsional dibedakan atas tiga tipe umum yaitu tipe I, II, dan III, yang dilukiskan dengan grafik hubungan antara kerapatan mangsa dan jumlah mangsa yang dimangsa oleh predator. Tanggap fungsional tipe-I (linier) menggambarkan bahwa jumlah mangsa yang dimakan bersifat konstan, sehingga hubungan antara banyaknya mangsa yang dimakan predator dan kerapatan mangsa bersifat linier. Jumlah mangsa yang dimakan meningkat secara proporsional mengikuti peningkatan kerapatan mangsa hingga mencapai batas maksimum dan kemudian mendatar (Gambar 2.4). Tanggap fungsional tipe II (hiperbolik) yaitu jumlah mangsa yang dimakan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa. Pada awalnya terjadi peningkatan pemangsaan bersamaan dengan peningkatan kerapatan mangsa. Namun, dengan pertambahan kerapatan mangsa, respon pemangsaan mulai menurun. Tanggap fungsional tipe III (sigmoid) menggambarkan bahwa jumlah mangsa yang dimangsa sedikit pada kepadatan populasi rendah kemudian meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi mangsa, dan kemudian melambat kembali pada populasi mangsa yang makin meningkat (Gambar 2.4). .
17
Gambar 2.4 Tiga tipe tanggap fungsional Holling (1959) Ha : Jumlah mangsa yang dimangsa, H : Kerapatan mangsa
Beberapa penelitian tentang tanggap fungsional sudah dilakukan antara lain oleh Oktarina (2009), Nelly, et al. (2012) dan Daeli (2011). Oktarina (2009) menyatakan bahwa pada kepadatan kepik predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter yang tinggi, telur Nilaparvata lugens Stal. yang dimangsa sedikit. Sebaliknya, pada kepadatan kepik predator C. lividipennis yang rendah maka telur N. lugens yang dimangsa tinggi. Nelly, et al. (2012) meneliti tanggap fungsional predator Menochilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) pada umur tanaman cabai berbeda. Pada tanaman cabai umur 2 minggu tanggap fungsional predator M. sexmaculatus
18
terhadap A. gossypii adalah tanggap fungsional tipe I yaitu, kemampuan memangsa M. sexmaculatus meningkat dengan meningkatnya jumlah mangsa. Sedangkan pada umur cabai 4, 6, dan 8 minggu tanggap fungsional predator M.
sexmaculatus terhadap A. gossypii termasuk tipe III. Tipe III dicirikan oleh awal peningkatan pemangsaan berlangsung lambat, diikuti peningkatan yang lebih cepat, kemudian konstan (Hassel, 2000). Penelitian Daeli (2011) menunjukkan bahwa lama pencarian dan penanganan satu ekor ulat api Setothosea asigna pada tanaman
kelapa
sawit
oleh
S.
croceovittatus
(Hemiptera:
Reduviidae)
membutuhkan waktu 10,46 menit pada kepadatan populasi rendah (5 ekor ulat api) dan 4,61 menit pada kepadatan populasi tinggi (10 ekor ulat api). Predator atau parasitoid yang efektif mempunyai sifat yang mampu mengendalikan mangsa/inang sebanyak mungkin. Mempelajari kepadatan mangsa/inang yang optimal mampu dikendalikan oleh suatu predator/parasitoid merupakan
langkah
awal
dalam
memahami
tanggap
fungsional
predator/parasitoid tersebut. Kinerja predator sebagai agens hayati sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangsa dan bentuk tanaman. Bentuk atau umur tanaman sangat mempengaruhi tanggap fungsional predator dalam mengendalikan populasi mangsa (Nelly, et al., 2012). Pada tanaman yang masih muda yang biasanya daunnya belum banyak, predator akan mudah mendapatkan mangsanya.