BAB 2 TELAAH
PUSTAKA
2.1. Kualitas Layanan Kata “kualitas” mengandung banyak definisi dan makna. Beberapa definisi yang kerap kali dijumpai antara lain : kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat serta sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. Deming mendefinisikan kualitas adalah apapun
yang
menjadi
kebutuhan
dan
keinginan
konsumen (Yamit, 2002). Definisi ini menekankan orientasi
pada
pemenuhan
harapan
konsumen.
Kualitas apabila dikelola dengan tepat, berkontribusi positif terhadap terwujudnya kepuasan dan loyalitas pelanggan (Tjiptono, 2012). Kualitas memberikan nilai plus berupa motivasi khusus bagi para pelanggan untuk menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang. Layanan dalam suatu lembaga merupakan suatu pesan yang sangat vital, sehingga baik tidaknya suatu lembaga dapat dilihat dari layanannya. Menurut Kotler layanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang
pada
dasarnya
tidak
berwujud
dan
tidak
mengakibatkan kepemilikan apapun (Laksana, 2008 dalam Tjiptono, 2012). Sedangkan Gronroos (Tjiptono, 2004) menyatakan bahwa layanan merupakan proses yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasa terjadi pada interaksi antara pelanggan dan 8
karyawan, jasa dan sumber daya, fisik atau barang, dan sistem penyedia jasa yang disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan. Kualitas diartikan
layanan
menurut
sebagai ukuran
Lewis
seberapa
&
Booms
bagus
tingkat
layanan yang diberikan mampu sesuai dengan persepsi pelanggan (Tjiptono, 2012). Kualitas layanan sangat bergantung persepsi pelanggan, meskipun pelayanan yang diberikan sama, persepsi dapat bervariasi dari pelanggan satu dengan yang lain. Kualitas dapat dilihat sebagai suatu kelemahan kalau pelanggan mempunyai persepsi yang terlalu tinggi, walaupun layanan yang diberikan sudah baik (Tjiptono, 2012). Layanan yang diterima pelanggan apabila melebihi dari harapannya maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal sebaliknya jika layanan yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan pelanggan maka kualitas layanan dipersepsikan buruk. Layanan yang baik akan berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan yang berpotensi menjadi sumber pendapatan masa depan dengan promosi melalui gethok tular (Tjiptono, 2012). Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (Tjiptono, 2005) dalam risetnya berhasil menyederhanakan identifikasi dalam lima dimensi pokok kualitas layanan yang disusun sesuai urutan tingkat kepentingan relatifnya yaitu : Bukti
Fisik
penampilan perlengkapan,
fisik
(Tangibles) fasilitas
sumberdaya
berkenan
dengan
layanan,
peralatan
manusia,
dan
/
materi
komunikasi lembaga. Bukti fisik yang baik akan mempengaruhi persepsi pelanggan. Pada saat yang 9
bersamaan aspek bukti fisik ini juga merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi persepsi pelanggan, aspek bukti fisik yang baik dapat persepsi positif bahwa lembaga pendidikan mampu memberikan pelayanan yang berkualitas (Irawan, 2003). Sebuah penelitian terdahulu
juga
mendukung
pendapat
ini
bahwa
pelayanan yang berwujud melalui bentuk fisik seperti sarpras
menurut
responden
merupakan
hal yang
cukup penting dalam meningkatkan pelayanan. Reliabilitas
(Reliability)
berkaitan
dengan
kemampuan lembaga untuk menyampaikan layanan yang dijanjikan secara akurat sejak pertama kali. Tjiptono (2012) menuliskan “Jangan janjikan apa yang tidak bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari apa yang dijanjikan”.
Jadi jika dimensi reliabilitas dilaksanakan dengan baik maka
kepuasan
pelanggan
dapat
terwujud,
jika
kepuasan pelanggan diberikan maka kualitas layanan akan dipersepsikan baik oleh pelanggan (Irawan, 2003). Daya Tanggap (Responsiveness) berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan penyedia layanan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan mereka dengan segera. Dukungan sistematis dalam peningkatan mendorong
kualitas
pelayanan
terwujudnya
kepuasan
internal karyawan
akan dan
menumbuhkan rasa memiliki. Kualitas layanan internal tercermin dalam lingkungan internal yang kondusif (lewat
pemberdayaan,
delegasi
wewenang,
saling
percaya, komunikasi efektif) dan implentasi total human reward dalam bentuk finansial maupun non finansial seperti kesempatan mengikuti pendidikan pelatihan tambahan (Tjiptono, 2005). 10
Jaminan
(Assurance)
pengetahuan
dan
kemampuan
mereka
berkenaan
kesopanan dalam
dengan
karyawan
serta
menumbuhkan
rasa
percaya (trust) dan keyakinan pelanggan (confidence). Beberapa kelemahan yang ada pada karyawan dan berdampak
negatif
terhadap
persepsi
kualitas
diantaranya tidak terampil dalam melayani pelanggan, cara berpakaian kurang sesuai konteks, tutur kata kurang
sopan,
pasang
muka
cemberut/angker
(Tjiptono, 2012). Empati
(Empathy)
berarti
bahwa
lembaga
memahami masalah peserta didik dan bertindak demi kepentingan mereka. Perbaikan pada dimensi empati dilakukan
dengan
pendekatan
personal
intensif,
komunikasi efektif dan menumbuhkembangkan budaya kualitas serta memberdayakan (empowered) karyawan dalam mengambil keputusan dalam rangka menangani masalah peserta didik. Budaya kualitas merupakan sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan yang
kondusif
bagi
proses
penciptaan
dan
penyempurnaan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang berkenaan dengan
peningkatan
(empowered)
adalah
kualitas. upaya
Pemberdayaan
memberi
otonomi,
wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam sebuah organisasi, serta mendorong mereka agar kreatif dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaanya dengan harapan para karyawan akan dapat mengambil tindakan tepat dalam rangka melayani pelanggan termasuk menangani keluhan mereka (Tjiptono, 2012). 11
Kepuasan peserta didik menjadi fokus strategis dalam meningkatkan kualitas layanan (Yamit, 2002).
2.2. Pengukuran Kualitas Layanan Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Tujuan pengukuran untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan yang berdampak pada kualitas layanan. Kepuasan pelanggan adalah
tingkat
membandingkan
perasaan kinerja
seseorang
(atau
hasil)
setelah yang
ia
persepsikan dibandingkan dengan harapannya (Kotler et al. 2004 dalam Tjiptono, 2012). Dalam era globalisasi sekarang ini yang ditandai oleh
revolusi
teknologi
komunikasi
dan
teknologi
informasi mengakibatkan terjadi perubahan yang luar biasa, dengan adanya kemudahan yang diperoleh dari komunikasi dan informasi, semakin meningkat pula kebutuhan akan layanan, pergeseran telah terjadi yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan meningkat menjadi pemenuhan ekspektasi akan layanan (Yamit, 2002). Kepuasan pelanggan ditentukan oleh kemampuan organisasi
memenuhi
kebutuhan
dan
keinginan
pelanggan sesuai ekspektasi pelanggan, jika persepsi layanan melebihi ekspektasi layanan maka kualitas layanan masuk kategori kualitas ideal, sebaliknya apabila
persepsi
ekspektasi
layanan
layanan,
lebih
maka
jelek kualitas
dibanding layanan
dikategorikan buruk (Lewis & Booms, 1983 dalam 12
Tjiptono,
2012).
kepuasan
Lembaga
pelanggan
pengalaman
pelanggan
meminimumkan
atau
dapat
dengan yang
meningkatkan
memaksimumkan menyenangkan
meniadakan
dan
pengalaman
pelanggan yang kurang menyenangkan, selanjutnya kepuasan
pelanggan berdampak pada terciptanya
loyalitas pelanggan. Model pengukuran kualitas layanan yang populer dan hingga kini banyak dijadikan acuan dalam riset manajemen dan pemasaran jasa adalah model servqual yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry.
Berry
keberhasilan
dan
Zenthaml
perusahaan
berpendapat dalam
bahwa
memberikan
pelayanan yang berkualitas dapat ditentukan dengan pendekatan service quality (Lupiyoadi, 2006 dalam Tjiptono, 2012). Pendekatan ini digunakan untuk mengukur seberapa jauh perbedaan antara ekspektasi dan persepsi layanan dengan cara membandingkan persepsi
dan
ekspektasi
pelanggan.
Persepsi
didefinisikan sebagai keyakinan pelanggan berkenaan dengan layanan yang diterima atau dialami sedang ekpektasi dirumuskan sebagai hasrat atau keinginan pelanggan yaitu apa yang mereka rasakan harus ditawarkan penyedia layanan (Parasuraman et al. 1988 dalam Tjiptono, 2012). Model dengan istilah Gap Analysis Model ini berkaitan erat dengan model kepuasan pelanggan yang didasarkan pada ancangan diskonfirmasi (Oliver, 1997 dalam Tjiptono, 2012). Dari pengukuran ini dapat diketahui kesenjangan layanan diantaranya disebabkan penyedia layanan tidak mengetahui yang diharapkan 13
pelanggan,
tidak
memiliki
desain
dan
standar
pelayanan yang tepat, tidak memberikan pelayanan berdasar standar pelayanan dan tidak memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan. Keseluruhan faktor penghambat dalam pelayanan dapat dijadikan dasar bagi manajemen untuk meningkatkan atau memperbaiki pelayanan dan bahkan menghilangkan kesenjangan yang terjadi antara pihak perusahaan dengan pelanggan (Yamit, 2002).
2.3. Strategi Peningkatan Kualitas Layanan Pengertian strategi menurut Hamel dan Prahalad (Tjiptono, 2012)) merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan (Sumarsan, 2013). Strategi
peningkatan
kualitas
layanan
adalah
suatu rencana tindakan yang akan diberikan kepada pelanggan agar kebutuhan pelanggan terpenuhi sesuai ekspektasi
dan
persepsi
mereka
untuk
mencapai
tujuan organisasi. Strategi dirancang dan diterapkan untuk menutup kelemahan atau kesenjangan dalam proses pelayanan dengan melibatkan seluruh sumber daya yang dimiliki.
Kepuasan pelanggan merupakan
strategi jangka panjang yang membutuhkan komitmen, baik menyangkut dana maupun sumber daya manusia (Schnaars,
1991
dalam
Tjiptono,
2005).
Strategi
pemulihan layanan diantaranya jaminan layanan tanpa syarat,
pemberdayaan
karyawan,
penyelesaian 14
kegagalan
layanan
secara
cepat,
dan
strategi
manajemen zero defection (Reichheld & Sasser, 1990 dalam
Tjiptono,
2012).
Model
lain
yang
dapat
digunakan untuk menghilangkan kesenjangan menurut Berry efektif,
dengan
menumbuhkan
membangun
merumuskan
strategi
sistem
kepemimpinan informasi
pelayanan
dan
yang
pelayanan, menerapkan
strategi pelayanan (Yamit, 2002). Penanganan keluhan secara efektif dapat menghindarkan lembaga dari publisitas negatif (Mudie & Cottam, 1999
dalam
Tjiptono, 2012). Layanan yang baik akan berdampak positif terhadap loyalitas pelanggan yang berpotensi menjadi sumber pendapatan
masa
depan
dengan
promosi melalui gethok tular (Tjiptono, 2012). Berdasar kesenjangan hasil pengukuran persepsi dan ekspektasi, strategi perbaikan dilakukan melalui perbaikan berkesinambungan mulai dari perancangan sistem
layanan
secara
komprehensif,
komunikasi
dengan pelanggan secara terintegrasi dan konsisten, dan pengembangan staf layanan terlatih yang mampu secara konsisten memberikan layanan prima (Tjiptono, 2012). Program perbaikan kualitas layanan dilakukan secara terus menerus dan fokus pada pelanggan disebabkan unsur-unsur yang terdapat dalam kualitas selalu mengalami perubahan (Tjiptono, 2005). Apa yang saat ini dipandang telah berkualitas, dalam waktu tidak terlalu lama bisa saja sudah tidak lagi memadai. Untuk merealisasikan pencapaian perbaikan kualitas secara terus menerus, manajemen dan karyawan harus selalu bekerja sama. Kualitas harus dilembagakan dalam 15
setiap
bagian
organisasi
sebagai
sebuah
ketimbang sebagai peluang sasaran akhir
filosofi (Yamit,
2002). Proses perancangan sistem penyampaian layanan merupakan
proses
kreatif
yang
diawali
dengan
menetapkan tujuan layanan. Tujuan ini akan menjadi pemandu
utama
dalam
mengidentifikasi
dan
menganalisis semua alternatif yang bisa digunakan untuk mewujudkannya. Setelah itu, baru dilakukan penyeleksian dan pemilihan alternatif yang dinilai paling sesuai. Secara garis besar, perancangan sistem penyampaian layanan meliputi aspek lokasi fasilitas, tata letak fasilitas, desain pekerjaan, keterlibatan pelanggan,
pemilihan
peralatan,
kapasitas
layanan.
Pada
dan
manajemen
prinsipnya
proses
perancangan layanan merupakan sebuah proses yang berlangsung terus menerus (Mudie & Cottam, 1999 dalam
Tjiptono,
2012).
Apabila
sudah
mulai
diimplementasikan, berbagai modifikasi dapat saja dilakukan dalam rangka menyesuaikan diri dengan setiap perkembangan dan perubahan lingkungan yang berlangsung (Tjiptono, 2012). Untuk mengetahui kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan dilakukan dengan komunikasi. Mendengarkan karyawan dan pelanggan merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan akurat mengenai sasaran, tujuan, prioritas, dan kepuasan mereka. Komunikasi yang konsisten sangat membantu setiap individu untuk memahami bahwa kontribusi individual mereka dapat memberikan hasil
yang
signifikan
bagi
organisasi
secara 16
keseluruhan. Untuk itu dibutuhkan iklim keterbukaan dalam organisasi, supaya setiap karyawan berani dan bersedia menyampaikan gagasan, pendapat, saran, komentar,
pertanyaan,
kritik
dan
ketidakpuasan
mereka. Kelancaran komunikasi pada koordinasi kerja didukung
oleh
pola
kepemimpinan
dalam
suatu
organisasi. Model kepemimpinan egalitarian dari Yamit (2002)
dimana
kebebasan
seorang
kepada
berkoordinasi
pemimpin
karyawan
dengan
memberikan
untuk
atasan
dan
bekerja, bawahan,
berkomunikasi baik intern dan antar bidang serta pembentukan
tim antar bidang digunakan
untuk
menyelesaikan masalah dapat mendukung iklim ini. Selain itu perlu dikembangkan pula komunikasi yang interaktif dengan para pelanggan, agar dapat diperoleh informasi
yang
akurat
mengenai
kebutuhan
dan
keinginan mereka (Tjiptono, 2005). Peningkatan kompetensi SDM atau pengembangan staf layanan terlatih juga mampu secara konsisten memberikan layanan prima. Pelatihan sangat penting bagi setiap orang. Semakin terlatih baik seorang karyawan, maka semakin andal jasa yang disampaikan. Dalam bidang Jasa, merupakan keharusan bahwa keterampilan dan pendidikan sejalan seiring. Bila itu terjadi,
maka
organisasi
akan
bisa
mencapai
keunggulan kualitas dan mempertahankan kesesuaian kualitas
tersebut
di
seluruh
jajaran
organisasi
(Tjiptono, 2005).
17
2.4. Pendidikan Vokasi Sumarto dan Nurhayati (2010) mengatakan bahwa pendidikan vokasi merupakan layanan pendidikan yang menggabungkan seimbang
antara
dengan
teori
orientasi
dan pada
praktik
secara
kesiapan
kerja
lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi
pada
sistem
pembelajaran
keahlian
(apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus
(specific
trades).
vokasional
ini,
antara
langsung
dapat
lain
Kelebihan peserta
pendekatan didik
mengembangkan
secara
keahliannya
disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan
vokasional merupakan
isu
sentral
dalam pelayanan pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan sebagai jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan dan dunia kerja. Implementasi pendidikan vokasional di LKP diantaranya melalui program kecakapan hidup yaitu keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi memungkinkan
dan
berperilaku
seseorang
mampu
positif
yang
menghadapi
berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan yang diberikan meliputi kecakapan personal, sosial, intelektual, dan vokasional untuk bekerja atau mandiri (Sisdiknas).
2.5. Kerangka Penelitian Penelitian tentang strategi peningkatan kualitas layanan peserta didik kursus bidang vokasi ini diawali dengan melihat dan mengukur kualitas layanan yang 18
ada di LKP Graha Wisata Semarang dengan instrumen servqual. Tingkat kualitas layanan didasarkan pada kepuasan pelanggan yang diperoleh dari perbandingan antara ekspektasi dan persepsi layanan berdasar lima dimensi kualitas layanan. Hasil pengukuran kepuasan peserta didik selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi kesenjangan. Dari kesenjangan inilah kemudian
dirancang
strategi
peningkatan
kualitas
layanan. Kerangka penelitian kualitas layanan dapat dilihat pada chart berikut :
Ekspektasi Layanan
Kualitas Layanan
Persepsi Layanan
Evaluasi Gap
Strategi Peningkatan Kualitas Layanan
Gambar 2.1: Kerangka Penelitian Kualitas Layanan Peserta Didik Kursus Bidang Vokasi
19