BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Layanan Radiografi Konvensional Layanan radiografi konvensional merupakan sebuah layanan penunjang
diagnostik yang memanfaatkan radiasi sinar x guna membuat citra anatomi tubuh dalam sebuah film (Bontrager dan Lampignano, 2011). Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan radiolografi konvensional maka
standar
pelayanan harus mempertimbangkan berbagai hal antara lain perizinan, sumber daya manusia, peralatan, ruangan serta jaminan mutu layanan (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Setiap pemanfaatan radiasi pengion (sinar x) harus dilengkapi dengan izin dari instansi berwenang (Akhadi, 2000). Sejak diterbitkannya Undang Undang Nomer 10 Tahun 1997 maka pihak yang berwenang untuk mengeluarkan ijin pemanfaatan adalah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan radiografi konvensional sehingga izin operasional dapat dikabulkan. Persyaratan tersebut seperti tertera di bawah ini. 1. Unit kerja menyediakan fasilitas radiografi konvensional yang baik dan memenuhi syarat sesuai dengan ruang lingkup kegiatannya (Akhadi, 2000). Persyaratan peralatan yang baik dan memenuhi syarat mengacu pada standar pelayanan radiologi diagnostik (Kementerian Kesehatan RI, 2008)
11
12
2. Unit radiografi konvensional harus memiliki tenaga kerja yang cakap dan terlatih baik. Personel yang terlibat dalam pemanfaatan radiasi pengion dituntut memiliki kecakapan dan latihan yang memadai ditandai dengan ijazah pendidikan radiologi dan surat izin bekerja (SIB) bagi petugas proteksi radiasi (Akhadi, 2000) maupun surat izin kerja radiografer (SIKR) (Kementerian Kesehatan RI, 2008) 3. Standar ketenagaan dalam layanan radiografi konvensional ditentukan berdasarkan pada beberapa hal yaitu jenis sarana kesehatan, kemampuan / kompetensi, beban kerja dan jumlah pesawat x – ray yang dimiliki oleh masing-masing unit layanan radiografi konvensional (Kementerian Kesehatan RI, 2008) 4. Pendekatan yang dipakai dalam penentuan standar peralatan adalah seperti tabel 2.2 berikut ini (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Tabel 2.1 Standar Peralatan di Layanan Radiografi Konvensional No
Peralatan
Kelengkapan
1
Analog X-ray Fixed Unit dan atau Digital
Multipurpose radiografi fungsional (dapat untuk segala jenis pemeriksaan konvensional radiografi)
2
Mobile x-ray
Punya 2 tuas tangkai tube agar pergerakan dapat leluasa
Dalam menetapkan jenis dan luas ruangan radiografi konvensional dapat mempertimbangkan hal-hal antara lain fungsi ruangan, jenis kegiatan, proteksi radiasi bagi petugas, pasien,lingkungan dan efisiensi. Secara umum persayaratan ruangan radiografi konvensional adalah sebagai berikut di bawah ini.
13
1. Letak unit / instalasi radiologi hendaknya mudah dijangkau dan terletak di bagian sentral sehingga mudah dicapai dari unit gawat darurat, ruang perawatan intensif, ruang bedah, poliklinik rawat jalan , rawat inap dan sebagainya . 2. Peralatan pemadam kebakaran harus tersedia di setiap unit radiologi 3. Ruang pemeriksaan harus memiliki suhu 20 – 240C dan kelembaban ruangan berkisar 40-60 %. 4. Suhu ruangan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan alat. Ruangan yang digunakan untuk radiografi konvensional harus memenuhi asas proteksi radiasi sedangkan ukuran dan luasnya menyesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan dari masing-masing unit layanan radiografi konvensional (Rasad, 2011).
2.2
Konsep Kepuasan Pasien Kepuasan pasien merupakan salah satu tujuan utama bagi aktivitas bisnis.
Loyalitas pasien, meningkatnya reputasi penyedia layanan, menurunnya elastisitas harga, menurunnya biaya transaksi di masa yang akan datang, peningkatan efisiensi serta produktifitas staf merupakan kontribusi dari tercapainya kepuasan pasien (Anderson dkk., 1994) Kepuasan atau dalam bahasa Inggris disebut satisfaction terdiri atas dua istilah latin yaitu “satis” (berarti cukup baik, memadai) serta “facio” (artinya melakukan atau membuat). Maka bila dilihat dari asal katanya,
kepuasan
didefinisikan sebagai upaya dalam memenuhi sesuatu atau membuat sesuatu yang memadai. Bila dilakukan pendekatan berdasarkan perspektif perilaku pasien,
14
kepuasan akan
sulit untuk dipahami dan merupakan sesuatu yang komplek
(Tjiptono, 2014). Bagi perseorangan akan sangat mudah mengartikannya, namun bagi para peneliti akan sangat sulit. Pasien membentuk sebuah reaksi terhadap aspek perawatan kesehatan yang diterima yang menurut mereka relevan dan penting (Greenslade dan
Jimmieson, 2011). Mengacu
pada pemahaman
kepuasan pasien bagi sesorang maka akan terbentuk sebuah citra yang luas karena nilai subjektif antar perorangan akan berbeda. Selain itu, kepuasan juga dipegaruhi oleh hasil klinis (May, 2001). Kedua faktor tersebut membuat kepuasan pasien menjadi abstrak, kompleks dan fenomena yang multidimensi, yang tidak dapat disimpulkan dalam satu definisi universal (Beattie dkk., 2002). Beberapa penulis menggunakan berbagai pendekatan untuk mengartikan kepuasan pasien, yang dibedakan menjadi berdasarkan sikap, pendekatan penilaian, dan pendekatan ekspetasi. Dari pendekatan sikap, kepuasan pasien merupakan sebuah sikap respon yang terjadi ketika seseorang mengevaluasi secara kognitif aspek perawatan kesehatan berdasarkan standar subjektif dari pasien (Greenslade dan Jimmieson, 2011). Pendekatan kedua melalui penilaian sebagai kunci untuk mengartikan kepuasan pasien. Menurut pendekatan ini, kepuasan pasien adalah sebuah penilaian pasien terhadap aspek, properti dan dimensi proses perawatan medis yang mereka terima (Jackson dkk., 2001). Linder Pelz (dalam Suryawati, 2004) mengutarakan, kepuasan pasien adalah evaluasi positif terhadap beragam dimensi pelayanan. Evaluasi dapat dilakukan pada satu bagian kecil, contohnya hanya pada salah satu jenis pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Di lain sisi, evaluasi juga dapat dilakukan secara menyeluruh.
15
Kepuasan pasien merupakan suatu konsep yang memiliki banyak dimensi atau banyak variabel yang akan mempengaruhinya. Kepuasan pasien juga dapat diadopsi melalui pendekatan ekspektasi. Pada pendekatan ini, kepuasan pasien ditentukan oleh kesesuaian antara ekspetasi pasien dan kenyataan akan perawatan yang diterima (Sitzia dan Wood, 1997). Kepuasan pasien adalah sebuah fungsi yang dihasilkan dari ekspetasi sebelumnya. Menurut Merkouris dkk.,(2004), pasien mendatangi sebuah layanan kesehatan dengan satu set ekspetasi terhadap perawatan, sehingga menghasilkan standar subjektif berakibat pada tidak dapat diukurnya kualitas perawatan. Pascoe (dalam Suryawati, 2004) mengartikan kepuasan dari dua perspektif yang berbeda (contrast model ). Pasien mendatangi sebuah pelayanan kesehatan dengan berbagai harapan dan keinginan. Apabila pasien mendapati bahwa pengalaman yang diterima lebih baik dibandingkan yang ia harapkan maka mereka akan merasa puas. Di lain pihak, bila pelayanan yang diterima lebih buruk dari harapannya maka mereka akan merasa tidak puas. Kotler dan Keller (2012) menyatakan bahwa kepuasan pasien merupakan tingkat perasaan seorang individu setelah orang tersebut membandingan kinerja sebuah layanan dengan apa yang diharapkannya. Salah satu definisi yang banyak digunakan adalah definisi yang didasarkan pada disconfirmation paradigm. Dalam disconfirmation paradigm, kepuasan pasien diartikan sebagai anggapan pasien terhadap performance penyedia layanan yang dianggap memenuhi atau melebihi harapannya. Apabila persepsi terhadap performance tidak memenuhi harapan, maka muncullah ketidakpuasan. Sehingga
16
dapat dikatakan bahwa ketidakpuasan adalah kebalikan bipolar dari kepuasan (Tjiptono, 2014). Di luar berbagai bentuk pendekatan tersebut, sangat penting untuk memahami perbedaan antara kepuasan pasien terhadap outcome dan kepuasan pasien terhadap perawatan yang diterima. Kepuasan pasien terhadap outcome mengacu pada bentuk pengobatan yang diterima, sedangkan kepuasan terhadap perawatan sama mengacu pada layanan yang diterima pasien selama perawatan kesehatan (Beattie dkk., 2002). Untuk penyedia layanan, membangun kepuasan terhadap pengobatan akan lebih sulit dibandingkan membangun kepuasan terhadap layanan yang diberikan.
2.3
Manfaat Pengukuran Kepuasan Pasien Hingga saat ini, masih sedikit negara yang mengukur apa yang dialami
pasien secara terstandar dan sistematik. Di Indonesia sendiri, pengukuran Indek Kepuasan telah banyak dilakukan namun belum terstandardisasi dan belum disusun secara sistematik. Mengapa kepuasan penting untuk diukur? Karena kepuasan pasien akan membentuk indikator outcome untuk kualitas dan efisiensi sistem layanan kesehatan (Merkouris dkk. , 2004). Menurut Merkouris dkk (2004) pengukuran kepuasan pasien bermanfaat sebagai evaluasi kualitas, evaluasi terhadap upaya intervensi serta hubungan antara
perilaku sehat dan sakit,
menyusun keputusan,
evaluasi terhadap
perubahan struktur organisasi, evaluasi pegawai, fungsi pemasaran dan formasi etik profesional. Apabila dilihat dari perspektif pasien , pengukuran kepuasan pasien akan menunjukkan tingkat kesuksesan dari penyedia layanan kesehatan (Jackson dkk.,
17
2001). Dengan menyediakan transparansi tentang perfomance penyedia layanan, pasien dapat membandingkan antara penyedia layanan satu dengan lainnya dan memilih penyedia layanan yang cocok untuk kondisi kesehatan mereka. Dari perspektif etis, penyedia layanan kesehatan mempunyai obligasi untuk proses layanan mereka dengan memantau kepuasan pasien secara kontinum dan melaporkan point yang dirasakan oleh pasien (Merkouris dkk., 2004). Selain perspektif pasien dan etis, ada juga perspektif klinis dan bisnis. Dari perspektif klinis, terdapat empat konsekuensi dari kepuasan pasien. Pertama, kepuasan pasien berhubungan dengan peningkatan penerimaan terhadap rekomendasi perawatan (Greenslade dan Jimmieson, 2011). Konsekuensi kedua adalah bila pasien puas dengan perawatan yang diberikan maka mereka akan lebih mudah dalam menerima bentuk intervensi baru, yang artinya tingkat kepercayaan mereka akan lebih tinggi terhadap penyedia layanan kesehatan (Cheung dkk., 2009). Ketiga, kepuasan pasien berhubungan dengan kesinambungan perawatan. Pasien yang memiliki pengalaman yang memuaskan akan kembali pada penyedia layanan yang sama ketika masalah kesehatan kembali terjadi (Beattie dkk., 2002). Terakhir, pasien yang puas dipercaya akan memberikan pengaruh positif bagi status kesehatan yang dirasakan oleh pasien (May, 2001). Rekomendasi medis yang diberikan akan sepenuh hati dilaksanakan oleh pasien yang merasa puas terhadap layanan kesehatan (Suryawati, 2004). Dari perspektif bisnis, feedback pengalaman perawatan kesehatan dari pasien dapat digunakan oleh staf medis dan manajemen. Mereka dapat menggunakan informasi tersebut untuk meningkatkan program layanan kesehatan (Jackson dkk., 2001). Terlebih lagi, mereka dapat membandingkan tingkat
18
kepuasan yang mereka peroleh dengan tingkat kepuasan yang diperoleh pada penyedia layanan lainnya.
Citra positif dan nama baik penyedia layanan
kesehatan akan terbentuk akibat pasien yang merasa puas akan menyampaikan perasaannya kepada orang lain di sekitarnya. Secara tidak langsung, hal tersebut akan membawa keuntungan bagi penyedia layanan karena berperan dalam fungsi pemasaran. Secara sosial maupun ekonomi, citra positif akan menguntungkan antara lain dengan peningkatan jumlah pasien yang akan berimbas pada kondisi sosial ekonomi dimana akan terjadi peningkatan pendapatan bagi penyedia layanan. Selain itu, pasien yang puas akan menurunkan upaya hukum melawan penyedia layanan (Robinson dan Heritage, 2006). Pelayanan yang mengutamakan hak-hak pasien akan tercipta dari sebuah layanan kesehatan yang selalu berfokus pada terwujudnya kepuasan pasien. Penyedia layanan kesehatan
akan berusaha untuk mencegah terjadinya
malpraktik. Dengan secara teratur memperbarui program layanan kesehatan, penyedia layanan akan dengan mudah memenuhi kebutuhan dan harapan pasien (Greenslade dan Jimmieson, 2011).
2.4
Pengukuran Kepuasan Pasien Sejumlah negara telah mengembangkan indeks kepuasan pelanggan
nasional termasuk di Indonesia yang dikenal dengan Indonesian Customer Satisfaction Index (ICSI) yang mulai diterapkan pada tahun 1999. Di Indonesia pengukuran kepuasan telah banyak dilakukan namun belum terstandardisasi secara spesifik dan belum disusun secara sistematik (Tjiptono, 2014). Mengapa kepuasan pasien penting untuk diukur? Karena kepuasan pasien akan membentuk
19
indikator outcome untuk kualitas dan efisiensi sistem layanan kesehatan (Merkouris dkk., 2004). Kepuasan pasien bukan hal yang objektif, tidak mudah diukur, tidak ajeg, dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Subyektivitas tersebut akan berkurang dan bahkan dapat berubah menjadi obyektif
apabila sebagian besar orang
memiliki pendapat yang sama terhadap suatu hal. Hal ini menyebabkan, instrumen penelitian yang cukup valid disertai dengan metode penelitian yang baik sangat dibutuhkan dalam mengkaji kepuasan pasien. (Suryawati, 2004). Namun beberapa peneliti mengkritik cara pengukuran kepuasan pasien. Kritik pertama tentang sebagian besar penelitian melaporkan tentang tingginya tingkat kepuasan pasien (Avis dkk., 1995). Variasi respon yang sangat sedikit dapat mengindikasikan instrumen yang digunakan untuk mengukur kepuasan pasien sangat sederhana, mengakibatkan pasien kesulitan untuk mengidentifikasi apa yang mereka rasakan berdasarkan format pertanyaan yang disodorkan. Terutama bila bentuk pengukuran berupa kuesioner, pasien mengekspresikan dirinya dalam istilah asing, kriteria didasarkan pada asumsi dari penyedia layanan dibandingkan dengan menggunakan nilai dari pasien dan apa yang dialaminya (Avis dkk., 1995). Kunci untuk meningkatkan variasi respon dapat dilakukan dengan cara memilih indikator yang jelas dan nyata dan menanyakan pada pasien pada hal-hal yang bisa mengekspresikan diri mereka sendiri. Kritik berikutnya adalah karakteristik sosiodemografi yang menjadi prediktor terhadap kepuasan pasien. Secara umum, pasien yang lebih tua dilaporkan lebih puas dibandingkan pasien usia muda. Kritik ketiga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kepentingan pasien. Pada pengukuran kepuasan pasien, kompetensi teknis
20
dari personel penyedia layanan juga harus dievaluasi. Biasanya, pasien tidak memiliki pengetahuan tentang aspek teknis sehingga tidak memberikan penilaian yang akurat. Kritik berikutnya, pasien tidak selalu mengingat setiap aspek dari proses perawatan yang diterima. Tidak mampu mengingat setiap detail akan memungkinkan pasien mengekspresikan tingkat kepuasannya lebih tinggi dari sebenarnya (Goldstein dkk., 2000). Kritik kelima adalah, pasien biasanya memiliki persepsi berbeda tentang apa yang terjadi saat menerima perawatan kesehatan. Hal ini dapat mengakibatkan penilaian terhadap proses perawatan tidak berhubungan dengan realita yang ada atau berdasarkan persepsi petugas. Dari ulasan di atas maka harus diingat bahwa kepuasan pasien akan selalu menjadi pengukuran subjektif guna mengevaluasi kualitas perawatan, merefleksikan pilihan dan ekspetasi personal dari pasien. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa walaupun konsep kepuasan pasien adalah alat yang penting dalam evaluasi layanan kesehatan, peneliti harus mengingat beberapa kritik tersebut dan sulitnya identifikasi saat meninterpretasikan data hasil penelitian.
2.5
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepuasan Pelanggan Sebelumnya telah dinyatakan bahwa kepuasan pasien berhubungan erat
dengan kualitas layanan yang diberikan. Namun di luar kualitas layanan jasa masih ada berbagai faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien. Menurut (Naseer, 2012) terdapat tiga domain yang mempengaruhi kepuasan pasien yaitu harapan pasien, persepsi dan pengalaman pasien dengan sistem pelayanan kesehatan. Ketiga domain tersebut saling terkait dan saling berhubungan satu sama lain dan dapat secara simultan mempengaruhi kepuasan pasien (Gambar 2.1)
21
Harapan Pasien
Kepuasan Pasien Persepsi Kualitas
Pengalaman Pasien
Gambar 2.1 Hubungan Antara Tiga Domain Kepuasan Pasien (Naseer, 2012)
2.5.1
Harapan Pasien Harapan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan dan sistem
perawatan kesehatan memainkan peran mendasar dalam konsep kepuasan pasien. Harapan adalah kepercayaan yang komplek atau sebuah nilai yang dihasilkan dari proses kognitif, yang dimodifikasi oleh pengalaman sebelumnya. Kepercayaan membentuk perilaku sebagai fenomena yang penting. Harapan merupakan sebuah tipe kepercayaan atau persepsi seseorang tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan dan bersifat dinamis (Bowling dkk. 2012) Harapan dapat dibedakan menjadi background expectation (harapan dasar) yang eksplisit dihasilkan oleh akumulasi proses pembelajaran tentang tindakan perawatan dan proses konsultasi. Interaction expectation (harapan interaksi) merupakan harapan pasien terhadap penyampaian informasi antara penyedia layanan kesehatan dan
22
pasien. Action expectation (harapan tindakan) adalah tentang tindakan yang akan dilakukan oleh dokter (Naseer, M., Zahidie, A., dan Shaikh, B. T., 2012). Harapan pasien dipengaruhi oleh karakteristik pasien dan faktor psikososial yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepuasan pasien (Naseer , 2012).
2.5.1.1 Karakteristik Pasien Faktor internal pasien yang berpengaruh terhadap harapan antara lain umur, jenis kelamin , status sosioekonomi, dan pendidikan. Faktorfaktor tersebut berhubungan positif dengan tingkat kepuasan pasien (Naseer, 2012). Menurut Bleich dkk, ada hubungan yang signifikan antara umur dan kepuasan pasien. Kelompok umur yang lebih tua memiliki harapan yang lebih rendah dan lebih puas dibandingkan dengan kelompok umur lebih muda (Naseer, 2012). Secara umum, pasien yang lebih tua dilaporkan lebih puas dibandingkan pasien usia muda. Jenis kelamin merupakan prediktor yang tidak konsisten terhadap kepuasan pasien. (Bleich dkk., 2009) mengutarakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kepuasan pasien. Wanita dikatakan memiliki tingkat kepuasan yang lebih rendah terhadap layanan kesehatan bila dibandingkan dengan laki-laki. Alasan fenomena ini adalah pengalaman
atau
keterbatasan
dalam
keterlibatan
wanita
dalam
pengambilan keputusan(Naseer, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh (Abdilah dan
Ramdan, 2004) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan bermakna antara kepuasan pasien dan jenis kelamin pasien.
23
Hubungan yang lemah namun secara statistik signifikan, ditemukan pada tingkat pendidikan dengan kepuasan pasien. Pasien berpendidikan tinggi lebih sering menyatakan tidak puas terhadap layanan kesehatan (Bleich dkk., 2009). Rendahnya kepuasan pasien pada pasien berpendidikan
tinggi disebabkan oleh pemahaman mereka tentang
penyakit yang baik dan mereka mengharapkan komunikasi yang lebih baik dari penyedia layanan kesehatan (Naseer, 2012). Hasil lainnya menunjukkan hubungan yang positif antara penghasilan dan kepuasan pasien. Pasien dengan penghasilan yang lebih tinggi cenderung merasa lebih puas (Bleich dkk., 2009). 2.5.1.2 Determinan Psikososial Pasien yang cemas dan depresi akan memberi pengaruh negatif terhadap kepuasan pasien. Kelainan psikological seperti affective distress dan somatic preoccupation berpengaruh negatif terhadap kepuasan pasien (Naseer, 2012). 2.5.2 Pengalaman Pasien Pengalaman pasien merupakan salah satu prediktor kuat terhadap kepuasan pasien di luar faktor demografi, status kesehatan dan faktor penyedia layanan (Bleich dkk., 2009). Saat ini sebagian besar survei kepuasan pasien menggunakan pengukuran pengalaman pasien
guna meningkatkan kualitas
layanan kesehatan yang diberikan (Naseer, 2012). Sikap terhadap layanan kesehatan yang diberikan tidak memberi banyak informasi tentang bagaimana layanan tersebut sesungguhnya. Pada umumnya survei kepuasan pasien mencapai tingkat kepuasan yang tinggi namun tidak menunjukkan permasalahan spesifik
24
tentang kualitas layanan. Sehingga sangat penting mengukur pengalaman pasien terhadap layanan kesehatan yang mereka terima dan mengetahui hubungan antara pengalaman dan kepuasan mereka terhadap layanan kesehatan (Jenkinson dan Coulter 2002). World Health Organization menggunakan pengukuran pengalaman pasien terhadap sistem layanan kesehatan sebagai sebuah indikator responsiveness dalam sistem layanan kesehatan (Bleich dkk., 2009). Kepuasan pasien, kualitas layanan kesehatan dan pengalaman pasien merupakan domain utama responsiveness dalam sistem layanan kesehatan (Naseer, 2012). Responsiveness merupakan tata cara dan lingkungan dimana pasien diberikan tindakan ketika mereka mencari layanan kesehatan. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa pengalaman pasien bertanggung jawab terhadap 10% variasi tingkat kepuasan pasien (Jenkinson dkk., 2002) Dalam survei
yang dilakukan World Health Organization, ada tujuh
domain dalam pengukuran kepuasan pasien antara lain otonomi, pilihan, komunikasi, kerahasiaan, penghargaan, perhatian yang cukup serta quality of basic amenities (Bleich dkk., 2009). Sedangkan dalam kuesioner yang dikembangkan oleh Picker’s Institute terdapat tujuh domain dalam kepuasan pasien rawat inap yaitu informasi dan edukasi, koordinasi dalam layanan, kenyamanan fisik, dukungan emosional, menghormati apa yang dirasakan pasien, keterlibatan keluarga atau teman serta kesinambungan pelayanan (Jenkinson dkk., 2002). Penelitian Bleich dkk ( 2009) menunjukkan seluruh domain pengalaman pasien memiliki hubungan yang signifikan positif terhadap kepuasan pasien
25
terhadap layanan kesehatan, kecuali pada domain kerahasian yang masih dalam ambang batas signifikan. Pengalaman pasien menjelaskan 10,4%
variasi
kepuasan pasien. 2.5.3 Persepsi Pasien Terhadap Kualitas Layanan Persepsi pasien terhadap kualitas layanan kesehatan juga merupakan aspek penting dalam pengukuran kepuasan pasien. Determinan penting yang mempengaruhi persepsi pasien terhadap layanan kesehatan adalah persepsi pasien terhadap status kesehatannya sendiri dan personality dari pasien (Naseer, 2012). Kondisi kesehatan yang dirasakan serta personality juga berhubungan dengan kepuasan pasien. Pasien yang menyatakan dirinya dalam kondisi kesehatan yang sangat baik, ternyata jauh lebih puas dibandingkan dengan yang merasakan kondisi kesehatannya baik, kurang baik maupun buruk. Personality memiiki hubungan yang negatif dengan kepuasan pasien (Bleich dkk., 2009).
2.6
Metode Pengukuran Terdapat empat metode pengukuran kepuasan pasien antara lain sebagai
berikut di bawah ini (Kotler dan Keller, 2009) 1. Sistem Keluhan dan Saran Kritik, saran, pendapat maupun keluhan pelanggan wajib diakomodasi oleh penyedia layanan. Penyampaiannya dapat melalui kotak saran yang ditempatkan di lokasi strategis (mudah diakses atau sering dilalui pelanggan), saluran telepon bebas pulsa, website, jaringan sosial, dan sebagainya. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan inovasi baru ataupun mengatasi masalah-masalah yang timbul secraa
26
tanggap dan cepat. Namun karena sifatnya pasif, maka tidak mudah untuk memperoleh deskripsi secara menyeluruh tentang kepuasan pasien. Pasien yang tidak mengajukan kritik, bukan berarti mereka puas terhadap layanan jasa yang diberikan. Umumnya mereka yang tidak puas akan beralih pada penyedia layanan jasa lainnya atau tidak menggunakan layanan jasa yang sama lagi (Tjiptono, 2014). 2. Ghost / Mystery Shopping Ghost shoppers diperkerjakan sebagai pengguna jasa perusahaan maupun jasa pesaing. Mereka diminta untuk menyampaikan informasi yang berhubungan dengan kelemahan maupun kelebihan layanan jasa dibandingkan dengan pesaingnya. Ghost shoppers juga akan mengamati cara penyedia layanan jasa maupun pesaingnya dalam melayani permintaan pelanggan, menjawab pertanyaan dan menangani setiap keluhan atau masalah yang dihadapi pelanggan. 3. Lost Customer Analysis Penyedia layanan jasa dapat menghubungi pelanggan yang tidak lagi menggunakan jasa yang ditawarkan. Hal ini dilakukan agar penyedia jasa dapat memahami mengapa pelanggan tidak bersedia menggunakan jasanya lagi dan dapat melakukan tindakan perbaikan yang dibutuhkan. Peningkatan customer loss rate merupakan indikator bahwa penyedia layanan jasa gagal untuk memberikan kepuasan pada pasien. Namun metode ini sulit untuk diterapkan dalam hal mengidentifikasi dan menghubungi mantan pengguna jasa yang bersedia memberikan masukan dan evaluasi.
27
4. Survei Kepuasan Pelanggan Metode ini paling sering digunakan pada penelitian tentang kepuasan pelanggan baik itu dengan pos, telepon, e-mail, maupun wawancara langsung. Dengan menggunakan metode survey, tanggapan dan umpan balik akan didapatkan oleh penyedia layanan secara langsung dari pelangannya. Kelebihan lainnya dari metode survei adalah akan mengirim signal positif kepada pasien, bahwa penyedia layanan kesehatan peduli terhadap tanggapan yang mereka berikan.
2.7
Pengukuran Kepuasan Pasien Berdasarkan Pengalaman Pasien Kepuasan konsumen telah menjadi fokus yang sangat penting dalam
penelitian tentang pasar komersial. Hal ini juga terjadi dalam pengukuran kepuasan pasien dalam penelitian di bidang pelayanan kesehatan. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa rumah sakit yang memiliki tingkat kepuasan pasien yang tinggi secara umum memiliki kualitas layanan yang lebih tinggi ketika diukur dengan alat ukur standar kualitas (Pelz dalam Wong dkk., 2011). Kepuasan pasien yang rendah dapat berpengaruh terhadap penerimaan yang rendah terhadap treatment yang diberikan dan pada akhirnya terhadap outcome klinis (Kincey dkk., 1975). Sehingga kepuasan pasien merupakan indikator penting dalam pengukuran kualitas layanan kesehatan dan performance dari penyedia layanan secara menyeluruh (Ware dkk., 1983). Kualitas memiliki berbagai dimensi dan pengukuran kepuasan pasien membutuhkan pengukuran proses multidimensi dari pengalaman pasien sehingga merefleksikan kepuasan pasien (Wong dkk., 2011).
28
Saat ini telah banyak kuesioner yang dibuat untuk mengukur penilaian pasien terhadap berbagai aspek dalam layanan yang mereka terima, namun dari berbagai kuesioner tersebut masih memiliki keterbatasan. Perilaku pasien terhadap sebuah layanan tidak menunjukkan bagaimana sebenarnya layanan tersebut. Survei kepuasan pasien menunjukkan tren rating positif yang tidak sensitif terhadap masalah spesifik dalam kualitas layanan kesehatan (Jenkinson dan Coulter, 2002). Langkah penting dalam meningkatkan responsiveness dari penyedia layanan kesehatan sehingga memastikan para penyedia layanan dapat memberikan bentuk layanan yang dibutuhkan pasien adalah menanyakan kepada pasien itu sendiri tentang pengalaman yang mereka alami dan opini mereka (Wong dkk., 2011). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kuesioner kepuasan pasien harus mengukur pengalaman pasien saat menerima layanan kesehatan dan kemudian menentukan seberapa besar pengalaman tersebut berhubungan dengan kepuasan pasien. Ketiadaan konsep dasar yang solid dan alat pengukuran yang konsisten dalam mengukur kepuasan pasien telah mendorong WHO memperkenalkan sebuah kuesioner yang mengukur responsiveness dari penyedia jasa pelayanan kesehatan. Pengukuran responsiveness difokuskan secara mengkhusus kepada pengalaman pasien antara lain pada aspek layanan seperti waktu tunggu, kualitas sarana prasarana, dan komunikasi dengan penyedia pelayanan kesehatan. Seluruh aspek tersebut akan membantu mengidentifikasi prioritas utama dalam peningkatan kualitas layanan kesehatan (Bleich dkk., 2009). Di masa yang akan datang, pengukuran pengalaman pasien akan digunakan untuk mengukur responsiveness dari penyedia layanan dan pada akhirnya bertujuan untuk
29
memenuhi keinginan pasien. Penelitian berhubungan dengan tingkat kepuasan secara global telah mengidentifikasi adanya hubungan yang kuat antara tingkat kepuasan pasien dengan pengalaman pasien. WHO mengidentifikasi delapan domain responsiveness untuk pasien rawat inap, dan hanya tujuh domain bagi pasien rawat jalan. Domain-domain tersebut seperti diterangkan di bawah ini :(Letkovicova dkk., 2005) 1. Dignity (penghargaan) : pemberian treatment secara respek dan komunikasi antara pasien dan penyedia layanan 2. Autonomy (otonomi) : keterlibatan pasien dalam pembuatan keputusan, respek terhadap hak pasien dalam memilih layanan 3. Confidentiality (kerahasiaan); kerahasian informasi pribadi 4. Clear communication (komunikasi); komunikasi yang baik antara pasien dan penyedia layanan 5. Prompt attention (perhatian yang cukup): kemudahan akses dan waktu tunggu yang pendek 6. Quality basic amenities ; kualitas sarana prasarana 7. Choice of health care provider (pilihan); kebebasan dalam memilih layanan kesehatan