BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Film
2.1.1 Pengertian Film Film merupakan mesin waktu yang memberikan wawasan terhadap nilai dan suasana, harapan, dan impian dari sebuah era. Film merupakan sebuah barometer yang menunjukan perubahan – perubahan nilai suatu bangsa. Film telah menjadi sarana untuk memberitahukan satu sama lain tentang dunia. Film menunjukan suatu kondisi dari suatu budaya yang memproduksinya, dan apa yang ada dalam budaya itu yang menarik bagi penonton untuk melihatnya. Film berfungsi sebagai kaca dua arah : penonton dapat melihat film, dan film dapat mereflesikan penonton.8 Bersama dengan radio dan televisi, film termasuk kategori media massa periodik. Artinya kehadirannya tidak secara terus menerus, tetapi berpriode dan termasuk media elektronik, yakni media yang dalam penyajian pesannya sangat bergantung pada adanya listrik. Sebagai media massa elektronik dan adanya banyak unsur kesenian lain, film menjadi media massa yang memerlukan proses lama dan mahal. Menurut Askurifai Baskin, “ sebagai bentuk komunikasi massa, film dikelola menjadi suatu komuditi. Didalamnya memang kompleks, dari produser, pemain hingga seperangkat kesenian lain yang akan mendukung seperti 8
Askurifai Baskin. Membuat Film Indie itu gampang. Jakarta : Kataris 2003. Hal 3
8
9
musik, seni rupa, teater dan seni suara. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen transformasi budaya. Adapun pesan – pesan komunikasi terwujud dalam cerita dan misi yang dibawa film tersebut serta terangkum dalam bentuk drama, action, komedi, dan horror. Jenis- jenis film inilah yang dikemas oleh seorang sutradara sesuai dengan tendensi masing masing. Ada yang tujuannya sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin kedua – duanya. Ada juga yang ingin memasukan dogma – dogma tertentu sekaligus mengajarkan pada khlayak penonton.9 Menurut Undang - Undang Perfilman No. 8 tahun 1992, Pasal 1 Ayat 1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang – dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU baru tentang perfilman) “ Film adalah karya seni budaya yang merupakan perantara sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan “.10
9
Ibid, hal 2 Lembaga Sensor Film. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Diakses pada tanggal 27 Februari 2014 pukul 02:59 WIB. Http://www.lsf.go.id/film.php?module=peraturan&sub=detail&id=9. 10
10
2.2
Genre Film
2.2.1 Definisi Genre Film Metode
yang
paling
mudah
serta
sering
digunakan
untuk
mengklarifikasikan film adalah berdasarkan genre, seperti aksi, drama, horror, musikal, dan sebagainya. Genre secara umum membagi film berdasarkan jenis dan latar ceritanya. Masing – masing memiliki karakteristik khas yang membedakan satu genre dengan genre lainnya. Istilah genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “ bentuk “ atau “ tipe “. Didalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klarifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama ( khas ) seperti setting, isi, dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi, atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood serta karakter. Dari klarifikasi tersebut, dapat dihasilkan genre – genre film popular seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horror, western, film noir, roman, dan sebagainya.11 2.2.2 Pembagian Genre Film Berdasarkan ragam ceritanya pada dasarnya film dapat dikelompokkan dalam dua pembagian besar, yaitu : a. Film cerita atau film fiksi adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris, jenis atau genre dalam film cerita seperti :
11
HilmawanPratista, Memahami Film. Homerian Pustaka : Yogyakarta, 2008. Hal 10
11
1. Film Aksi Film dengan jenis genre ini berhubungan dengan adegan – adegan aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, non stop dengan tempo cerita yang cepat. Film – film aksi umumnya berisi adegan aksi saling kejar, perkelahian, ledakan, serta aksi – aksi fisik lainnya. 2. Drama Film – film drama pada umumnya berhubungan dengan tema, cerita, setting, karakter, serta suasana yang memotret kehidupan nyata. Konflik biasa dipicu oleh lingkungan, diri sendiri, maupun alam. Kisahnya seringkali menggugah emosi, dramatik, dan maupun menguras air mata penontonnya. Tema umumnya mengangkat isu – isu sosial baik skala besar ( masyarakat ) maupun skala kecil ( keluarga ). Film jenis ini umumnya tidak terfokus pada aksi fisik atau komedi dan jarang sekali menggunakan efek visual. 3. Epic/Sejarah Genre ini umumnya mengambil tema periode masa silam (sejarah) dengan latar sebuah kerajaan, peristiwa atau tokoh besar yang menjadi mitos, legenda atau kisah biblikal. Film berskala besar (Kolosal) ini seringkali menggunakan setting mewah dan megah, ratusan hingga ribuan figuran, variasi kostum dengan variasi yang unik,serta variasi perlengkapan perang. Contoh : Kongdom of Heaven
12
4. Fantasi Film fantasi berhubungan dengan tempat, peristiwa, karakter yang tidak nyata atau yang berhubungan dengan unsur magic, mitos, negeri dongeng, imajinasi, halusinasi, serta alam mimpi. 5. Fiksi Ilmiah Film jenis ini berhubungan dengan masa depan, perjalanan angkasa luar, percobaan ilmiah, penjelajah waktu, invasi, atau kehancuran bumi. Fiksi ilmiah seringkali berhubungan dengan teknologi serta kekuatan yang berada diluar jangkauan teknologi masa kini. Film ini juga identik dengan karakter mom manusia atau artificial, seperti makhluk asing, robot, monster, hewan purba. 6. Horor Film horor adalah film yang memiliki tujuan utama memberikan efek rasa takut, kejutan, serta teror yang mendalam bagi penontonnya. Plot film horor umunya sederhana, yakni bagaimana usaha manusia untuk melawan kekuatan jahat dan biasanya berhubungan dengan dimensi supernatural atau sisi gelap manusia. Film ini umunya menggunakan karakter – karakter antagonis nonmanusia yang berwujud fisik menyeramkan. Contoh : The Conjuring.
13
7. Komedi Komedi adalah jenis film yang tujuan utamanya memancing tawa penonton dan biasanya berupa drama ringan yang melebih – lebihkan aksi, situasi, bahasa, hingga karakternya. Film ini biasanya selalu berakhir dengan penyelesaian cerita yang memuaskan penontonnya. Film jenis ini terbagi dua yaitu komedi situasi ( unsur komedi menyatu dengan cerita ) serta komedi lawakan ( unsur komedi bergantung pada figur komedian ). Contoh : Comic 8 8. Kriminal Film – film kriminal dan gangster berhubungan dengan aksi – aksi kriminal
seperti
perampokan
bank,
pencurian,
pemerasan,
perjudian, pembunuhan, persaingan antar kelompok, serta aksi kelompok bawah tanah yang bekerja diluar sistem hukum. Seringkali film jenis ini mengambil kisah kehidupan tokoh kriminal besar yang diinspirasi dari kisah nyata. Contoh : The Goodfather 9. Musikal Genre musikal adalah film yang mengkombinasi unsur musik lagu, tari ( dansa ), serta gerak ( koreografi ). Lagu – lagu dan tarian biasanya mendominasi sepanjang film dan biasanya menyatu dengan cerita. Penggunaan musik dan lagu bersama liriknya biasanya mendukung jalannya alur cerita. Ceritanya umumnya
14
berkisah ringan seperti percintaan, kesuksesan, serta popularitas. Sasarannya lebih ditunjukan untuk keluarga, remaja, dan anak – anak. Contoh : The Sound of Music. 10. Petualangan Film petualangan berkisah tentang perjalanan, eksplorasi atau ekspedisi ke satu wilayah asing yang belum pernah tersentuh. Film–film petualangan selalu menyajikan panorama alam eksotis seperti hutan rimba, pegunungan, savana, gurun pasir, lautan, serta pulau terpencil. Plot film umunya seputar pencarian sesuatu yang bernilai seperti harta karun, artefak, kota yang hilang, mineral (emas & berlian) atau usaha penyelamatan diri dari suatu wilayah tak dikenal atau bisa pula usaha penaklukan sebuah wilayah. Contoh : Pirates of Caribbean . 11. Perang Genre perang mengangkat tema kengerian serta teror yang ditimbulkan oleh aksi perang. Film – film perang umumnya menampilkan adegan pertempuran seru baik darat, laut, maupun udara. Film jenis ini biasanya menampilkan kegigihan, perjuangan, dan pengorbanan para tentara dalam melawan musuh – musuh.12
b. Film Nonfiksi adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umunya, film cerita 12
Heru Effendy.Mari Membuat Film,Panduan Menjadi Produser. Yogyakarta : Jalasutra, 2005. hal 11-14
15
bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan iklan tertentu. Film noncerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataanya sebagai subyeknya. Jadi merekam kenyataan dari pada fiksi tentang kenyataan. Sedangkan jenis atau genre film non cerita atau film non fiksi seperti : 1. Film Dokumenter Film documenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah “documenter” pertama digunakan dalam resensi fil Moana (1926) oleh Robert Flaherrty, ditulis oleh “The Moviegoer”, nama samara Jhon Grierson, di New York Sun pada 8 februari 1926, (Wikipedia Indoensia), 2007). Diperancis istilah dokumenter digunakan untuk semua film non fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Orang - orang merekam kegiatan sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun dan sebagainya, (Wikipedia Indonesia, 2007). 2. Film Faktual Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta, kamera sekedar merekam peristiwa. Film faktual dijaman sekarang tetap hadir dalam bentuk film berita (news reel ).13
13
Marseli Sumarno. Dasar-dasar apresiasi film, Jakarta : Grasindo 1996, hal 10
16
2.3
Representasi Representasi
merupakan
kegunaan
dari
tanda.
Marcel
Danesi
mendefinisikannya sebagai “ proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik “. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik. Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah – ubah, selalu ada pemaknaan baru. Jadi representasi bukanlah sesuatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah.14 Sedangkan makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk response dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Ujaran manusia itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu merupakan perpaduan dari empat aspek, yakni pengetian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan amanat (intension). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi. Peirce sendiri merupakan representasi sebagai suatu bentuk hubungan elemen – elemen makna, jadi representasi menurut pisau bedah yang dikemukakan peirce mengacu bagaimana suatu tindakan dan membentuk 14
Marcel Danesi. Pesan Tanda, Dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori komunikasi, Terjemahan oleh Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari. Jalasutra. Yogyakarta : 2010, hal 3-4
17
interpretant seperti apa lalu bagaimana segitiga makna itu beruntai menjadi rantai semiosis tersendiri.15 Sedangkan menurut Jhon Hartley bahwa reprentasi merupakan bentuk konkret yang berasal dari konsep abstrak. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita film. Kemudian mengenai bagaimana cara representasi diatur melalui berbagai macam media, genre, dan dalam berbagai macam wacana memerlukan perhatian yang menyeluruh.16 2.4
Sadisme Media massa dalam film benar – benar ingin menunjukkan kepada
masyarakat konsumennya bahwa ia adalah benar – benar replika dari masyarakatnya, karena itu film juga harus tampil dalam bentuk kekerasan dan sadistik, film harus mempunyai wajah seram yang membuat masyarakat merinding dan mengelus dada. Kekerasan di dalam film dapat muncul secara fisik maupun verbal. Bentuk kekerasan dan sadisme di dalam film lebih banyak menonjolkan kengerian dan keseraman semata. Menurut undang – undang perfilman yang telah ditetapkan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
15
Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi. Mitra Wacana Media. Jakarta : 2011, hal 122-124 16 Jhon Hartley. Communication, Cultural & Media Studies. Jalasutra. Yogyakarta : 2010, hal 265266
18
Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman : Pasal 6 Sadisme termasuk sebagai unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman yang dilarang karena mengandung isi yang : a. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. b. Menonjolkan pornografi. c. Memprovokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, antar suku, antar ras, dan/atau antar golongan. d. Menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai – nilai agama. e. Mendorong khlayak umum melakukan tindakan melakukan melawan hukum, dan ; f. Merendahkan harkat dan martabat manusia. Kekerasan dan sadisme di film sendiri terdiri dari beberapa macam, seperti kekerasan terhadap diri sendiri, bunuh diri, meracuni diri, dan menyakiti diri sendiri. Sementara kekerasan kepada orang lain seperti menganiaya orang lain, membentak orang lain, sampai dengan membunuh orang lain. Kekerasan kolektif seperti perkelahian massal, komplotan melakukan kejahatan dan sindikat perampokan. Tujuan dari menonjolkan kengerian dan keseraman, yaitu agar film
19
dapat membangkitkan emosi pemirsa dan pembaca, emosi ini menjadi daya tarik luar biasa untuk membaca atau menonton apa yang tersaji. Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan yang berujung pada sadisme akan mencapai punca knya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosisal dan politik, kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataannya membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya. Kekerasan tampaknya sangat sulit didefinisikan secara sepenuhnya memuaskan. Apa yang dicangkup dengan istilah kekerasan ? Yang langsung kasat mata adalah tindakan agresif bernuansa fisik : memukuli, menghancurkan harta benda, atau rumah, membakar, mencekik, melukai dengan tangan kosong ataupun alat dan senjata, menyebabkan kesakitan fisik, luka, kerusakan temporer ataupun permanen, bahkan menyebabkan kematian.17 Pengamatan teliti akan menyimpulkan bahwa kekerasan dan agresi bukan merupakan sinonim. Agresi sangat mungkin ada dalam tindakan kekerasan, tetapi 17
E.Kristi Poerwandi. Mengungkap Selubung Kekerasan.Telaah Filsafat Manusia. Kepustakaan Eja Insani, bandung : Yayasan Eja Insani 2004, hal 11
20
pokok pembahasan kekerasan jauh lebih luas dari pada agresi. Memang bila kita melihat ke dalam kamus, agresi dapat menjelaskan perilaku destruktif, kesengajaan, menyakiti dan upaya menghancurkan. Banyak orang menggunakan istilah agresi untuk menjelaskan perilaku manusia mempertahankan diri dari serangan pihak lain, menjelaskan tingkah laku bandit yang mebunuh korbannya, orang sadis yang memanfaatkan tahanan dipenjara sebagai objek siksaannya. Dalam konteks diatas, agresi selalu dipahami sebagai suatu hal negatif. Pemahaman konsep agresi dalam artian negatif tampaknya menjadi kurang tepat digunakan bila dilihat lebih detail ke dalam istilah tersebut ( Lihat misalnya Johnson, 1972; dan Fromm, 1973 ). Kelompok – kelompok ilmuwan biologi memahami agresi sebagai bentuk – bentuk perilaku makhluk hidup untuk melindungi diri, strategi survival tak terhindarkan yang dikemukakan oleh naluri, perlengkapannya built-in pula pada manusia. Agresi bisa berarti perusakan, tetapi dapat pula merupakan upaya melindungi sesuatu. Artinya, agresi bisa berarti konstruktif memiliki fungsi positif.18 Agresi dapat pula diartikan “ ekses energi “, sehingga bermakna netral saja. Dilain pihak, pengambilan keputusan melakukan tindakan kekerasan yang sangat dahsyat, bisa saja dalam artian tertentu tidak langsung bersangkut paut dengan agresi, misalkan ketika seseorang menekan tombol dan secara seketika membunuh ribuan orang lewat senjata nuklir.19
18 19
Ibid, hal 11 Ibid, hal 12
21
Penelitian ini memfokuskan kepada sadisme yang masuk kedalam salah satu jenis agresi. Untuk mendapatkan pengertian seluk beluk tentang sadisme ini, penulis merujuk pada teori dan pendapat Erich Froom ( 1990 – 1980 ), ia adalah seorang psikoanalisi, filosuf sosial, dan juga termasuk salah satu pemikir besar bagi strategi kebudayaan. Menurut Erich Froom sadisme, yaitu : “ Sadisme adalah hasrat untuk secara mutlak dan tak terbatas menguasai makhluk hidup, baik itu binatang maupun manusia. Menyakiti dan melecehkan orang dengan sengaja tanpa memberinya kesempatan untuk mempertahankan diri atau menghindar merupakan salah satu wujud mutlak, namun ini sama sekali bukan wujud satu – satunya. Seorang yang memiliki kekuasaan penuh atas makhluk hidup lainnya menjadikan makhluk hidup yang dikuasainya itu sebagai benda miliknya atau kekayaannya, sedangkan dia sendiri sebagai dewanya “.20 Erich Froom menyebutkan bahwa pada diri manusia ada dua jenis agresi yang berbeda, agresi sendiri menurut Erich Froom adalah “ segala tindakan yang menyebabkan kerugian pada orang lain, binatang atau benda mati “. Pembedaan paling fundamental antara semua jenis dorongan yang termasuk dalam kategori agresi adalah agresi lunak yang ditujukan untuk mempertahankan hidup, yang bersifat adaptif biologis, dengan agresi jahat non adapatif biologis. Berikut adalah dua jenis agresi yanag ada pada diri manusia menurut Erich Froom yaitu : 1. Agresi adaptif biologis atau agresi defensif ( Agresi Lunak )
20
Erich Froom. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikolog atas Watak Manusia. (terjemah imam muttaqin),Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001, hal 416
22
Yaitu merupakan respon terhadap bahaya yang mengancam kepentingan hayati, ia terprogram secara filogenetik, lazim didapati pada manusia dan binatang, tidak bersifat spontal atau muncul dengan sendirinya, tetapi reaktif dan defensif, yaitu dengan menghilangkan ancaman, tujuan agresif defensif bukanlah untuk menghancurkan, melainkan untuk menjaga kelangsungan hidup. Bila tujuan ini telah tercapai, agresi tersebut beserta emosinya akan lenyap dengan sendirinya. 2. Agresi jahat non adaptif biologis Yaitu kedestruktifan dan kekejaman, bukan merupakan pertahanan terhadap suatu ancaman, tidak terprogram secara filogenetik, ia hanya menjadi ciri khas manusia, dan secara biologis merugikan karena dapat mengacaukan tatanan sosial, perwujudan utamanya, yakni pembunuhan dan penyiksaan, bisa dinikmati tanpa membutuhkan tujuan lain. Ia tidak hanya merugikan orang yang diserang, namun juga penyerang. Agresi jahat meski bukan insting, merupakan kecenderungan manusia yang berakar dari kondisi kehidupannya.21 Sadisme jelas dikelompokan ke dalam agresi jahat non adaptif biologis, menurut Erich Froom : “ Sadisme atau kesadisan merupakan salah satu solusi bagi persoalan makhluk yang terlahir sebagai manusia manakala tidak diperoleh pemecahan lain yang lebih baik. Pengalaman menguasai makhluk lain secara mutlak, selama ada kaitannya 21
dengan
Ibid, hal 260
manusia
dan
binatang,
mampu
menimbulkan
ilusi
23
terlampaunya batas- batas eksistensial manusia, terutama bagi orang – orang yang kehidupan kesehariannya kurang produktif atau kurang bahagia. Sadisme pada dasarnya tidak memiliki tujuan praktis, ia merupakan perubahan dari rasa tidak berdaya menjadi rasa menguasai secara mutlak, itulah yang dirasakan oleh orang – orang yang berjiwa kerdil.22 Menurut Erich Froom sadisme dibagi menjadi dua jenis, yaitu :23 1. Sadisme Seksual atau Masokisme Seksual (Sadomasokis) Sadisme seksual yaitu sadisme yang dilakukan untuk melampiaskan dan mendapat kepuasan seksual. Bagi pria ataupun wanita yang mengalaminya, bentuknya berkisar dari keinginan untuk menyakiti pasangannya, melecehkannya, membelenggu, sampai dengan memaksa pasangannya untuk sepenuhnya tunduk kepadanya. Seringkali fantasi sadistik saja sudah cukup untuk membangkitkan gairah seksual. 2. Sadisme Non Seksual Sadisme non seksual adalah sadisme yang tidak melibatkan perilaku seksual dalam melakukan tindakan sadistik ini. Erich Froom membagi sadisme non seksual ini menjadi dua : a. Sadisme Fisik Sadisme fisik bertujuan menimbulkan nyeri fisik, termasuk didalamnya penyiksaan yang paling kejam hingga yang paling extreme yaitu menimbulkan kematian. Mengambil sasaran
22 23
Ibid, hal 418 Ibid, hal 419
24
makhluk yang tidak berdaya, baik manusia maupun binatang. Tawanan perang, budak, anak – anak, orang sakit jiwa, narapidana, etnik minoritas, kesemuanya merupakan sasaran empuk sadisme fisik, termasuk didalamnya penyiksaan yang paling kejam. Dalam film Killers ini terdapat banyak adegan – adegan fisik seperti, pemukulan dengan benda keras, membakar orang hidup – hidup, melemparkan botol ke kepala. b. Sadisme Mental Sadisme mental yaitu keinginan untuk melecehkan dan melukai perasaan orang lain. Jenis sadistik ini jauh lebih aman bagi pelakunya karena yang digunakan hanya kekuatan kata – kata, bukannya fisik. Akan tetapi sakit psikis atau sakit hati bisa terasa sama atau bahkan lebih menusuk ketimbang sakit fisik.24 Menurut Erich Froom, karakter sadistik yang terpendam dalam individu yang penurut atau bahkan bersahaja dapat saja muncul dengan garang ketika berada didalam masyarakat teroris dimana sadisme bukan sesuatu yang ditabukan tetapi justru dihargai. Orang lain boleh jadi akan mendendam perilaku sadis dalam tindakannya, sembari mempertunjukan ekspresi wajahnya yang anggun atau tata kerama yang halus.25 Selanjutnya ia mengatakan bahwa bagi orang yang berkarakter sadis, yang dapat dikuasai adalah sesuatu yang hidup, benda hidup dia jadikan benda mati, atau lebih tepatnya, makhluk hidup ia jadikan obyek yang ketakutan terhadapnya. Respon si obyek ditemukan oleh subyek atau yang 24 25
Ibid, hal 404 Ibid, hal 420
25
menguasai. Si sadis ingin menjadi penentu hidup, karenanya unsur – unsur kehidupan mesti dipertahankan keberadaannya dalam diri si korban. Pada kenyataannya inilah yang membedakan dari orang destruktif. Orang destruktif ingin membinasakan korbannya, menghapus atau menghancurkan kehidupannya, sedangkan si sadis mengkehendaki kenikmatan dalam tindakannya menguasai dan mempermainkan si korban. Ciri lain orang sadis menurut Erich Froom : a. Bahwa dia hanya tertarik pada obyek yang tidak berdaya. b. Melukai musuh dalam satu duel yang seimbang tidak memberikan kesenangan khas sadistik, karena dalam situasi ini tindakan melukai lawan bukan merupakan ungkapan rasa menguasai. c. Mengagumi kekuasaan. d. Memandang rendah dan ingin menguasai mereka yang tidak berdaya dan tidak punya keberanian untuk menentang.26 Berdasarkan teori – teori dan pendapat Erich Froom mengenai sadisme beserta bentuk – bentuknya, maka untuk melihat bagaimana representasi sadisme dalam film Killers. Penulis akan lebih memfokuskan kepada tindakan sadisme fisik yang banyak terdapat di dalam adegan – adegan Film Killers.
26
Ibid, hal 420
26
2.5
Semiotika
2.5.1 Definisi Semiotika Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “ tanda “. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain ( Eco, 1979 : 16 ). Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederatan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979 : 6 ). Batasan yang lebih jelas dikemukakan Preminger ( 2001 : 89 ), bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda – tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan itu merupakan tanda – tanda.27 Semiotik itu mempelajari sistem – sistem, aturan – aturan, konvensi – konvensi yang memungkinkan tanda tersebut punya arti. Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain.28 Dalam memahami semiotika tentu tidak bisa melepaskan pengaruh dan peran dua orang penting ini, menurut ( Beger, 2000b : 11-22 ) ada dua pendekatan penting terhadap tanda – tanda yang biasanya menjadi rujukan para ahli. Pertama adalah pendekatan yang didasarkan pada Ferdinand de Saussure ( 1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda – tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra 27 28
Alex Sobur. Analisis Text Media. Remaja Rosdakarya. Bandung : 2001, hal 95-96 Alex sobur. Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung : 2004, hal 18
27
tentang bayi ( semacam kata atau representasi visual ) dan sebuah konsep dimana bunyi disandarkan. Kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf dan pemikir yang cerdas, Charles Sander Peirce ( 18391914 ). Peirce ( dalam Berger,2000b:14 ) menandakan bahwa tanda – tanda berkaitan dengan objek – objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda – tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda – tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab – akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.29 Untuk lebih spesifiknya, pendekatan semiotik yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika Charles Sanders Peirce. 2.5.2 Semiotika Charles Sanders Peirce Peirce terkenal karena tandanya. Didalam lingkup semiotika, peirce sebagaimana dipaparkan Lechte ( 2001 – 2007 ), seringkali mengulang – ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Teori dari peirce seringkali disebut sebagai “ Grand theory “ dalam semiotika, karena gagasan peirce bersifat menyeluruh, deskriptif struktual dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Sebuah tanda atau representament menurut Charles Sanders Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu oleh pierce disebut interpretant, dinamakan interpretant dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Dengan 29
Ibid, hal 31-34
28
demikian menurut peirce, sebuah tanda atau representament memiliki relasi “ triadik “ langsung dengan interpretant dan objeknya. Proses “ semiosis “ merupakan suatu proses yang memadukan entitas ( berupa representament ) dengan lain yang disebut sebagai objek. Pierce sebagaimana yang sudah dipaparkan Lechte seringkali mengulang – ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.Konsekuensi suatu tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object dan interpretant.Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi, oleh Pierce disebut Ground. Tanda yang dikaitkan dengan Ground dibagi menjadi 3 yaitu: 30 1. Qualisign Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda.Contohnya seperti kata – kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. 2. Sinsign Sinsign adalah eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda.Contohnya seperti kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. 3. Legisign Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Contohnya seperti rambu – rambu lalu yang menandakan hal – hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Pt Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, Hal 41
29
Bagi Peirce ( Pateda, 2001 : 44 ), tanda “ is something which stand to somebody for something in some respect or capacity “. Semiotika menurut Peirce adalah suatu hubungan antara tanda, objek, dan makna. Pemikiran Peirce biasa dijelaskan melalui bagan segitiga makna sebagai berikut : Sign
Objek
Interpretant Gambar 1.1 Segitiga Charles Sanders Peirce
Menurut
Pierce,
tanda
dibentuk
oleh
hubungan
segitiga
yaitu
representament yang oleh peirce disebut juga tanda ( sign ) berhubungan dengan objek yang dirujukinya. Hubungan tersebut membuahkan interpretant. Tanda atau representament adalah bagian tanda yang merujuk pada suatu menurut cara atau berdasarkan kapasitas tertentu. Peirce mengistilahkannya representament sebagai benda atau objek yang berfungsi sebagai tanda. Objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Biasanya objek merupakan suatu yang lain dari tanda itu sendiri atau objek dan tanda bisa jadi merupakan entitas yang sama.
30
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi atas : 1. Ikon yaitu tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan atau kemiripan. 2. Indek yaitu tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kasual atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. 3. Simbol yaitu tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara tanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbirter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi ( perjanjian ) masyarakat. Interpretant merupakan efek yang ditimbulkan dari proses penandaan atau biasa juga interpretant adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri. Berdasarkan interpretant, tanda dibagi atas : 1. Rheme
yaitu
tanda
yang
memungkinkan
orang
menafsirkan
berdasarkan pilihan. 2. Dicent sigh atau dicisign yaitu tanda sesuai dengan kenyataan. 3. Argument yaitu tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.31
31
Ibid, hal 39-42