BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecelakaan Kerja 2.1.1 Definisi Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui (Kepmenaker, 1999). Selain itu menurut Suma’mur (2009), kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan kegiatan pada perusahaan, yang berarti bahwa kecelakaan yang terjadi dikarenakan oleh pekerjaan dan pada waktu melakukan pekerjaan serta kecelakaan yang terjadi pada saat perjalanan ke dan dari tempat kerja.
2.1.2 Penyebab Kecelakaan Kerja Terjadinya kecelakaan kerja umumnya disebabkan beberapa faktor, antara lain faktor manusia, peralatan, manajemen dan lokasi kerja. Menurut Ramli (2010), penyebab kecelakaan kerja pada umumnya digolongkan menjadi dua yaitu perilaku pekerja itu sendiri (faktor manusia) dan kondisi-kondisi pekerjaan (faktor lingkungan kerja). Bird dan Germain dalam Tarwaka (2008) dengan teori loss causation models, menjelaskan bahwa suatu kerugian disebabkan oleh serangkaian faktor-faktor yang berurutan yang terdiri dari lack of control, basic causes, immediate causes, accident dan loss
7
8
Menurut Tarwaka (2008), 85% sebab kecelakaan kerja adalah faktor manusia. Oleh karena itu sumber daya manusia dalam hal ini memegang peranan penting dalam penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tenaga kerja yang membiasakan dirinya dalam keadaan aman dan melakukan pekerjaan dengan aman akan sangat membantu mengurangi angka kecelakaan kerja. Pada penelitian Maulidhasari et al. (2011), rata-rata skor perilaku berbahaya (unsafe action) di PT. Indonesia Power UBP Semarang pada bagian unit intake periode Oktober 2010 - Desember 2010 adalah 25,8 (tinggi) dan sebanyak 53,3% responden memiliki kategori perilaku cukup berbahaya yang berisiko untuk terjadi kecelakaan kerja. Menurut penelitian Setyawan (2015), terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja pada karyawan PT.Coca-Cola Amatil Indonesia yaitu, perilaku berbahaya (unsafe action) sebanyak 80% dan faktor kondisi jalan (unsafe condition) sebanyak 20%.
2.1.3 Klasifikasi Kecelakaan Kerja Menurut ILO dalam Triwibowo dan Pusphandani (2013), klasifikasi menurut jenis kecelakaan (terjatuh, tertimpa, tertumbuk, terjepit), klasifikasi kecelakaan menurut penyebab (mesin, alat angkat-angkut, peralatan lain, lingkungan, hewan), klasifikasi kecelakaan menurut sifat luka (robek, tersayat, patah tulang, keseleo, luka bakar, memar dll) dan klasifikasi kecelakaan menurut letak luka (kepala, leher, badan, kaki, dan tangan).
9
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rajagukguk (2009) pada pekerja pengolahan kebun sawit PTPN IV Bah Jambi, menyimpulkan bahwa jenis kecelakaan pekerja pada umumnya adalah kontak atau tertumpah bahan kimia yang berbahaya dan letak luka berada pada tangan dan kepala. Penelitian yang dilakukan oleh Wibisono (2013) menunjukkan bahwa sebagian responden sering mengalami kecelakaan kerja sebesar 51,8% dengan jenis kecelakaan kerja yang terjadi yaitu terpeleset dan tersandung sebanyak 37,5 % dan terjatuh sebanyak 33,95%. Berdasarkan sifat luka, responden mengalami luka sayat/iris sebanyak 58,95% dan terkilir sebanyak 55,4%, sedangkan berdasarkan letak luka, responden mengalami kecelakaan kerja pada bagian kaki sebanyak 51,8%, tangan sebanyak 50% dan lengan sebanyak 50%. Penelitian yang dilakukan oleh Parubak, dkk (2009) pada pekerja Rumah Sakit Elim Makassar dengan jenis kecelakaan kerja terbanyak adalah teriris (30%), tertusuk (25%) dan terjatuh (17%). Untuk sifat cedera berat sebanyak 94,7% dan cedera ringan sebanyak 5,3%. Untuk letak luka semua kecelakaan (100%) termasuk dalam luka serius dan harus dirawat selama lebih dari satu hari.
2.1.4 Pencegahan Kecelakaan Kerja Menurut Tarwaka (2008) pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan metode eliminasi, subsitusi, rekayasa teknik, pengendalian administratif dan penggunaan APD pada pekerja. Menurut Irianto (2013) pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan subsitusi, isolasi, ventilasi umum, ventilasi keluar setempat, penggunaan APD, pemeriksaan pra-kerja, pemeriksaan khusus dan berkala serta pendidikan tentang
10
kesehatan dan keselamatan kerja. Pencegahan kecelakaan kerja menurut Suma’mur (2009) ditujukan kepada lingkungan, mesin, peralatan kerja, perlengkapan kerja dan terutama faktor manusia. Pada penelitian Ahmad (2000), menyatakan bahwa dengan menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang melibatkan unsur manajernen, tenaga kerja dan lingkungan kerja yang terpadu, berpotensi mengurangi jumlah kecelakaan kerja di tiap-tiap unit kerja. Sedangkan pada penelitian Angkat (2008), pemberian pelatihan, penyuluhan dan pemakaian APD yang benar dapat memperkecil angka kecelakaan kerja.
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecelakaan Kerja Menurut ILO dalam Triwibowo dan Puspandhani (2013) faktor penyebab kecelakaan kerja yaitu faktor pekerja (usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan), faktor pekerjaan (shift kerja, unit kerja) dan faktor lingkungan kerja (faktor fisik, kimia, biologi, fisiologis dan psikologis). Beberapa penelitian menyebutkan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja. Hernawati (2008) dalam penelitiannya terhadap pekerja area pertambangan PT. Antam UBPE Pongkor Jawa Barat, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur dan unit kerja dengan kecelakaan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2014) pada pekerja PT. Aqua Golden Missisipi Bekasi, menyatakan bahwa pengetahuan, sikap, kepatuhan terhadap prosedur, pengawasan, dan housekeeping berhubungan dengan kejadian kecelakaan kerja. Dari beberapa hasil penelitian tersebut terdapat pola penyebab kecelakaan
11
kerja yang sama yaitu faktor karakteristik pekerja, faktor pekerjaan dan faktor lingkungan
2.2.1 Faktor Karakteristik Pekerja Menurut ILO dalam Triwibowo dan Pusphandani (2013), menyebutkan bahwa usia, jenis kelamin, masa kerja, pengetahuan dan sikap merupakan faktor pekerja yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan. Penelitian Hernawati (2008), menyatakan bahwa pekerja yang berusia lebih muda memiliki kecenderungan terjadinya kecelakaan kerja. Menurut Triwibowo dan Puspandhani (2013), banyak alasan mengapa tenaga kerja usia muda mempunyai kecenderungan untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan golongan tua. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah akibat golongan muda kurang perhatian, kurang disiplin, cenderung menuruti kata hati dan ceroboh. Penelitian yang dilakukan oleh Afini et al. (2012), menunjukkan sebagian besar kecelakaan kerja terjadi pada subyek penelitian yang berumur di bawah 50 tahun. Sedangkan penelitian Jawawi (2008), pekerja dengan jenis kelamin perempuan lebih sering mengalami kecelakaan kerja. Laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan secara fisik dan psikis, sehingga analisis kecelakaan kerja selalu melihat jenis kelamin sebagai bagian yang penting. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bisa dilihat dari fisik seperti kemampuan otot, daya tahan tubuh, postur dan sebagainya, sehingga akan dapat berhubungan dengan kejadian kecelakaan kerja. Pada penelitian Jaji (2012), menyatakan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja baru, lebih sering mengalami kecelakaan kerja. Penelitian dengan studi retrospekstif di Hongkong dengan 383 kasus juga membuktikan bahwa kecelakaan
12
akibat kerja karena mesin terutama terjadi pada pekerja dengan pengalaman kerja di bawah satu tahun (Tribowo dan Pusphandani, 2013). Penelitian Riyadina et al. (2007), menyatakan bahwa pekerja yang menggunakan APD yang tidak sesuai, berisiko 2,2 kali mengalami kecelakaan kerja dibandingkan dengan pekerja yang tidak memakai APD terutama pekerja yang menggunakan sarung tangan yang membuat pekerja tidak merasa nyaman atau mengganggu aktifitas kerja sehingga pemakaian APD yang tidak tepat dianggap membahayakan atau menambah risiko kecelakaan kerja.
2.2.2 Faktor Pekerjaan Menurut ILO dalam Triwibowo dan Pusphandani (2013), faktor-faktor pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan kerja adalah shift kerja, pengawasan dan unit/ jenis pekerjaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahmad dan Komaruyaman (2012), bahwa 60% kecelakaan kerja terjadi pada pekerja PT. Pertamina RU VI Balongan pada shift pagi. Menurut Triwibowo dan Puspandhani (2013), terdapat dua masalah utama pada pekerja yang bekerja secara bergiliran, yaitu ketidakmampuan pekerja untuk beradaptasi dengan sistem shift dan ketidakmampuan pekerja dengan kerja malam hari dan tidur siang hari. Pergeseran waktu kerja dari pagi, siang, sore dan malam dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan kerja. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2014), terdapat hubungan antara pengawasan dengan kejadian kecelakaan kerja. Pengawasan adalah suatu pekerjaan yang berarti mengarahkan atau memberi tugas, menyediakan instruksi,
13
pelatihan dan nasihat kepada individu termasuk mendengarkan dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan serta menanggapi keluhan bawahan. Penelitian yang dilakukan oleh Jawawi (2008), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara unit kerja dengan kecelakaan kerja. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Hernawati (2008), terdapat hubungan antara unit kerja dengan kejadian kecelakaan kerja. Unit kerja merupakan bagian kecil dalam sebuah institusi dan barang atau jasa yang menjadi lokasi seseorang pekerja melakukan pekerjaan (Triwibowo dan Pusphandani, 2013).
2.2.3 Faktor Lingkungan Kerja Faktor lingkungan kerja yang berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan kerja adalah faktor fisik (kebisingan, pencahayaan, suhu), faktor kimia dan faktor biologi (Triwibowo dan Pusphandani, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Evifania dan Khayan (2013) pada pekerja PT. Parindu XIII Sanggau, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kecelakaan kerja, sedangkan untuk kebisingan dan suhu tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kecelakaan kerja.
2.3 Sampah Menurut World Health Organization (WHO), sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang,
14
sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup. Dari segi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (Chandra, 2007).
2.3.1 Jenis dan Karakteristik Sampah 2.3.1.1 Jenis Sampah Menurut Chandra (2007), pada prinsipnya sampah dibagi menjadi sampah padat, sampah cair dan sampah dalam bentuk gas (fume, smoke). Sampah padat dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya 1) Sampah anorganik, misalnya: logam-logam, pecahan gelas, dan plastik. 2) Sampah organik, misalnya: sisa makanan, sisa pembungkus dsb. b. Berdasarkan mudah tidaknya terbakar 1) Mudah terbakar, misalnya: kertas, plastik, kain, kayu. 2) Tidak mudah terbakar, misalnya: kaleng, besi, gelas. c. Berdasarkan mudah tidaknya membusuk 1) Mudah membusuk misalnya: sisa makanan, potongan daging. 2) Sukar membusuk misalnya: plastik, kaleng, kaca.
15
2.3.1.2 Sumber-Sumber Sampah Menurut Chandra (2007), sampah yang ada di permukaan bumi ini dapat berasal dari beberapa sumber berikut: a.
Pemukiman penduduk Sampah di suatu pemukiman biasanya dihasilkan oleh satu atau beberapa keluarga yang tinggal dalam suatu bangunan atau asrama yang terdapat di Desa atau di Kota. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya sisa makanan dan bahan sisa proses pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering (rubbsih), perabotan rumah tangga, abu atau sisa tumbuhan kebun.
b.
Tempat umum dan tempat perdagangan Tempat umum adalah tempat yang memungkinkan banyak orang berkumpul dan melakukan kegiatan termasuk juga tempat perdagangan. Jenis sampah yang dihasilkan dari tempat semacam itu dapat berupa sisa-sisa makanan (garbage), sampah kering, abu, sisa bangunan, sampah khusus, dan terkadang sampah berbahaya.
c.
Sarana layanan masyarakat milik pemerintah Sarana layanan masyarakat yang dimaksud disini antara lain, tempat hiburan dan umum, jalan umum, tempat parkir, tempat layanan kesehatan (misalnya rumah sakit dan puskesmas), kompleks militer, gedung pertemuan, pantai empat berlibur, dan sarana pemerintah lain. Tempat tersebut biasanya menghasilkan sampah khusus dan sampah kering.
d.
Industri berat dan ringan Dalam pengertian ini termasuk industri makanan dan minuman, industri kayu, industri kimia, industri logam dan tempat pengolahan air kotor dan air minum
16
dan kegiatan industri lainnya, baik yang sifatnya distributif atau memproses bahan mentah saja. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah dan kering, sisa bangunan, sampah khusus dan sampah berbahaya. e.
Sampah yang dihasilkan dari tanaman dan binatang. Lokasi pertanian seperti kebun, ladang ataupun sawah menghasilkan sampah berupa bahan-bahan makanan yang telah membusuk, sampah pertanian, pupuk, maupun bahan pembasmi serangga tanaman.
2.3.2 Pengelolaan Sampah oleh DKP Kota Denpasar Data volume sampah dari DKP Kota Denpasar menunjukkan jumlah yang cukup besar yaitu 1.247.769 m3 pada tahun 2014. Pengelolaan ini sepenuhnya dilakukan oleh DKP Kota Denpasar. DKP Kota Denpasar memiliki dua sub-Dinas yaitu Kebersihan dan Pertamanan. Sub-Dinas kebersihan terdiri dari penyapuan, pengangkutan dan pengumpulan. Sub-Dinas Operasional kebersihan memiliki ruang lingkup kegiatan meliputi kegiatan penyapuan, pengumpulan sampah dan kegiatan pengangkutan sampah di wilayah yang dilayani. Di samping membersihkan ruas-ruas jalan, pelayanan penyapuan diperbantukan dalam beberapa kegiatan atau pameran seni. Kegiatan dan pengumpulan sampah dilakukan dengan tujuan akhir adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Suwung. TPA Suwung yang terletak di wilayah Desa Suwung Kauh Kecamatan Denpasar Selatan merupakan bagian akhir dari manajemen pengelolaan sampah di Kota Denpasar. Sampah yang masuk ke TPA diseleksi dan dilakukan pelarangan terhadap sampah medis (rumah sakit), sampah pecah belah, sampah berbahan daging, sampah mudah terbakar, bangkai dan tinja. Jangka panjang pengelolaan sampah di Kota Denpasar telah dirancang secara terpadu
17
dan bekerjasama dengan 3 kabupaten yaitu Badung, Gianyar dan Tabanan. Jadwal kegiatan operasional petugas kebersihan DKP Kota Denpasar adalah sebagai berikut: a. Kegiatan Pembersihan Jalan dan Selokan Kegiatan ini terbagi menjadi dua shift yaitu shift pagi dengan waktu kerja dari pukul 06.00 Wita - 09.00 Wita dan pada shift siang dengan waktu kerja dari pukul 12.00 Wita - 15.00 Wita. Kegiatan yang dilaksanakan yaitu penyapuan jalan dan telanjakan tangga disepanjang jalan yang dilayani (interval satu kilometer). b. Kegiatan Pengumpulan Sampah Kegiatan pengumpulan sampah dilaksanakan oleh DKP dan masyarakat dari sumber sampah yaitu dari rumah tangga, sampah dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara yaitu transfer depo dan kontainer di beberapa lokasi yang ditentukan. Jadwal pengumpulan sampah di depo dan kontainer dilakukan pada pagi jam 06.00 Wita - 11.00 Wita dan pada siang dari jam 11.00 Wita - 16.00 Wita. c. Kegiatan Pengangkutan Sampah Kegiatan pengangkutan sampah diangkut dari tempat pengumpulan sementara dan ruas-ruas jalan ke TPA dan pekerjaan pengangkutan dibagi menjadi 4 shift yaitu shift 1 pada pukul 04.00 Wita – 06.00 Wita, shift 2 pada pukul 08.00 Wita – 10.00 Wita, shift 3 dari jam 13.00 – 15.00 Wita dan shift 4 dari jam 19.00 Wita – 21.00 Wita.
18
2.4 Alat Pelindung Diri 2.4.1 Definisi Alat Pelindung Diri Alat Pelindung Diri atau APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja (Permenakertrans, 2010). Menurut Suma’mur (2009), APD adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. APD merupakan salah satu cara untuk mencegah kecelakaan dan secara teknis APD tidak seacara sempurna dapat melindungi tubuh akan tetapi mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan yang terjadi.
2.4.2 Syarat-syarat Alat Pelindung Diri Pemilihan APD yang handal dan cermat merupakan persyaratan mutlak yang sangat mendasar. Penggunaan APD yang tidak tepat dapat membahayakan pekerja yang memakainya, karena mereka tidak terlindung dari bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Menurut Suma’mur (2009), pemilihan APD harus memenuhi syarat yaitu memberikan perlindungan yang adekuat, nyaman dipakai, menarik untuk dipakai, tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan, harus memenuhi standar yang telah ada, tahan lama, tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakainya, suku cadangnya harus mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya.
19
2.4.3 Jenis Alat Pelindung Diri Pada Petugas DKP Kota Denpasar Setiap tenaga kerja lapangan baik PHL maupun PNS, memperoleh fasilitas berupa satu stel pakaian kerja dan APD yang diganti setiap enam bulan sekali pada bulan Februari dan September. APD merupakan alat yang berfungsi untuk melindungi diri petugas dari bahaya pekerjaan maupun lingkungan kerja. APD dan pakaian kerja yang disediakan oleh DKP Kota Denpasar antara lain adalah baju lengan panjang, celana panjang, sepatu boot dan sepatu cat, sarung tangan dan masker (DKP Kota Denpasar, 2016).