BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengaruh 2.1.1 Pengertian Pengaruh Pengertian pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesian (KBBI) adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Dari pengertian di atas telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sedangkan pengertian pengaruh menurut Suyoto Bakir (2006: 145) yaitu “pengaruh adalah suatu keadaan adanya hubungan timbal balik, atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi”. Dua hal ini adalah yang akan dihubungkan dan dicari apa ada hal yang menghubungkannya. Di sisi lain pengaruh adalah berupa daya yang bisa memicu sesuatu, menjadikan sesuatu berubah. Maka jika salah satu yang disebut pengaruh tersebut berubah, maka akan ada akibat yang ditimbulkannya.
2.2 Psikoedukasi 2.2.1 Pengertian Psikoedukasi Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism
26 Universitas Sumatera Utara
ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. (Goldman, 1998 dikutip dari Bordbar & Faridhosseini, 2010) Definisi istilah psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu partisipan mengembangkan sumbersumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut. (Griffith, 2006 dikutip dari Walsh, 2010) Psikoeduakasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004). Berdasarkan definisi-definisi di atas, psikoedukasi (PE) dapat diterapkan tidak hanya kepada individu tetapi juga dapat diterapkan pada keluarga dan kelompok. Psikoedukasi dapat digunakan sebagai bagian dari proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien yang mengalami penyakit ataupun gangguan tertentu. Psikoedukasi banyak diberikan kepada pasien dengan gangguan psikiatri termasuk anggota keluarga dan orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut. Walaupun demikian, psikoedukasi tidak hanya dapat diterapkan pada ranah psikiatri tetapi dapat juga diterapkan pada ranah lainnya. Psikoedukasi dapat diterapkan tidak hanya pada individu atau kelompok yang memiliki gangguan psikiatri, tetapi juga digunakan agar individu dapat menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat perkembangan manusia sehingga mereka dapat terhindar dari masalah yang berkaitan dengan tantangan yang mereka hadapi. Dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi psikologi, baik individual ataupun kelompok, yang bertujuan tidak hanya membantu
27 Universitas Sumatera Utara
proses penyembuhan klien (rehabilitasi) tetapi juga sebagai suatu bentuk pencegahan agar klien tidak mengalami masalah yang sama ketika harus menghadapi penyakit atau gangguan yang sama, ataupun agar individu dapat menyelsaikan tantangan yang mereka hadapi sebelum menjadi gangguan. Psikoedukasi merupakan proses empowerment untuk mengembangkan dan menguatkan keterampilan yang sudah dimiliki untuk menekan munculnya suatu gangguan mental. Karena psikoedukasi dapat diterapkan sebagai bagian dari persiapan sesorang untuk menghadapi berbagai tantangan dalam tiap tahapan perkembangan kehidupan, maka psikoedukasi dapat diterapkan hampir pada setiap seting kehidupan. Selain itu, karena modelnya yang fleksibel, dimana memadukan informasi terkait gangguan tertentu dan alat-alat untuk mengatasi situasi-situasi tertentu, psikoedukasi berpotensi untuk diterapkan pada area yang luar terkait dengan berbagai bentuk gangguan dan tantangan hidup yang bervariasi
(Lukens & McFarlane, 2004). Ini menunjukkan bahwa psikoedukasi
diterapkan pada berbagai seting misalnya rumah sakit, bisnis, perguruan tinggi, pemerintahan, lembaga pelayanan sosial, dan bahkan militer. Di dalam Walsh (2010), ia menjelaskan mengenai pengertian psikoedukasi dari Griffiths (2006). Berdasarkan pengertian tersebut, ditarik kesimpulan bahwa fokus dari psikoedukasi adalah sebagai berikut: a. Mendidik partisipaan mengenai tantangan dalam hidup b. Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan hidup c. Mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan hidup d. Mengembangkan dukungan emosional e. Mengurangi sense of stigma dari partisipan f. Mengubah sikap dan belief dari partisipan terhadap suatu gangguan (disorder)
28 Universitas Sumatera Utara
g. Mengidentifikasi dan mengeksplorasi perasaan terhadap suatu isu h. Mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah i. Mengembangkan keterampilan crisis-intervention
Psikoedukasi tidak hanya bertujuan untuk treatment tetapi juga rehabilitasi. Ini berkaitan dengan mengajarkan seseorang mengenai suatu masalah sehingga mereka bisa menurunkan stres yang terkait dengan masalah tersebut dan mencegah agar masalah tersebut tidak terjadi kembali. Psikoedukasi juga didasarkan pada kekuatan partisipan dan lebih fokus pada saat ini dan masa depan daripada kesulitan-kesulitan di masa lalu. Menurut Walsh (2010), psikoedukasi dapat menjadi intervensi tunggal, tetapi juga sering digunakan bersamaan dengan beberapa intervensi lainnya untuk membantu partisipan menghadapi tantangan kehidupan tertentu. Psikoedukasi tidak sama dengan psikoterapi walaupun kadang terjadi tumpang tindih antara kedua intervensi tersebut. Psikoedukasi kadang ikut menjadi bagian dari sebuah psikoterapi. Walsh (2010) menjelaskan bahwa psikoterapi dapat dipahami sebagai proses interaksi antara seorang profesional dan kliennya (individu, keluarga, atau kelompok) yang bertujuan untuk mengurangi distres, disabiliti, malfungsi dari sistem klien pada fungsi kognisi, afeksi, dan perilaku. Psikoterapi juga lebih fokus pada diri individu yang mendapatkan intervensi, sedangkan psikoedukasi fokus pada sistem yang lebih besar dan mencoba untuk tidak mempatologikan pasien. Kebanyakan intervensi psikososial didasarkan pada model medis tradisional yang didesain untuk mengobati patologi, gangguan, dan disfungsi. Sebaliknya, psikoedukasi merefleksikan paradigma yang lebih menyeluruh dengan pendekatan competence-based, menekankan pada kesehatan, kolaborasi, coping, dan
29 Universitas Sumatera Utara
empowerment (Dixon, 1999; Marsh, 1992, dikutip dari Lukens & McFarlane, 2004 ). Psikoedukasi didasarkan pada kekuatan dan fokus pada masa sekarang. Psikoedukasi, baik individu ataupun kelompok tidak hanya memberikan informasi- informasi penting terkait dengan permasalahan partisipannya tetapi juga mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dianggap penting bagi partisipannya untuk menghadapi situasi permasalahannya. Psikoedukasi kelompok dapat diterapkan pada berbagai kelompok usia dan level pendidikan. Asumsi lainnya, Psikoedukasi kelompok lebih menekankan pada proses belajar dan pendidikan daripada self-awareness dan self-understanding dimana komponen kognitif memiliki proporsi yang lebih besar daripada komponen afektif (Brown, 2011). Namun ini tidak berarti bahwa psikoedukasi sama sekali tidak menyentuh aspek self- awareness dan self-understanding. Hal ini dikembalikan kepada sasaran dari psikoedukasi itu sendiri anak-anak, remaja, dan orang dewasa di berbagai seting. Psikoedukasi kelompok ini juga dapat terdiri dari 1 sesi ataupun lebih. Brown (2011) menjelaskan Psikoedukasi dengan lebih luas. Psikoedukasi kelompok dapat bervariasi dari hanya berupa kelompok diskusi hingga menjadi suatu kelompok self-help. Beberapa bentuk kelompok yang termasuk dalam Psikoedukasi namun memiliki seting dan konten informasi yang berbeda, misalnya task group yang bertujuan untuk pencapaian penyelesaian tugas. Training/work group bertujuan untuk membuat partisipannya mampu memenuhi harapan dari pekerjaannya. Training/social skill group fokus pada pengembangan keterampilan sosial yang bertujuan untuk pencegahan ataupun remedial. Contoh-contoh kelompok tersebut adalah bagian kecil dari psikoedukasi yang disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan dari kelompok tersebut.
30 Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Teori Psikoedukasi
Teori-teori yang melatarbelakangi psikoedukasi antara lain adalah teori sistem ekologi, teori kognitif-perilaku, teori belajar, group practice models, stress and coping models, model dukungan sosial, dan pendekatan naratif (Anderson, Reiss, & Hogarty, 1986, dikutip dari Lukens & McFarlane, 2004). Teori sistem ekologi ini memberikan kerangka kerja untuk menilai dan membantu individu dalam memahami gangguan ataupun pengalamannya dikaitkan dengan sistem lain dalam kehidupannya, misalnya pasangan, keluarga, sekolah. Psikoedukasi juga mengadaptasi konsep-konsep dasar dari existensial-humanistik, behaviorist, dan teori kognitif. Pendekatan humanistik yang mendasari psikoedukasi adalah existential-humanistic theory yang menyatakan bahwa manusia mampu membuat keputusan pribadi yang didukung dengan potensi untuk berkembang dan penguasaan lingkungannya, sekaligus bertindak dengan bertanggung jawab. Teori behaviorist menekankan pada pengaruh dari manipulasi lingkungan. Teori kognitif fokus pada penguasaan terhadap keterampilan kognisi-emosi yang menjadi komponen dari proses psycho-training. Psikoedukasi dapat digunakan dalam berbagai seting situasi. Untuk bidang klinis sendiri, psikoedukasi banyak digunakan bersamaan dengan psikoterapi pada klien-klien dengan gangguan psikologi, di sekolah atau instansi pendidikan ataupun pada health psychology atau medical psychology. Misalnya Psikoedukasi pada skizofrenia, bipolar disorder, depresi, penggunaan narkoba ataupun alkohol. Psikoedukasi diberikan agar klien tersebut memiliki pemahaman dan penerimaan terhadap gangguannya untuk menghindari terjadinya kemungkinan relapse. Psikoedukasi tidak hanya diberikan kepada klien, tetapi juga kepada anggota keluarga sebagai suatu sistem dukungan sosial terdekat bagi klien. Untuk
31 Universitas Sumatera Utara
penerapan pada instansi atau organisasi misalnya adalah penerapan pada sekolah dan universitas. Psikoedukasi yang diberikan biasanya terkait dengan topik-topik tertentu, misalnya bullying, bahaya narkoba, kesehatan reproduksi, ataupun kekerasan dalam pacaran. Psikoedukasi pada sekolah biasanya menjadi bagian dari bimbingan konseling sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk bidang health psychology atau medical psychology, psikoedukasi banyak diterapkan pada pasien-pasien penderita penyakit tertentu. Misalnya pada pasien diabetes, mereka mendapatkan psikoedukasi mengenai gaya hidup yang mendukung kesembuhan mereka atau setidaknya mendukung dalam menjaga kadar gula darah mereka. Contoh lainnya pada pasien-pasien kanker yang membutuhkan perawatan khusus dan perubahan gaya hidup untuk mencegah agar kanker tidak menyerang kembali. Psikoedukasi juga diberikan kepada anggota keluarga ataupun orang yang berkepentingan untuk merawat pasien tersebut. Penerapan- penerapan psikoedukasi itu sendiri sudah banyak dilaksanakan di negara-negara barat dan negara maju. Di Indonesia sendiri, psikoedukasi belum banyak diterapkan secara luas.
2.3 Konsep Ketergantungan NAPZA 2.3.1 Pengertian ketergantungan NAPZA NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Sedangkan ketergantungan dapat diartikan sebagai kondisi bagi seseorang yang tidak bisa putus dari suatu zat (Darmono, 2006:19). Adapun menurut Sumiati (2009:94) ketergantungan adalah suatu kondisi dimana pasien tidak mampu putus dari mengonsumsi suatu zat. Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan
32 Universitas Sumatera Utara
bahwa ketergantungan NAPZA adalah kondisi seseorang yang tidak mampu putus dari NAPZA.
2.3.2 Jenis NAPZA 1. Narkotika Narkotika berasal dari bahasa Yunani yang berarti “narkosis” yaitu zat yang menimbulkan mati rasa atau lumpuh (Sarlito W. Sarwono 2009: 268). Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997). Jenis narkotika dibagi atas 3 golongan : (1) Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk. (2) Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol. (3) Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Darmono, 2006:22-24) 2. Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif ,dapat menyebabkan perubahan aktifitas mental
33 Universitas Sumatera Utara
dan perilaku serta dapat menyebabkan ketergantungan psikis dan fisik bila tanpa pengawasan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997). Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan : (a) Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi (menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin). (b) Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan Sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin. (c) Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang
berguna
untuk
pengobatan
dan
penelitian.
Contoh:
lumubal,
fleenitrazepam. (d) Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam (Martono, 2006) 3. Zat adiktif lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat – zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah : Rokok, Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan, Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton, cat, bensin yang bila dihirup akan dapat memabukkan (Alifia, 2008).
2.3.3 Efek NAPZA 1. Halusinogen, efek dari NAPZA yang bisa mengakibatkan bila dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang menjadi ber-halusinasi
34 Universitas Sumatera Utara
dengan melihat suatu hal/benda yang sebenarnya tidak ada/tidak nyata contohnya: kokain & LSD. 2. Stimulan, efek dari NAPZA yang bisa mengakibatkan kerja organ tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk sementara waktu, dan cenderung membuat seorang pengguna lebih senang dan gembira untuk sementara waktu. 3. Depresan, efek dari NAPZA yang bisa menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak sadarkan diri. Contohnya: putaw. 4. Adiktif, Seseorang yang sudah mengkonsumsi NAPZA biasanya akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkoba mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara tidak langsung narkoba memutuskan syarafsyaraf dalam otak, contohnya ganja, heroin, putaw. Jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkoba maka lambat laun organ dalam tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran maka pengguna akan overdosis dan akhirnya menyebabkan kematian.
2.3.4 Jenis Ketergantungan NAPZA Pada kasus ketergantungan terdapat dua macam ketergantungan yaitu ketergantungan fisik dan psikologis: 1. Ketergantungan fisik biasanya terjadi apabila pengguna narkoba/napza berhenti menggunakan napza maka ia akan mengalami gejala putus zat dan toleransi yang diantaranya adalah nyeri dan tidak bisa tidur. 2. Ketergantungan psikologis biasanya berupa kerinduan yang kuat sekali untuk menggunakannya.
35 Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Ciri khas ketergantungan NAPZA Ciri khas Ketergantungan napza menurut Sumiati dkk, (2009:30) antara lain: 1. Frekuensinya setiap hari atau terus menerus 2. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya 3. Menggunakan untuk menghilangkan rasa sakit 4. Pada saat menggunakan pasien akan mengalami rasa tidak nyaman
2.4 Konsep Keluarga 2.4.1 Pengertian Keluarga Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 2008). Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat
36 Universitas Sumatera Utara
memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 ). Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya, keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan langsung ataupun media massa (Friedman, 1998).
2.4.2 Fungsi Keluarga Menurut Suprajitno (2004), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan keluarga : (a) fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa nanti. (b) fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik. (c) fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindungi dan merasa aman. (d) fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya sehingga ada saling pengertian satu sama lain. (f) fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah dunia ini. (g) fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya. Dan (h) fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
37 Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara. Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga (Effendy, 2007) yaitu : 1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga mengenal perkembangan emosional dari anggota keluarganya
dan tingkah laku
ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa. 2.
Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah
keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera membawanya ke petugas kesehatan. 3. Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya. 4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga. 5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus memiliki
38 Universitas Sumatera Utara
banyak informasi mengenai kesehatan jiwa anggota keluarganya dari lembaga petugas kesehatan yang ada. 2.4.4 Kesiapan Keluarga dalam Manerima Pasien Gangguan Jiwa Rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan memulangkan pasien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien dengan perawatan pasien dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama, terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurangnya keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi. Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ diawali dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian. Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang paling banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa ditengah tengah keluarga mereka (Francesca, 2010). Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji tentang kesiapan menerima pasien gangguan jiwa adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan keluarga
39 Universitas Sumatera Utara
Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran yang paling penting (Depkes RI, 2006). Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka dalam keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seterusnya. Perlakuan-perlakuan keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan, apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan kembali (Depkes RI, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan untuk kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan untuk mendukung kesembuhan penderita (Huda, 2012). Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (berobat) apabila gejala-gejala sudah menghilang/berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan (Huda, 2012). b. Sruktur keluarga
40 Universitas Sumatera Utara
Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunikasi yang memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling percaya, menghargai, memperhatikan dan menerima. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimiliki dan dianut keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga (Depkes RI, 2005). Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik. Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan (Depkes RI, 2005). c. Sistem Pendukung Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting (Depkes RI, 2005). Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental menyembunyikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan.
41 Universitas Sumatera Utara
Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Depkes RI, 2005). Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disayangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien (Depkes RI, 2005). Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada ditengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka butuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang.
42 Universitas Sumatera Utara
Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orangorang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya. Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita. Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orang-orang terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yangdapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh (Depkes RI, 2005). d. Sumber daya keluarga Sumber keuangan seperti ekonomi dan sumber keluarga. Pekerjaan pasien yang lalu baik pekerjaan yang pokok maupun sambilan. Kemampuan pasien untuk melakukan pekerjaan di rumah sakit jiwa dan kemungkinan klien untuk kembali ke pekerjaan semula atau harus mengganti pekerjaan yang baru (Depkes RI, 2005). Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien gangguan jiwa. Perawatan yang dibutuhkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa
43 Universitas Sumatera Utara
hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung.
2.5 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat jiwa, disertai pengembangan lingkungan yang mendukung pengembangan perilaku sehat jiwa. Pemberdayaan keluarga diperlukan untuk membantu keluarga merawat pasien gangguan jiwa dan mengatasi masalah dan beban dalam merawat pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga dapat dilakukan di masyarakat dan tatanan pelayanan kesehatan. Upaya pemberdayaan keluarga bertujuan membantu keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga, yaitu (1) mengenal gangguan jiwa anggota keluarganya, (2) menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan, (3) merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, (4) merawat diri sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), (5) memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa, (6) menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
2.5.1 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga Menurut Depkes RI (2006) pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, namun untuk berdayanya keluarga yang mengalami gangguan jiwa harus didukung seluruh pihak yang terkait dengan penanganan penderita gangguan jiwa. Kegiatan yang terkait adalah : a. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
44 Universitas Sumatera Utara
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat
serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa
dalam
pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa. b. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam merawat pasien gangguan jiwa. c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa. d. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat
serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa
dalam
peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga. e. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui kerjasama lintas sektor. f. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pencatatan dan pelaporan. g. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
45 Universitas Sumatera Utara
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa
dalam
monitoring dan evaluasi.
2.5.2 Strategi Pemberdayaan Keluarga Strategi yang harus dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, antara lain: a. Meningkatkan sosialisasi kebijakan, strategi dan materi program pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa pada seluruh stakeholder. b. Mengoptimalkan peran dan fungsi-fungsi sektor terkait sesuai dengan tugas pokok, dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, serta mekanisme kerja dan koordinasi program yang dilaksanakan secara sinkron dan sinergis dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa. c. Mengembangkan kelompok-kelompok jejaring dukungan keluarga (Family Support Network) yang berbasis wilayah, dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien gangguan jiwa. d. Meningkatkan kemandirian dan kualitas keluarga pasien gangguan jiwa.
2.5.3 Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Family Psychoeducation Family Psychoeducation (FPE) adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart dan Laraia, 2005). Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan pasien karena keluarga yang akan merawat pasien dirumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan
46 Universitas Sumatera Utara
jangka panjang. Psikoedukasi keluarga ini merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan jiwa professional sebagai bagian dari keseluruhan tindakan klinik untuk anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat dan Akemat, 2011). Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi kekambuhan pasien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi pasien dan keluarga sehingga mempermudah pasien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga atau orang lain (Keliat dan Akemat, 2011). Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif karena dalam
terapi mengandung
unsur
untuk meningkatkan
pengetahuan keluarga
tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala–gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik pengajaran untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart dan Laraia, 2005). Aktifitas program psychoeducational untuk keluarga menurut Stuart Laraia (2005),
dan
dapat meningkatkan kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu:
47 Universitas Sumatera Utara
Komponen didaktik: memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistem kesehatan jiwa. Kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan yaitu keluarga mampu mengetahui penyebab gangguan jiwa, tanda gejala gangguan jiwa akibatnya keluarga mampu untuk merawat pasien gangguan jiwa. Kebanyakan program pendidikan mempunyai batasan dan didesain terbatas terutama untuk pola pikir dan perilaku dari keluarga. Yang paling penting dari program psikoedukasi keluarga adalah bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan dan keluarga memberi kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan profesi kesehatan mental. Psikoedukasi keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga. Kenaikan kemampuan psikomotor pada kelompok intervensi dimungkinkan karena terapi psikoedukasi keluarga yang berkaitan dengan adanya komponen ketrampilan latihan yang terdiri dari: komunikasi, latihan menyelesaikan konflik, latihan asertif, latihan mengatasi perilaku dan mengatasi stress. Komponen latihan terdapat dalam tiga sesi, yaitu demonstrasi keluarga, cara berinteraksi dan berkenalan dengan orang lain, memperagakan cara beraktifitas dan meragakan cara memberikan obat pada pasien. Peningkatan kemampuan psikomotor ini kemungkinan berkaitan dengan teori belajar yang menjelaskan bahwa seorang belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan, peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan artinya seseorang mampu memiliki keterampilan tertentu bila terdapat jalinan positif dan stimuli yang diamati dan karakteristik diri seseorang. Kemampuan psikomotor dalam merawat klien ditujukan pada kemampuan keluarga untuk senantiasa memberi pujian dan penghargaan pada klien, berupaya memberi dukungan pengobatan dengan membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan. Notoatmodjo (2007) menentukan bahwa kecakapan untuk menyelesaikan problem
48 Universitas Sumatera Utara
praktis, meningkat pada usia 40-50 tahun. Kemampuan psikomotor didapatkan sebagian besar keluarga mampu meragakan cara berinteraksi, berkenalan dengan orang lain dan yang jarang dilakukan adalah mengontrol minum obat dan melibatkan dalam aktifitas, karena klien masih dirawat di rumah sakit. Penelitian Wardani dkk, (2006) dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Psikoedukasi Terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Halusinasi di Yogyakarta. Keluarga yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan yang bermakna sebesar 25,36 kali. Goldenberg (2004) menyatakan bahwa psikoedukasi adalah terapi yang diberikan untuk memberikan informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan pada mereka
untuk
meningkatkan
keterampilan,
untuk
dapat
memahami
dan
meningkatkan koping akibat gangguan jiwa yang dapat mengakibatkan masalah pada keluarga. Lawrenece dan Veronika (2002) mengungkapkan terjadi peningkatan 33% pada kelompok klien skizofrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi keluarga, karena dalam psikoedukasi keluarga berisi tentang: peningkatan hubungan yang positif antara anggota keluarga, meningkatkan stabilitas keluraga, menajemen stress keluarga, kemampuan motorik keluarga melalu role play. Dengan demikian dapat disimpulkan penelitian ini menjawab hipotesa bahwa terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan keluarga secara bermakna dalam merawat klien isolasi sosial. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu mengenal gangguan jiwa, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat (lingkungan tempat tinggal) dan tatanan pelayanan kesehatan, yaitu puskesmas, rumah sakit umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, dan rumah sakit jiwa.
49 Universitas Sumatera Utara
a. Upaya petugas kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat adalah perawat dan dokter Puskesmas yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal masalah, dilakukan dengan cara: 1. Memberikan penyuluhan gangguan jiwa tentang: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa. 2. Mendeteksi pasien gangguan jiwa melalui pengkajian. 3. Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4. Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5. Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6. Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.
b. Upaya petugas kesehatan di pelayanan kesehatan dalam membantu keluarga mengenal gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah perawat dan dokter puskesmas, rumah sakit umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, serta rumah sakit jiwa, yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga untuk mengenal masalah, dilakukan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dengan cara: 1. Menginformasikan tentang gangguan jiwa: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa, melalui informasi langsung pada pengunjung, pembagian pamflet, pemasangan poster. 2. Mendeteksi gangguan jiwa melalui pengkajian terhadap pasien yang berkunjung ke Puskesmas, rumah sakit umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Misalnya tenaga kesehatan mendeteksi pasien yang bicara atau
50 Universitas Sumatera Utara
senyum-senyum sendiri, atau tanda dan gejala gangguan jiwa lainnya, saat pasien sedang menunggu giliran panggilan untuk pemeriksaan. 3. Menjelaskan kondisi gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4. Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5. Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6. Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.
c.
Keluarga menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan upaya
pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan untuk merawat anggota yang mengalami gangguan jiwa dan merawat dirinya sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), dilakukan tenaga kesehatan dengan cara: 1.
Mendiskusikan dan membantu keluarga untuk dapat menetapkan pelayanan kesehatan jiwa untuk membantu proses penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga.
2.
Memotivasi keluarga untuk tetap menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa untuk penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga.
d. Keluarga merawat pasien (anggota keluarga yang menjadi care giver) Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk merawat diri sendiri diperlukan agar keluarga tetap dapat memberikan perawatan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat dan di pelayanan kesehatan dapat membantu keluarga mengatasi masalah dan mengurangi beban
yang dialami dengan cara memberikan
pendidikan kesehatan untuk
51 Universitas Sumatera Utara
mengatasi masalah dan beban yang dirasakan keluarga, yaitu dengan cara: memberikan psikoedukasi keluarga dan melatih manajemen stres.
e. Keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu memodifikasi lingkungan, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat dan pelayanan
kesehatan
dengan
cara
memberikan
pengetahuan
tentang
cara
menciptakan kondisi suasana lingkungan (fisik dan non fisik) yang dapat mendukung penyembuhan, mencegah kekambuhan, dan kepatuhan minum obat.
f. Keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga kesehatan dalam memfasilitasi keluarga pasien gangguan jiwa
menggunakan
fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, adalah: 1. Menginformasikan
pada keluarga tentang kondisi-kondisi pasien
yang
membutuhkan perawatan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. 2.
Menginformasikan tentang pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk mengatasi masalah keluarga.
3.
Menginformasikan keberadaan lintas sektor yang dapat digunakan untuk proses penyembuhan pasien.
4.
Memotivasi keluarga menggunakan lintas sektor untuk proses penyembuhan pasien.
5.
Menginformasikan tentang jejaring dukungan keluarga yang dapat digunakan untuk proses penyembuhan pasien.
6.
Memotivasi keluarga untuk terlibat dalam jejaring dukungan keluarga.
52 Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Kemampuan Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan merupakan komponen dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang orang disekitar pasien termasuk kader (Notoatmodjo, 2012). Keluarga sebagai care giver bagi pasien harus memiliki kemampuan-kemampuan tentang cara merawat pasien harga diri rendah kronik. Kemampuan yang harus dimiliki keluarga terdiri dari kemampuan memahami dan mengerti tentang cara meningkatkan kemampuan positif dan kemampuan memberikan bantuan dalam meningkatkan kemampuan positif. Kader kesehatan jiwa sebagai pendukung harus memiliki kemampuan dalam merawat pasien dengan harga diri. Kemampuan yang harus dimiliki kader adalah kemampuan dalam memberikan dukungan, dorongan dan motivasi melakukan kegiatan positif, memberikan reinforcement
positif atas keberhasilan pasien melakukan kegiatan positif dan
merujuk pasien bila ada penurunan kemampuan (Keliat, dkk, 2011). Keluarga penderita gangguan jiwa perlu dimotivasi untuk menghadapi keadaan secara realita, bahwa penderita gangguan jiwa membutuhkan dorongan agar dapat berfungsi secara optimal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Peran serta masyarakat melalui upaya promotif kesehatan jiwa sangat penting untuk mengurangi stigma terhadap gangguan jiwa, tanpa peran serta masyarakat maka upaya kesehatan jiwa tidak akan mencapai hasil seperti yang diinginkan. Misal perlu dijalin kerjasama dengan pesantren, baik promosi dan prevensi maupun terapi gangguan jiwa. Hal ini
53 Universitas Sumatera Utara
sangat penting karena sampai saat ini pesantren masih merupakan institusi yang dipercaya oleh masyarakat dan di indonesia jumlahnya banyak tersebar dimanamana. Dan hal yang paling penting adalah perubahan paradigma masyarakat agar tidak membiarkan kelompok resiko terkena gangguan jiwa ini tanpa perawatan. Orang yang mengalami gangguan jiwa memerlukan perhatian dan pengertian yang lebih, kasih sayang dan perhatian serta pengertian yang sungguh-sungguh merupakan kunci utama dalam merawat pasien gangguan jiwa. Pada aspek yang lain, keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus diberi penjelasan untuk dapat menerima kondisi pasien. Jika keluarga dan lingkungan masyarakat tidak menerima, akan menjadi masalah bagi pasien, keluarga dan masyarakat serta pemerintah. Keluarga sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung utama dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah. Oleh karena itu keluarga memiliki peran penting didalam upaya pencegahan kekambuhan penyakit pada klien jiwa. Melihat fenomena diatas, maka keluarga perlu mempunyai pemahaman mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan penyuluhan guna memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga. Dalam pelayanan kesehatan jiwa modern, petugas yang melakukan perawatan dan pengobatan memiliki tiga kewajiban terhadap pasien, yaitu (1) kewajiban memberikan
perawatan dan
pengobatan yang baik dan bermartabat untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam upaya mengurangi atau menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi dan kemampuan yang dimiliki pasien sebelumnya, atau sebagai tindakan rehabilitasi; (2) petugas memiliki kewajiban untuk membentuk dan mempertahankan pengobatan dan perawatan yang komprehensif kepada semua pasien yang membutuhkan; dan (3)
54 Universitas Sumatera Utara
kewajiban memperbaiki pengetahuan, baik tentang diagnostik maupun perawatan, dan memberikan pasien sebuah perawatan dan pengobatan sesuai kebutuhan, fleksibel sesuai dengan metode yang efektif (Aiyub, 2012). Orang yang bekerja dengan pasien gangguan jiwa harus memiliki rencana tindakan yang bagus, karena tujuan utama pelayanan kesehatan jiwa adalah menstimulasi perawatan pasien secara mandiri, penuh dukungan, dan membangun rasa saling percaya sehingga pasien dapat mengatasi permasalahan dalam kehidupannya, meningkatkan kemandirian, rasa memiliki, dan memperkuat kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Hasil yang diharapkan dari tindakan perawatan adalah pasien memiliki kemampuan mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian petugas harus berfungsi sebagai motivator bagi pasien dalam mengembangkan kepribadian mereka (Aiyub, 2012).
2.5.5 Komponen Psikoedukasi dalam Perawatan Gangguan Jiwa Psikoeduksi dikembangkan oleh Mottaghipour dan Bickerton pada tahun 2005 ahli kesehatan mental orang dewasa bekerjasama dengan Australian National Standards for Mental Health Services, berupa kerangka kebutuhan pelayanan keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental yang disebut Pyramid of Family Care. Menurut Mottaghipour dan Bickerton (2005), psikoedukasi adalah merupakan suatu tindakan yang diberikan kepada individu dan keluarga untuk memperkuat strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental. Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai tempat pada berbagai kelompok atau rumah tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media berupa catatan seperti poster, booklet, pamflet, video, dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Proses pemberian psikoedukasi sangat diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci
55 Universitas Sumatera Utara
keberhasilan intervensi. Perawat dapat membangun hubungan saling percaya agar dapat melakukan pengkajian yang tepat dan memberikan pengertian terhadap keluarga bagaimana psikoedukasi memberikan keuntungan pada mereka, dapat mengatasi dan mencegah terjadinya gangguan emosional dengan strategi koping yang efektif. Psikoedukasi adalah suatu tindakan yang diberikan untuk memperbaiki atau meningkatkan respon positif sesuai yang diharapkan yang difokuskan pada mempertahankan keutuhan psikososial (self concept needs), perubahan fungsi atau peran dan ketergantungan atau kebutuhan interaksi. Psikoedukasi dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan dengan metode atau cara eksplorasi, asesmen, diskusi, bermain peran dan demonstrasi. Menurut Albin (2001) pemberian psikoedukasi mengenai perubahan-perubahan yang dialami selama hidup dan bersikap terbuka dengan orang lain, serta penggunaan koping yang efektif dapat membantu untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik dan dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi, mengurangi depresi dan menumbuhkan rasa percaya diri. Menurut Bastable (2002) pendidikan keluarga dalam bentuk psikoedukasi merupakan pendidikan atau pelatihan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa yang akan membantu orang tersebut dalam proses pengobatan dan rehabilitasi. Psikoedukasi
keluarga
diimplementasikan
dengan
pendekatan
secara
terstruktur dan eksperiantial. Pendidikan dianggap berhasil apabila pengetahuan keluarga meningkat secara signifikan. Jewell et al (2009) menyatakan bahwa psikoedukasi yang mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarga menunjukkan hasil yang konsisten terhadap peningkatan pemulihan penderita. Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah komponen didaktik, berupa
56 Universitas Sumatera Utara
pendidikan kesehatan, yang menyediakan informasi mengenai penyakit dan system kesehatan jiwa; komponen keterampilan, yang menyediakan pelatihan tentang komunikasi, penyelesaian konflik, pemecahan masalah, asertif, manajemen perilaku dan manajemen stres; komponen emosional, yaitu memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan disertai dukungan emosional; serta komponen sosial, yaitu peningkatan penggunaan jejaring formal dan non formal. Menurut Jewell et al (2009) serta Stuart dan Laraia (2005) upaya mendukung keberhasilan psikoedukasi keluarga yang mengalami gangguan jiwa perlu didesain dengan komponen-komponen sebagai berikut : a. Komponen Didaktik Komponen didaktik ini merupakan metode memberikan informasi dengan cara yang tidak menakutkan. Lama waktu penyampaian informasi ini disesuaikan dengan kemampuan penerima, metode pengajaran dilakukan secara bervariasi untuk memperkuat dan mempertahankan minat peserta, penjelasan diberikan menggunakan bahasa yang sederhana. Peserta penyuluhan diberikan waktu istirahat sebagai kesempatan untuk dapat digunakan mempraktekkan apa yang telah diinformasikan. b. Komponen Keterampilan Komponen keterampilan merupakan metode yang dilakukan dengan pendekatan behavioural. Komponen ini menekankan pada keterampilan melalui suatu proses belajar dengan 4 tahap, yaitu:
modeling keterampilan oleh para terapis atau
tenaga penyuluh, permainan peran dan mempraktekkan keterampilan, para peserta diberi tugas yang akan dipraktekkan di rumah dalam kehidupan sehari-hari dengan pasien gangguan jiwa, para penyuluh mendapatkan umpan balik tentang keberhasilan dalam mempelajari keterampilan (Robert dan Greene, 2008).
57 Universitas Sumatera Utara
c. Komponen Emosi Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003) mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari 3 aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi kebutuhan otonomi individu. Hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa : (1) membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. (2) pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa. (3) mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan jiwa. (4) komunikasi sangat penting untuk membangun kepercayaan antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan mengerti bahwa kondisi yang mereka alami membahayakan
apabila
penderita
gangguan
jiwa
mempercayai
untuk
mengungkapkan perasaannya. d. Komponen Proses Keluarga
58 Universitas Sumatera Utara
Kontak dengan klien dan keluarga dalam keperawatan jiwa menjadi sangat penting,
karena
intervensi
dan
implementasi
asuhan
keperawatannya
memfokuskan secara langsung kepada klien dan keluarga, hal tersebut menjadi sangat penting terutama untuk keluarga intensitas pemberian pendidikan kesehatan melalui psikoedukasi keluarga mempunyai peranan penting untuk dilaksanakan. ntervensi selanjutnya adalah terapi psikoedukasi kepada keluarga klien dan hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan meminimkan tingkat stressor yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Intervensi ini dapat dikatakan berhasil karena keluarga sangat kooperatif terhadap pelaksanaan terapi dan keluarga klien mempunyai motivasi yang tinggi untuk mendukung kesembuhan klien. Intervensi pertama yang dilakukan oleh terapi ini hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan meminimkan tingkat stresor yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat menyebabkan stres pada individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres seseorang, yaitu: (1) sifat menerima keadaan; (2) pengalaman dalam mengatasi stres; (3) karakteristik individu; (4) persepsi tentang stres; (5) strategi koping; dan (6) dukungan sosial. Koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Koping merupakan beberapa respon yang berkesinambungan sebagai akibat dari stres. Faktor dari keterampilan koping yaitu: (1) fokus masalah; (2) pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan (4) pengaturan diri. Koping didefinisikan
sebagai
usaha
kognitif
dan
perilaku
seseorang
untuk
mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses koping, individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada lingkungannya; (2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung lingkungan, serta
59 Universitas Sumatera Utara
kemampuan
untuk
mengorganisasikan
elemen-elemen
tersebut;
dan
(3)
menggunakan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor penyebab stres, seseorang menggunakan strategi koping untuk mengurangi tekanan yang timbul. Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. e. Komponen Sosial Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, dukungan yang di terima keluarga berupa perhatian bantuan yang di terima dari luar, informasi yang di terima dari luar keluarga, bantuan finansial yang diterima dari luar keluarga dan bantuan keagamaan yang diterima dari luar keluarga. Dukungan sosial yang meliputi jaringan kerja spontan dan informal, dukungan-dukungan terorganisir non tenaga kesehatan dan dukungan terorganisir dari tenaga kesehatan. Bentuk dukungan sosial yang diberikan adalah dukungan pemeliharaan dan emosi bagi anggota keluarga. Menurut Magliano (2008), tingkat beban sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya dukungan sosial yang diterima oleh care giver. Dukungan sosial dapat membantu keluarga mengembangkan strategi koping yang efektif dan menurunkan stress yang dirasakan. Dukungan sosial yang diterima keluarga dalam merawat anggota keluarganya dengan halusinasi merupakan akumulasi dari dukungan-dukungan yang diperoleh dari luar keluarganya, disusun berdasarkan
60 Universitas Sumatera Utara
kategori-kategori sebagai berikut dukungan dalam bentuk motivasi, informasi yang di peroleh dari luar keluarga, bantuan materi dan bantuan dalam bentuk spiritual yang berasal dari luar keluarga. Bantuan keagamaan dari masyarakat, keyakinan terhadap Tuhan dan berdoa didefinisikan oleh keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga mengatasi stressor yang berkaitan dengan kesehatan, selain itu dukungan spiritual juga membantu keluarga mentoleransi adanya ketegangan yang kronis dan lama dalam keluarga (Friedman, 1998). Berbagai program menggunakan bermacam teknik untuk menerapkan berbagai strategi di atas. Dibandingkan dengan berbagai terapi standar (biasa hanya pemberian obat), terapi keluarga ditambah pemberian obat umumnya menurunkan tingkat kekambuhan dalam periode satu hingga dua tahun. Temuan positif ini diperoleh terutama dalam berbagai studi dimana penanganan berlangsung sekurangkurangnya sembilan bulan (Davison, Neale dan Kring, 2006).
2.6 Keberfungsian Sosial Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Konsep ini pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Penampilan dianggap efektif diantaranya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugastugasnya, Menurut Achlis dalam bukunya, Praktek Pekerjaan Sosial I (2011:15),
61 Universitas Sumatera Utara
keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi sosial tertentu yang bertujuan untuk mewujudkan nilai dirinya demi pencapaian kebutuhan hidup. . Baker, Dubois dan Miley (1992) menyatakan bahwa keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa manusia adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas kehidupannya. Bahwa manusia memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan. Bahwa manusia memiliki dan/atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya. Barlett menyatakan bahwa keberfungsian sosial merupakan fokus utama pekerjaan sosial. Menurut Barlett keberfungsian sosial adalah kemampuan mengatasi (coping) tuntutan (demands) lingkungan yang merupakan tugas-tugas kehidupan. Dalam kehidupan yang baik dan normal terdapat keseimbangan antara tuntutan lingkungan
dan
kemampuan
mengatasinya
oleh
individu.
Kalau
terjadi
ketidakseimbangan antara keduanya maka terjadi masalah, misalnya tuntutan lingkungan melebihi kemampuan mengatasi yang dimiliki individu. Dalam hal ini pekerjaan
sosial
membantu
menyeimbangkan
tuntutan
lingkungan
dengan
kemampuan mengatasinya oleh individu (Fahrudin, 2012: 62). Pekerjaan sosial berhubungan dengan keberfungsian sosial semua orang tapi prioritasnya
yaitu
pada
masalah
pemenuhan
kebanyakan
anggota-anggota
masyarakat yang rentan. Pada dasarnya masyarakat yang rentan ini adalah korban dari situasi pengabaian, ketidakadilan sosial, diskriminasi dan penindasan. Termasuk
62 Universitas Sumatera Utara
juga di dalamnya anak-anak dan remaja, lansia, perempuan, individu yang hidup dalam kemiskinan, individu yang mempunyai keterbatasan fisik, orang yang sakit mental dan emosional, gay dan lesbian dan kelompok minoritas. Dalam melaksanakam komitmen untuk meningkatkan keberfungsian sosial orang, pekerja sosial menangani penyediaan intervensi sosial bagi mereka yang mempunyai keterbatasan kapasitas dan kesempatan untuk berfungsi secara penuh. Pelayanan intervensi sosial mungkin menjadi penanganan yang paling menolong. Akhirnya, karena orang mungkin ingin meningkatkan keberfungsian sosialnya ketika dia sedang menghadapi masalah yang membelitnya, maka pekerja sosial perlu memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada orang tersebut. Fokus atau pusat perhatian pekerjaan sosial yaitu social functioning atau keberfungsian
sosial.
Pekerjaan
sosial
berusaha
untuk
memperbaiki,
mempertahankan atau meningkatkan keberfungsian sosial orang, kelompok atau masyarakat (Fahrudin, 2012: 43). Keberfungsian sosial menunjukkan keseimbangan pertukaran, kesesuaian, kecocokan dan penyesuaian timbal balik antara orang secara individual atau secara kolektif, dan lingkungan mereka. Keberfungsian sosial dinilai berdasarkan apakah keberfungsian sosial tersebut memenuhi kebutuhan dan memberikan
kesejahteraan
kepada
orang
dan
komunitasnya,
dan
apakah
keberfungsian sosial itu normal dan dibenarkan secara sosial ( Fahrudin, 2012: 62). Berdasarkan penjelasan mengenai keberfungsian sosial di atas, keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat narkoba diungkap melalui skala Indikator peningkatan keberfungsian sosial yang dapat dilihat dari ciri-ciri seperti yang diungkapkan Achlis (2011:22): a. Individu mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya b. Individu intens menekuni hobi serta minatnya
63 Universitas Sumatera Utara
c. Individu memiliki sifat afeksi pada dirinya dan orang lain atau lingkungannya d. Individu menghargai dan menjaga persahabatan e. Individu mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik f. Individu semakin bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya g. Individu memperjuangkan tujuan hidupnya h. Individu belajar untuk disiplin dan memanajemen diri i. Individu memiliki persepsi dan pemikiran yang realistik
2.7 Kerangka Pemikiran Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga dipandang sebagai satu sistem sehingga gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi sistem, disfungsi dalam keluarga dapat sebagai penyebab gangguan. Berbagai pelayanan keperawatan jiwa bukan tempat klien seumur hidup. Salah satu faktor penyebab gangguan jiwa adalah keluarga tidak tahu cara merawat klien dirumah. Kenyataannya banyak klien di RSJ yang jarang dikunjungi keluarga, keluarga tidak mengikuti proses perawatan klien. Tim kesehatan jiwa di rumah sakit merasa bertanggug jawab terhadap upaya penyembuhan klien
dan
jarang melibatkan keluarga. Setelah sembuh, RS
memulangkan klien, beberapa hari, minggu, bulan klien kembali dirawat dengan alasan perilaku klien tidak bisa diterima oleh keluarga dan lingkungan. Hal tersebut terjadi karena selama dirumah klien tidak boleh keluar dan gerak-gerik klien selalu diawasi dan curigai. Keluarga mempunyai tangung jawab dalam proses keperawatan di rumah sakit, persiapan pulang dan perawatan di rumah. Upaya mencapai kemampuan keluarga dalam merawat pasien ganguan jiwa adalah suatu cara untuk menata kembali masalah gangguan jiwa (Stuart dan Sundeen, 2009). Tujuan dari perawatan tersebut adalah : (a) menurunkan konflik kecemasan keluarga, (b) 64 Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kesadaran keluarga terhadap kebutuhan masing-masing anggota kelu arga,
(c)
meningkatkan
kemampuan
penanganan
terhadap
krisis,
(d)
mengembangkan hubungan peran yang sesuai, (d) membantu keluarga menghadapi tekanan dari dalam maupun dari luar anggota keluarga, dan (e) meningkatkan kesehatan jiwa keluarga sesuai dengan tingkat perkembangan anggota keluarga. Komponen psikoedukasi yang dilakukan tenaga kesehatan (perawat) kepada keluarga dalam persiapan pulang dan perawatan di rumah adalah : (1) komponen didaktik : memberikan informasi dan pendidikan tentang gangguan jiwa, sistem kesehatan jiwa dan pelayanan keperawatan jiwa, (2) komponen keterampilan : latihan komunikasi, asertif (kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas, terbuka, sopan, spontan, apa adanya), menyelesaikan konflik, mengatasi perilaku dan manajemen stress, (3) komponen emosi : memberikan kesempatan untuk memvalidasi perasaan
dan
bertukar pengalaman, (4) komponen proses
keluarga fokus pada koping keluarga dan gejala sisa terhadap keluarga yaitu upaya penyesuaian dan
penanganan agar individu beradaptasi
dalam keluarga dan
mengkondisikan keluarga yang adaptif bagi penderita gangguan jiwa, (5) komponen sosial : meningkatkan penggunaan dukungan jaringan formal atau informal untuk klien dan keluarga (Jewell et al, 2009). Keberfungsian sosial adalah kemampuan individu dalam melakukan kegiatankegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan menjalankan tugas-tugas serta peran sosialnya. Untuk mengetahui adanya pengaruh psikoedukasi yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit terhadap keluarga pasien, maka perlu dilakukan pengukuran keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat narkoba yang diungkap melalui skala keberfungsian sosial yang disusun berdasarkan aspek sosial menurut Achlis dalam bukunya, Praktek Pekerjaan Sosial I (2011:15),
65 Universitas Sumatera Utara
keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi sosial tertentu yang bertujuan untuk mewujudkan nilai dirinya demi pencapaian kebutuhan hidup. Indikator peningkatan keberfungsian sosial dapat dilihat dari ciri-ciri seperti yang diungkapkan Achlis (2011:22): a. Individu mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya b. Individu intens menekuni hobi serta minatnya c. Individu memiliki sifat afeksi pada dirinya dan orang lain atau lingkungannya d. Individu menghargai dan menjaga persahabatan e. Individu mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik f. Individu semakin bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya g. Individu memperjuangkan tujuan hidupnya h. Individu belajar untuk disiplin dan memanajemen diri i. Individu memiliki persepsi dan pemikiran yang realistik
66 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Bagan Alur Pikir Psikoedukasi Keluarga di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara : 1. Komponen Didaktik 2. Komponen Keterampilan 3. Komponen Emosi 4. Koping Keluarga 5. Komponen Sosial
Keluarga Pasien Gangguan Jiwa Akibat Ketergantungan Narkoba yang Menerima Program
Keberfungsian Sosial : 1. Individu mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya 2. Individu intens menekuni hobi serta minatnya 3. Individu memiliki sifat afeksi pada dirinya dan orang lain atau lingkungannya 4. Individu menghargai dan menjaga persahabatan 5. Individu mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik 6. Individu semakin bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya 7. Individu memperjuangkan tujuan hidupnya 8. Individu belajar untuk disiplin dan memanajemen diri 9. Individu memiliki persepsi dan pemikiran yang realistik 67 Universitas Sumatera Utara
2.7 Hipotesis Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara. Hipotesis yang baik harus menyatakan hubungan yang jelas dan tegas antara dua atau lebih variabel dan juga membenarkan, bahkan memerlukan pengujian atas kebenaran pernyataan yang dirumuskan (Siagian, 2011:148). Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : Ha : Ada pengaruh program psikoedukasi keluarga terhadap keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Ho : Tidak ada pengaruh program psikoedukasi keluarga terhadap keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
2.8 Definisi Konsep Defenisi konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan meyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).
68 Universitas Sumatera Utara
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi maknamakna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138). Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Pengaruh dalam penelitian ini adalah suatu daya atau kekuatan yang timbul dari sesuatu, baik itu orang maupun benda serta segala sesuatu yang ada di alam sehingga mempengaruhi apa-apa yang ada di sekitarnya. 2. Psikoedukasi keluarga dalam penelitian ini adalah sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, dan pengetahuan mengenai cara perawatan yang diberikan rumah sakit kepada keluarga subjek agar keluarga dapat menerima kondisi subjek dan dapat melakukan perawatan sendiri setelah subjek dipulangkan dari perawatan rumah sakit. 3. Keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. 4. Rumah Sakit Jiwa Sumatera Utara sebuah pusat pelayanan kesehatan jiwa yang berupaya memberikan pelayanaan kesehatan dan jiwa secara profesional untuk kepuasan masyarakat.
2.9 Definisi Operasional Perumusan definisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan definisi konsep. Definisi operasional sering disebut sebagai suatu proses
69 Universitas Sumatera Utara
operasionalisasi konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semul a bersifat statis menjadi dinamis. Wujud operasionalisasi konsep adalah dalam bentuk sajian yang benar-benar terperinci, sehingga makna dan aspek-aspek yang terangkum dalam konsep tersebut terangkat dan terbuka. Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel dapat diukur (Siagian, 2011 : 141). Variabel bebas (x) dalam penelitian ini adalah program psikoedukasi keluarga bagi keluarga pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara: a. Komponen didaktik: memberikan informasi dan pendidikan tentang gangguan jiwa, sistem kesehatan jiwa dan pelayanan keperawatan jiwa: 1. Lama waktu penyampaian informasi disesuaikan dengan kemampuan peserta. 2. Metode pengajaran bervariasi untuk memperkuat dan mempertahankan minat peserta. 3. Menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti. 4. Peserta penyuluhan diberi waktu untuk mempraktekkan apa yang telah diinformasikan. b. Komponen keterampilan : latihan komunikasi, asertif (kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas, terbuka, sopan, spontan, apa adanya): 1. Modeling keterampilan oleh para terapis atau tenaga penyuluh 2. Permainan peran dan mempraktekkan keterampilan 3. Peserta diberi tugas yang akan dipraktekkan di rumah dalam kehidupan sehari-hari dengan pasien gangguan jiwa
70 Universitas Sumatera Utara
4. Penyuluh mendapatkan umpan balik tentang keberhasilan dalam mempelajari keterampilan c. Komponen emosi : memberikan kesempatan untuk memvalidasi perasaan dan bertukar pengalaman, menyelesaikan konflik, mengatasi perilaku dan manajemen stress: 1. Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. 2. Melakukan pendekatan secara spiritual 3. Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi tentang gangguan jiwa. 4. Komunikasi yang baik antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat mengungkapkan perasaan yang dirasakannya sehingga keluarga mengerti bahwa kondisi yang mereka alami
membahayakan
apabila
penderita
gangguan
jiwa
tidak
mempercayai keluarga dalam mengungkapkan perasaannya d. Komponen proses keluarga fokus pada koping keluarga dan gejala sisa terhadap keluarga yaitu upaya penyesuaian dan penanganan agar individu beradaptasi dalam keluarga: 1. Keluarga belajar mengerti dan memahami permasalahan yang dialami pasien 2. Keluarga sebisa mungkin mengkondisikan lingkungan yang bebas dari tekanan 3. Melakukan kontrol emosi yang baik dalam keluarga
71 Universitas Sumatera Utara
4. Melakukan pengaturan diri dalam upaya menyesuaikan keadaan pasien e. Komponen sosial : meningkatkan penggunaan dukungan jaringan formal atau informal untuk klien dan keluarga dan mengkondisikan keluarga yang adaptif bagi penderita gangguan jiwa: 1. Dukungan pemeliharaan dan emosi bagi anggota keluarga. 2. Dukungan dalam bentuk motivasi dari luar keluarga 3. Dukungan informasi yang diperoleh dari luar keluarga 4. Dukungan finansial dari luar keluarga 5. Bantuan keagamaan dari masyarakat, keyakinan terhadap Tuhan dan berdoa didefinisikan sebagai cara penting mengatasi stressor dalam keluarga.
Variabel terikat (y) dalam penelitian ini adalah keberfungsian sosial pasien gangguan jiwa akibat ketergantungan narkoba di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara: menurut Achlis dalam bukunya, Praktek Pekerjaan Sosial I (2011:15), keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi sosial tertentu yang bertujuan untuk mewujudkan nilai dirinya demi pencapaian kebutuhan hidup. Indikator peningkatan keberfungsian sosial dapat dilihat dari ciri-ciri seperti yang diungkapkan Achlis (2011:22): a. Individu mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya b. Individu intens menekuni hobi serta minatnya c. Individu memiliki sifat afeksi pada dirinya dan orang lain atau lingkungannya d. Individu menghargai dan menjaga persahabatan e. Individu mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik f. Individu semakin bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya 72 Universitas Sumatera Utara
g. Individu memperjuangkan tujuan hidupnya h. Individu belajar untuk disiplin dan memanajemen diri i. Individu memiliki persepsi dan pemikiran yang realistik
73 Universitas Sumatera Utara