BAB II TELAAH PUSTAKA Pendidikan tinggi yang berkembang pesat akhir-akhir ini, menempatkan pendidikan tinggi sebagai sektor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang sangat besar dan diikuti dengan munculnya lembaga-lembaga di lingkungan perguruan tinggi yang mempunyai kegiatan beragam menyebabkan struktur dalam sebuah perguruan tinggi menjadi semakin kompleks. Hal ini membutuhkan sebuah manajemen yang profesional yang mampu memberikan solusi manakala muncul suatu masalah baru.
University governance adalah paradigma yang relatif baru, yang akan membantu memecahkan masalah manajemen dan kontrol kelembagaan pada pengelolaan perguruan tinggi. University governance mempunyai prinsip dasar sama dengan corporate governance, yaitu pembagian kekuasaan dan tanggung jawab. Namun demikian model tata kelola pada corporate governance tidak dapat disalin secara langsung ke dalam university governance. Diperlukan pemahaman dan adaptasi lebih mendalam. Mengingat korporasi maupun universitas merupakan organisasi pemangku kepentingan, maka sebagai dasar pijakan untuk dapat memahami
corporate governance dan university governance
akan digunakan teori
stakeholder ciptaan R. Edward Freeman.
2.1. Governance Sutojo dan Adridge (2008) menjelaskan, bahwa istilah governance berasal dari bahasa Perancis “gubernance” yang berarti pengendalian. Dewasa ini governance menjadi salah satu konsep paling menarik dalam ilmu sosial, terutama di bidang administrasi publik. Governance, menurut Newman (2001) dalam Lee (2003) dapat didefinisikan secara luas sebagai berbagai cara untuk memecahkan masalah umum termasuk masalah organisasi, sosial, nasional dan 13
internasional. Didefinisikan dengan cara ini, governance umumnya mengacu pada pertanyaan tentang bentuk kekuasaan dan wewenang, pola hubungan hak dan kewajiban antara orang-orang dalam menghadapi masalah umum. Definisi di atas menekankan adanya berbagai model governance. Sebagai contoh, Rhodes (2000) menjelaskan tujuh model governance: (1)
corporate governance dan (2) good governance yang menekankan proses formal dari kedua perusahaan swasta dan pemerintah untuk audit, memastikan transparansi, dan keterbukaan informasi; (3) New Public Management yang mengacu
pada
peningkatan
efisiensi
birokrasi
pemerintah
dengan
memperkenalkan metode manajemen sektor swasta; (4) ekonomi politik baru yang menekankan perubahan hubungan antara pemerintah, masyarakat sipil dan pasar; (5) saling ketergantungan internasional, (6) sistem socialcybernetic, dan (7) jaringan yang menyangkal adanya kekuatan monosentris. Sedangkan Newman (2001) dalam Lee (2003:6) mengklasifikasikan governance menjadi empat model berbeda, yaitu: (1) model hirarkis, yang ditandai dengan sentralisasi dan kontinuitas/ketertiban, dan menekankan otoritas resmi, kontrol, standarisasi dan akuntabilitas; (2) model tujuan rasional, yang ditandai dengan sentralisasi dan inovasi/perubahan, dan menekankan kekuatan manajerial, memaksimalkan output dan rasionalisasi ekonomi; (3) model sistem terbuka, yang ditandai dengan desentralisasi dan inovasi/perubahan, dan menekankan fleksibilitas dan ekspansi; dan (4) model governance itu sendiri, yang ditandai dengan desentralisasi dan kontinuitas/order, dan menekankan kekuatan masyarakat, devolusi dan partisipasi. Pendapat lain dikemukakan oleh Campbell et al. (1991:3) yang mendefinisikan governance sebagai proses politik dan ekonomi yang mengkoordinasikan kegiatan pelaku ekonomi, dan menyediakan enam tipe mekanisme governance yang ideal, seperti pasar, jaringan obligational, hirarki, pemantauan, jaringan promosi, dan asosiasi. Selanjutnya, governance yang lebih umum didefinisikan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan masalah-masalah publik. Sebagai contoh, Institut On Governance (IOG) menjelaskan bahwa 14
governance terdiri dari tradisi, institusi dan proses yang menentukan bagaimana kekuasaan dilaksanakan, bagaimana warga negara diberikan suara, dan bagaimana keputusan dibuat terkait isu-isu yang menjadi perhatian publik. Singkatnya, definisi yang lebih luas dari governance, menurut Lee (2003) mengacu pada cara mendefinisikan hak dan tanggung jawab anggota yang sedang menghadapi masalah umum tertentu dan ingin mengatasinya bersama-sama. Misalnya, New Public Management mengacu pada cara untuk menyelesaikan masalah manajemen internal pemerintah dengan mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab dari birokrat publik serta warga. Kemudian, corporate governance dalam daftar Rhodes, dapat dipahami sebagai cara memaksimalkan efisiensi manajemen dengan mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab pemegang saham, manajer, dan pekerja. 2.2. Corporate Governance 2.2.1. Pengertian Corporate Governance Terkait dengan pengertian corporate governance, Sir Adrian Cadbury melalui Global Corporate Governance Forum-World Bank (2000) mengungkapkan: "Corporate Governance is concerned with holding the balance between economic and social goals and between individual and communal goals. The corporate governance framework is there to encourage the efficient use of resources and equal to require accountability for the stewardship of those resources. The aim is to align as nearly as possible the interests of individuals, corporations and society”
Pendapat Cadbury di atas menekankan bahwa corporate
governance merupakan keseimbangan antara tujuan ekonomi dan tujuan sosial serta tujuan individu dan tujuan komunitas. Selain itu, corporate
governance juga menekankan akuntabilitas dalam pengelolaan segala sumber daya yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu, perusahaan, dan masyarakat. Sementara itu Turnbull (2000) lebih menekankan pada bagaimana melakukan tata kelola dalam sebuah organisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kelembagaan dalam rangka menghasilkan (produksi) dan menjual barang atau jasa. 15
Turnbull juga berpendapat bahwa penunjukan “controllers” dan “regulators” merupakan
substansi
penting
dalam
membangun good corporate
governance, sebagaimana diungkapkan oleh Turnbull (2000): “Corporate governance describes all the influences affecting the institutional processes including those for appointing the controllers and/or regulators, involved in organizing the production and sale of goods and services”
Berbeda dengan Cadbury dan Turnbull, Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD, 2004) mendefinisikan Corporate Governance sebagai berikut: “Corporate Governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The Corporate Governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides this structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance are attained”
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa OECD melihat corporate
governance sebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari
corporate governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, antara lain dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari corporate governance juga menjelaskan aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan pemantauan kinerja perusahaan dapat dipertangungjawabkan dan dilakukan dengan baik. Tidak berbeda dengan pandangan OECD, Komite Nasional Kebijakan Governance/KNKG (2006) juga melihat corporate governance sebagai suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Sistem tersebut berupa seperangkat peraturan yang mengatur hubungan yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan 16
internal dan eksternal lainnya, dengan tujuan
untuk menciptakan nilai
tambah bagi semua pihak.
Corporate governance, oleh Menteri BUMN Republik Indonesia (2011) diberi pengertian sebagai suatu proses dan struktur yang dijalankan berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa corporate governance adalah suatu sistem yang dibangun untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga tercipta tata hubungan yang baik, adil dan transparan di antara berbagai pihak yang terkait dan memiliki kepentingan (stakeholder) dalam perusahaan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa corporate governance sebenarnya menjelaskan kerangka aturan, hubungan, sistem dan proses di dalam dan dimana otoritas dilaksanakan dan dikendalikan dalam perusahaan. Ini meliputi mekanisme perusahaan, siapa yang memegang kendali dan siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban. Tata hubungan dalam corporate governance mencakup hubungan stakeholder dengan perusahaan, baik internal (karyawan) dan eksternal (pelanggan, pemasok, dll). Corporate governance
menentukan pembagian
hak dan tanggung jawab antara stakeholder dan manajer, serta menentukan aturan dan prosedur dalam membuat keputusan tentang urusan perusahaan. Pendekatan stakeholder untuk corporate governance, menyiratkan pergeseran peran tradisional dewan direksi sebagai pembela kepentingan pemegang saham. Sebagai lembaga tertinggi, direksi bertanggung jawab untuk menetapkan nilai-nilai dan standar dalam organisasi melalui keputusan direksi mengenai strategi, insentif dan sistem pengendalian internal. Oleh karena itu, perusahaan harus merancang strategi dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholder, yaitu kelompok dan individu yang 17
dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi (Freeman, 2013:364). Dengan demikian,
dalam pengambilan keputusan manajerial,
perusahaan harus mempertimbangkan berbagai kepentingan stakeholder. Menurut Donaldson dan Preston (1995), setidaknya ada dua alasan mengapa perusahaan memperhatikan kepentingan stakeholder. Pertama, tuntutan stakeholder dianggap memiliki nilai intrinsik (pendekatan normatif), sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi klaim yang sah dari stakeholder. Kedua, menyikapi kepentingan stakeholder yang dianggap memiliki pengaruh dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan (pendekatan instrumental). Ditinjau dari pendekatan normatif, mempertimbangkan kelompok pemangku kepentingan perusahaan yang berbeda dapat dilihat sebagai tuntutan etis. Oleh karena itu perlu adanya representasi dari beragam pemangku kepentingan yang duduk di dewan perusahaan dengan tujuan untuk melegitimasi dan melindungi kepentingan stakeholder perusahaan, serta untuk memastikan bahwa keprihatinan stakeholder diperhatikan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Luoma dan Goodstein (1999) mengemukakan tiga dimensi struktur dan komposisi dewan yang mencerminkan sejauh mana kepentingan stakeholder telah diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan perusahaan, terkait dengan kehadiran stakeholder sebagai direktur, janji dewan dalam hal pemantauan atau pengawasan komite (audit, kompensasi, eksekutif atau pencalonan), dan keberadaan komite yang terdiri dari stakeholder yang didedikasikan untuk
Corporate Social Responsibility. Dalam pendekatan stakeholder model instrumental, salah satu argumen utama adalah pengakuan terhadap investasi spesifik perusahaan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan. Perusahaan harus menjaga kepentingan semua orang yang berkontribusi pada penciptaan nilai umum, yaitu, melakukan investasi khusus untuk sebuah perusahaan tertentu. Investasi spesifik perusahaan ini bisa beragam dan mencakup fisik, manusia, dan modal sosial. Investasi spesifik ini tidak mempunyai nilai di luar 18
perusahaan dan tidak dapat dilindungi oleh kontrak penuh, atau dievaluasi secara independen dari fungsi perusahaan. Untuk melindungi berbagai kepentingan stakeholder sebagaimana telah disebutkan di atas, corporate
governance memiliki prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh pelaku usaha.
2.2.2. Prinsip-Prinsip Corporate Governance Pada dasarnya corporate governance menurut OECD (2004:12) merupakan salah satu bagian dari konteks ekonomi yang lebih besar dimana perusahaan beroperasi, yang meliputi misalnya, kebijakan makro ekonomi dan tingkat persaingan dalam produk dan faktor pasar. OECD (2004) juga menjelaskan, bahwa kerangka corporate governance tergantung pada lingkungan hukum, peraturan, dan kelembagaan yang ada, serta dipengaruhi oleh hubungan antara peserta dalam sistem pengelolaan perusahaan. Pemegang saham pengendali, yang mungkin individu, kepemilikan keluarga, atau perusahaan lain yang bertindak melalui perusahaan holding atau lintas kepemilikan saham, dapat mempengaruhi perilaku perusahaan. Sebagai pemilik modal, investor akan menuntut suara dalam tata kelola perusahaan di beberapa pasar. Pemegang saham individu biasanya tidak berusaha untuk menggunakan hak kelola tetapi mungkin sangat prihatin apabila mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari pemegang saham pengendali dan manajemen. Oleh karena itu kerangka corporate governance harus mempromosikan kebijakan yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum, dan jelas mengartikulasikan pembagian tanggung jawab antara otoritas pengawas peraturan dan penegakan yang berbeda. Dengan demikian corporate governance merupakan interaksi antara berbagai peserta (pemegang saham, direksi, dan manajemen perusahaan) dalam membentuk kinerja korporasi. Hubungan antara pemilik dan manajer dalam suatu organisasi harus sehat dan tidak boleh ada konflik. Pemilik harus melihat kinerja aktual yang sesuai dengan standar kinerja. Oleh karena itu prinsipprinsip corporate governance
tidak boleh diabaikan, karena menurut
19
Rezaee (2007), prinsip-prinsip corporate governance merupakan salah satu pilar utama dalam perkembangan corporate governance (CG). OECD mengemukakan empat prinsip corporate governance yaitu: 1) perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham, 2) persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing dan minoritas, 3) dorongan kerjasama antara perusahaan dengan pemangku kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan usaha, dan 4) keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham terkait dengan penjaminan keamanan metoda pendaftaran kepemilikan, mengalihkan atau memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara teratur dan berkala, berperan dalam memberikan suara dalam RUPS, memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta memperoleh pendistribusian keuntungan perusahaan. Sedangkan keterbukaan dan transparansi terkait dengan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. Informasi yang disusun harus diungkapkan, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar. Akuntabilitas dewan komisaris yaitu CG menjamin adanya pedoman strategi perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. Tahun 2004, OECD melakukan revisi terhadap prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi enam prinsip, yaitu: 1) Memastikan kerangka dasar
corporate covernance yang efektif. Oleh karena itu kerangka corporate governance harus mempromosikan pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan jelas mengartikulasikan pembagian tanggung jawab antara otoritas pengawas, peraturan, dan penegakan yang berbeda. 2) Hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan. Terkait dengan hal ini, kerangka corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi 20
pelaksanaan hak pemegang saham. 3) Pemerataan perlakuan pemegang saham. Untuk itu kerangka corporate governance harus menjamin perlakuan yang sama dari semua pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh ganti rugi yang efektif untuk pelanggaran hak-hak mereka. 4) Peran stakeholder dalam corporate governance. Untuk mengatur peran stakeholder, kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama, dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan finansial perusahaan. 5) Pengungkapan dan transparansi. Kerangka
corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan dibuat tepat waktu dan akurat terhadap semua hal mengenai perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola perusahaan. 6) Tanggung jawab dewan. Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa dewan melakukan pemantauan yang efektif terhadap manajemen. Selain itu, kerangka corporate governance juga harus memastikan akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Prinsip corporate governance
yang lain dikemukakan oleh
International Corporate Governance Network (ICGN), yang mengadopsi prinsip-prinsip CG yang
dikembangkan oleh OECD sebagai standar
minimal yang dapat diterima bagi perusahaan dan investor diseluruh dunia. Selanjutnya ICGN merekomendasikan prinsip-prinsip sebagai Best Practices dalam penerapan CG yaitu: 1) Kejujuran (honesty), artinya perusahaan harus menyampaikan kebenaran disetiap waktu tanpa harus memperhatikan konsekuensinya. 2) Kekuatan segera pulih (resilience), dimana perusahaan dituntut untuk mengembangkan struktur CG yang mampu bertahan hidup dan segera pulih jika perusahaan mengalami kemunduran ataupun kegagalan. 3) Ketanggapan (responsivenes), dimana perusahaan dituntut bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku kepentingan, dan 4) Transparansi (Transparency), dalam hal ini perusahaan 21
dituntut untuk menyajikan secara terus terang informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Dari keempat prinsip dasar tersebut, ICGN berharap dapat mencapai empat tujuan utama, yaitu kemampuan menyediakan jaringan untuk bertukar pandangan dan informasi tentang topik-topik international tentang CG, mengevaluasi prinspip-prinsip dan praktek-praktek CG, mengembangkan dan mendorong kepatuhan perusahaan terhadap standard dan petunjuk CG, dan mempromosikan terciptanya Good Corporate
Governance. Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa organisasi yang telah menawarkan prinsip-prinsip corporate governance yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam mengelola perusahaan. Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) di Indonesia menetapkan lima asas yang tercantum di pedoman umum GCG yaitu: 1) Transparansi, dimana perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. 2) Akuntabilitas. Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. 3) Responsibilitas. Perusahaan harus mematuhi peraturan perundangudangan serta melaksanakan tangungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Independensi. Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak diintervensi oleh pihak lain, dan 5) Kewajaran dan kesetaraan. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan kesetaraan.
22
Sedangkan Menteri Negara BUMN melalui Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate
Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara menetapkan lima prinsip yang harus diterapkan didalam mengelola BUMN yaitu: 1) Transparansi. Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2) Kemandirian. Perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip prinsip korporasi yang sehat. 3) Akuntabilitas. Kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 4) Pertanggungjawaban. Kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, dan 5) Keadilan
(fairness). Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak–hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu prinsip-prinsip CG menurut Center for Good
Corporate Universitas Gadjah Mada (CGC UGM) adalah: 1) Transparency (transparansi). Dalam menjalankan fungsinya semua partisipan harus menyampaikan informasi yang material sesuai dengan substansi yang sesungguhnya, dan menjadikan informasi tersebut dapat diakses dan dipahami secara mudah oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. 2) Accountability
& Responsibility (pertanggungjelasan dan pertanggungjawaban). Setiap partisipan CG harus mempertanggungjelaskan amanah yang diterima sesuai dengan hukum, peraturan, standar moral/etika maupun best practices yang diterima umum dan menyiapkan/mengantisipasi pertanggungjawaban jika pertanggungjelasan yang diajukan ditolak. 3) Responsiveness (ketanggapan). Setiap partisipan CG harus menanggapi, meliputi kegiatan antisipatif terhadap permintaan umpan balik dari pihak-pihak yang berkepentingan dan 23
terhadap perubahan-perubahan dunia usaha yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan. 4) Independency
(independensi). Partisipan harus
membebaskan diri dari kepentingan pihak-pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan menjalankan fungsinya sesuai kompensasi yang memadai, dan 5) Fairness (keadilan). Memperlakukan pihak lain secara adil berdasar ketentuan umum yang berlaku. Apapun bentuk definisi yang digunakan, governance adalah tentang menciptakan ruang untuk berbagi: (1) ide dan informasi, (2) kekuasaan, (3) otoritas, (4) tanggung jawab, (5) kepemilikan (6) akuntabilitas, (7) transparansi, (8) penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, (9) keterbukaan, (10) etika dan integritas, (11) kejujuran, dan (12) keadilan. Dari berbagai prinsip corporate governance yang telah diuraikan di atas, terdapat lima prinsip yang secara umum diterapkan yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), keadilan (fairness), dan independensi (independency). Dengan diterapkannya kelima prinsip tersebut dalam mengelola perusahaan diharapkan akan tercipta tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.
2.2.3. Manfaat Corporate Governance Penerapan prinsip-prinsip corporate governance yang sehat tidak selalu mudah. Hal ini mungkin akan melibatkan perubahan dalam cara perusahaan beroperasi dan pergeseran distribusi kekuasaan dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan perusahaan. Namun demikian, ketika prinsip-prinsip corporate governance
yang sehat sepenuhnya dapat di-
laksanakan, maka dapat dipastikan bahwa perusahaan dikelola dengan baik dan benar. Proses ini memastikan perlindungan terhadap korupsi dan salah urus. Sebagaimana dikemukakan oleh Todorovic (2013:47) bahwa corporate
governance yang baik dapat membantu mencegah skandal perusahaan, penipuan, dan potensi tanggung jawab perdata dan pidana perusahaan.
Corporate governance yang baik dapat meningkatkan citra dan reputasi perusahaan dan membuatnya lebih menarik bagi investor, pemasok, 24
pelanggan dan stakeholder lainnya, serta dapat menghasilkan manfaat ekonomi secara langsung kepada perusahaan, sehingga lebih menguntungkan dan lebih kompetitif. Ditambahkan oleh Todorovic (2013:47), melalui aplikasi yang sesuai, prinsip-prinsip corporate governance akan meningkatkan profitabilitas, meningkatkan daya saing perusahaan, meningkatkan kredibilitas dan reputasi, dan meningkatkan hubungan dengan para pemangku kepentingan kunci seperti investor, mitra bisnis, karyawan, pelanggan, dll. Perusahaan yang menerapkan tata kelola dengan standar tertinggi dapat mengurangi risiko yang timbul dari operasi sehari-hari. Perusahaan tersebut mampu, dengan kinerja yang lebih baik, menarik investor dan investasi yang dapat membantu pembiayaan pertumbuhan dan pengembangan perusahaan lebih lanjut.
Capital Market Authority di Saudi Arabia menekankan pentingnya corporate governance karena berbagai alasan. Dari sisi ekonomi, corporate governance dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan efisiensi ekonomi, karena corporate governance akan membantu stabilitas pasar modal, meningkatkan transparansi, dan menarik investasi internal dan eksternal. Dari sisi perusahaan, dengan menerapkan prinsip corporate
governance dapat membantu perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik dengan manajemen yang efektif dan lingkungan kerja yang ideal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ekonomi perusahaan. Selain itu,
corporate governance membantu perusahaan mencapai pasar keuangan dan memiliki akses ke sumber dana yang dibutuhkan dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini akan membantu perusahaan memperluas aktivitasnya, mengurangi risiko, dan meningkatkan kepercayaan dari para pemangku kepentingan. Manfaat corporate governance bagi investor dan pemegang saham, adalah melindungi kerugian investasi akibat penyalahgunaan kekuasaan dengan cara yang tidak dalam kepentingan investor. Hal ini juga membatasi kasus konflik kepentingan, karena komitmen perusahaan untuk menerapkan 25
standar corporate governance dengan mengaktifkan partisipasi pemegang saham dalam membuat keputusan penting, dan mengetahui semua masalah yang relevan dengan investasi mereka di perusahaan. Bagi stakeholder lainnya, corporate governance dapat membangun hubungan yang erat dan kuat antara manajemen perusahaan, karyawan, pemasok, kreditur dan pihak lainnya, sehingga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan antara semua pihak yang terlibat dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan dan mencapai tujuan strategis. Jadi manfaat immateriil dari corporate governance adalah: 1) mencegah skandal perusahaan, penipuan, dan potensi tanggung jawab perdata dan pidana bagi perusahaan; dan 2)melindungi kerugian investasi akibat penyalahgunaan kekuasaan dengan cara yang tidak dalam kepentingan investor. Sedangkan secara materiil corporate governance bermanfaat: 1) membantu perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik dengan manajemen yang efektif dan lingkungan kerja yang ideal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ekonomi perusahaan; 2) membantu perusahaan mencapai pasar keuangan dan memiliki akses ke sumber dana yang dibutuhkan dengan biaya yang lebih rendah; dan 3) meningkatkan profitabilitas, kredibilitas, dan reputasi perusahaan, meningkatkan daya saing perusahaan, meningkatkan kepercayaan dan hubungan dengan para pemangku kepentingan kunci, sehingga perusahaan menjadi lebih menarik bagi investor, pemasok, pelanggan dan stakeholder lainnya. Dengan demikian pelaksanaan corporate governance yang baik (good corporate
governance) sangat penting bagi pemegang saham karena merupakan jaminan bahwa bisnis perusahaan sedang dilakukan dengan tujuan menambah nilai pemegang saham dan menjaga aset perusahaan. Tata hubungan yang tercipta dalam konsep corporate governance yang mencakup hubungan stakeholder dengan perusahaan, baik internal dan eksternal, yang diwujudkan dalam bentuk pembagian hak dan tanggung jawab antara stakeholder dan manajer, serta menentukan aturan dan 26
prosedur dalam membuat keputusan tentang urusan perusahaan, dapat juga diterapkan dalam penatakelolaan universitas dengan beberapa penyesuaian, mengingat struktur tata kelola perguruan tinggi swasta mirip dengan tata kelola perusahaan dengan pengecualian dari rapat pemegang saham.
2.3. University Governance 2.3.1. Pengertian University Governance Dewasa ini, pendidikan tinggi jauh lebih beragam dan mencakup jenis lembaga-lembaga baru seperti universitas, sekolah tinggi, akademi, politeknik, atau lembaga teknologi. Semuanya diciptakan untuk sejumlah alasan, antara lain untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat antara pendidikan tinggi dengan dunia luar, termasuk respon yang lebih besar terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja dan untuk mengakomodasi pertumbuhan keragaman kualifikasi dan harapan lulusan sekolah menengah. Keadaan ini, menurut Varghese dan Martin (2014:7), menunjukkan bahwa pendidikan tinggi telah melakukan berbagai reformasi untuk menyelaraskan dirinya lebih dekat dengan pasar. Oleh karena itu sebagian besar pengelolaan pendidikan tinggi dipengaruhi oleh konsep manajemen publik yang baru, dimana ketergantungan pada pemerintah semakin berkurang dan lebih mengandalkan pasar. Proses pasar dalam pendidikan tinggi telah menyebabkan pengenalan berbagai reformasi yang telah mengubah cara mengatur kegiatan universitas, bagaimana layanan disediakan dan bagaimana lembagalembaga dikelola. Transisi pendidikan tinggi dari pemerintah ke pasar yang diwujudkan dalam bentuk pengalihan sebagian wewenang dan tanggung jawab pemerintah kepada institusi pendidikan tinggi dalam bentuk otonomi kelembagaan, menyebabkan pergeseran dari model kontrol negara ke model pengawasan manajemen pendidikan tinggi. Dalam menanggapi perubahan ini, struktur tata kelola (governance) perguruan tinggi/universitas
dan
praktek manajemen pada tingkat sistem dan institusi telah dimodifikasi dan
27
memiliki efek yang relatif
luas pada distribusi tanggung jawab untuk
pengelolaan sistem pendidikan tinggi. Tata kelola universitas (university governance) mengatur proses interaksi universitas dengan para pemangku kepentingan internal dan eksternal yang berusaha untuk menjaga keseimbangan yang dinamis. Dalam perspektif yang lebih besar, menurut Santiago et al. (2008:68), university
governance meliputi struktur, hubungan dan proses melalui mana, baik di tingkat lokal, nasional dan kelembagaan, kebijakan untuk perguruan tinggi/ universitas dikembangkan, dilaksanakan dan dipantau. Governance pada perguruan tinggi/universitas terdiri dari jaringan yang kompleks termasuk kerangka legislatif, karakteristik lembaga dan bagaimana mereka berhubungan dengan seluruh sistem, bagaimana dana dialokasikan untuk institusi dan bagaimana mereka bertanggung jawab terhadap cara yang digunakan untuk menghabiskan dana tersebut, serta struktur formal dan hubungan yang mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Dengan kata lain, university governance meliputi kerangka di mana perguruan tinggi/ universitas mengejar tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang terkoordinasi. Di sisi lain, manajemen mengacu pada pelaksanaan serangkaian tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan tinggi atas dasar aturan yang ditetapkan. Ini menjawab pertanyaan bagaimana aturan diterapkan dan berkaitan dengan efisiensi, efektivitas dan kualitas layanan yang diberikan kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal. Dalam kaitannya dengan pengelolaan perguruan tinggi, Boer dan File (2009:10) berpendapat, bahwa governance merupakan sebuah konsep terkait dengan artikulasi kepentingan dan realisasi tujuan menyangkut tata kelola lembaga perguruan tinggi baik secara internal (kelembagaan) maupun eksternal (sistem). Tata kelola internal mengacu pada pengaturan kelembagaan dalam universitas (misalnya, jalur kewenangan, proses pengambilan keputusan, pembiayaan dan staf) sedangkan tata kelola eksternal mengacu pada pengaturan kelembagaan pada tingkat sistem atau makro 28
(misalnya, hukum dan keputusan, pengaturan pendanaan, evaluasi, dan lainlain). Dengan demikian university governance dipahami sebagai koordinasi eksternal dan internal perguruan tinggi. Apabila pendapat Boer dan File tentang governance dikaitkan dengan struktur perguruan tinggi swasta di Indonesia, maka secara eksternal governance akan mengatur wewenang dan tanggung jawab antara pihak yayasan dengan pihak rektorat, dan koordinasi internal mengatur wewenang dan tanggung jawab pihak rektorat dengan unit-unit di bawahnya. Lembaga pendidikan tinggi, secara hukum mempunyai persamaan dengan lembaga perusahaan independen, dimana lembaga pendidikan tinggi juga memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penelitian dan mengembangkan hubungan bisnis dengan masyarakat. Meskipun ada perbedaan definisi antara
governance dan manajemen, governance di pendidikan tinggi mengacu pada sarana lembaga pendidikan tinggi yang secara resmi diatur dan dikelola. Sederhananya, pengaturan governance mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab untuk menetapkan arah universitas dan mengawasi operasinya. Dengan demikian, university governance adalah sistem yang mengatur pembagian hak, wewenang dan tanggung jawab dalam mengarahkan dan mengendalikan jalannya universitas, termasuk aturan dalam berinteraksi di antara stakeholder universitas, serta merinci aturan dan prosedur dalam membuat keputusan tentang kebijakan universitas untuk menentukan tujuan dan cara mencapai tujuan universitas yang telah ditetapkan dengan cara yang terkoordinasi. Ini meliputi mekanisme universitas, siapa yang memegang kendali dan siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban. Saat ini universitas menghadapi pilihan yang semakin rumit untuk memprioritaskan berbagai kepentingan stakeholder dan bagaimana mendamaikan kepentingan yang bertentangan, yang apabila tidak ditangani dengan benar akan mendorong timbulnya konflik kepentingan. Untuk itu, 29
kiranya perlu bagi universitas untuk mengevaluasi hubungan universitas dengan berbagai konstituen, stakeholder, dan masyarakat. Langkah yang dapat ditempuh adalah melakukan identifikasi terhadap stakeholder yang terlibat dalam perguruan tinggi. Identifikasi terhadap stakeholder sebelum menerapkan kebijakan atau program, memungkinkan pembuat kebijakan universitas
untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan stakeholder
kunci, sehingga dapat mendeteksi dan bertindak untuk mencegah kesalahpahaman potensial dan/atau oposisi dan meningkatkan dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan atau pelaksanaan suatu program. Sebuah kebijakan atau program yang lebih besar akan berhasil jika identifikasi stakeholder digunakan untuk memandu pelaksanaan kebijakan atau program yang telah direncanakan. Terdapat dua langkah penting dalam melakukan identifikasi terhadap stakeholder universitas. Pertama, identifikasi dilakukan untuk mengetahui individu-invidu atau kelompok mana yang harus terlibat dalam penentuan kebijakan dan program universitas. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi stakeholder yang berpotensi dapat terlibat dalam penentuan kebijakan dan program, dan apa hubungan potensial yang ada di antara para stakeholder sehingga memungkinkan dibentuk kerjasama. Dengan demikian konflik dan kompetisi dapat diidentifikasi, dan dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menemukan bentuk yang tepat sehubungan dengan keterlibatan stakeholder. Melakukan identifikasi terhadap stakeholder universitas, menurut Mainardes et al. (2013:432) merupakan bagian dari proses manajemen strategis stakeholder yang membutuhkan: pertama, identifikasi kelompok yang relevan dengan manajemen organisasi; kedua, menentukan pentingnya partisipasi masing-masing stakeholder; ketiga, seberapa efektif kebutuhan dan harapan dari masing-masing kelompok saat ini sedang dipenuhi; dan keempat, memodifikasi kebijakan lembaga dan peringkat prioritas sesuai dengan kepentingan stakeholder. Kemudian untuk menghubungkan para 30
stakeholder dengan manajemen strategis, selain melakukan identifikasi terhadap stakeholder, universitas juga harus mengklasifikasikan stakeholder. Hal ini diperlukan untuk berkolaborasi dengan mitra dan pelanggan penting terkait dengan misi dan keberhasilan lembaga dimasa depan. Oleh karena itu, para stakeholder harus diuraikan dengan menggunakan kerangka lembaga yang digunakan dalam perencanaan strategis. Kategorisasi kelompok stakeholder dapat dibuat dalam berbagai cara. Setiap kelompok stakeholder dapat dianggap sebagai satu kategori dan dibagi menjadi sub-kategori. Misalnya kategori untuk kelompok stakeholder universitas yang termasuk kelompok karyawan adalah staf akademik dan staf non-akademik. Kemudian staf non-akademik dibagi lagi menjadi staf administrasi dan non administrasi, dll. Terkait dengan hal ini, stakeholder universitas dapat dibagi menjadi empat lapis, yaitu: 1) Lapisan Pertama adalah stakeholder inti, termasuk dosen, mahasiswa dan pegawai administrasi. 2) Lapisan Kedua adalah stakeholder penting, termasuk alumni dan penyedia dana. 3) Lapisan Ketiga adalah pemangku kepentingan langsung, termasuk orang yang berafiliasi memiliki kontrak dengan universitas, seperti penyedia dana penelitian ilmiah, kerjasama industriuniversitas, penyedia pinjaman. 4) Lapisan Keempat adalah stakeholder marginal, termasuk masyarakat lokal dan masyarakat umum. Stakeholder inti, yaitu dosen, mahasiswa dan pegawai administrasi adalah stakeholder internal dan lainnya adalah stakeholder eksternal. Untuk menghindarkan konflik kepentingan diantara stakeholder sebagaimana diuraikan di atas, kiranya menjadi penting untuk menerapkan prinsip-prinsip university governance di dalam penatakelolaan universitas, seperti diungkapkan oleh Sebastian (2012), bahwa penerapan prinsip-prinsip
university governance
akan sangat bermanfaat bagi upaya pengelolaan
perguruan tinggi secara profesional sebab dapat menghindari adanya kecurangan (fraud) serta konflik kepentingan di dalam prosesnya. Pelaksanaan prinsip-prinsip university governance mengacu pada pelaksanaan corporate 31
governance, termasuk prinsip-prinsip yang melandasi pelaksanaannya. Konsep tersebut kemudian diadopsi pada pengelolaan perguruan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan publik.
2.3.2. Prinsip-Prinsip University Governance Model tata kelola yang diterapkan di kalangan lembaga-lembaga publik dan swasta dapat berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Dalam suatu lembaga individu juga memiliki model tata kelola sendiri seperti model hierarkis atau koperasi. Model tata kelola juga berbeda sesuai dengan sifat dari lembaga. Meskipun terdapat banyak variasi, untuk model
university
governance
kiranya
prinsip
transparansi,
akuntabilitas,
responsibilitas, keadilan, dan independensi dapat dijadikan sebagai prinsipprinsip dalam penatakelolaan universitas, dengan pertimbangan bahwa lembaga pendidikan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan publik harus dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan. Informasiinformasi terkait dengan aktivitas pendidikan tinggi harus dapat dengan mudah diakses oleh para pemangku kepentingan. Transparansi dan akuntabilitas bukan berarti campur tangan yang tidak terkendali dan tanpa batas, tetapi merupakan suatu persyaratan untuk secara berkala menjelaskan tindakan yang memperoleh keberhasilan dan mengalami kegagalan. Hal demikian harus dapat diketahui oleh para pemangku kepentingan secara transparan. Semua interaksi harus terjadi dalam konteks hak dan tanggung jawab yang disepakati dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sehingga tercipta keadilan bagi semua pemangku kepentingan. Mekanisme penyangga mungkin diperlukan untuk membantu menentukan keseimbangan yang tepat antara independensi (otonomi) dan akuntabilitas. Lebih lanjut penerapan dari prinsip-prinsip corporate governance di Perguruan Tinggi dapat dilihat pada tabel berikut:
32
Tabel 2.1. Penerapan Prinsip-Prinsip Corporate Governance di Perguruan Tinggi No Prinsip-Prinsip CG 1
Transparansi
2
Akuntabilitas
3
Responsibilitas
4
Keadilan
5
Independensi
Penerapan di Perguruan Tinggi Perguruan tinggi harus dan dapat menerapkan prinsip keterbukaan di bidang keuangan, sistem dan prosedur penerimaan mahasiswa baru, sistem dan prosedur akuntansi, pelaporan keuangan, rekrutmen dosen dan karyawan, pemilihan pejabat struktural, pemilihan anggota senat fakultas/akademis, pemilihan organ yayasan/BPH, dan informasi informasi penting lainya kepada pemangku kepentingan secara memadai, akurat dan tepat waktu. Perguruan tinggi harus mempunyai uraian tugas dan tangungjawab yang jelas (secara tertulis) dari setiap pejabat struktural, anggota senat fakultas/akademis, organ yayasan, dosen dan karyawan. Termasuk juga kriteria dan proses pengukuran kinerja, pengawasan, dan pelaporan. Harus ada audit internal yang tugasnya antara lain melakukan penilaian, analisis, dan interprestasi dari aktivitas suatu organisasi secara indpenden. Ada baiknya juga dilakukan manajemen audit atau finansial audit plus oleh KAP independen. Setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan perguruan tinggi harus bertanggungjawab atas segala tindakannya sesuai dengan job description yang telah ditetapkan. Termasuk para dosen harus mentaati etika dan moral kedosenan. Harus dihindari pemerasan atau penjualan nilai pada mahasiswa baik oleh dosen maupun oleh karyawan non-akademis Perlakuan yang adil dan berimbang kepada para pemangku kepentingan yang terkait. Dalam hal ini pemangku kepentingan terdiri atas mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, para dosen, dan karyawan non-akademis, serta organ yayasan. Pihak yayasan dan pengelola perguruan tinggi dalam melaksanakan peran dan tanggung-jawabnya harus bebas dari segala bentuk benturan kepentingan yang berpotensi untuk muncul. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara independen bebas dari segala bentuk tekanan dari pihak lain, sehingga dapat dipastikan bahwa keputusan itu dibuat semata-mata demi kepentingan perguruan tinggi. Pengurus yayasan/BPH harus memberi wewenang penuh kepada rektorat untuk menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sumber: Wijatno, 2009.
Tabel di atas menunjukkan penerapan prinsip-prinsip corporate
governance
pada perguruan tinggi. Penerapan dari prinsip tersebut
33
kemudian dihubungkan dengan perspektif partisipan atau organ university
governance (Warsono, dkk, 2009).
2.3.2.1. Prinsip Transparansi Membangun budaya transparansi adalah langkah pertama yang penting untuk mencapai kepercayaan. Komunikasi yang terbuka dan jujur mendukung keputusan untuk dipercaya. Kurangnya komunikasi dan transparansi akan menciptakan kecurigaan. Fung (2014:75) menjelaskan, bahwa transparansi dapat terjadi ketika institusi menciptakan budaya keterbukaan dan rasa hormat. Pemangku kepentingan merasa bebas untuk berbicara tentang kebenaran kepada dewan dan manajemen. Jika eksekutif bersedia untuk mendengarkan sudut pandang yang berlawanan dan berjanji untuk mempertimbangkan manfaat dari argumen lain, maka eksekutif telah membuka jalan bagi budaya transparansi. Didefinisikan secara luas, transparansi mengacu pada sejauh mana informasi mengalir secara bebas dalam suatu organisasi, antara manajer dan karyawan, dan ke luar kepada para pemangku kepentingan. Pendapat lain dikemukakan oleh Adrianto (2007) yang mengartikan transparansi sebagai keterbukaan secara sungguhsungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik. Menurut Fung (2014:72), transparansi merupakan elemen penting dalam kerangka kerja tata kelola perusahaan yang kuat. Karena transparansi memberikan dasar bagi pengambilan keputusan oleh pemegang saham, pemangku kepentingan dan investor potensial dalam kaitannya dengan alokasi modal, transaksi perusahaan dan pemantauan kinerja keuangan. Transparansi perusahaan menggambarkan sejauh mana tindakan korporasi dapat diamati oleh pihak luar. Transparansi merupakan salah satu langkah kunci untuk tata kelola perusahaan dan memastikan bahwa manajemen tidak akan terlibat dalam perilaku yang tidak benar atau melanggar. Untuk mencapai transparansi, perusahaan harus mengadopsi metode akuntansi yang akurat, membuat pengungkapan penuh dan cepat tentang informasi 34
perusahaan dan membuat pengungkapan konflik kepentingan direksi atau pemegang saham pengendali, dll. Unsur kunci dari tata kelola yang baik adalah 'transparansi', yang menggabungkan sistem checks and balances antara dewan direksi, manajemen, auditor, dan pemangku kepentingan lainnya. Elisa dan Ladislao (2012:22) mendefinisikan transparansi sebagai strategi untuk mengungkapkan informasi yang lengkap, akurat dan tepat, melalui saluran terbaik yang tersedia sehingga memungkinkan pengambil keputusan mengaktifkan umpan balik yang memungkinkan proses konsolidasi. Jadi, transparansi melibatkan pengungkapan yang jelas terkait informasi tentang aturan, rencana, proses dan tindakan oleh pemerintah, perusahaan, organisasi, atau individu. Ini adalah prinsip bahwa urusan publik harus dilakukan secara terbuka. Personalisasi ini, menurut Elisa dan Ladislao (2012) meningkatkan pentingnya saluran komunikasi ketika menilai transparansi. Perpaduan antara berbagai elemen komunikasi, seperti pemberi pesan, penerima pesan, saluran, kode dan pesan, merupakan inti dari transparansi, karena pentingnya transparansi tidak hanya terletak pada konten untuk mengungkapkan tetapi juga cara untuk menyampaikan informasi, struktur, volume dan kualitas informasi. Dengan demikian, integritas, akurasi dan ketepatan pesan adalah fitur penting untuk memastikan transparansi. Dalam lingkup universitas, fitur ini didukung oleh sistem sertifikasi, standardisasi, akreditasi, atau, antara lain, oleh kepatuhan terhadap program-program berkualitas nasional. Transparansi dalam konteks pendidikan tinggi berkaitan dengan kebutuhan untuk memberikan informasi tentang upaya dan kinerja lembaga pendidikan tinggi di berbagai bidang aktivitas yang dilakukan. Hal ini juga terkait dengan konsep jaminan kualitas, jika jaminan kualitas dianggap sebagai serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan bukti kualitas kepada stakeholder eksternal lembaga pendidikan tinggi. Kemudian menciptakan transparansi yang bertujuan memberikan informasi kepada 35
stakeholder untuk membentuk penilaian dan mengambil keputusan. Dengan demikian, instrumen transparansi merupakan alat informasi yang dirancang untuk mengkomunikasikan tentang upaya dan kinerja lembaga pendidikan tinggi kepada stakeholder eksternal. Unsur transparansi, menurut Wijatno (2009) berkaitan dengan kemampuan perguruan tinggi dalam menerapkan prinsip keterbukaan pada berbagai bidang. Beberapa bidang penting yang dimaksud yaitu bidang keuangan, sistem dan prosedur penerimaan mahasiswa baru, sistem dan prosedur akuntansi, pelaporan keuangan, rekrutmen dosen dan karyawan, pemilihan pejabat struktural, pemilihan anggota senat fakultas/akademis, pemilihan organ yayasan/BPH, dan informasi-informasi penting lainnya kepada pemangku kepentingan secara memadai, akurat dan tepat waktu. Sebagaimana dikemukakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2013), bahwa prinsip transparansi terkait dengan pengelolaan perguruan tinggi harus terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya praktik-praktik kecurangan dalam pengelolaan perguruan tinggi yang dapat merugikan masyarakat. Dengan demikian, transparansi dalam konteks pendidikan tinggi adalah strategi untuk memberikan informasi yang lengkap, akurat, dan tepat, kepada setiap orang tentang upaya dan kinerja lembaga pendidikan tinggi di berbagai bidang aktivitas yang dilakukan, melalui saluran terbaik yang tersedia. Prinsip transparansi diwujudkan dengan penyediaan informasi kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi diharapkan dapat mempublikasikan informasi terkait dengan upaya dan kinerja perguruan tinggi di berbagai bidang aktivitas yang dilakukan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perguruan tinggi secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan dengan perguruan tinggi harus dapat mengakses informasi penting tersebut secara mudah pada 36
saat diperlukan. Penjelasan Pasal 63 huruf “b” Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Hal ini sejalan dengan teori stakeholder, dimana manajemen diharapkan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan harapan stakeholder dan melaporkannya kepada stakeholder. Teori stakeholder menekankan bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana aktivitas organisasi. Namun demikian, transparansi ini tidak bersifat absolut, tetap ada pembatasan-pembatasan mengenai informasi apa saja yang dapat diberikan. Pembatasan terkait dengan jenis informasi yang dapat diberikan dan jenis informasi yang tidak boleh diberikan, seperti misalnya rahasia dagang piranti lunak dan strategi organisasi. Diungkapkan oleh Eurydice (2008:30), meskipun lembaga pendidikan tinggi adalah otonom, tetapi lembaga pendidikan tinggi adalah penyedia layanan bagi publik dan para penerima manfaat dari dana publik. Dengan demikian, masyarakat, dan terutama penyedia dana, memiliki kepentingan untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam lembaga. Metode berbagi informasi sangatlah bervariasi, tetapi lembaga pendidikan tinggi diminta untuk memberikan laporan kegiatan mereka. Perguruan tinggi harus memberikan informasi atas permintaan setiap individu atau institusi. Setiap fakultas juga menyiapkan Program Studi tahunan dengan informasi dasar tentang program studi, kursus, kondisi untuk masuk, struktur organisasi dan jadwal semua kegiatan akademik. Jadi laporan tahunan diperlukan dalam transparansi. Meskipun banyak laporan tahunan berisi informasi tentang anggaran kelembagaan, akan tetapi laporan tahunan biasanya mencakup informasi tentang kegiatan pendidikan dan kegiatan lainnya, mahasiswa dan layanan mahasiswa, staf, dan hubungan internasional. Laporan tahunan juga mencakup penilaian hasil yang dicapai oleh lembaga, perubahan kemajuan berkaitan dengan rencana strategis kelembagaan, ringkasan sumber daya, 37
dan informasi tentang keuangan. Oleh karena itu, laporan tahunan sebenarnya digunakan terutama sebagai alat akuntabilitas untuk kegiatan pendidikan dan kegiatan lainnya. Dengan demikian akuntabilitas dan transparansi merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan, sebab pelaksanaan akuntabilitas memerlukan transparansi.
2.3.2.2. Prinsip Akuntabilitas Akuntabilitas merupakan persyaratan utama dari tata kelola yang baik. Secara umum semua lembaga, baik pemerintah dan swasta serta organisasi masyarakat sipil harus bertanggung jawab kepada publik dan para pemangku kepentingan organisasi. Hal ini penting tidak saja untuk menegakkan reputasi universitas serta meningkatkan kepercayaan dari para pemangku kepentingan utama, tetapi juga memastikan transparansi dan kontrol yang tepat atas urusan lembaga. Secara umum suatu organisasi atau institusi wajib bertanggung jawab kepada individu-individu yang terpengaruh oleh keputusan atau tindakan organisasi. Artinya, akuntabilitas tidak dapat ditegakkan tanpa transparansi dan aturan hukum. Secara harafiah konsep akuntabilitas atau accountability berasal dari dua kata yaitu account yang artinya rekening, laporan, catatan dan ability yang artinya kemampuan. Dengan demikian akuntabilitas dapat diartikan sebagai kemampuan menunjukkan laporan atau catatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip akuntabilitas merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Suharto, 2005). Trow (1996:2) mengartikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan laporan kepada orang lain, untuk memberikan alasan pembenaran, untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang bagaimana berbagai sumber daya telah dipergunakan dan apa dampaknya. Sedangkan Mahsun (2006) mengartikan akuntabilitas dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu 38
kepada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertanggung jawab dan untuk apa organisasi (atau pekerja individu) bertanggung jawab. Dalam pengertian luas akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Dengan demikian prinsip akuntabilitas menurut Loina (2003:7) menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability) dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen
pertama berhubungan dengan
tuntutan bagi aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan
wewenang
mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut. Komponen kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk memprediksi konsekuensi yang timbul. Vidovich dan Slee (2000) dalam Burke (2005:3) membagi akuntabilitas dalam beberapa jenis, yaitu: 1) upward accountability merupakan bentuk tanggung jawab bawahan kepada atasan, mencakup akuntabilitas prosedural, birokratik, legal, dan vertikal; 2) downward accountability berfokus pada tanggung jawab pimpinan terhadap bawahan dalam pengambilan keputusan atau akuntabilitas kesejawatan pada perguruan tinggi; 3)
inward accountability. Perguruan tinggi sebagai organisasi yang didominasi oleh para profesional, maka akuntabilitas berpusat pada tindakan staf pengajar dalam menerapkan berbagai standar dan etika profesional, yang disebut sebagai akuntabilitas profesional, dan 4) outward accountability, merupakan bentuk tanggung jawab terhadap pelanggan luar, para pemangku kepentingan, donatur, dan pada akhirnya kepada masyarakat dalam arti luas. Dalam konteks perguruan tinggi, Pasal 78 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa Akunta39
bilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada masyarakat yang terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik. Akuntabilitas Perguruan Tinggi tersebut dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan dan dipublikasikan kepada masyarakat. Jadi akuntabilitas perguruan tinggi tidak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi yang lebih utama adalah akuntabilitas kepada masyarakat terutama kepada semua stakeholder pengguna produk perguruan tinggi. Salmi (2009:3) berpendapat, akuntabilitas dalam perguruan tinggi merupakan kewajiban etis dan manajerial untuk melaporkan kegiatan yang telah dilakukan dan hasil yang telah dicapai oleh perguruan tinggi, menjelaskan kinerja perguruan tinggi, dan bertanggung jawab atas harapan yang belum terpenuhi. Semua lembaga pendidikan tinggi diwajibkan secara hukum untuk memenuhi dua dimensi dasar akuntabilitas yaitu: integritas dalam pemberian layanan pendidikan, dan kejujuran dalam penggunaan sumber daya keuangan. Untuk contoh pertama, Salmi (2009:3) menjelaskan, bahwa salah satu tanggung jawab yang paling dasar dari negara adalah membangun dan menegakkan kerangka peraturan dalam mencegah praktik yang tidak etis, curang, dan korup di pendidikan tinggi, seperti di bidangbidang penting lain dari kehidupan sosial. Dalam contoh kedua, perguruan tinggi negeri harus bertanggung jawab atas penggunaan sumber daya publik secara efektif dan bertanggung jawab atas kualitas output. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme untuk mengukur dan memantau efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya, menilai kualitas dan relevansi pelatihan yang telah diterima oleh lulusan universitas, menilai produktivitas kegiatan penelitian, dan kontribusi perguruan tinggi untuk ekonomi lokal, terutama dalam hal transfer teknologi. Demikian pula, perguruan tinggi swasta harus bertanggung jawab kepada seluruh stakeholder. Untuk menanggapi tuntutan stakeholder eksternal dan internal, pimpinan universitas harus mempertimbangkan: 1) sejauh mana akses telah 40
ditawarkan secara merata ke seluruh kelompok masyarakat (ekuitas), 2) standar pengajaran dan penelitian (kualitas), 3) sejauh mana lulusan menerima pendidikan yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja (relevansi), 4) kontribusi universitas terhadap pembangunan ekonomi lokal dan/atau nasional dan dimana sumber daya publik digunakan (efisiensi internal); dan 5) kemampuan keuangan dari sistem pendidikan tinggi untuk tumbuh dengan tetap menjaga standar yang tinggi (sustainability). Jadi, akuntabilitas pendidikan merupakan suatu perwujudan kewajiban dari lembaga pendidikan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan proses pendidikan kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan. Dalam konteks pembelajaran, perlu selalu diupayakan untuk diperbaiki dan ditingkatkan sehingga proses pembelajaran berlangsung optimal dan efektif, serta dapat meningkatkan mutu lulusan. Penjelasan Pasal 63 huruf a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan, bahwa kemampuan dan
komitmen untuk
“prinsip akuntabilitas” adalah
mempertanggungjawabkan semua
kegiatan yang dijalankan perguruan tinggi kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prinsip akuntabilitas diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan tahunan yang berisi tentang kinerja dan penggunaan dana perguruan tinggi. Laporan tahunan tentang kinerja perguruan tinggi dapat saja mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Di Lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Sedangkan laporan tahunan penggunaan dana perguruan tinggi dapat mengacu pada konsep
corporate governance, yang dijelaskan oleh Tjager (2004), bahwa dalam bidang keuangan akuntabilitas diwujudkan antara lain dengan: 1) menyiapkan laporan keuangan (financial statement) pada waktu yang tepat, 2) mengembangkan komite audit dan resiko untuk mendukung fungsi 41
pengawasan oleh dewan komisaris, 3) mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis yang strategis, 4) menjaga manajemen kontrak yang bertanggung jawab dan menangani pertentangan (dispute), 5) penegakan hukum melalui sistem penghargaan dan sanksi, dan 6) menggunakan external auditor yang professional. Pengertian-pengertian tentang akuntabilitas di atas menggambarkan hak yang ada antara orang-orang dan lembaga-lembaga (termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku pasar) atas tindakan pemegang kekuasaan yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas membantu untuk memastikan bahwa pengambil keputusan telah mematuhi standar publik yang telah disepakati. Warga negara telah memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk memberlakukan dan menegakkan hukum dan kebijakan. Sebagai imbalannya, warga negara mengharapkan pemerintah dapat menjelaskan dan membenarkan penggunaan kekuasaan dan mengambil langkah-langkah perbaikan bila diperlukan. Jadi akuntabilitas adalah sebuah konsep etika, menyangkut perilaku yang tepat, dan berhubungan dengan tanggung jawab individu dan/atau organisasi terhadap orang-orang dan/atau lembaga-lembaga lain atas tindakan yang telah mereka lakukan. Oleh karena itu akuntabilitas dapat dipahami sebagai hasil dari individu dan/atau organisasi yang memutuskan untuk mengambil tanggung jawab atas sesuatu yang telah dilakukan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip akuntabilitas terkait erat dengan prinsip responsibilitas.
2.3.2.3. Prinsip Responsibilitas Responsibilitas diartikan oleh Isnugroho (2009:1) sebagai: (1) Membuat keputusan yang sesuai dan/atau bertindak dengan cara yang tepat. Tanggung jawab dapat menjadi kewajiban formal. Dalam administrasi publik, tanggung jawab formal dapat berhubungan dengan posisi atau badan administratif. (2) Tanggung jawab juga dapat diartikan sebagai kewajiban yang berhubungan dengan suatu keputusan atau tindakan atau tugas. 42
Contoh: sebuah parlemen dapat memiliki tanggung jawab untuk membuat undang-undang suatu negara. Jadi responsibilitas atau tanggung jawab adalah membuat keputusan yang sesuai dan/atau bertindak dengan cara yang tepat dalam menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan suatu keputusan atau tindakan atau tugas. Lauermann (2013:22) menyebutkan dua komponen tanggung jawab yang terkait erat, yaitu komponen “kepada siapa” dan komponen “untuk apa”, sehingga wilayah yang berbeda dari tanggung jawab terkait erat dengan alamat tertentu. Seperti: a) tanggung jawab pengaturan kepada negara adalah untuk mematuhi peraturan tertentu, b)
tanggung jawab
kontraktual untuk organisasi, c) tanggung jawab keuangan kepada donor atau pemegang saham, harus memastikan bahwa uang mereka digunakan dengan cara yang disepakati, dan d) tanggung jawab etis atau moral untuk para pemangku kepentingan, baik karena pemangku kepentingan secara langsung atau tidak langsung tergantung pada organisasi dan terpengaruh oleh itu, atau karena pemangku kepentingan merupakan bagian integral dari misi, visi dan nilai-nilai organisasi. Jadi setiap organisasi memiliki tingkat dan jenis tanggung jawab yang berbeda kepada pemangku kepentingan yang berbeda pula. Mengingat tanggung jawab institusional berdasarkan ketentuan layanan pendidikan tinggi untuk pertumbuhan sosial dan pengembangan profesional, universitas memiliki peran penting dalam menghasilkan dan memungkinkan transformasi sosial. Universitas bertujuan untuk mendidik masyarakat dan berkonsentrasi pada pengembangan potensi intelektual, oleh sebab itu misi utama sebuah universitas adalah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada mahasiswa dengan kualitas tertinggi. Akibatnya universitas bertanggung jawab untuk menyediakan sumber daya dan lingkungan yang diperlukan untuk mengawasi kegiatan pendidikan, untuk memastikan kecukupan fasilitas mengajar yang konsisten dengan kewajiban yang harus dilakukan, dan untuk mengembangkan kurikulum 43
yang akan mempersiapkan mahasiswa berperan aktif sebagai ilmuwan dimasa depan. Beberapa aspek tanggung jawab dosen dapat didefinisikan di berbagai bidang seperti mengajar, mengevaluasi tugas mahasiswa, dan persyaratan kerja lainnya (misalnya, tepat waktu). Sedangkan tanggung jawab karyawan ditentukan oleh kontrak kerja, yang biasanya mencakup deskripsi pekerjaan yang menetapkan tanggung jawab secara rinci. Tanggung jawab ini harus didiskusikan, dikembangkan dan diklarifikasi secara individu dengan atasan baik secara formal maupun informal sebagai bagian dari proses penilaian kinerja. Penilaian terhadap tanggung jawab dapat didasarkan pada kriteria yang berbeda. Misalnya Twiss (1977) dalam Lauermann (2013:23) mengusulkan tiga jenis penilaian tanggung jawab dengan kriteria yang berbeda tetapi sangat relevan. Untuk tanggung jawab deskriptif, kriteria utama adalah apakah ada hubungan sebab akibat antara tindakan dan hasil. Untuk tanggung jawab normatif, kriteria didasarkan pada kepatuhan terhadap standar normatif (misalnya, standar moral). Dan tanggung jawab peran yang berkaitan erat dengan norma tanggung jawab. Kriteria dalam tanggung jawab peran adalah pemenuhan tugas yang melekat pada beberapa peran sosial dan hubungan sosial seperti majikan-karyawan, orangtua-anak dan guru-murid. Tanggung jawab merupakan salah satu gagasan yang paling penting dan menentukan bagi kerja manajerial. Setiap manajer bertanggung jawab untuk perusahaannya, departemennya, dll. Lebih khusus, manajer memiliki tanggung jawab untuk kualitas produk atau jasa. Tanggung jawab ini meluas kepada karyawan, pelanggan, dan masyarakat umum. Dengan demikian perlu disepakati bahwa tanggung jawab untuk setiap elemen dalam sistem perguruan tinggi/universitas
sangat penting untuk pelaksanaan good
university governance. Secara eksternal, peran kementerian pendidikan dan lembaga pendidikan tinggi harus jelas diartikulasikan oleh hukum dan dalam dokumen kebijakan nasional. Secara internal, fakultas, dosen, mahasiswa, 44
administrator, dan lain-lain harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hak dan tanggung jawab mereka. Tanggung jawab di perguruan tinggi diwujudkan dalam sejumlah cara yang berbeda baik di dalam maupun di luar institusi perguruan tinggi. Dalam beberapa kasus melibatkan kemitraan dengan masyarakat dan program diarahkan dengan melibatkan siswa dan masyarakat. Dalam kasus lain melibatkan orientasi kurikulum atau fokus umum program akademik terhadap penyelesaian masalah masyarakat, seperti misalnya kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Tanggung jawab universitas terhadap masyarakat dan lingkungan akhir-akhir ini dikenal dengan sebutan tanggung jawab sosial universitas yang didefinisikan oleh Domínguez Pachon (2009) dalam Giuffré & Ratto (2014:233), sebagai kemampuan dari universitas untuk menyebarkan dan menerapkan seperangkat prinsip umum dan nilai-nilai tertentu, dengan menggunakan empat proses kunci, yaitu: Manajemen, Pengajaran, Penelitian, dan Penyuluhan, melalui penyediaan layanan pendidikan dan mentransfer pengetahuan berikut prinsip-prinsip etika, tata kelola yang baik, menghormati lingkungan, keterlibatan sosial dan promosi nilai-nilai. Universitas memiliki dampak langsung pada masa depan dunia bukan saja untuk pelatihan profesional dan pelatihan kepemimpinan, tetapi juga membentuk aktor sosial yang dapat mempromosikan pendidikan siswa sesuai dengan realitas sosial eksternal, dan membuat pengetahuan dapat diakses oleh semua orang. Oleh karena itu, Reiser (2008) dalam Vasilescu et
al. (2010:4178) berpendapat, bahwa konsep tanggung jawab sosial universitas adalah tentang kebutuhan untuk memperkuat komitmen kewarganegaraan yang aktif. Hal ini menyangkut tentang relawan, sekitar pendekatan etis, mengembangkan rasa kewarganegaraan sipil dengan mendorong siswa dan staf akademik untuk memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat setempat atau untuk mempromosikan ekologi, komitmen untuk pembangunan lingkungan berkelanjutan secara lokal dan global. 45
Dalam konteks yang lebih luas, Chile and Black (2015:235) berpendapat, bahwa konsep tanggung jawab sosial universitas meliputi bagaimana universitas mengatasi masalah sosial-ekonomi, politik dan lingkungan masyarakat. Hal ini juga mencakup introspeksi pada proses internal universitas dan lingkungan. Bagaimana komunitas universitas, mahasiswa, staf, dan struktur administrasi mengelola dampak lingkungan yang dihasilkan oleh universitas. Prinsip responsibilitas yang diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial universitas sebagaimana diuraikan di atas, mengharuskan lembaga pendidikan tinggi selalu memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya di tempat-tempat di mana pendidikan tinggi berada. Karena aktivitas universitas terkait dengan pendidikan dan penelitian yang secara langsung dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, maka tanggung jawab universitas dapat diwujudkan dengan membantu perkembangan perilaku kewirausahaan dan tanggung jawab sosial siswa. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh universitas tidak hanya melalui proyek-proyek pengembangan masyarakat, tetapi juga melalui program dan kursus yang mendidik orang-orang muda terkait dengan bagaimana caranya menjadi peserta aktif dalam proses membuat perubahan sosial yang positif.
2.3.2.4. Prinsip Keadilan Hak atas pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia. Pendidikan harus diarahkan untuk pengembangan penuh kepribadian manusia dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh semua orang atas dasar kapasitas dan dengan segala cara yang layak. Peran negara dalam konteks pendidikan adalah menjamin keberlangsungan pendidikan bagi warga negaranya. Negara juga harus menjamin hak setiap warga negara tanpa kecuali untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Di Indonesia jaminan pendidikan tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 46
yang menyatakan, warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karena itu, negara harus memberikan akses yang terbuka kepada setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan. Akses pendidikan berarti hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan secara adil dan merata. Keadilan dipromosikan melalui dua prinsip dasar, yaitu: Ekuitas di mana semua pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan mereka, dan Peraturan hukum di mana hukum harus ditegakkan dan memihak kepada semua. Menurut Field et al. (2007:11) ekuitas dalam pendidikan memiliki dua dimensi. Pertama adalah keadilan, yang pada dasarnya memastikan bahwa keadaan pribadi dan sosial -misalnya jenis kelamin, status sosial-ekonomi atau etnik- seharusnya tidak menjadi halangan untuk mencapai potensi pendidikan. Kedua adalah inklusi yang memastikan standar dasar minimum pendidikan untuk semua orang, misalnya bahwa setiap orang harus bisa membaca, menulis dan berhitung secara sederhana. Ditambahkan oleh Zhang et.al. (2014:2), bahwa dimensi keadilan dalam pemerataan pendidikan mengacu pada isu-isu kesempatan yang sama terhadap pendidikan, termasuk daerah, desa-kota, kelas sosial, gender dan etnis. Sedangkan dimensi inklusi dalam ekuitas pendidikan terutama membahas isu-isu hak yang sama untuk pendidikan, yang menunjukkan bahwa desain sistem pendidikan harus memastikan semua orang memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Dengan demikian ekuitas dalam pendidikan berarti memberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan terlepas dari umur, jenis kelamin, warna kulit, latar belakang sosial, latar belakang agama atau etnis, tempat tinggal, pendidikan keluarga atau kondisi keuangan keluarga. Oleh karena itu ekuitas dalam pendidikan harus dipahami pada tingkat sistem dengan menggunakan perspektif nasional berdasarkan peraturan perundangundangan, dan pada tingkat individu mengadaptasi pendidikan dengan kemampuan dan bakat individu. 47
Sejalan dengan hal di atas, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) bahwa, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c) mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d) mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e) pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; dan f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Atas dasar kedua pasal di atas, maka setiap warga negara sepenuhnya mendapatkan perlindungan hukum yang sangat kuat untuk memiliki akses yang sama terhadap pendidikan bermutu, dan berhak mendapat pemenuhan hak yang sama atas layanan pendidikan yang bermutu. Lebih jelasnya bahwa setiap warga negara telah mendapatkan jaminan hukum dalam mengakses pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Dengan terciptanya keadilan dalam masyarakat untuk memperoleh pendidikan, maka diharapkan melalui pendidikan setiap individu dapat meningkatkan kualitas hidupnya sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Karena pendidikan merupakan 48
alat untuk memperbaiki keadaan sekarang dan juga hari depan yang lebih baik, sebagaimana diungkapkan oleh Woessmann dan Schütz (2006); Field, Kuczera dan Pont (2007); dan Faubert (2012) dalam
OECD (2012:15),
bahwa sistem pendidikan yang adil dapat memperbaiki efek kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Dalam konteks pembelajaran, memungkinkan setiap individu untuk mengambil keuntungan penuh dari pendidikan dan pelatihan terlepas dari latar belakang mereka.
2.3.2.5. Prinsip Independensi Prinsip independensi dalam konteks pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia dapat dianalogikan dengan pemberian otonomi kepada perguruan tinggi di Indonesia yang saat ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menentukan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi ditegaskan lagi di dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2004:7) menjelaskan, bahwa pemberian otonomi kepada perguruan tinggi sebagaimana diatur di dalam kedua undang-undang di atas bertujuan agar organisasi perguruan tinggi menjadi organisasi yang sehat dan mampu menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu, efisien, produktif, dan akuntabel terhadap stakeholder-nya. Otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, akan tetapi juga otonomi dalam mengelola sendiri institusinya seperti pengelolaan pegawai, 49
pengelolaan keuangan, kerjasama, pengelolaan aset, pengembangan usaha, dan sebagainya. Hal ini selaras dengan pendapat Ekundayo dan Adedokun (2009:62) yang mendefinisikan otonomi perguruan tinggi sebagai pemberian kebebasan kepada universitas untuk memerintah diri mereka sendiri, menunjuk pejabat kunci, menentukan kondisi pelayanan staf, mengontrol penerimaan mahasiswa dan kurikulum akademik, mengontrol keuangan, dan umumnya mengatur dirinya sendiri sebagai badan hukum independen tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari pemerintah dan lembagalembaganya. Konsep otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi sebagaimana disebutkan di atas, menurut Varghese dan Martin (2013:18), menyiratkan adanya kebebasan dan otoritas perguruan tinggi untuk memainkan peran dan berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat dalam kerangka yang disediakan oleh otoritas publik. Oleh karena itu, otonomi perguruan tinggi perlu ditangani dalam konteks peran perguruan tinggi yang dirasakan dan disepakati dalam masyarakat. Otonomi kelembagaan dapat dibenarkan jika itu adalah kondisi yang diperlukan untuk memungkinkan perguruan tinggi memainkan peran mereka dalam pengajaran, penelitian, dan layanan lainnya yang diberikan kepada masyarakat. Otonomi perguruan tinggi dari sudut pandang ini dapat didefinisikan sebagai kebebasan lembaga untuk menjalankan urusannya sendiri tanpa kontrol langsung atau pengaruh dari pemerintah.
Centre Européen pour l’Enseignement Supérieur2) (1992:35) menjelaskan,
bahwa
otonomi
merupakan
karakteristik
dari
proses
pengambilan keputusan. Setiap perguruan tinggi harus membuat keputusan sendiri mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, penelitian dan pengajaran, pendidikan umum dan spesialisasi, berbagai tingkat profesionalisme dan formalisme, tradisi dan inovasi, keterbukaan dan
2)
Centre Européen pour l’Enseignement Supérieur (CEPES) = European Centre for Higher Education.
50
kurungan, ortodoksi dan sikap kritis. Diantara berbagai kendala yang mengatur parameter dari kapasitas pengambilan keputusan perguruan tinggi, masalah utama yang memerlukan solusi cerdas dan fleksibel adalah harmonisasi kebijakan perguruan tinggi dengan kebijakan umum otoritas publik dan pengelolaan sumber daya yang terbatas. Terkait dengan proses pengambilan keputusan, Fumasoli, Gornitzka, dan Maassen (2014:6) menambahkan, bahwa otonomi bukan hanya berbicara soal kompetensi untuk mendelegasikan pengambilan keputusan sepanjang garis hirarki komando antara kementerian yang bertanggung jawab dan universitas sebagai bawahan. Otonomi juga tidak hanya soal mengganti kontrol negara atas kegiatan perguruan tinggi dengan dependensi pasar. Namun, otonomi merupakan sebuah titik awal yang lebih elementer, bahwa sifat otonomi berkaitan erat dengan peran perguruan tinggi dalam masyarakat. Perguruan tinggi menikmati status khusus karena tradisi, sejarah dan nilai-nilai yang diwakilinya dalam masyarakat. Status khusus perguruan tinggi harus dikaitkan dengan akuntabilitas, karena relevansi akuntabilitas telah berkembang sejajar dengan pentingnya otonomi institusi dalam interpretasi konsep organisasi sektor publik. Hubungan akuntabilitas tidak hanya mencakup sarana manajerial, tapi mencakup kontrak sosial yang mendefinisikan harapan bersama dan hubungan antara perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, juga mengisyaratkan adanya kemandirian dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Kemandirian ini diperlukan untuk menjamin adanya inovasi dan kreativitas. Dengan otonomi, perguruan tinggi bebas untuk menunjuk dosen dan membuat keputusan tentang promosi. Perguruan tinggi juga bebas untuk memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya tambahan untuk memenuhi kebutuhan institusi. Setiap perguruan tinggi memiliki 51
peraturan sendiri yang menjelaskan fungsi berbagai organ dalam lembaga seperti Dewan Pengurus Yayasan, Rektorat, Senat, dan sebagainya. Dalam konsep corporate governance, kemandirian ini diwujudkan dalam prinsip independensi. Kemandirian atau independensi merupakan komponen penting untuk menghindari pengaruh kepentingan dan bebas dari segala kendala yang akan mencegah diambilnya tindakan yang tepat. Ini adalah kemampuan untuk “berdiri terpisah” dari pengaruh yang tidak pantas agar dapat membuat keputusan yang benar dan tidak terkontaminasi pada suatu masalah. Dalam kerangka corporate governance maupun university
governance, kemandirian penting dalam berbagai konteks. Perguruan tinggi harus memiliki kemandirian atau independensi dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian pada masyarakat, kerja sama, serta aktivitas lain yang berkaitan, tanpa intervensi pihak lain. Seluruh sivitas akademika di perguruan tinggi memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari pihak manapun. Namun demikian, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2004:8) menegaskan, bahwa penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi bukan berarti perguruan tinggi dapat dengan bebas mengelola dan mengatur institusinya tanpa kendali. Pengelolaan perguruan tinggi yang otonom memerlukan tata kelola yang mendahulukan prinsip good
governance, yaitu menjaga
keseimbangan
antara
otonomi
dengan
akuntabilitas dan transparansi kepada seluruh sivitas akademika, pemegang kebijakan, serta masyarakat luas. Otonomi, ketika dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan akuntabilitas, dapat dipastikan
akan menyebabkan
keunggulan di bidang akademik, tata kelola dan manajemen keuangan dari lembaga.
52
2.4. Tri Hita Karana Sebagai Kearifan Lokal Haba (2007) mendefinisikan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mempertebal kohesi sosial. Definisi ini menegaskan bahwa kearifan lokal merupakan acuan masyarakat dalam berperilaku yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berkenaan dengan tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia. Kearifan lokal dalam ruang interaksi masyarakat tidak terlepas dari fungsi kearifan lokal sebagai pandangan hidup, kepercayaan, atau ideologi yang diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak, pepatah, atau adat istiadat. Konsep demikian sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau penyaring iklim global yang melanda kehidupan manusia. Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, yang dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran tentang hidup yang dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, sikap, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Dengan demikian kearifan lokal dapat dijadikan sebagai media untuk membangun kehidupan harmonis dalam masyarakat. Implementasi kearifan lokal didasarkan kepada perkembangan budaya dan kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu agar nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal mudah diterima oleh masyarakat. Implikasi nilai kearifan lokal telah menjadi acuan kehidupan bermasyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal, menurut Geertz (1992), adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal merupakan unsur budaya tradisional yang berakar dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang terkait dengan sumber daya manusia, sumber budaya, ekonomi, keamanan dan hukum. Kearifan lokal 53
dapat dilihat sebagai tradisi yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, peternakan, membangun rumah, dll. Kebudayaan Bali sebagai hasil karya fisik etnik Bali merupakan wujud kreativitas akal dan budi yang terpola dan memuat sistem nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling berkaitan dan melekat pada lingkungan etnis Bali yang diyakini kebenarannya dan teruji dalam sejarah sehingga dianggap bernilai, berharga, penting, dan berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan masyarakat atau disebut juga dengan orientasi nilai budaya. Nilainilai moral sebagaimana disebutkan tadi dapat dipahami sebagai konsep kearifan lokal (local genius/local traditional wisdom). Salah satu bentuk atau model kearifan lokal Bali adalah Tri Hita
Karana yang mengusung harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Konsep Tri Hita Karana ini sesuai dengan pendapat Afif (2009) yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai seperangkat sistem nilai, norma dan tradisi yang dijadikan sebagai acuan bersama oleh suatu kelompok sosial dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam. Berikut akan diuraikan tentang Tri
Hita Karana.
2.4.1. Ideologi Tri Hita Karana Menurut Wirawan (2011) istilah Tri Hita Karana muncul pertama kali pada tanggal 11 November 1966 pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah I Badan Perjuangan Umat Hindu Bali. Sejak saat itu istilah Tri Hita
Karana mulai berkembang dan memasyarakat. Secara etimologis, istilah Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta terdiri dari kata Tri berarti tiga, Hita berarti sejahtera, dan Karana berarti penyebab. Jadi Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kesejahteraan, meliputi unsur hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam lingkungan (palemahan). Perpaduan ketiga unsur tersebut secara harmonis merupakan landasan 54
terciptanya hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah dan bitiniah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebudayaan Bali menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi hubungan manusia
dengan
Tuhan
(parhyangan),
hubungan
sesama
manusia
(pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ideologi Tri Hita Karana. Ideologi Tri Hita Karana, menurut Sudira (2011:65), mengajarkan bahwa kehidupan bersumber atau disebabkan oleh adanya tiga unsur utama yaitu: (1) jiwa/atma ; (2) fisik/angga; dan (3) tenaga/prana. Ketiga unsur kehidupan ini, yaitu: jiwa, fisik, dan tenaga adalah Tri Hita Karana. Kebahagiaan atau keharmonisan (hita) dapat terwujud jika ada tiga penyebab (tri karana) yaitu jiwa, fisik, dan tenaga. Hilangnya salah satu dari ketiga penyebab kebahagiaan ini akan menghilangkan kebahagiaan itu. Konsep Tri
Hita Karana mengandung makna bagaimana mencari keharmonisan dengan tidak semata-mata mencari materi, namun bagaimana tujuan hidup untuk mendapatkan kebahagian yang kekal. Dalam pendekatan stakeholder, konsep Tri Hita Karana
dapat
dipahami sebagai sistem yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya, sehingga tercipta tata hubungan yang harmonis, yang menyebabkan manusia dapat mencapai tujuan hidup yang bahagia dan sejahtera.
2.4.2. Dimensi Tri Hita Karana Dimensi Parhyangan mencerminkan kewajiban manusia yang harus menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan. Arti dari dimensi ini, menurut Sudira (2011), adalah manusia memahami keberadaan Tuhan, melaksanakan kinerja hidup dan bagaimana orang bisa mempersiapkan fasilitas yang memadai untuk melaksanakan kegiatan Tuhan. Dimensi ini menunjukkan integritas manusia dalam hidupnya untuk selalu bertindak sesuai dengan 55
aturan dan norma-norma agama. Kesetiaan, ketaatan, bertanggung jawab, adil, dan jujur menjadi suatu keharusan, sehingga dalam menjalankan aktivitas universitas semua pihak harus taat terhadap segala aturan dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, bertanggung jawab terhadap semua kewajibannya, adil dalam mengambil keputusan, dan jujur dalam memberikan informasi berdasarkan kebenaran. Dimensi Pawongan mengatur hubungan manusia dengan sesama, dalam artian bahwa setiap individu harus dapat menjaga keharmonisan hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Dalam menjaga keharmonisan tidak dibenarkan untuk menunjukkan sikap yang membedabedakan berdasarkan derajat, agama, ataupun suku. Segala bentuk kegiatan harus menghormati hak-hak setiap individu. Setiap individu berhak dan layak memperoleh hak dan kewajiban yang sama untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu manajemen harus transparan untuk mendorong partisipasi dari semua kegiatan sumber daya aktif (Sudira, 2011) . Selanjutnya Sudira (2011)menjelaskan, agar hubungan antar sesama tetap harmonis diperlukan toleransi yang tinggi dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Setiap individu harus bertindak sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bersikap jujur sesuai dengan keadaan sebenarnya, adil, dan bertanggung jawab harus dimiliki oleh setiap individu. Hubungan atau relasi sosial ini bersifat kodrati. Oleh karena itu, relasi sosial harus dijaga agar selalu dapat terjalin harmonis karena manusia itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk menjaga agar relasi sosial tetap terjalin dengan baik setiap orang hendaknya memilki sifat halus dan rendah hati yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi verbal maupun non verbal. Hal ini dimaksudkan agar setiap tutur kata dan tindakannya dapat membuat berkenan orang lain. Inilah hakikat relasi sosial. Dimensi Palemahan mencerminkan hubungan yang seimbang dengan lingkungan. Tujuan Tri Hita Karana sebagai sistem bisnis yang berlandaskan budaya adalah pencapaian bisnis yang berkelanjutan yang 56
tidak terpengaruh hanya pada upaya untuk mencari keuntungan maksimal dengan cara apapun, akan tetapi sistem tujuan bisnis Tri Hita Karana dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Koentjaraningrat (2008) menekankan bahwa manusia bisa bertindak dengan menguasai lingkungan, tunduk kepada lingkungan, atau bertindak serasi dan harmonis dengan lingkungan. Atas dasar alasan tersebut, menurut Riana (2011), para pelaku bisnis di Bali berkewajiban mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan berdasarkan konsep Tri Hita Karana. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan aktivitas bisnis sesuai dengan tujuan dan kaidah nilai-nilai budaya dan agama sehingga segala hasil yang didapat (artha) dilandasi oleh nilai-nilai dharma. Pandangan masyarakat Bali yang dilandasi oleh kepercayaan bahwa menutupi kebenaran dengan jalan tidak jujur merupakan perbuatan yang akan merusak keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam sekitar (palemahan) mendorong munculnya sikap terbuka dan jujur yang sangat penting untuk pelaksanaan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi (otonomi). Ideologi Tri Hita Karana sebagai sintesa pemikiran mendasar masyarakat Bali tentang konsep hidup mencapai kesejahteraan, keharmonisan bersama diantara sesama manusia dan lingkungan menyediakan nilainilai universal terhadap tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai dan budaya organisasi. Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam konsep Tri Hita
Karana adalah: 1) Dimensi Parhyangan: kesetiaan, ketaatan, tanggung jawab, adil, disiplin, dan jujur. 2) Dimensi Pawongan: kesetaraan, tidak dibenarkan me-nunjukkan sikap yang membeda-bedakan berdasarkan derajat, agama, ataupun suku. Segala bentuk kegiatan harus menghormati hak-hak setiap individu. 3) Dimensi Palemahan, menjaga keseimbangan pelaksanaan aktivitas bisnis sesuai dengan tujuan dan kaidah nilai-nilai budaya dan agama sehingga segala hasil yang didapat (artha) dilandasi oleh nilai-nilai
dharma. 57
2.4.3. Indikator Pengukuran Tri Hita Karana Organisasi dapat dikatakan merupakan salah satu unit di dalam masyarakat. Selama pembentukan dan pengembangan, organisasi akan dipengaruhi oleh suatu budaya di mana organisasi itu beroperasi. Demikian pula dengan perguruan tinggi yang ada di Bali. Dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, perguruan tinggi yang ada di Bali akan dipengaruhi oleh falsafah Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal di Bali. Dalam upaya menemukan karakteristik dari Tri Hita Karana yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari
pada
lembaga
universitas,
perlu
ditentukan
indikator
pengukuran yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan penilaian. Indikator pengukuran nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi Tri Hita Karana disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2.2. Indikator Pengukuran Tri Hita Karana Lembaga Universitas Dimensi Parhyangan
Indikator Pengukuran Punya tempat suci (pura) dan fasilitas keagamaan lainnya Bangunan tempat suci di utamaning utama mandala Tempat suci terawat dengan baik Ada simbol-simbol agama dan benda sakral yang ditempatkan sesuai dengan ketentuan sastra agama Menyelenggarakan hari raya keagamaan
Pawongan
Seluruh civitas akademika mendapatkan kesempatan secara proporsional melaksanakan kegiatan keagamaan Pengadaan dan pembuatan sarana/prasarana upakara serangkaian dengan upacara keagamaan dilakukan di kampus Ada kepedulian terhadap hak-hak dosen, pegawai non dosen, dan mahasiswa Ada kegiatan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, misalnya kursus, seminar, sarasehan, lokakarya dan sejenisnya. Tugas dosen dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku Ada sanski bagi dosen/pegawai yang indisipliner Ada partisipasi dosen/pegawai dalam kegiatan kemanusiaan. Memberikan pelayanan administrasi/ akademik yang optimal bagi mahasiswa
58
Indikator Pengukuran
Dimensi Palemahan
Memiliki program penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Memanfaatkan lahan secara efisien dan melakukan konservasi lahan dengan baik. Lingkungan kampus memiliki keanekaragaman flora yang tinggi Melestarikan tanaman langka/dilindungi Memiliki tanaman yang mencerminkan unsur-unsur panca mahabuta Memiliki serta menerapkan sistem Manajemen Lingkungan Struktur Kampus harus sesuai dengan tri angga
Sumber: PedomanTHK Yayasan Tri Hita Karana, 2015.
2.5. Teori Stakeholder 2.5.1. Pengertian Latar belakang munculnya manajemen pemangku kepentingan adalah untuk membangun kerangka yang responsif terhadap keprihatinan manajer yang sedang menghadapi perubahan lingkungan yang sangat cepat. Ketika kerangka strategi tradisional sudah tidak dapat lagi membantu manajer untuk mengembangkan arah strategi yang baru dan tidak dapat lagi membantu manajer untuk memahami bagaimana menciptakan peluang baru di tengah-tengah begitu banyak perubahan, pendekatan stakeholder merupakan tanggapan terhadap tantangan ini. Teori stakeholder, atau teori pemangku kepentingan, diperkenalkan pertama kali oleh R. Edward Freeman pada tahun 1984. Perspektif pemangku kepentingan dalam tata kelola perusahaan, menurut Maassen (2002:13), berangkat dari asumsi yang mendasari perspektif pemegang saham dalam tata kelola perusahaan (corporate governance). Perspektif ini melihat perusahaan sebagai entitas tertinggi dimana berbagai pihak memiliki kepentingan yang sah. Dengan demikian, perspektif ini juga mengakui kepentingan stakeholder selain pemegang saham yang perlu dilindungi oleh dewan direksi perusahaan. Sejalan dengan pandangan ini, Hult et al. (2011:48) berpendapat, bahwa teori stakeholder memandang perusahaan sebagai suatu entitas organisasi melalui mana sejumlah aktor yang berbeda 59
(yaitu, stakeholder) mencapai beberapa tujuan. Mengingat kepentingan dan harapan yang berbeda dari berbagai pemangku kepentingan, perusahaan tidak mungkin untuk memenuhi semua tuntutan masing-masing kelompok pemangku kepentingan. Untuk itu, teori stakeholder dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci, "kelompok stakeholder mana yang layak atau yang memerlukan perhatian dari manajemen, dan mana yang tidak?". Dengan demikian, pengambilan keputusan manajerial adalah jantung dari teori ini. Menurut penjelasan Freeman et al. (2010:9), teori stakeholder merupakan suatu teori tentang bagaimana bisnis dapat bekerja dengan cara yang terbaik. Teori stakeholder adalah tentang penciptaan nilai dan perdagangan, dan bagaimana mengelola bisnis secara efektif. Kata "efektif" dapat dilihat sebagai "membuat nilai sebanyak mungkin." Didalam teori stakeholder tidak berarti bahwa wakil dari kelompok-kelompok harus duduk di dewan yang mengatur perusahaan, juga tidak berarti bahwa pemegang saham tidak memiliki hak. Tetapi teori stakeholder menyiratkan bahwa kepentingan berbagai kelompok secara bersama-sama akan menciptakan nilai. Jadi fokus teori stakeholder pada bagaimana nilai akan dibuat untuk setiap stakeholder.
Oleh karena itu tanggung jawab utama dari
eksekutif adalah untuk menciptakan nilai sebanyak mungkin bagi para stakeholder. Apabila terjadi konflik kepentingan stakeholder, maka eksekutif harus menemukan cara agar kepentingan-kepentingan ini bisa berjalan bersama-sama, sehingga dapat dibuat nilai lebih untuk setiap stakeholder. Jika trade-off harus dibuat, maka eksekutif harus mencari cara untuk membuat trade-off, dan segera mulai meningkatkan trade-off untuk semua pihak. Pendekatan stakeholder untuk bisnis adalah tentang menciptakan nilai sebanyak mungkin bagi para stakeholder tanpa menggunakan trade-off (Freeman et al., 2010:28). Ide dasar dari menciptakan nilai bagi stakeholder sebenarnya cukup sederhana. Bisnis dapat dipahami sebagai seperangkat hubungan antara 60
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam kegiatan yang membentuk bisnis. Sedangkan bisnis adalah tentang bagaimana pelanggan, pemasok, karyawan, pemodal (pemegang saham, pemegang obligasi, bank, dll), masyarakat, dan manajer berinteraksi dan menciptakan nilai. Dengan demikian untuk memahami bisnis adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan yang terjadi antara pelanggan, pemasok, karyawan, pemodal, masyarakat dan manajer ini bekerja dan menciptakan nilai. Pekerjaan eksekutif atau pengusaha adalah untuk membentuk dan mengelola hubungan ini (Freeman et al., 2010:24). Pemilik atau pemodal memiliki kepentingan keuangan dalam bisnis dalam bentuk saham, obligasi, dan sebagainya, dan pemodal mengharapkan semacam pengembalian keuangan mereka. Kemudian karyawan memiliki pekerjaan dan sebagai imbalan atas kerja yang telah dilakukan, seorang karyawan mengharapkan keamanan, upah, tunjangan, dan pekerjaan yang berarti. Seringkali, karyawan juga diharapkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan organisasi. Sehingga karyawan memikul banyak tanggung jawab untuk pelaksanaan organisasi secara keseluruhan. Karyawan kadang-kadang juga sebagai pemodal, karena banyak perusahaan memiliki rencana kepemilikan saham, dan bagi karyawan yang loyal dan percaya akan masa depan perusahaan, sering secara sukarela ikut berinvestasi. Pelanggan dan pemasok melakukan pertukaran sumber daya untuk produk dan jasa perusahaan, dan sebagai imbalannya akan menerima manfaat dari produk dan jasa yang dipertukarkan. Seperti pemodal dan karyawan, pelanggan dan pemasok terperangkap dalam hubungan etika. Perusahaan membuat janji-janji kepada pelanggan melalui iklan, dan ketika produk atau jasa tidak memberikan janji-janji tersebut, maka manajemen memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki situasi. Hal ini juga penting untuk memiliki pemasok yang berkomitmen untuk membuat perusahaan menjadi lebih baik.
61
Akhirnya, masyarakat setempat memberikan hak kepada perusahaan untuk membangun fasilitas. Pada gilirannya, manfaat yang timbul dari hak yang diberikan oleh masyarakat itu merupakan basis dari pajak dan kontribusi ekonomi dan sosial dari perusahaan. Perusahaan memiliki dampak nyata pada masyarakat, dan terletak di sebuah komunitas yang membantu perusahaan menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan lainnya. Sebagai imbalan untuk penyediaan layanan lokal ini, perusahaan diharapkan menjadi warga negara yang baik. Sehingga perusahaan tidak layak menempatkan masyarakat kedalam bahaya yang tidak masuk akal, misalnya dalam bentuk polusi, limbah beracun, dan sebagainya. Perusahaan harus tetap menjaga komitmen untuk masyarakat, dan sejauh mungkin beroperasi secara transparan. Tentu saja, perusahaan tidak memiliki pengetahuan yang sempurna, tapi ketika manajemen menemukan beberapa bahaya atau berjalan bertabrakan dengan kompetisi baru, diharapkan manajemen menginformasikan dan bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk sejauh mungkin mengurangi efek negatif. Dalam konsep corporate governance, Business Roundtable (2012:32) menjelaskan, bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk menjadi warga negara yang baik dari masyarakat lokal, nasional dan internasional di mana perusahaan melakukan bisnis. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban ini dapat mengakibatkan kerusakan korporasi, baik dari segi ekonomi langsung dan nilai reputasi jangka panjang. Sebuah perusahaan harus menjadi warga negara yang baik dan memberikan kontribusi kepada masyarakat di mana perusahaan beroperasi dengan membuat kontribusi amal dan mendorong direksi, manajer dan karyawan untuk membentuk hubungan dengan komunitas tersebut. Sebuah perusahaan juga harus aktif dalam mempromosikan kesadaran kesehatan, isu-isu lingkungan, keselamatan dan termasuk masalah apapun yang berhubungan dengan jenis tertentu dari bisnis di mana perusahaan bergerak. Dengan kata lain, sementara perusahaan sibuk menetapkan tujuan, sasaran dan strategi untuk mencapai tujuan, perusahaan harus mengakui bahwa aktivitas itu dilakukan dalam suatu lingkungan yang 62
mengharuskan perusahaan untuk beroperasi dengan cara seperti itu dengan esensi tidak akan mengganggu. Oleh karena itu diyakini bahwa keterlibatan sosial akan menciptakan citra publik yang menguntungkan. Sebagai konsekuensinya, perusahaan harus bertanggung jawab secara sosial agar perusahaan dapat beroperasi dengan sukses tanpa menimbulkan gesekan dengan masyarakat di mana perusahaan beroperasi. Secara keseluruhan, menurut Hult et al. (2011:48), logika teori stakeholder bersandar pada empat asumsi yang menggambarkan hubungan antara perusahaan dan lingkungannya. Pertama, perusahaan memiliki hubungan dengan banyak pemangku kepentingan yang memiliki hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda. Masing-masing pemangku kepentingan tersebut memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kinerja perusahaan. Deskripsi ini menegaskan bahwa pertukaran sosial dapat dan memang terjadi dengan para pemangku kepentingan. Kedua, perusahaan pada dasarnya dijalankan oleh manajer perusahaan, karena manajer perusahaan yang membuat sebagian besar keputusan strategis bagi organisasi. Mengingat peran dari manajer untuk membuat keputusan dan mengalokasikan
sumber
daya
yang
membahas
tuntutan
kelompok
stakeholder lainnya, maka manajer juga dapat dilihat sebagai agen stakeholder lainnya. Ketiga, kepentingan yang berbeda dari perusahaan dan stakeholder mengakibatkan potensi konflik. Jika kepentingan ini adalah selaras, maka manajer tidak perlu khawatir tentang persaingan tuntutan diantara stakeholder. Jika stakeholder memiliki tuntutan, ini menunjukkan adanya kegiatan atau keterlibatan yang menciptakan hubungan pertukaran. Terakhir, perusahaan yang ada di pasar ditandai dengan kecenderungan ke arah equilibrium. Tekanan kompetitif di pasar dapat memiliki efek pada perilaku. Diungkapkan oleh Freeman dan McVea (2016), ide stakeholder atau manajemen pemangku kepentingan, atau pendekatan stakeholder untuk manajemen strategis, menunjukkan bahwa manajer harus merumuskan dan 63
menerapkan proses yang memenuhi semua kelompok yang memiliki kepentingan dalam bisnis. Tugas utama dalam proses ini adalah untuk mengelola dan mengintegrasikan hubungan dan kepentingan pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, masyarakat dan kelompok lainnya dengan cara yang menjamin keberhasilan jangka panjang perusahaan. Sebuah pendekatan stakeholder menekankan manajemen aktif dari lingkungan bisnis, hubungan dan promosi kepentingan bersama. Donaldson dan Preston (1995:69) menyebutkan tiga pendekatan untuk teori stakeholder yang berbeda namun saling mendukung, yaitu pendekatan deskriptif/empiris (bagaimana perusahaan berhubungan dengan para pemangku kepentingan), normatif
(bagaimana perusahaan harus
berhubungan dengan para pemangku kepentingan?), dan instrumental (apa yang terjadi jika perusahaan berhubungan dengan para pemangku kepentingan dalam cara-cara tertentu?). Pendekatan deskriptif/empiris berfokus pada perilaku aktual perusahaan.
Pendekatan
ini
berusaha
untuk
menggambarkan
dan
menjelaskan bagaimana perusahaan benar-benar berinteraksi dengan para pemangku kepentingan. Pendekatan ini telah menunjukkan bahwa perusahaan secara proaktif membahas kepentingan dari para stakeholder yang dianggap penting untuk kesejahteraan perusahaan karena potensi stakeholder untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Dengan demikian, menurut pendekatan deskriptif/empiris, perusahaan mempertimbangkan kelompok pemangku kepentingan tertentu menjadi lebih penting daripada yang lain (Donaldson dan Preston, 1995:75). Pendekatan normatif adalah preskriptif
karena mengidentifikasi
pedoman moral yang menentukan bagaimana perusahaan harus memperlakukan pemangku kepentingan. Etika bisnis telah merangkum teori stakeholder sebagai teori etika yang berurusan dengan alternatif memaksimalkan keuntungan pemegang saham. Salah satu prinsip utama dari pendekatan ini adalah bahwa perusahaan harus hadir untuk klaim semua 64
pemangku kepentingan, tidak hanya untuk kepentingan para pemegang saham saja. Namun, fokus sering ditempatkan pada kepentingan relatif dari kewajiban etis untuk kelompok pemangku kepentingan yang berbeda. Pendekatan normatif ini berkaitan dengan tujuan organisasi dan bagaimana seharusnya menjadi bagian yang bertanggung jawab dari proses, lembaga, dan masyarakat pada umumnya (Donaldson dan Preston, 1995:81). Pendekatan instrumental untuk teori stakeholder dimaksudkan untuk menggambarkan apa yang akan terjadi jika perusahaan berperilaku dengan cara tertentu. Pendekatan ini menyediakan kerangka kerja untuk meneliti hubungan (mencakup proses, struktur, dan praktik yang berhubungan dengan tujuan stakeholder) antara manajemen pemangku kepentingan dengan perusahaan seperti profitabilitas dan pertumbuhan. Pendekatan instrumental memprediksi bahwa perusahaan yang mampu berhubungan dengan para stakeholder perusahaan atas dasar saling percaya dan kerja sama akan mendapatkan keuntungan kompetitif dibanding perusahaan yang melakukan sebaliknya. Oleh karena itu, pendekatan instrumental menganggap bahwa tujuan akhir dari keputusan perusahaan adalah kinerja yang unggul, dan manajemen pemangku kepentingan merupakan cara untuk mencapai tujuan itu (Donaldson dan Preston, 1995:77). Clarkson (1995) berpendapat bahwa kelangsungan hidup dan kinerja perusahaan adalah fungsi dari kemampuan manajer untuk menciptakan kekayaan, nilai, atau kepuasan yang cukup bagi semua kelompok stakeholder utama, tanpa menguntungkan satu kelompok dengan me-ngorbankan orang lain. Teori stakeholder telah menjadi sebuah teori bisnis terkemuka. Teori stakeholder telah muncul sebagai narasi untuk memahami dan memperbaiki masalah bisnis yang saling terkait dengan (a) berpikir tentang bagaimana nilai dibuat dan diperdagangkan, (b) menghubungkan etika dan kapitalisme, dan (c) mengembangkan filosofi manajerial terkait dengan konseptualisasi tanggung jawab perusahaan.
65
2.5.2. Menciptakan Nilai Untuk Stakeholder Dikatakan oleh Freeman, bahwa teori stakeholder adalah tentang penciptaan nilai. Apa artinya perusahaan harus menciptakan nilai
untuk semua pemangku kepentingan perusahaan? Adam Smith (1776), sebagaimana dikutip oleh Harrison & Wicks (2013:99), memberikan setidaknya dua perspektif penting pada nilai. Pertama, nilai adalah sesuatu dimana individu harus menentukan untuk diri mereka sendiri dan tidak memungkinkan pemerintah atau orang lain untuk memilih ganti. Kedua, Adam Smith (1776) menekankan bahwa pasar yang sehat memungkinkan pelanggan untuk memilih apakah mereka akan membeli, dari siapa (yaitu, di antara sejumlah vendor potensial untuk item tertentu), dan di bawah persyaratan apa. Pasar seperti itu juga beroperasi untuk peran pemangku kepentingan lainnya, termasuk untuk pekerjaan (misalnya, untuk siapa saya akan bekerja, dengan persyaratan apa, untuk kompensasi apa). Individu cenderung membuat pilihan pada yang memberikan nilai paling baik. Ketika individu dapat menemukan kesepakatan, yaitu nilai yang lebih baik untuk apa yang individu berikan untuk itu, individu cenderung bergeser dari pilihan sebelumnya untuk kesepakatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Dengan demikian, jika perusahaan ingin sukses, perusahaan perlu menemukan cara untuk meningkatkan apa yang harus dilakukan untuk lebih menarik bagi pelanggan mereka. Dalam model stakeholder, Argandoña (2011:4) berpendapat, teori penciptaan nilai menyiratkan: 1) semua orang yang membuat nilai, atau yang dalam hubungan mereka dengan perusahaan menanggung risiko, baik di dalam perusahaan (pemilik, manajer, karyawan) atau di luar perusahaan (konsumen,
pemasok),
perusahaan
(masyarakat
atau
yang
setempat,
menderita lingkungan,
dampak
eksternalitas
generasi mendatang,
masyarakat luas), harus dipertimbangkan; 2) memaksimalkan nilai bagi konsumen dan penyedia sumber daya tidak cukup untuk menjamin optimalisasi sosial, karena ada pihak lain yang relevan untuk diper66
timbangkan, dan 3) dalam hubungan antara stakeholder dan perusahaan, ada variabel lain yang harus diperhitungkan selain pertukaran barang atau jasa untuk harga. Seperti apakah ada alternatif (alternatif yang membatasi kekuatan pasar), apakah disediakan informasi (termasuk sarana untuk mengolah dan menggunakannya secara rasional), apakah tersedia perlindungan terhadap eksternalitas negatif (dipengaruhi sarana untuk membela diri terhadap eksternalitas), dan sebagainya. Selanjutnya Argandoña (2011:5) mempertimbangkan pemberian nilai dari tiga sudut: 1) sebagai hasil dari negosiasi atau konfrontasi antara stakeholder dengan perusahaan, dan dalam beberapa kasus antara beberapa stakeholder dengan yang lain, masing-masing dengan kekuatan relatif mereka; 2) sebagai hasil dari strategi perusahaan untuk mencapai hasil ekonomi atau non-ekonomi dalam jangka panjang, dan 3) sebagai hasil dari tindakan yang berangkat dari pendekatan logika kekuasaan dan logika hadiah atau gratifikasi. Argandoña (2011:8) menyebutkan beberapa pandangannya tentang nilai sebagai: 1. Nilai ekstrinsik ekonomi (nilai ekonomi) yang diciptakan melalui kolaborasi antar karyawan. 2. Nilai ekstrinsik tidak berwujud yang disediakan oleh perusahaan. Misalnya, pengakuan, beberapa jenis pelatihan, dll. Nilai ekstrinsik bukan bagian dari nilai ekonomi yang diciptakan oleh sebuah perusahaan, meskipun mungkin merupakan bentuk partisipasi dalam nilai intangible (misalnya, status pribadi karena bekerja untuk sebuah perusahaan yang sangat dihormati). Nilai ekstrinsik tidak berwujud mungkin melengkapi nilai ekonomi (selain gaji, karyawan juga mengharapkan perusahaan memberikan pengakuan), atau pengganti untuk itu (pembedaan kehormatan bisa menjadi bentuk remunerasi), meskipun yang terakhir mungkin hanya sampai batas tertentu (pengakuan tidak bisa benar-benar mengambil tempat remunerasi). 3. Nilai intrinsik psikologis, seperti kepuasan dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini dihasilkan dalam agen sendiri. Nilai intrinsik 67
psikologis bukan bagian dari proses pembuatan sewa ekonomi dan tidak dapat diambil oleh perusahaan atau pemangku kepentingan lainnya, meskipun mereka dapat membantu untuk membuat atau menghancurkan nilai intrinsik psikologis. Dalam diri seorang karyawan, nilai intrinsik psikologis mungkin menjadi pengganti nilai ekstrinsik (selain kepuasan bekerja untuk perusahaan, karyawan akan membutuhkan minimal remunerasi). 4. Nilai intrinsik yang mengambil bentuk pembelajaran operasional (akuisisi pengetahuan dan kemampuan). Nilai intrinsik bukan bagian dari nilai ekonomi yang diciptakan oleh perusahaan, meskipun mungkin berkontribusi pada penciptaan nilai ekonomi di masa depan. Hal ini juga mungkin sebagai pengganti nilai ekonomi. 5. Nilai transenden, yang terdiri dari pembelajaran evaluatif (akuisisi kebajikan atau keburukan). Hal ini dihasilkan dalam diri agen sebagai konsekuensi dari keputusan sendiri. Nilai transenden mengubah kemampuan agen untuk menilai konsekuensi dari keputusan untuk dirinya sendiri dan untuk agen lainnya. Nilai transenden bukan bagian dari nilai ekonomi yang diciptakan oleh perusahaan; tidak dapat diambil oleh perusahaan; dan karyawan menciptakannya dalam diri mereka sendiri, bahkan jika mereka tidak mencari atau mengharapkan itu. Nilai transenden mempengaruhi kemampuan agen untuk membuat keputusan di masa depan yang mampu menghasilkan semua jenis nilai yang disebutkan di atas, hal itu mempengaruhi konsistensi tindakan. Oleh karena itu nilai transenden diperlukan dalam hubungan antara perusahaan dengan karyawan untuk mengembangkan cara yang menjamin bahwa kebutuhan semua orang terus dipenuhi di masa depan. Nilai transenden tidak bisa digantikan oleh jenis nilai lainnya. Nilai transenden milik lingkup etika. 6. Nilai yang terdiri dari eksternalitas positif atau negatif, yaitu nilai yang dirasakan oleh agen selain dengan siapa hubungan atau transaksi dilakukan. Misalnya, hubungan antara karyawan dan perusahaan dapat 68
mengakibatkan kerusakan pada lingkungan; atau mereka mungkin menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi orang lain; atau mereka dapat memotivasi orang lain untuk terlibat dalam tindak pidana korupsi (contoh buruk), dll. Jenis eksternalitas positif atau negatif tidak muncul secara langsung dalam hubungan antara perusahaan dan karyawan, namun mempengaruhi mereka. Nilai eksternalitas positif atau negatif dihasilkan selama proses pembelajaran evaluatif. Nilai yang diciptakan oleh perusahaan selalu berubah dari waktu ke waktu, sebagian besar karena inovasi dan perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan. Penciptaan nilai akan meningkat ketika inovasi yang dilakukan oleh perusahaan meningkatkan kemauan konsumen untuk membayar (misalnya,
ketika
perusahaan
meningkatkan
kualitas
produk)
atau
mengurangi biaya pasokan (misalnya sebagai hasil adopsi dari saluran distribusi alternatif seperti internet). 2.5.3. Siapa Yang Dimaksud Dengan Stakeholder? Freeman et al. (2010:30-31) mengungkapkan, kata stakeholder pertama kali muncul dalam literatur manajemen dalam memo internal di Stanford Research Institute (SRI) pada tahun 1963, ketika SRI mulai mencoba untuk secara sistematis memberikan cara kepada eksekutif dalam memahami perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis. Awalnya, stakeholder didefinisikan oleh SRI sebagai kelompok-kelompok yang tanpa dukungan organisasi akan lenyap. Dalam perkembangannya, stakeholder didefinisikan sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi (Freeman, 2013:364). Definisi kedua tampak lebih seimbang dan lebih luas daripada definisi SRI. Ungkapan "dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh" meliputi terlalu banyak kemungkinan. Ungkapan tersebut dapat diartikan sebagai individu dan kelompok dari luar organisasi yang mungkin menganggap dirinya sebagai pemangku kepentingan dari sebuah organisasi, tanpa organisasi mempertimbangkan bahwa mereka merupakan pemangku kepentingan 69
organisasi, atau ungkapan tersebut juga dapat diartikan semua individu yang berkontribusi, memproduksi, menerima dan berbagi "barang" dapat digolongkan sebagai stakeholder. Menanggapi hal di atas, Mitchell et al. (1997:854), mengidentifikasi pemangku kepentingan berdasarkan kepemilikan terkait dengan salah satu dari tiga atribut berikut: (1) kekuasaan stakeholder untuk mempengaruhi perusahaan, (2) legitimasi hubungan stakeholder dengan perusahaan, dan (3) urgensi klaim stakeholder pada perusahaan. Dengan kata lain, stakeholder dikatakan memiliki urgensi dalam situasi di mana permintaan stakeholder harus ditangani dalam waktu singkat oleh organisasi. Manajer akan memberikan prioritas rendah untuk klaim dari pihak yang memiliki satu atribut, prioritas moderat jika dua atribut, dan prioritas tinggi jika memiliki ketiga atribut. Kekuasaan mengacu pada sejauh mana seorang aktor dapat memaksakan kehendaknya. Dengan cara paksaan, atau dengan perbuatan yang mendatangkan mafaat, atau dengan cara normatif. Legitimasi didefinisikan sebagai persepsi umum atau asumsi bahwa tindakan yang diinginkan dari entitas, sudah tepat atau sudah sesuai dengan sistem sosial yang dibangun berdasarkan keyakinan, norma, dan nilai-nilai. Urgensi berkaitan dengan sejauh mana pemangku kepentingan menuntut perhatian dengan segera. Hal ini didasarkan pada sensitivitas waktu (misalnya, sejauh mana keterlambatan manajerial kepada stakeholder tidak dapat diterima) dan kekritisan (yaitu, pentingnya tuntutan kepada stakeholder). Besarnya perhatian yang diberikan oleh manajemen kepada stakeholder tertentu tergantung pada kombinasi dari atribut kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Mitchell et al. (1997:872) melakukan analisis secara kualitatif untuk mengklasifikasikan kelas pemangku kepentingan berdasarkan berbagai kombinasi atribut yang dimiliki oleh pemangku kepentingan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
70
Mitchell et al. (1997:872) memaparkan lay out kelas pemangku kepentingan yang muncul dari berbagai kombinasi dari atribut kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Logis dan konseptual. Terdapat tiga pemangku kepentingan memiliki masing-masing satu atribut, tiga pemangku kepentingan memiliki masing-masing dua atribut, dan satu pemangku kepentingan memiliki tiga atribut. Daerah 1, 2, dan 3, merupakan wilayah kelas rendah yang diberi istilah stakeholder "laten" dan diidentifikasi memiliki hanya satu atribut. Stakeholder yang cukup menonjol (daerah 4, 5, dan 6) diidentifikasi memiliki dua atribut, dan karena stakeholder ini merupakan pihak yang "mengharapkan sesuatu," maka diberi istilah
stakeholder ekspektan.
Kombinasi dari ketiga atribut (termasuk hubungan dinamis antara mereka) adalah ciri dari pemangku kepentingan yang sangat menonjol (area 7), yang diberi istilah stakeholder definitif. Teori ini secara komprehensif menghasilkan tipologi stakeholder yang didasarkan pada asumsi normatif bahwa variabel ini menentukan bidang stakeholder. Mitchell et al. (1997:874) membuat tipologi stakeholder berdasar atribut kekuasaan, urgensi, dan legitimasi seperti terlihat pada Gambar 2.2.
71
Stakeholder yang memiliki satu atribut diberi istilah sebagai stakeholder laten. Karena itu manajer mungkin tidak mengakui keberadaan stakeholder ini. Demikian pula, stakeholder laten tidak mungkin memberikan perhatian atau pengakuan kepada perusahaan. Oleh karena itu kedudukan stakeholder akan rendah apabila stakeholder hanya memiliki salah satu dari tiga atribut kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Stakeholder yang termasuk laten adalah stakeholder tidak aktif, stakeholder deskresioner, dan stakeholder penuntut. Stakeholder tidak aktif adalah stakeholder yang hanya memiliki atribut kekuasaan. Stakeholder tidak aktif memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendak mereka pada perusahaan. Karena tidak memiliki hubungan yang sah (legitimasi) atau klaim yang mendesak (urgensi), kekuasaan mereka tetap tidak terpakai. Stakeholder tidak aktif jarang berinteraksi dengan perusahaan. Namun demikian, manajemen harus tetap menyadari bahwa stakeholder tidak aktif berpotensi untuk memperoleh atribut kedua. Hal ini dikarenakan sifat dinamis dari hubungan antara manajer dengan stakeholder menunjukkan bahwa stakeholder tidak aktif akan menjadi lebih menonjol jika stakeholder tidak aktif memperoleh atribut urgensi atau legitimasi. 72
Stakeholder diskresioner memiliki atribut legitimasi, tetapi tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi perusahaan dan tidak ada klaim yang mendesak (atribut urgensi). Dilihat dari tanggung jawab sosial dan kinerja perusahaan, stakeholder diskresioner adalah kelompok yang paling mungkin untuk menjadi penerima apa yang disebut dengan tanggung jawab sosial diskresioner perusahaan. Karena tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi perusahaan dan tidak ada klaim yang mendesak dari stakeholder diskresioner, maka sama sekali tidak ada tekanan pada manajer untuk terlibat dalam hubungan aktif dengan stakeholder diskresioner, meskipun manajer dapat memilih untuk melakukannya. Stakeholder penuntut memiliki klaim yang mendesak (urgensi) tetapi tidak memiliki kekuasaan atau legitimasi. Stakeholder penuntut tidak mampu atau tidak mau untuk memperoleh baik kekuasaan atau legitimasi yang diperlukan untuk memindahkan klaim mereka ke status yang lebih menonjol. Stakeholder ekspektan adalah stakeholder yang memiliki dua dari tiga atribut. Stakeholder dengan dua atribut dipandang sebagai stakeholder yang "mengharapkan sesuatu". Kombinasi dua atribut akan mengarahkan stakeholder untuk bersikap aktif atau pasif, dengan peningkatan pada respon yang tegas sesuai kepentingan stakeholder. Dengan demikian, tingkat keterlibatan antara manajer dengan para stakeholder ekspektan cenderung lebih tinggi. Stakeholder yang termasuk ekspektan adalah stakeholder dominan, dependen, dan berbahaya. Stakeholder dominan memiliki kekuasaan dengan legitimasi. Stakeholder
dominan
dapat
membentuk
"koalisi
dominan"
dalam
perusahaan. Ciri stakeholder ini sebagai "dominan" untuk menghormati klaim sah yang mereka miliki pada perusahaan dan kemampuan mereka untuk bertindak atas klaim ini. Stakeholder dependen adalah stakeholder yang tidak memiliki atribut kekuasaan tetapi memiliki legitimasi atas klaim yang sah. 73
Stakeholder dependen tergantung pada kekuasaan orang lain (stakeholder lain atau manajer perusahaan) untuk melaksanakan kehendak mereka. Stakeholder berbahaya adalah stakeholder yang memiliki atribut urgensi dan kekuasaan tetapi tidak memiliki legitimasi. Stakeholder berbahaya akan memaksakan kehendak mereka, dan mungkin dengan kekerasan, membuat stakeholder menjadi berbahaya bagi perusahaan. Stakeholder definitif, adalah stakeholder yang memiliki tiga atribut (kekuasaan, legitimasi, dan urgensi). Stakeholder yang dapat menunjukkan kekuasaan dan legitimasi akan menjadi anggota koalisi dominan perusahaan. Ketika klaim stakeholder adalah mendesak, manajer memiliki mandat yang jelas dan langsung dapat memberikan prioritas kepada klaim para stakeholder. Kejadian yang paling umum adalah gerakan dari stakeholder dominan kedalam kategori definitif. Sementara Mitchell et al. (1997) menciptakan klasifikasi stakeholder, Hult et al. (2011:49) mengkategorikan stakeholder dalam dua jenis, yaitu: (1) stakeholder primer atau ‘key stakeholder’ adalah mereka yang pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan organisasi, dan (2) stakeholder sekunder adalah ‘perantara’, yaitu orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan organisasi. Clarkson (1995:106) menyebutkan stakeholder primer adalah kelompok-kelompok yang tergantung pada kelangsungan hidup dan kesuksesan perusahaan. Stakeholder primer terdiri dari pelanggan, karyawan, pemasok, dan pemegang saham, bersama dengan apa yang dikenal sebagai kelompok stakeholder publik yaitu pemerintah dan masyarakat yang menyediakan infrastruktur, mengatur kegiatan perusahaan, dan memerlukan pembayaran pajak. Terkait dengan stakeholder primer ini, Pfeffer dan Salancik (1978) dalam Hult et al. (2011:49) berpendapat, bahwa teori ketergantungan sumber daya menawarkan pembenaran yang menarik untuk menunjuk enam kelompok di atas sebagai stakeholder utama. Teori ketergantungan sumber daya menyatakan bahwa untuk bertahan hidup, 74
organisasi memerlukan sumber daya. Untuk
memperoleh sumber daya,
organisasi harus berinteraksi dengan orang lain yang mengendalikan sumber daya. Dengan demikian organisasi tergantung pada lingkungan. Dalam konteks ini, pelanggan memberi perusahaan dengan pendapatan hasil penjualan, karyawan menyediakan tenaga kerja, pemasok menyediakan bahan baku dan input lainnya, pemegang saham menyediakan modal, masyarakat menyediakan sumber daya alam, dan regulator dengan dana dan akses ke pasar. Ketergantungan perusahaan pada aktor-aktor lingkungan untuk sumber daya kritis, seperti memberikan kekuasaan atas perusahaan kepada aktor, pada gilirannya kepemilikan kekuasaan merupakan salah satu atribut kunci dari stakeholder yang menempatkan aktor sebagai stakeholder yang membutuhkan perhatian manajerial (Mitchell et al., 1997). Di sisi lain, kelompok stakeholder sekunder, seperti media massa, media sosial, asosiasi perdagangan, dan kelompok kepentingan khusus (misalnya, kelompok advokasi), tidak memiliki kewajiban kontraktual dengan perusahaan atau melaksanakan otoritas hukum atas perusahaan. Stakeholder sekunder, menurut Clarkson (1995:107), adalah mereka yang mempengaruhi, atau dipengaruhi, atau terpengaruh oleh korporasi, tetapi mereka tidak penting untuk kelangsungan hidup organisasi. Namun, kelompok-kelompok ini dapat menjadi lebih kuat daripada beberapa stakeholder primer dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan. Misalnya, untuk mengekspresikan kepentingan mereka, stakeholder sekunder mengembangkan berbagai jenis hubungan dengan perusahaan. Stakeholder sekunder memiliki kapasitas untuk memobilisasi opini publik yang mendukung atau menentang kebijakan dan praktek perusahaan. Hal ini dapat membawa manfaat besar atau kerusakan pada perusahaan. Misalnya, wartawan melakukan investigasi dan liputan media massa tentang kesalahan perusahaan dapat menghancurkan kepercayaan stakeholder utama dalam sebuah perusahaan. Jejaring sosial dan blog dapat melayani fungsi yang sama dengan media massa dengan mengkomunikasikan informasi baik positif maupun negatif kepada stakeholder utama dan 75
organisasi. Ini menggambarkan bahwa ada hubungan pertukaran antara stakeholder primer dan sekunder. Semua stakeholder membentuk jaringan yang mampu melakukan pertukaran yang kompleks. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi keterkaitan, memperoleh legitimasi, dan sumber nilai untuk memandu para stakeholder terkait dalam membuat keputusan/ tindakan. Pesaing diidentifikasi sebagai stakeholder sekunder kunci. Pesaing sering bekerja dengan organisasi perdagangan dan regulator untuk mendapatkan informasi tentang nilai-nilai dan standar perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Perusahaan sering memberikan sinyal satu sama lain melalui strategi dan hubungan dengan para stakeholder perusahaan. Sementara stakeholder utama mungkin memiliki hubungan yang lebih langsung melalui organisasi yang terlibat dalam pertukaran dengan pesaing dan stakeholder sekunder lainnya. Pertukaran ini dapat berkisar dari pertukaran sosial yang kompleks untuk mengarahkan ke pertukaran ekonomi. Sebagian besar konseptualisasi pasar fokus pada orientasi pesaing, stakeholder sekunder, pelanggan, dan stakeholder utama, sebagai dua pihak yang paling penting. Ini memberikan bukti tentang pentingnya stakeholder sekunder dalam strategi pemasaran.
Jadi teori stakeholder menunjukkan bagaimana bisnis sebenarnya dapat dijelaskan melalui hubungan stakeholder. Dalam konsep corporate
governance dan university governance, pendekatan stakeholder menekankan pada pengelolaan dan pengintegrasian hubungan di antara stakeholder korporasi atau universitas, sehingga tercipta tata hubungan yang baik,
yang menyebabkan korporasi atau universitas dapat bekerja secara efektif dan efisien.
2.6. Teori Nilai Ketika kita berpikir tentang nilai-nilai, kita berpikir tentang apa yang penting bagi kita dalam hidup (misalnya, keamanan, kemandirian, 76
kebijaksanaan, keberhasilan, kebaikan, atau kesenangan). Kita masingmasing memegang banyak nilai dengan berbagai tingkat kepentingannya. Sebuah nilai tertentu mungkin sangat penting untuk satu orang, tapi tidak penting bagi yang lain. Berdasarkan konsep nilai yang ditawarkan oleh Kluckhohn (1951) dan Rokeach (1973), Schwartz (1992:3-4; Schwartz & Bilsky, 1987, 1990) mengembangkan teori dan metodologi untuk mempelajari nilai-nilai dan menghasilkan definisi konseptual dari nilai-nilai yang menggabungkan lima ciri formal dari nilai, yaitu: Nilai (1) adalah konsep atau keyakinan, (2) berhubungan dengan tujuan yang diinginkan atau perilaku, (3) melampaui situasi tertentu, (4) pilihan panduan atau evaluasi perilaku dan peristiwa, dan (5) yang disusun oleh kepentingan relatif. Dalam perkembangannya, Schwartz (2012:3) mengadopsi konsepsi nilai-nilai dan menentukan enam ciri utama, yatu: (1) Nilai merupakan keyakinan yang terkait erat dengan mempengaruhi. Ketika nilai-nilai diaktifkan, nilai-nilai ini akan diresapi dengan perasaan. Nilai kemerdekaan menjadi penting ketika kemerdekaan ini terancam, putus asa ketika tidak berdaya untuk melindungi kemerdekaan, dan senang ketika bisa menikmati kemerdekaan. (2) Nilai mengacu pada tujuan yang diinginkan yang memotivasi tindakan. Tatanan sosial, keadilan, dan menolong merupakan nilai-nilai penting yang memotivasi untuk mengejar tujuan-tujuan yang diinginkan. (3) Nilai mengatasi tindakan dan situasi tertentu. Ketaatan dan kejujuran, misalnya, adalah nilai-nilai yang mungkin relevan di tempat kerja, di sekolah, di dalam keluarga, olahraga, bisnis, atau politik. Fitur ini membedakan nilai dari konsep sempit seperti norma-norma dan sikap yang biasanya mengacu pada tindakan spesifik, objek, atau situasi. (4) Nilai berfungsi sebagai standar atau kriteria. Nilai-nilai berfungsi sebagai panduan dan evaluasi terhadap tindakan, kebijakan, orang, dan 77
peristiwa. Orang memutuskan apa yang baik atau buruk, dibenarkan atau tidak sah, layak dilakukan atau menghindari, berdasarkan konsekuensi yang mungkin dihargai untuk nilai-nilai. Namun dampak dari nilai-nilai dalam keputusan sehari-hari jarang disadari. Nilai kesadaran muncul ketika mempertimbangkan tindakan atau penilaian seseorang memiliki implikasi yang bertentangan untuk nilai yang berbeda. (5) Nilai disusun berdasarkan kepentingan relatif. Nilai-nilai masyarakat membentuk sistem dan disusun sesuai dengan prioritas yang menjadi ciri nilai sebagai individu. Apakah nilai-nilai merupakan atribut yang lebih penting untuk kebebasan atau kesetaraan, atau untuk hal-hal baru, atau untuk tradisi? Fitur hirarkis ini juga membedakan nilai-nilai dari norma-norma dan sikap. (6) Kepentingan relatif dari beberapa nilai pemandu tindakan. Setiap sikap atau perilaku biasanya memiliki implikasi lebih dari satu nilai. Misalnya, hadir di gereja mungkin mengekspresikan dan mempromosikan tradisi,
ketaatan,
dan
nilai-nilai
keamanan
dengan
mengorbankan
hedonisme dan nilai stimulasi. Nilai-nilai saling bersaing dalam memandu sikap dan perilaku. Nilai berkontribusi terhadap tindakan untuk sejauh bahwa nilai-nilai relevan dalam konteks (maka kemungkinan besar akan diaktifkan) dan penting untuk aktor. Schwartz (1994:21) mendefinisikan nilai sebagai tujuan trans situasional yang diinginkan, yang bervariasi dalam derajat kepentingannya, yang berfungsi sebagai prinsip dalam kehidupan seseorang atau badan sosial lainnya. Tersirat dalam definisi nilai sebagai tujuan di atas bahwa: (1) nilai melayani kepentingan beberapa entitas sosial, (2) nilai dapat memotivasi tindakan, memberikan arah dan intensitas emosional, (3) nilai berfungsi sebagai standar untuk menilai dan membenarkan tindakan, dan (4) nilai diperoleh baik melalui sosialisasi nilai-nilai kelompok dominan dan melalui pengalaman belajar yang unik dari individu.
78
Dijelaskan lebih lanjut oleh Schwartz (2012:4), bahwa ciri di atas merupakan ciri yang bersifat umum dari semua nilai. Apa yang membedakan satu nilai dari yang lain adalah jenis tujuan atau motivasi yang mengungkapkan. Teori nilai mendefinisikan sepuluh nilai sesuai dengan luas motivasi yang mendasari masing-masing nilai. Nilai-nilai ini cenderung universal karena didasarkan pada satu atau lebih dari tiga persyaratan universal eksistensi manusia. Persyaratan ini adalah kebutuhan individu sebagai organisme biologis, syarat interaksi sosial yang terkoordinasi, dan kebutuhan kelangsungan hidup dan kesejahteraan kelompok. Individu tidak dapat memenuhi persyaratan ini dari eksistensi manusia itu sendiri. Sebaliknya, individu harus mengartikulasikan tujuan yang tepat untuk mengatasi persyaratan tersebut. Individu harus berkomunikasi dengan orang lain dan mendapatkan kerjasama dalam memenuhi persyaratan-persyaratan itu. Nilai adalah konsep yang diinginkan, yang secara sosial digunakan untuk mewakili tujuan-tujuan tersebut, dan kosa kata digunakan untuk mengekspresikan nilai-nilai dalam interaksi sosial. Selanjutnya Schwartz (1992:511; 1994:21; 2012:4-7) menyebutkan sepuluh jenis nilai-nilai dasar berdasarkan luas tujuan motivasi yang diungkapkan, dan menyebutkan konsep nilai terkait, yaitu: 1) kekuasaan (power), 2) prestasi (achievement), 3) hedonisme, 4) stimulasi, 5) pengarahan diri (self-direction),
6)
universalisme, 7) kebajikan, 8) tradisi, 9) kesesuaian, dan 10) keamanan. Kekuasaan (power) adalah kontrol atau dominasi atas orang-orang dan sumber daya. Berfungsinya lembaga-lembaga sosial memerlukan beberapa derajat diferensiasi kekuasaan. Kebanyakan analisis empiris dari hubungan inter-personal, baik di dalam dan lintas budaya, menghasilkan dimensi dominasi/penyerahan. Untuk membenarkan fakta ini dari kehidupan sosial dan untuk memotivasi anggota kelompok agar bersedia menerimanya, maka kelompok harus memperlakukan kekuasaan sebagai nilai. Nilai kekuasaan merupakan transformasi dari kebutuhan individu untuk dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial 79
dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah otoritas, kesejahteraan, dan kekuatan sosial. Prestasi (achievement) adalah keberhasilan pribadi yang ditunjukkan melalui kompetensi sesuai standar sosial. Kinerja yang kompeten akan menghasilkan sumber daya yang diperlukan bagi individu untuk bertahan hidup. Bagi kelompok dan lembaga untuk mencapai tujuan organisasi. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Konsep nilai yang terkait dengan prestasi adalah ambisius, sukses, mampu, dan berpengaruh.
Hedonisme merupakan kesenangan atau kepuasan sensual. Nilainilai hedonisme berasal dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang terkait dengan memuaskan diri. Konsep nilai yang terkait dengan hedonisme adalah kesenangan dan menikmati hidup. Stimulasi berupa kegembiraan, pembaruan, dan tantangan dalam hidup. Nilai stimulasi berasal dari kebutuhan organismik untuk variasi dan stimulasi untuk mempertahankan kegiatan secara optimal, positif, dan tidak mengancam. Konsep nilai yang terkait dengan stimulasi adalah kehidupan yang bervariasi, kehidupan yang menarik, dan berani.
Self-Direction dalam bentuk kebebasan pemikiran dan tindakan, menciptakan, dan mengeksplorasi. Nilai pengarahan diri sendiri berasal dari kebutuhan organismik untuk kontrol dan penguasaan, dan persyaratan interaksional, otonomi dan kemandirian. Konsep nilai yang terkait dengan self-Direction adalah kebebasan, kreativitas, independen, memilih tujuan sendiri, penasaran/ingin tahu, dan harga diri. Universalisme adalah pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan bagi kesejahteraan semua orang dan alam. Hal ini bertentangan dengan nilai kebajikan dalam kelompok. Nilai-nilai universalisme berasal 80
dari kebutuhan hidup individu dan kelompok yang muncul setelah menghadapi orang lain di luar kelompok dan setelah menyadari kelangkaan sumber daya alam. Orang-orang kemudian menyadari bahwa kegagalan untuk menerima orang lain yang berbeda dan memperlakukan mereka dengan adil dapat menyebabkan perselisihan yang mengancam kehidupan, dan
bahwa
kegagalan
untuk
melindungi
lingkungan
alam
dapat
menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Nilai-nilai universalisme memerlukan perhatian yang lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan alam, dan kesejahteraan dunia. Konsep nilai yang terkait dengan
universalisme
adalah
keadilan,
kesetaraan,
kebijaksanaan,
perdamaian dunia, kesatuan dengan alam, dan melindungi lingkungan. (harmoni batin , kehidupan spiritual) Kebajikan untuk melestarikan dan meningkatkan kesejahteraan. Nilai-nilai kebajikan berasal dari kebutuhan dasar untuk kelompok dan dari kebutuhan afiliasi organismik. Nilai-nilai kebajikan menekankan kepedulian sukarela untuk kesejahteraan orang lain. Kebajikan dan kesesuaian nilainilai mempromosikan hubungan sosial yang kooperatif. Pertama, kesesuaian nilai-nilai mempromosikan kerjasama untuk menghindari hasil negatif. Kedua, nilai dapat memotivasi tindakan untuk membantu sesama, baik secara terpisah atau bersama-sama. Konsep nilai yang terkait dengan kebajikan adalah menolong, kejujuran, kesetiaan, dan cinta. Tradisi berbentuk hormat, rendah hati, dan patuh terhadap kebiasaan dan ide yang disediakan oleh budaya atau agama. Semua kelompok mengembangkan praktek, simbol, ide-ide, dan keyakinan yang mewakili pengalaman
mereka
bersama.
Ini
merupakan
penghargaan
yang
melambangkan solidaritas kelompok, mengungkapkan nilai unik, dan berkontribusi untuk kelangsungan hidup. Nilai-nilai ini sering mengambil bentuk ritual keagamaan, kepercayaan, dan norma-norma perilaku. Konsep nilai yang terkait dengan tradisi adalah menghormati tradisi, rendah hati, dan patuh. 81
Kesesuaian untuk menahan diri dari tindakan, keinginan, dan impuls mungkin kesal atau merugikan orang lain dan melanggar harapan sosial atau norma-norma. Nilai-nilai kesesuaian berasal dari persyaratan untuk menghambat keinginan yang mungkin mengganggu dan merusak interaksi dan fungsi kelompok. Konsep nilai yang terkait dengan kesesuaian adalah ketaatan, kesopanan, menghormati orang tua dan orang yang lebih tua. Keamanan. Nilai-nilai keamanan berasal dari kebutuhan individu dan kelompok. Ada dua subtipe dari nilai-nilai keamanan. Satu melayani kepentingan
terutama
individu
(misalnya,
menghindari
bahaya),
kepentingan kelompok yang lebih luas lainnya (misalnya, negara yang kuat). Konsep nilai yang terkait dengan keamanan
adalah tatanan sosial,
keamanan pribadi, dan keamanan nasional. Teori nilai yang dikemukakan oleh Schwartz mengidentifikasi sepuluh nilai motivasional yang berbeda dan menentukan hubungan dinamis diantara nilai-nilai. Beberapa nilai bertentangan satu sama lain (misalnya, stimulasi dan keamanan) sedangkan yang lain bersifat kompatibel (misalnya, kesesuaian dan tradisi). Struktur nilai mengacu pada hubunganhubungan konflik dan keselarasan antara nilai-nilai. Nilai-nilai terstruktur dengan cara yang sama diseluruh kelompok budaya yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah organisasi universal dari motivasi manusia. Meskipun sifat dan struktur nilai-nilai mungkin universal, individu dan kelompok memiliki perbedaan secara substansial dalam kepentingan relatif mereka dengan atribut nilai-nilai. Artinya, individu dan kelompok memiliki berbagai nilai "prioritas" atau "hirarki." Selain kesepuluh nilai di atas, Schwartz (1992) juga menyebut nlai spiritualitas, dimana tujuan mendefinisikan nilai-nilai spiritual adalah untuk mencari makna, koherensi, dan harmoni batin melalui realitas sehari-hari. Menurut Schwartz (1992:10), para teolog, filsuf, dan sosiolog agama menekankan alasan dasar untuk kepercayaan dan adat istiadat tradisional adalah untuk memberkati hidup dengan makna dan koherensi dalam 82
menghadapi kehidupan sehari-hari. Kebanyakan agama menyediakan jawaban pertanyaan tentang makna utama dari realitas dengan mengacu pada beberapa makhluk gaib atau kekuatan; perspektif religius, seperti humanisme, dan menemukan sumber makna dalam alam. Jawaban ini merujuk pada apa yang dikenal sebagai keprihatinan spiritual. Struktur nilai-nilai kemanusiaan mengacu pada nilai-nilai konseptual atas dasar persamaan dan perbedaan. Misalnya, kesenangan dan kehidupan yang nyaman merupakan bagian dari domain kenikmatan, sedangkan kesetaraan dan suka menolong merupakan bagian dari domain pro-sosial. Struktur nilai juga mengacu pada hubungan antara domain nilai atas dasar kompatibilitas dan kontradiksi. Dua domain secara konseptual menjadi jauh, baik secara praktis atau secara logis bertentangan, jika menempatkan prioritas tinggi pada kedua nilai dalam domain secara bersamaan (misalnya, kenikmatan dan pro-sosial). Dua domain secara konseptual menjadi dekat jika menempatkan prioritas tinggi pada kedua nilai dalam domain kompatibel (misalnya, domain keamanan dan kesesuaian). Menurut Rokeach (1968) dalam Robbins (2007), value merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Berlawanan dengan sikap (attitudes), yang fokus hanya pada obyek yang spesifik atau situasi, nilai (value) merupakan keyakinan mendasar yang mempengaruhi pandangan seseorang di dalam banyak permasalahan. Jadi secara umum nilai personal mempengaruhi perilaku. Tipe nilai setiap individu dapat digunakan untuk menggambarkan masing-masing individu dalam mempelajari peraturan-peraturan suatu organisasi atau perusahaan, untuk membuat atau menentukan pilihan dan untuk memecahkan suatu konflik atau masalah, untuk membuat atau menentukan pilihan dan untuk memecahkan suatu konflik atau masalah dengan dua atau lebih cara atau model perilaku.
83
2.7. Kerangka Pemikiran Depdiknas (2005) menjelaskan, secara teknis tata kelola perguruan tinggi dinyatakan sebagai upaya sistematis dalam suatu proses untuk mencapai tujuan organisasi, melalui fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan tindak lanjut peningkatan. Dengan demikian, tata kelola selain melingkupi seluruh proses dan unsur-unsur tersebut, juga memiliki tujuan utama yaitu peningkatan kualitas perguruan tinggi secara terus menerus untuk mencapai visi dan misi yang ditetapkan. Tata kelola universitas yang baik (good university governance) mempromosikan kualitas pendidikan. Untuk mencapai predikat “baik”,
university governance memiliki seperangkat prinsip-prinsip dasar yang harus dipatuhi dan dilaksanakan, serta memerlukan sikap proaktif dari seluruh jajaran pimpinan universitas yang semuanya harus berkomitmen untuk kesuksesan pencapaian tujuan universitas melalui pemeliharaan tanggung jawab dan etika dengan standar tertinggi. Kepatuhan merupakan perilaku individu yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai budaya
masyarakat sebagai suatu kebiasaan. Nilai-nilai budaya ini tidak dibentuk oleh organisasi, akan tetapi dibentuk dan diwariskan secara turun temurun melalui kearifan lokal masyarakat setempat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepatuhan sebagai nilai budaya kearifan lokal merupakan salah faktor penentu keberhasilan di dalam melaksanakan prinsip-prinsip university governance.
Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal di Bali yang berarti tiga penyebab kesejahteraan, meliputi dimensi parhyangan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dimensi pawongan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, dan dimensi palemahan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungan. Kepatuhan di dalam melaksanakan yang berasal dari ideologi Tri Hita Karana ini sangat diperlukan untuk melaksanakan prinsip-prinsip university governance
84
seperti
transparansi,
akuntabilitas,
responsibilitas,
keadilan,
dan
independensi. Pelaksanaan prinsip-prinsip university governance tersebut dapat diwujudkan dengan cara: 1) memberikan pengungkapan informasi yang memadai secara tepat waktu, jelas dan sebanding mengenai kinerja universitas (transparansi); 2) memperjelas peran dan tanggung jawab semua pihak, dan mendukung upaya untuk memastikan keselarasan kepentingan universitas dan kepentingan stakeholder universitas (akuntabilitas); 3) Memastikan kepatuhan universitas terhadap undang-undang dan peraturan yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat dimana universitas beroperasi (responsibilitas); 4) Menjamin perlindungan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan yang layak (keadilan); 5) Memastikan bahwa aktivitas universitas dikelola secara mandiri tanpa campur tangan dari pihak lain (independensi/otonomi). Penerapan prinsip-prinsip university governance berlandaskan Tri
Hita Karana kedalam penatakelolaan sebuah universitas dapat memastikan perlindungan terhadap korupsi dan salah urus, sehingga seluruh potensi
dan unsur-unsur yang dimiliki oleh universitas dapat berfungsi secara optimal dalam upaya mencapai visi dan misi universitas. Hal ini akan mengantarkan perguruan tinggi sebagai perguruan tinggi yang bermutu.
85
Berikut merupakan gambar yang menunjukkan bagan kerangka berpikir pada penelitian ini:
Budaya Tri Hita Karana Parhyangan Pawongan Palemahan
University Governance Transparansi Akuntabilitas Responsibilitas Keadilan Independensi (otonomi)
Perguruan tinggi yang bermutu
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
86