BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1
Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara yang bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat. Definisi pajak menurut para ahli antara lain: Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2011:1), mendefinisikan: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Andriani dalam Wahono (2012:2), mendefinisikan: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1983 pasal 1 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 mendefinisikan : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
8
9
digunakan untuk keperluan negara sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dari definisi-definisi di atas sebenarnya terdapat empat unsur pengertian pajak, yaitu : 1. Kontribusi atau iuran wajib kepada negara yang bersifat memaksa Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk. 4. Digunakan untuk keperluan negara untuk kemakmuran rakyat.
2.1.2
Fungsi Pajak Fungsi Pajak dalam http://id.wikipedia.org pajak mempunyai empat fungsi, yaitu: 1.
Fungsi Anggaran (budgetair) Pajak sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas
rutin
negara
dan
melaksanakan
pembangunan,
negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja
10
pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain-lain. Untuk pembiayaan
pembangunan,
uang
dikeluarkan
dari
tabungan
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat, terutama diharapkan dari sektor pajak. 2.
Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3.
Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4.
Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum,
termasuk juga untuk
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
11
Sedangkan menurut Resmi (2011) Fungsi pajak hanya ada dua yaitu: 1.
Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak –banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak.
2.
Fungsi Regulerend (Fungsi Mengatur) Pajak mempunyai fungsi untuk mengatur, artinya pajak sebagi alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam budang sosial dan ekonomi. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi mengatur adalah : a. Pajak yang tinggi dikanakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi konsumsi gaya hidup konsumtif. b. Tarif Pajak Progresif dikenakan atas penghasilan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. c. Tarif Pajak untuk ekspor sebesar 0%, hal ini dilakukan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara.
12
2.1.3
Syarat Pemungutan Pajak Menurut Wahono (2012:4), pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Syarat Keadilan Pajak harus mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam Undang-undang maupun adil dalam pelaksanaannya. b. Syarat Yuridis Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang. c. Syarat tidak mengganggu Perekonomian Pemungutan
pajak
mengganggu
kondisi
perdagangan,maupun
diusahakan
sedemikian
perekonomian, jasa.
baik
Pemungutan
rupa
agar
kegiatan
pajak
jangan
tidak
produksi, sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. d. Syarat Efisien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah dari pada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
13
e. Syarat Sederhana Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak.
2.1.4
Pengelompokan Pajak Pengempokan pajak menurut Mardiasmo (2011:5) dan Wahono (2012:6) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Menurut Golongannya a. Pajak Langsung yaitu pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contohnya Pajak Penghasilan, PBB. b. Pajak tidak Langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifatnya a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya (orangnya) yaitu memperhatikan keadaan wajib pajak, contohnya Pajak Penghasilan (PPh). b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal dan menitikberatkan pada objeknya dan lebih tidak memperhatikan subjeknya. Contoh
14
Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Kendaraan, Pajak Pertambahan Nilai. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat (Negara), yaitu pajak yang berwenang melakukan pemungutan adalah pemerintah pusat. Dalam pajak negera ini meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea materai, pajak bumi dan bangunan (PBB), sektor perhutanan, perkebunan, dan pertambangan. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dibagi menjadi dua (UU No. 28 Tahun 2009) yaitu: 1. Pajak propinsi yang terdiri atas: a. Pajak kendaraan bermotor b. Bea balik nama kendaraan bermotor c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor d. Pajak air permukaan, dan e. Pajak kokok 2. Pajak kabupaten (kota) terdiri atas: a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame e. Pajak penerangan jalan
15
f. Pajak mineral bukan logam dan batuan g. Pajak parkir h. Pajak air tanah i. Pajak sarang burung walet j. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan k. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
2.1.5
Asas Pemungutan Pajak Asas pemungutan pajak menurut menurut Suandy (2011:25) terdapat tiga asas yang digunakan sebagai pemungutan pajak, yaitu: a. Equality Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmati dibawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan deskriminasi di antara sesama Wajib Pajak. b. Certainty Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi kompromis (not arbirary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya. c. Convenience of payment
16
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak,
yaitu
sedekat-dekatnya
dengan
saat
diterimanya
penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak. d. Economic of collection Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
2.1.6
Tata Cara Pemungutan Pajak Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011:6) dan Wahono (2012:10) yaitu : 1. Stelsel Pajak a. Stelsel nyata (riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek yang nyata dan sudah dapat diukur dan biasanya baru dapat diketahui setelah akhir suatu periode (akhir tahun) setelah penghasilan tersebut sesungguhnya dapat diketahui. Sehingga pajak baru dapat diketahui setelah akhir tahun. b. Stelsel Anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan atau perkiraan yang diatur dengan Undang-undang. Sehingga pengenaan pajak
17
dapat dikenakan pada awal tahun berjalan sebelum objeknya diketahui, biasanya menggunakan data tahun lalu. c. Stelsel campuran Pada awal tahun menggunakan anggapan tetapi setelah akhir tahun dihitung kembali sesuai yang sebenarnya (nyata).
2.1.7
Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011:7) dan Waluyo (2007:17) menyatakan 3 sistem pemungutan pajak adalah sebagai berikut : 1. Offical Assesment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-ciri dari Offical Assesment System, yaitu : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b. Wajib Pajak bersifat pasif. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assesment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk
18
menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar atau terutang. Ciri-ciri dari Self Assesment System, yaitu: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. With Holding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang pada Wajib Pajak. Ciri-ciri dari With Holding System, yaitu wewenang menetukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.1.8
Pajak Penghasilan Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas, Direktorat Jendral Pajak, mendefinisikan: Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. Menurut Suandy (2011:43), mendefinisikan: Pajak Penghasilan termasuk dalam kategori sebagai pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan
19
perpajakan. Sehingga terdapat ketegasan bahwa apabila tidak ada subjek pajaknya, maka jelas tidak dapat dikenakan PPh.
Berdasarkan dari definisi Pajak Penghasilan yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.
2.1.8.1 Subjek Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008 subjek pajak dikelompokkan sebagai berikut : 1. Subjek Pajak orang pribadi. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. 2. Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. 3. Subjek Pajak badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMND dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. 4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap
20
Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. Tempat kedudukan manajemen b. Cabang perusahaan c. Kantor perwakilan d. Gedung kantor e. Pabrik f. Bengkel g. Gudang h. Ruang untuk promosi dan penjualan i. Pertambangan dan penggalian sumber alam j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan m. Memberikan jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
21
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia. p. Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
2.1.8.2 Bukan Termasuk Subjek Pajak Yang bukan termasuk subjek pajak menurut Mardiasmo (2011:158) adalah sebagai berikut: 1. Kantor perwakilan Negara asing 2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat : a. Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia. b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi Internasional, dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tesebut. b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
22
4. Pejabat perwakilan Organisasi Internasional, dengan syarat: a. Bukan warga negara Indonesia b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. 2.1.8.3 Jenis-jenis Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang No 36 Tahun 2008 menyebutkan jenisjenis Pajak Penghasilan yang diringkas sebagai berikut: 1. PPh Pasal 21 Merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. 2. PPh Pasal 22 Merupakan pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh bendahara pemerintah baik pusat maupun swasta berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain, Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. 3. PPh Pasal 23 Merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
23
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pajak 21. 4. PPh Pasal 24 Merupakan pajak penghasilan yang mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. 5. PPh Pasal 25 Merupakan pajak penghasilan yang mengatur tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. 6. PPh Pasal 26 Merupakan pajak penghasilan yang mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap. 7. PPh 4 Ayat 2 Merupakan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan ekuitas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah yang bersifat final.
24
2.1.9
Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak penghasilan (PPh) pasal 22 merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh :
1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; 2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. 3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain.
2.1.9.1 Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 224/PMK.011/2012 pasal 1 pemungut pajak penghasilan pasal 22 yaitu : a. Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea Cukai, atas impor barang; b. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga
25
negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang; c. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP); d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS); e. Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi: 1. PT. Pertamina (Persero), PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT. Adhi Karya (Persero) Tbk., PT. Hutama Karya (Persero), PT. Krakatau Steel (Persero); dan
26
2. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri. Badan usaha yang bergerak dalam industri baja adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir; g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri; h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan Pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; i. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan
dari
pedagang
pengumpul
unguk
keperluan
industrinya atau ekspornya. Pedagang pengumpul yang dimaksud adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya : 1) Mengumpulkan
hasil
kehutanan,
pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
perkebunan,
27
2) Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
2.1.9.2 Tarif Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 224/PMK.011/2012 tarif pajak penghasilan pasal 22 adalah sebagai berikut:
1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor; b. yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; c. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
Nilai impor yang dimaksud adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perUndang-undangan kepabeanan di bidang impor.
28
Pemungut Pajak atas impor barang adalah Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea Cukai.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, Kuasa pengguna Anggaran, BUMN/BUMD sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan tidak final. 3. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan bahan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut: a.
Bahan bakar minyak sebesar: 1) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina; 2) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan Pertamina; 3) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penjualan kepada pihak selain stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina dan stasiun pengisian bahan bakar umum bukan Pertamina.
29
b.
Bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
c.
Pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pungutan PPh pasal 22 kepada penyalur/agen bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final.
4. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industri farmasi: a. Penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bersifat tidak final. b. Penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bersifat tidak final. c. Penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bersifat tidak final. d. Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bersifat tidak final. e. Penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bersifat tidak final.
30
5. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 6. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 7. Besarnya tarif pemungutan yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% persen (seratus persen) dari pada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2.1.9.3 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
yang
terbaru
No.
224/PMK.011/2012 pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 yaitu: 1.
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan (PPh), dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
31
2.
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3.
Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh DJBC.
4.
Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5.
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6.
Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7.
Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
8.
Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barangbarang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9.
Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
2.1.9.4 Saat Terutang dan Pelunasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
yang
terbaru
No.
224/PMK.011/2012 pasal 4, Pajak Penghasilan Pasal 22 saat terutang atau pemungutan sebagai berikut:
32
1.
Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
2.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
3.
Atas pembelian barang oleh Bendahara pemerintah, Bendahara pengeluaran, dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
4.
Atas penjualan hasil produksi (Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi) dan penjualan kendaraan bermotor terutang dan dipungut pada saat penjualan;
5.
Atas penjualan hasil produksi atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan Pelumas dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
6.
Atas pembelian bahan-bahan Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan terutang dan dipungut pada saat pembelian.
33
2.1.9.5 Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22 atas Industri Farmasi Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang terbaru No. 224/PMK.011/2012 pasal (5) nomor 3 tata cara pemungutan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagai berikut: 1. Pemungutan Pajak Penghasilan pasal 22 oleh pemungut pajak yaitu BUMN, Badan Usaha yang bergerak dalam usaha industri, ATPM, Produsen atau importir bahan bakarindustri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, dll wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, Bank Devisa, atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Tata
cara
pelaporan
Pajak
penghasilan
pasal
22
pada
PERMENKEU No. 224/PMK.011/2012 tersebut diperjelas dengan Peraturan Dirjen Pajak yang terbaru yaitu PER-06/PJ/2013 tentang perubahan kedua atas Peraturan Direktur Jendral Pajak No. PER57/PJ/2010 yaitu sebagai berikut: 1.
Pasal 4 ayat (3) yaitu pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Industri wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui kantor pos, Bank Devisa, atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
34
2.
Pasal 5 ayat (2) yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh badan usaha
industri
wajib
menerbitkan
Bukti
Pemungutan
Pajak
Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu: a. Lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut. b. Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan pasal 22). c. Lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh badan usaha (industri) atas pajak yang dipungut tersebut dilakukan secara kolektif dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama pemungut pajak paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir ke Bank Persepsi atau kantor Pos.
Pemungut pajak wajib melaporkan pemungutan PPh pasal 22 tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak dimana pemungut pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh pasal 22 (SPT Masa) yang dilampiri bukti pemungutan PPh pasal 22 dan lembar ketiga dan Surat Setoran Pajak (SSP).
2.1.9.6 Dalam Hal terjadi Retur Dalam Ketentuan pasal 6 pada Peraturan Direktur Jendral Pajak No. PER/-57/PJ/2010 yang berbunyi:
35
(1). Dalam terjadi pengembalian barang hasil produksi yang dibeli dari badan usaha sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 huruf e setelah Masa Pajak terjadinya penjualan, pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada pemungut Pajak Penghasilan pasal 22. (2). Nota Retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian barang hasil produksi. (3). Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan; a. nomor dan tanggal nota retur; b. nomor
dan
tanggal
faktur
pembelian
barang
yang
dikembalikan. c. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli; d. nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pemungut Pajak Penghasilan pasal 22; e. macam, jenis, jumlah, dan harga barang yang dikembalikan; f. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang yang dikembalikan; g. nama dan tanda tangan pembeli. (4). Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dibuat dalam rangkap 3 (tiga), yaitu: - lembar pertama untuk pemungut pajak - lembar kedua untuk dilampirkan pada SPT Masa pajak penghasilan pasal 22
36
- lembar ketiga untuk arsip Wajib Pajak (pembeli) (5). Pengembalian barang hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak terjadi dalam hal: a. dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian, atas pengembalian tersebut dilakukan penggantian dengan barang yang sama, baik dalam jumlah fisik maupun harganya; b. nota retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); c. nota retur tidak dibuat dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian barang hasil produksi.
(6). Dalam hal nota retur telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian tersebut.”
Berdasarkan perubahan kedua Paraturan Jendral Pajak No. PER06/PJ/2013 memutuskan bahwa ketentuan pasal 6 pada PER-57/PJ/2010 tersebut dihapus.
Jadi dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi pengembalian barang (retur) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut tidak dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian tersebut.
37
2.2
Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi sumber referensi dan acuan bagi peneliti dalam penelitian yang akan dilakukan.
Tabel 2.1 Jurnal No
Peneliti
01. Ivandera (2010)
Judul Penerapan
Hasil Penelitian Perhitungan Pemungutan
http://eprints.unik Pajak Penghasilan Pasal Pertamina a.ac.id/3415/1/06
22 untuk SPBU
yang sudah
dilakukan sesuai
oleh
dengan
ketentuan-ketentuan perpajakan yang
.31.0009 Gabriel
diperbaharui, karena Pertamina telah
Hans Pasca I.pdf
melakukan perubahan peraturan yang disesuaikan dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI
02. Nurmasari (2012) Evaluasi
Implementasi Secara
Keseluruhan
pelaksanaan
http://elibrary.ub. Kebijakan PPh pasal 22 kewajiban pajak pph 22 sudah baik ac.id
sehubungan
dengan dalam
pembayaran
melaksanakan
atas menghitung dan memungut sudah
Penyerahan
Barang sesuai
dengan
sesuai Peraturan Menteri Keuangan Keuangan
Pengeluaran Bendahara
komunikasi
No.
Menteri
154/PMK.03/2010.
dan
kecendrungan
Bendahara pelakasanaan berpengaruh signifikan dan terhadap Pengeluaran Pengeluaran
Pembantu di Universitas Pengeluaran Brawijaya,
Peraturan
No. Secara simultan dan persial faktor
154/PMK.03/2010 (survei
kewajiban
kepatuhan dan Pembantu
Bendahara Bendahara dalam
Universitas melaksanakan Kewajiban PPh pasal
38
Negeri
Malang, 22.
Besarnya
kontribusi
Universitas Islam
komunikasi
dan
Negeri Malang)
pelaksanaan
terhadap
faktor
kecenderungan kepatuhan
adalah sebesar 45,1%
03. Sondakh (2013)
Evaluasi Perhitungan dan Berdasarkan hasil perhitungan dan
http://portalgaru
Pelaporan Pajak PPh 22 pelaporan pada Kantor Bea Cukai
da.org/download
atas Import Barang
_article.php
sudah sesuai dengan UU Peraturan Menteri
Keuangan
No.
PMK/154.03/2010 pasal 2.
04. Wibowo (2013)
Analisis
http://library.bin
Pemungutan
us.ac.id/collction
Penghasilan
s/thesis_detail/20
pada RS. HJK
Penerapan RS.
HJK
melakukan
beberapa
Pajak kesalahan atas penerapan pemungutan Pasal
13-2-00540-AK
22 yaitu objek PPh pasal 22, non objek PPh pasal 22, terjadi keterlamabatan atas
penyetoran
pajak,
adanya
keterlamabatan pelaporan SPT, dan terdapat
selisih
atas
perhitungan
peneliti dengan pihak RS. HJK.
05. Mujahidin (2014)
Analisis Perhitungan dan SMA Sunan Giri Menganti dalam
http://library.uwp Pemotongan PPh pasal 22 pelaporan PPh pasal 22 kurang baik .ac.id/digilib/gdl.
atas Pengadaan Barang yaitu tidak sesuai dengan Peraturan
php
pada SMA Sunan Giri baik Menganti Gresik
dari
segi
pelaporan
pengenaan tarif atas PPh pasal 22
Dari tabel jurnal diatas dapat dilihat perbedaan maupun persamaan dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Persamaan penelitian yang dilakukan adalah meneliti Pajak penghasilan (PPh) pasal 22. Sedangkan Perbedaan penelitian yang dilakukan adalah Pemungut dan objek Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 dan Peraturan Menteri Keuangan
dan
39
yang digunakan. Dari tabel jurnal diatas peneliti memperoleh bahan sebagai uji perbandingan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya maupun perkembangannya.
2.3
Kerangka Konseptual Kerangka Konseptual merupakan penjelasan secara teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti. Adapun kerangka pemikiran pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Konseptual PERMENKEU No. 224/PMK.011/2012
PPh pasal 22
Industri Farmasi
Transaksi Penjualan
Bukti Pungut PPh 22
Surat Setoran Pajak
SPT Masa PPh 22
Sumber : oleh peneliti
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PERMENKEU)
No.
224/PMK.011/2012 adalah Peraturan yang berisi tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 tentang pemungutan
40
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang Impor atau kegitan usaha di bidang lain.
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 adalah Pajak Penghasilan yang dipungut dalam tahun berjalan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang Impor atau Kegiatan Usaha di bidang lain. Usaha di bidang lain ini meliputi badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri.
Industri Farmasi adalah Industri yang memproduksi obat-obatan yang sebagian besar penghasilnya diperoleh dari transaksi penjualan obatobatan kepada distributor dalam negeri. Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 224/PMK.011/2012 industri farmasi telah ditunjuk untuk memungut Pajak Penghasilan pasal 22 atas penjualan produksinya sebesar 0.3% dari dasar pengenaan pajak. Pajak Penghasilan pasal 22 atas industri farmasi terutang pada saat penjualan dan dari transaksi penjualan tersebut, Industri Farmasi wajib memungut dan menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 kepada distributor. Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 atas Industri Farmasi bersifat final dan dapat diperhitungkan dalam tahun berjalan, maka setiap akhir bulan industri farmasi harus membuat daftar Daftar Bukti Pungut PPh 22 atas penjualan
41
selama satu bulan yang kemudian disetor menggunakan SSP kepada Bank atau Pos dan dilaporkan menggunakan SPT Masa PPh 22 kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).