BAB 2 TELAAH PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola
formal
yang
sama-sama
diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha
mengejar
Syafaruddin,
2008).
tujuannya Abidin
(Monahan (2006)
dalam
menjelaskan
kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Sumaryadi (2005) menjelaskan bahwa kebijakan publik pada hakekatnya merupakan suatu keputusan yang sudah mantap yang menyangkut kepentingan umum, oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi pemerintah dalam proses penyelenggaraan Negara. Selanjutnya Sumaryadi mengatakan bahwa keputusan didasarkan pada pilihan-pilihan atau pertimbangan dalam rangka mewujudkan suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana-sarana yang sesuai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Wahab (2004) memberikan definisi kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana 8
atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya yang seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu program, mengenai
aktivitas-aktivitas
tertentu
atau
suatu
rencana. Anderson dalam Winarno (2012) memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho, 2008). Fattah (2012) menjelaskan bahwa kebijakan publik merujuk pada
semua
wilayah
tindakan
pemerintah
yang
membentang dari kebijakan ekonomi hingga kebijakan yang biasanya merujuk pada rubrik kebijakan sosial termasuk
pendidikan,
kesehatan
dan
wilayah
kesejahteraan lainnya. Dunn (2000) menjelaskan analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya memperbaiki 9
proses pembuatan kebijakan. Sebelum informasi yang relevan dengan kebijakan digunakan oleh pengguna yang dituju, informasi itu harus dirakit kedalam dokumen
yang
relevan
dengan
kebijakan
dan
dikomunikasikan dalam berbagai bentuk presentasi. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan financial untuk
melakukannya.
merespon
masalah
berkembang
Kebijakan
atau
publik
kebutuhan
dimasyarakat.
Kebijakan
berupaya
konkrit
yang
publik
juga
bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan demi kepentingan orang banyak menurut Young dan Quin dalam Suharto (2010). Fattah
(2012)
mengatakan
kebijakan
terkait
dengan kebijakan publik (public policies) dan dibuat atas
nama
Negara
(state)
yang
dibuat
oleh
instrument/alat-alat Negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas. Sehingga kebijakan dalam pendidikan memiliki fungsi yaitu: 1.3.1. Menyediakan
akuntabilitas
norma
budaya
yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan,
10
1.3.2. Melembagakan
mekanisme
akuntabilitas
untuk mengukur kinerja siswa dan guru. Carl Friedrich dalam Winarno (2012) mengatakan kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu
yang
memberikan
hambatan-
hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka
mencapai
suatu
tujuan
atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tujuan
kebijakan
pada
prinsipnya
adalah
untuk
melakukan intervensi. Oleh karena itu implementasi kebijakan
sebenarnya
adalah
tindakan
(action)
intervensi itu sendiri (Nugroho, 2009). Ripley
dan
Franklin
dalam
Winarno
(2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi
setelah
undang-undang
ditetapkan
yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan atau suatu jenis keluaran (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Selanjutnya, van Meter dan van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan
individu-individu
(atau
yang
dilakukan
oleh
kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk 11
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. program
kebijakan
harus
diimplementasikan
Suatu agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012). Menurut Anderson (1979), ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan yaitu: 1. Siapa yang mengimplementasikan; 2. Hakekat dari proses administrasi; 3. Kepatuhan; dan 4.Dampak dari pelaksanaan kebijakan. Menurut implementasi
Edwards kebijakan
dalam adalah
Winarno salah
(2012)
satu
tahap
kebijakan public, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. George Edwards mempertegas bahwa salah satu dampak dari implementasi kebijakan publik bisa menjadi rangkaian kesalahpahaman dan penyimpangan kebijakan,
terhadap
karena
tujuan
orang-orang
para yang
pengambil menentukan
kebijakan-kebijakan publik tidak sama dengan orangorang yang mengimplementasikan kebijakan publik tersebut. Jika kebijakan yang baik diimplementasikan dengan buruk maka kebijakan tersebut akan gagal untuk
mencapai
tujuan
para
pembuatnya.
Permasalahan yang ada dalam implementasi kebijakan publik adalah disebabkan adanya kesenjangan antara kebijakan
dan
implementasinya.
12
Dalam
mengkaji
implementasi
kebijakan,
Edwards
mulai
dengan
mengajukan dua pertanyaan, yakni: 1. What is the precondition for successful policy implementation? (prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan
sehingga
suatu
implementasi
kebijakan berhasil?) 2. What are the primary obstacles to successful policy implementation? utama
(hambatan-hambatan
apa
yang
mengakibatkan
utama suatu
implementasi gagal?) Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel penting dari kebijakan public. Factor-faktor tersebut
yaitu
komunikasi,
kecenderungan-kecenderungan
atau variable
sumber-sumber,
(disposisi),
struktur
komunikasi
adalah
birokrasi. 1.1.1.Komunikasi Menurut
Edwards
penyampaian pesan atau informasi tentang kebijakan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Sedangkan
Agustino
(2006)
menyatakan
bahwa
komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi
sangat
menentukan
keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang 13
akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi
yang
baik.
Secara
umum
Edwards
membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu: 1. Transmisi. Faktor
pertama
yang
berpengaruh
terhadap
komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat
dapat
mengimplementasikan
suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana ditemukan
nampaknya.
Banyak
keputusan-keputusan
sekali tersebut
diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi
kesalahpahaman
keputusan
yang
terhadap
dikeluarkan.
keputusanPenyaluran
komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi
beberapa
hambatan
mentransmisikan
yang yang
baik
pula.
timbul
Ada dalam
perintah-perintah
implementasi. Pertama, pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan
oleh
pengambil
kebijakan.
Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini akan menimbulkan hambatan-hambatan atau 14
distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal
ini
terjadi
menggunakan
karena
keleluasaan
para yang
pelaksana tidak
dapat
mereka elakkan dalam melaksanakan keputusankeputusan dan perintah-perintah umum. Kedua, informasi
melewati
birokrasi.
Seperti
berlapis-lapis kita
hierarki
ketahui
birokrasi
mempunyai struktur yang ketat dan cenderung sangat
hierarkhis.
mempengaruhi
Kondisi
tingkat
ini
efektivitas
sangat
komunikasi
yang dijalankan. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung dan tidak adanya saluransaluran komunikasi yang ditentukan mungkin juga mendistorsi perintah-perintah pelaksana. Ketiga,
penangkapan
komunikasi-komunikasi
mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif dan
ketidakmauan
mengetahui kebijakan.
para
pelaksana
persyaratan-persyaratan Kadang-kadang
para
untuk suatu
pelaksana
mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencobacoba menduga makna komunikasi-komunikasi yang “sebenarnya”. 2. Kejelasan. Jika
kebijakan-kebijakan
diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan, maka petunjukpetunjuk
pelaksanaan
tidak
hanya
harus
diterima dan dipahami oleh para pelaksana 15
kebijakan, tersebut
tetapi harus
juga
komunikasi
kebijakan
jelas.
Seringkali
instruksi-
instruksi yang diteruskan kepada pelaksanapelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan
pesan
komunikasi
disampaiakan berkenaan
yang
dengan implementasi
kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang
salah
bahkan
mungkin
bertentangan
dengan makna pesan awal. Namun demikian ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu,
para
pelaksana
membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Ada enam
faktor
yang
mendorong
terjadinya
ketidakjelasan komunikasi menurut Edwards. Factor-faktor kebijakan
tersebut
publik,
mengganggu
adalah
keinginan
kompleksitas untuk
kelompok-kelompok
tidak
masyarakat,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan,
masalah-masalah
kebijakan
dalam
baru,
pertanggungjawaban
kebijakan,
memulai
menghindari dan
sifat
pembentukan kebijakan pengadilan. 3. Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,
maka
perintah-perintah 16
pelaksanaan
suatu komunikasi harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan
para
pelaksana
menjalankan
tugasnya dengan baik. Disisi lain, perintahperintah konsisten
implementasi akan
kebijakan
mendorong
yang
para
tidak
pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan
dan
kebijakan.
hal
Bila
mengimplementasikan ini
terjadi,
maka
akan
berakibat pada keetidakefektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanak tujuan-tujuan kebijakan. Berdasarkan
hasil
penelitian
Edwards
yang
dirangkum dalam Winarno (2005) Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu: Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua, informasi
yang
disampaikan
melalui
berlapis-lapis
hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena
panjangnya
rantai 17
informasi
yang
dapat
mengakibatkan
bias
informasi.
Ketiga,
masalah
penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi dan
ketidakmampuan
para
pelaksana
dalam
memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Menurut Winarno (2005) Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan publik
biasanya
kurangnya
karena
konsensus
kebijakan
publik,
memulai
kebijakan
kecenderungan
kompleksitas mengenai
adanya
kebijakan,
tujuan-tujuan
masalah-masalah
yang
menghindari
baru
serta
dalam adanya
pertanggungjawaban
kebijakan. Lalu bagaimana menjabarkan distori atau hambatan komunikasi? Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor yang terlibat mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari pelaksana, maka
kebijakan
tersebut
akan
diabaikan
dan
terdistorsi. Untuk itu, Winarno (2005) menyimpulkan semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin besar kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi. Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi 18
probabilitas
perintah-perintah
tersebut
diteruskan
secara benar. Edwards (Winarno, 2005) berpendapat bahwa faktor
kejelasan
menjadi
penting
dalam
proses
implementasi kebijakan dan tidak adanya pemaknaan yang membingungkan atau ambigu. Kejelasan tidak identik dengan informasi yang berlebihan yang dapat menghilangkan fleksibiltas dan akan berujung pada kebijakan menjadi kaku. Konsistensi
menjadi
faktor
dalam
proses
implementasi kebijakan. Faktor ini mengandung makna bahwa implementasi kebijakan yang berupa perintahperintah harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah yang dijalankan meskipun memiliki unsure kejelasan, namun jika tidak dilakukan secara konsisten, maka perintah
tersebut
akan
menyulitkan
pelaksana
kebijakan dalam menjalankan perintah kebijakan itu sendiri. 1.1.2.Sumber Daya Syarat
berjalannya
suatu
organisasi
adalah
kepemilikan terhadap sumberdaya atau dengan kata lain efektifitas kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan tidak akan berjalan secara baik ketika tidak didukung oleh potensi-potensi sumber daya yang tidak tersedia. Menurut Edwards dalam Agustino (2006), sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Sumber-sumber yang penting tersebut 19
meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan
usul-usul
diatas
kertas
guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik (Winarno, 2012). 1. Staf. Sumber
daya
utama
dalam
implementasi
kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi
kebijakan,
salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan
implementasi
diperlukan
sebuah
kebijakan,
kecukupan
staf
tetapi dengan
keahlian dan kemampuan atau keterampilan yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan. Jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan dapat menghambat pelaksanaan kebijakankebijakan yang menjangkau banyak pembaruan. 2. Informasi. Informasi
merupakan
sumber
penting
yang
kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi 20
mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Pelaksana-pelaksana
perlu
mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan.
mengetahui
Pelaksana-pelaksana
apakah
orang-orang
harus
lain
yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati undang-undang mengenai
ataukah
tidak.
program-program
Informasi
adalah
penting
terutama bagi kebijakan-kebijakan baru atau kebijakan-kebijakan yang melibatkan persoalanpersoalan
teknis
seperti
misalnya
kebijakan
mengenai otonomi daerah dan rumah sakit swadana.
Kegiatan-kegiatan
membagi
dana,
rutin
membangun
seperti
jalan-jalan,
mempekerjakan pengetik, atau membeli barangbarang relative langsung dalam pelaksanaannya, dan informasi tentang bagaimana melaksanakan kegiatan-kegiatan pengetahuan
tersebut. tentang
mengimplementasikan
kebijakan
Kurangnya bagaimana beberapa
konsekuensi secara langsung. Pertama, beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhiatau tidak dapat dipenuhi 21
tepat
pada
waktunya.
Kedua,
ketidakefisien.
Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unitunit pemerintahan lain atau organisasi-organisasi dalam
sektor
swasta
membeli
perlengkapan,
mengisi formulir, atau menghentikan kegiatankegiatan
yang
tidak
diperlukan.
Selain
itu,
implementasi kebijakan membutuhkan informasi tentang ketaatan dari organisasi-organisasi atau individu-individu dengan hukum. Akan tetapi data tentang ketaatan sulit diperoleh disebabkan kurangnya
staf
yang
mampu
memberikan
informasi mengenai ketidaktaatan hukum yang mungkin dilakukan. 3. Wewenang. Pada
umumnya
kewenangan
harus
bersifat
formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi
bagi
para
pelaksana
dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
Ketika
wewenang
tidak
ada,
maka
kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi,
sehingga
dapat
menggagalkan
implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks
yang
lain,
ketika
wewenang
formal
tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas
kewenangan 22
diperlukan
dalam
implementasi
kebijakan;
tetapi
di
sisi
lain,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh
para
pelaksana
demi
kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda seperti misalnya hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk datang ke pengadilan,
mengajukan masalah-
masalah ke pengadalin, mengeluarkan perintah kepada para pejabat lain, menarik dana dari suatu program, menyediakan dana, staf dan bantuan membeli
teknis
kepada
barang-barang
pemerintah dan
daerah,
jasa,
atau
memungut pajak. Linblom dalam Winarno (2012) menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami dengan sebaik-baiknya kalau kita mengenal dua jalur
dimana
berbagai
orang
menggunakan
metode kontrol. Pada jalur pertama, setiap kali bila
seseorang
ingin
menggunakan
berbagai
metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode kontrol (antara lain persuasi, ancaman, dan tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang dikontrolnya. Pada jalur kedua, pihak pengontrol hanya
kadang-kadang
saja
menggunakan
metode-metode itu untuk membujuk orang-orang yang dikontrolnya agar mentaati peraturan yang 23
ada bahwa mereka harus tunduk terhadapnya. Untuk jalur kedua ini Linblom menegaskan bahwa hanya jalur kedua yang menetapkan kewenangan. Jika saya mentaati peraturan untuk tunduk kepada anda, maka anda mempunyai kewenangan terhadap saya. Dengan demikian merujuk pada jalur kedua maka kontrol tidak berarti
kewenangan,
hanya
jika
satu
sebab
pihak
kewenangan
ada
bersepakat terhadap
dirinya sendiri untuk mentaati aturan yang dikemukan oleh pihak lain. Dari sini lantas Linblom mengemukakan ciri-ciri kewenangan, yakni:
kewenangan
selalu
bersifat
khusus,
kewenangan, baik sukarela maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang bersedia tunduk; kewenangan itu rapuh dan yang terakhir kewenangan Menurut
diakui
Linblom,
karena
berbagai
sebab-sebab
sebab.
kewenangan
terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kedua, kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, terror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya. 4. Fasilitas. Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumbersumber penting dalam implementasi kebijakan. 24
Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang mencukupi, memahami apa yang dilakukan, dan
mungkin
melaksanak
mempunyai
tugasnya,
wewenang
tetapi
tanpa
untuk adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) atau kantor
untuk
melakukan
koordinasi,
tanpa
perlengkapan, tanpa pembekalan, maka besar kemungkinan tidak
implementasi
yang
berhasil.
Sebagai
akan
implementasi
kebijakan
untuk
direncakan contoh,
meningkatkan
kualitas pendidikan sekolah dasar tidak akan berhasil, jika tidak dilengkapi dengan gedung sekolah
yang
memadai,
buku-buku
sebagai
bahan pelajaran, kurangnya tenaga pendidikan dan lain sebagainya. Dengan demikian fasilitas sangat diperlukan untuk implementasi kebijakan yang efektif. Namun penyedian fasilitas bagi implementasi kebijakan yang efektif tidaklah selalu mudah. 1.1.3.Kecenderungan-kecenderungan Menurut mengemukakan disposisi
Edwards
dalam
Winarno
(2005)
kecenderungan-kecenderungan
merupakan
salah-satu
faktor
atau yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan dukungan
atau
terhadap
sikap
positif
implementasi 25
atau
kebijakan
adanya maka
terdapat
kemungkinan
yang
besar
implementasi
kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal.
Demikian
sebaliknya,
jika
para
pelaksana
bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan
karena
konflik
kepentingan
maka
implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacammacam seperti yang dikemukakan Edwards tentang ”zona
ketidakacuhan”.
dilaksanakan
secara
Ada efektif
kebijakan karena
yang
mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan berttentangan secara
langsung
pelaksana
dengan
kebijakan
atau
pandangan-pandangan kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006) menyatakan sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi
keberhasilan
atau
kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui
bahkan
tak
26
mampu
menyentuh
kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan. Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edwards dalam
Winarno
(2012)
mengenai
kecenderungan-
kecenderungan dalam implementasi kebijakan terdiri dari: 1. Pengangkatan birokrasi. Kecenderungan-kecenderunga
(disposisi)
atau
sikap pelaksana akan menimbulkan hambatanhambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan,
bila
personel
yang
ada
tidak
melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat
yang lebih atas. Karena itu,
pengangkatan
dan
pemilihan
personel
pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat. 2. Insentif Menurut
Edwards
salah-satu
teknik
yang
disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana insentif.
kebijakan Pada
dengan
dasarnya
memanipulasi
orang
bergerak
berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi kebijakan
insentif
oleh
mempengaruhi
para
pembuat
tindakan
para
pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah 27
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi. 1.1.4.Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan
kolektif,
dalam
rangka
memecahkan
masalah-masalah social dalam kehidupan modern. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan kadangkala suatu system
birokrasi
sengaja
diciptakan
untuk
menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012) mengidentifikasi enam karakteristik
birokrasi
sebagai
hasil
pengamatan
terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu: 1. Birokrasi instrument menangani
dimanapun social
berada, yang
dipilih sebagai
ditujukan
masalah-masalahh
untuk yang
didefenisikan sebagai urusan politik. 2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam
implementasi
28
kebijakan
publik
yang
mempunyai
kepentingan
yang
berbeda-beda
dalam setiap hierarkinya. 3. Birokrasi
mempunyai
sejumlah
tujuan
yang
berbeda. 4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas. 5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati. 6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dalam pilihan-pilihan
kebijakan
mereka,
tidak
juga
dalam kendali penuh dari pihak luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai
kesempatan
untuk
melakukan
tawar
menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari
pilihan-pilihan
yang
mereka
ambil.
Menurut
Edwars ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau
sering
procedures
disebut
(SOP)
dan
sebagai
standart
fragmentasi.
Yang
operating pertama
berkembang sebagai tanggapan internal dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar
luas.
Yang
kedua,berasal
terutama
dari
tekanan-tekanan diluar unit birokrasi, seperti komitekomite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat 29
kebijakan yang memengaruhi organisasi birokrasibirokrasi pemerintah. 1. Pengaruh struktur organisasi bagi implementas (SOP) Struktur
organisasi-organisasi
yang
melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh penting pada
implementasi.
Salah
satu
dari
aspek-aspek
struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (standard operating procedures, SOP). Prosedur-prosedur biasa digunakan
dalam
menanggulangi
keadaan-keadaan
umum digunakan dalam organisasi-organisasi publik dan
swasta.
Dengan
menggunakan
SOP,
para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain
itu,
SOP
juga
menyeragamkan
tindakan-
tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang komplek dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ketempat yang lain) dan
kesamaan
besar dalam
penerapan peraturan-peraturan. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan caracara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan.
Disamping
itu,
semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, 30
semakin besar pula probablitis SOP menghambat implementasi. Birokrasi-birokrasi dimana SOP tidak sangat melekat-apakah karena badan yang baru atau tingkat pergantian personil yang tinggi mungkin lebih tanggap terhadap kebutuhan bagi cara-cara yang lazim untuk implementasi. Sementara itu waktu yang lama dan perilaku yang ditentukan dengan jelas dalam undang-undang mungkin membantu dalam mengatasi cara-cara Namun
lazim
birokrasi
demikian,
yang
tidak
disamping
semestinya. menghambat
implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi
dengan
prosedur-prosedur
perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru ketimbang birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini. 2. Fragmentasi Sifat
kedua
dari
struktur
birokrasi
yang
berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi,
seringkali
pula
terjadi
desentralisasi
kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena 31
alsan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong
para
koordinasi
dengan
penyebaran
wewenang
melaksanakan
birokrat
ini
untuk
badan-badan dan
menghindari
lain.
Padahal,
sumber-sumber
kebijakan-kebijakan
yang
untuk
kompleks
membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Fragmentasi
mengakibatkan
pandangan-
pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsifungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Disamping itu karena masing-masing
badan
mempunyai
yurisdiksi
yang
terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terdampar antara reak-retak struktur yang
organisasi.
sempit
dari
Kedua,
pandangan-pandangan
badan
mungkin
juga
akan
menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya
32
dan besar kemungkinan akan menentang kebijakankebijakan baru yang membutuhkan perubahan.
Komunikasi Sumberr-sumber Implementasi Kecenderungan-kecenderungan Struktur Birokrasi Gambar 2.1. Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi
2.2 Kebijakan Pendanaan
Pemerintah bagi
dalam
Bidang
Perluasan
Akses
Pendidikan Pembangunan sistem pendidikan nasional adalah suatu
usaha
yang
bertujuan
untuk
mewujudkan
masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan
modern
(Fattah,
2012).
Pendidikan
pada
hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah
dan
berlangsung
seumur
hidup.
Oleh
karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat
sesuai
dengan
kemampuan
masing-masing
individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga,
masyarakat
dan 33
pemerintah
(Gunawan,
1991). Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan adalah usaha pemerintah untuk memecahkan suatu masalah
dalam
bidang
pendidikan
sehingga
bisa
mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan visi, misi pendidikan dalam rangka
untuk
mewujudkan
tercapainya
tujuan
pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu (Tilaar dan Nugroho, 2008). Sebagaimana di kemukakan oleh Mark Olsen & AnneMaie O’Neil kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Salah
satu
argument
utamanya
adalah
bahwa
globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan (Nugroho, 2008). mengemukakan
bahwa
Marget E. Goertz
kebijakan
pendidikan
berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan (Nugroho, 2008). Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan terlihat
ketika
pendidikan
berada
pada
prioritas
pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat 34
dengan pembangunan Sumber Daya Manusia masa depan. Pemerintah juga melalui Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan
anggaran
pendidikan
sekurang-
kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah
(APBD)
untuk
mememenuhi
kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam upaya meningkatan nasional,
aksesibilitas
sejak
mengeluarkan
dan
beberapa kebijakan
tahun dan
mutu
pendidikan
lalu
pemerintah
telah
mengucurkan
bantuan dana pembangunan pendidikan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan. DAK Bidang Pendidikan Dasar juga merupakan salah satu sumber
dana
Pendapatan
yang
dan
bersumber
Belanja
dari
Negara
Anggaran
(APBN)
yang
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas Nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang belum mencapai
standar
tertentu
atau
percepatan
pembangunan daerah di bidang pendidikan dasar. Kebijakan DAK Bidang Pendidikan Dasar tahun 2013 ada untuk: 1. DAK
Bidang
Pendidikan
Dasar
dialokasikan
untuk mendukung penuntasan program wajib 35
belajar pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun yang bermutu dan merata dalam rangka memenuhi Standar
Pelayanan
bertahap
Minimum
memenuhi
dan
Standar
secara Nasional
Pendidikan. 2. Sasaran program DAK Bidang Pendidikan Dasar untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB baik negeri maupun swasta. 3. Alokasi DAK Bidang Pendidikan Dasar per daerah dan
pedoman
Menteri
umum
Keuangan
DAK
Nomor
ditetapkan
oleh
201/PMK.07/2012
tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2013. 4. Kegiatan DAK bidang pendidikan Dasar Jenjang SD/SDLB diarahkan untuk: a. rehabilitasi ruang kelas rusak sedang b. pembangunan perpustakaan c. pengadaan peralatan pendidikan 1. peralatan pendidikan Matematika; 2. peralatan pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); 3. peralatan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS); 4. peralatan pendidikan Bahasa; 5. peralatan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan; dan/atau
36
6. peralatan pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan 5. Kegiatan DAK bidang pendidikan Dasar jenjang SMP/SMPLB diarahkan untuk: a. Penggandaan dan distribusi buku teks pelajaran sesuai kurikulum 2013 sehingga seluruh peserta didik kelas VII terpenuhi kebutuhan bukunya. b. Rehabilitasi ruang beajar dengan tingkat kerusakan paling rendah rusak sedang, pembangunan
ruang
pembangunan
kelas
baru,
perpustakaan,
pembangunan ruang belajar lainnya. c. Pengadaan
peralatan
pendidikan
yang
terdiri dari peralatan IPS , Matematika, peralatan
laboratorium
IPA,
peralatan
laboratorium Bahasa, dan peralatan olah raga. Dasar
(Direktorat
Jenderal
Kementerian
Pendidikan
Pendidikan
dan
Kebudayaan) 6. Target yang akan dicapai dalam kegiatan DAK Bidang
Pendidikan
Dasar
untuk
SD/SDLB
adalah: 1. Tercapainya kebutuhan ruang kelas yang layak; 2. Tersedianya
ruang
perabotnya; dan 37
perpustakaan
beserta
3. Tersedianya
peralatan
pendidikan
yang
memadai. 7. Target yang akan dicapai dalam kegiatan DAK Bidang Pendidikan Dasar untuk SMP/SMPLB adalah: 1. Tersedianya buku teks pelajaran sesuai kurikulum 2013 sehingga seluruh peserta didik
kelas
VII
terpenuhi
kebutuhan
bukunya; 2. Bertambahnya ruang belajar dalam kondisi layak
sebagai
tempat
terselenggaranya
proses belajar mengajar; 3.
Bertambahnya
ruang
kelas
baru
(RKB)
beserta perabotnya; dan 4. Bertambahnya
sarana
pendidikan
penunjang peningkatan mutu pendidikan. Selain
itu
pemerintah
juga
mengeluarkan
kebijakan melalui program dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) sebagai upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan
di
Indonesia.
Menurut
peraturan
mendiknas nomor 69 tahun 2009, standar biaya operasi
nonpersonalia
diperlukan
untuk
adalah
membiayai
standar
biaya
kegiatan
yang
operasi
nonpersonalia selama satu tahun sebagai bagian dari keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukan kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai standar nasional pendidikan. 38
Program BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai
pelaksana
meningkatkan
program
fasilitas
wajib
belajar,
pendidikan
dan
seperti
pembangunan gedung sekolah dan beberapa sarana prasarana pendukung lainnya. Menurut PP 48 Tahun 2008
Tentang
Pendanaan
Pendidikan,
biaya
non
personalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak
dll.
Namun
pembiayaan
demikian,
investasi
dan
ada
beberapa
personalia
jenis yang
diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Secara
khusus
memiliki
tujuan
untuk
membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SLB negeri dan SMP/SMPT negeri terhadap biaya operasi sekolah, membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun baik disekolah negeri maupun swasta, meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa disekolah swasta. Hal ini merupakan kebijakan yang sudah diberikan oleh
39
pemerintah bagi kemajuan tingkat pendidikan dan akses pendidikan di Negara Indonesia. Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD/SDLB dan SMP/SMPLB/SMPT, termasuk SD-SMP Satu Atap (SATAP) dan
Tempat Kegiatan Belajar
Mandiri (TKB Mandiri) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
2.3 Perluasan Akses Pendidikan Sejak tujuan Negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia bermutu
berhak sesuai
dimilikinya
memperoleh dengan
tanpa
minat
memandang
pendidikan
yang
dan
yang
bakat
status
sosial,ras,
agama,dan gender maka pemerintah telah menetapkan Misi Departemen Pendidikan Nasional yaitu sebagai berikut: Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional,
Misi
Pendidikan Nasional adalah 1. Mengupayakan kesempatan
perluasan memperoleh
dan
pemerataan
pendidikan
yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia 2. Membantu
dan
memfasilitasi
pengembangan
potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini 40
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; 3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses
pendidikan
untuk
mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral; 4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan 5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Untuk mewujudkan misi tersebut, menetapkan
beberapa
strategi
dan
Depdiknas
program
yang
disusun berdasarkan suatu skala prioritas. Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana APBN/APBD
dan
dana
masyarakat
yang
lebih
ditekankan pada tiga pilar kebijakan pendidikan yaitu: 1. Upaya
pemerataan
dan
perluasan
akses
pendidikan; 2. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan 3. Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik
pengelolaan
pendidikan.
(RENSTRA
Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009)
41
Pilar pertama yaitu mengenai upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan adalah hal yang akan diteliti. Deklarasi dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education For All (EFA) yang diselenggarakan di Dakar, Senegal pada tanggal 26-28 april 2000 menyebutkan bahwa menjelang tahun 2015 setiap Negara akan menjamin semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik (Fattah, 2012). Perluasan akses pendidikan sangat diperlukan untuk membangun mutu
pendidikan
yang
lebih
baik,
membangun
pemahaman manusia mengenai pentingnya pendidikan. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada
upaya
memperluas
daya
tampung
satuan
pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara social, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat indek pembangunan daya saing bangsa era global serta meningkatkan peringkat indeks pembangunan manusia hingga mencapai posisi 42
sama dengan atau lebih baik dari IPM sebelum krisis (Renstra Depdiknas). Pendidikan
adalah
alat
dan
sarana
untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang siap untuk terjun langsung dalam dunia kerja sebagai pribadi yang handal dan terampil. Karena begitu pentingnya pendidikan maka diamanatkan dalam pembukaan
UUD
1945
yaitu
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa serta bercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan
ayat
(3)
menegaskan
bahwa
Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta
akhlak
mulia
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Pendidikan
disediakan
dan
dikeluarkan oleh pemerintah agar supaya seluruh lapisan masyarakat di negeri ini tanpa terkecuali bisa membangun
kapasitas
diri
menjadi
lebih
baik.
Masyarakat Indonesia diberikan hak sepenuhnya untuk dapat mengenyam pendidikan. Hal tersebut tertuang pada batang tubuh UUD pasal 31 tahun 1945 yang dengan tegas lagi menyatakan (1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pasal (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib
membiayainya. 43
Dengan
adanya
kebijkan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, bukan menjadi alasan biaya pendidikan yang mahal sebagai
penghambat
masyarakat
tidak
mengambil
bagian untuk bersekolah dan memperoleh pendidikan, karena UUD sudah menegaskan bahwa pemerintah membiayai
masyarakat
untuk
bersekolah
dan
mengenyam pendidikan. Namun yang terjadi dinegeri ini adalah 1,08 juta siswa (2,05%) putus sekolah dan 3,03
juta
lulusan
SD
sampai
SMP
tidak
bisa
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi karena
alasan
faktor
ekonomi,
disampaikan
oleh
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh kepada Kompas, Rabu (27/7/2011) di Jakarta. Akses pendidikan yang kurang baik adalah salah satu penyebab pemerataan pendidikan masih rendah. Akses pendidikan dalam hal
ini meliputi sarana
prasarana yang kurang memadai, jarak tempuh antara rumah-sekolah, pembagian guru tidak merata antara desa dan kota, akses terhadap layanan pendidikan masih terbatas dan tidak merata, kesenjangan gender yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan faktor ekonomi, kesadaran orang tua untuk mendorong anak-anak mereka bersekolah, masih meningkatnya angka melek aksara yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu 1) masih terjadinya anak putus sekolah, khususnya pada kelas-kelas rendah di SD dan yang kemudian sebagian besar akan menjadi buta aksara, 2) 44
sebagian dari aksarawan baru akan kembali menjadi buta aksara (relapse illiteracy) karena kemampuan literasi
yang
menurunnya masyarakat
dimiliki
tidak
perhatian terhadap
digunakan
pemerintah
upaya
lagi,
3)
daerah
dan
pemberantasan
buta
aksara (Renstra Depdiknas). Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut: a. Memperluas akses bagi anak usia 0-6 tahun, baik
laki-laki
maupun
perempuan
untuk
memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan di SD/MI. b. Menghapus
hambatan
biaya
(cost
barries
)
melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya
dihitung
berdasarkan
per
siswa
dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap 45
BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula
(formula
based
funding)
yang
memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat. c. Membentuk “SD-SMP satu atap ”bagi daerah terpencil
yang
berpenduduk
jarang
dan
terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan mengatasi kebijakan
SMP
bagi
kesulitan ini
lulusannya.
tenaga
dapat
pengajar
dilakukan
Untuk dalam dengan
memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi. d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7-15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk
memiliki
kesempatan
mendapatkan
layanan pendidikan di jalur nonformal maupun 46
program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anakanak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah
yang
tidak
tersedia
layanan
pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 1315 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif. e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan
untuk
memiliki
kesempatan
mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan
bagi
penduduk
buta
aksara
dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan
pendidikan,
keagamaan,
seperti
organisasi
organisasi
perempuan,
dan
organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT. f. Memfasilitasi memperluas
peran akses
serta
masyarakat
sekolah
menengah
dalam (SM),
khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi 47
siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif. g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Perluasan
SMK
ini
dilaksanakan
melalui
penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja
yang
dilakukan
berkembang. upaya
Disamping
penambahan
itu,
muatan
pendidikan keterampilan di SMA bagisiswa yang akan bekerja setelah lulus. h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan
fasilitasi
pada
perguruan
tinggi
untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau
menutup
sementara
secara
fleksibel
program-program yang lulusannya sudah jenuh. i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi
yang
lebih
dititikberatkan
pada
program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja. j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, 48
dan
kecakapan
hidup
yang
relevan
dengan
kebutuhan
masyarakat melalui program-program pendidikan berkelanjutan.
Perluasan
kesempatan
belajar
sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan nonformal. k. Memperhatikan gender,
secara
pendidikan
khusus
untuk
kesetaraan
layanan
khusus
didaerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik,
perbatasan,
dan
mengimplementasikannya
lain-lain dalam
serta
berbagai
program secara terpadu. l.
Melaksanakan
komunikasi,
informasi,
dan
edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan
serta
mau
mengirimkan
anak-
anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah. m. Melaksanakan
advokasi
bagi
pengambil
keputusan, baik di eksekutif maupun legislative dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan pendidikan. n. Memanfaatkan
secara
optimal
sarana
radio,
televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran 49
dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang
penduduk.
(RENSTRA
Pendidikan Nasional 2005-2009)
50
Departemen