8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai konsep, definisi dan rumusan yang digunakan dalam metode penelitian termasuk di dalamnya untuk penunjang kegiatan analisis. Secara singkat kajian pustaka meliputi definisi kecelakaan lalu lintas fatal, karakteristik kecelakaan lalu lintas, faktor-fakor penyebab kecelakaan lalu lintas serta regresi logistik sebagai bentuk pemodelan di dalam kegiatan analisis.
2.1
Definisi Kecelakaan Lalu Lintas Fatal Di dalam melakukan suatu analisis kecelakaan lalu lintas, diperlukan
pengetahuan mengenai definisi dari kecelakaan lalu lintas fatal. Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda (UU No 22 Tahun 2009). Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan trauma, cidera, ataupun kecacatan, tetapi juga dapat mengakibatkan kematian. Dari definisi mengenai kecelakaan lalu lintas tersebut dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas fatal merupakan suatu kejadian yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya yang mengakibatkan korban mati (meskipun hanya satu orang) dengan atau tanpa korban luka berat atau luka ringan (Departemen Perhubungan, 1999). 8
9
Kecelakaan fatal merupakan kecelakaan yang menyebabkan kematian, korban luka parah dapat juga berakhir dengan kematian. Hal ini yang sering menyebabkan perbedaan data kecelakaan antara instansi kepolisian (Polres), lembaga yang memberikan santuan kepada korban kecelakaan lalu lintas (PT Jasa Raharja), dan pihak rumah sakit. Hal ini dikarenakan keterbatasan data yang terekam antar instansi terkait dan perbedaan sistem klasifikasi pencatatan jumlah korban. Data kecelakaan lalu lintas yang bersumber dari kepolisian akan menjadi sangat berbeda bila dibandingkan dengan data yang bersumber dari jasa raharja. Hal yang menyebabkan perbedaan itu adalah karena definisi dari tingkat keparahan korban adalah berbeda. Menurut kepolisian korban meninggal adalah korban yang mati di tempat sedangkan menurut jasa raharja pemahaman korban meninggal adalah korban yang mati sejak kejadian sampai jangka waktu enam bulan kemudian sebagai batas waktu claim (Departemen Perhubungan, 2004). Menurut PP No 43 Tahun 1993 Bab XI Pasal 93 tentang Prasarana Lalu Lintas Jalan, korban kecelakaan lalu lintas diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Kecelakaan Meninggal Kecelakaan meninggal atau korban mati adalah korban yang dipastikan meninggal sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah terjadinya kecelakaan tersebut.
2.
Kecelakaan Luka Berat Kecelakaan luka berat adalah korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kecelakaan. Cacat tetap yang dimaksud disini adalah
10
apabila sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya. 3.
Kecelakaan Luka Ringan Kecelakaan luka ringan adalah korban kecelakaan yang tidak termasuk dalam pengertian korban meninggal dan korban luka berat. Dalam
hal
terjadi
kecelakaan
yang
mengakibatkan
korban
mati
ditindaklanjuti dengan penelitian yang dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, instansi yang bertangung jawab di bidang pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan, dan instansi yang bertanggung jawab di bidang pembinaan jalan (PP No 43 Tahun 1993 Pasal 94 Ayat 2 ). Ketentuan ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan melalui hasil penelitian, guna kepentingan pencegahan terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama di kemudian hari.
2.2
Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Karakteristik adalah suatu karakter atau ciri khas. Karakteristik kecelakaan
lalu lintas dalam hal ini mengandung konsep suatu kejadian atau kecelakaan yang terjadi akibat adanya kesalahan pada sistem pembentuk lalu lintas yaitu manusia, kendaraan, jalan dan lingkungan. Pengertian kesalahan dapat dilihat sebagai kondisi yang tidak sesuai dengan standar serta kelalaian yang dibuat oleh manusia (Carter and Homburger, 1978). Kasus kecelakaan sulit untuk diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring dengan pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.
11
2.2.1 Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Tingkat Kefatalan Karakteristik kecelakaan berdasarkan tingkat kefatalan dapat dibagi menjadi empat klasifikasi (Departemen Perhubungan, 1999) yaitu: 1.
Klasifikasi berat (fatal accident), apabila terdapat korban yang meninggal dunia (meskipun hanya satu orang) dengan atau tanpa korban luka berat atau ringan.
2.
Klasifikasi sedang, apabila tidak terdapat korban meninggal dunia namun dijumpai sekurang-kurangnya satu orang yang mengalami luka berat.
3.
Klasifikasi ringan, apabila tidak terdapat korban yang meninggal dunia dan luka berat, dan hanya dijumpai korban yang luka ringan saja.
4.
Klasifikasi lain-lain (kecelakaan dengan kerugian material saja), apabila tidak ada manusia yang menjadi korban, sedangkan yang ada hanya berupa kerugian material apa saja baik berupa kerusakan kendaraan, jalan, jembatan, ataupun fasilitas lainnya.
2.2.2 Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan Jumlah Kendaraan Terlibat Menurut jumlah kendaraan yang terlibat, karakteristik kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi dua jenis (Departemen Perhubungan, 2006) yaitu: 1.
Kecelakaan tunggal, yaitu kecelakaan yang hanya melibatkan satu kendaraan bermotor dan tidak melibatkan pemakai jalan lain, contohnya seperti menabrak pohon, kendaraan tergelincir, dan terguling akibat ban pecah, dan lain-lain.
12
2.
Kecelakaan ganda, yaitu kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu kendaraan atau kendaraan dengan pejalan kaki yang mengalami kecelakaan di waktu dan tempat yang sama.
2.2.3 Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Jenis Tabrakan Karakteristik kecelakaan lalu lintas menurut jenis tabrakan (Departemen Perhubungan, 2004) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Tabrak depan (Head On) yaitu tabrakan yang terjadi antar kendaraan yang datang dari arah berlawanan.
2.
Tabrak belakang (Rear End) yaitu tabrakan antara kendaraan yang di depan dengan kendaraan di belakangnya yang berjalan pada arah yang sama.
3.
Tabrak samping pada waktu menyalip (Side Swipe) yaitu tabrakan antara kendaraan dengan kendaraan lain yang disalipnya.
4.
Tabrakan pada waktu membelok (Right Angle) yaitu tabrakan antara kendaraan yang akan berbelok dengan kendaraan lain dari arah depan.
5.
Keluar jalur (Out of Control) yaitu tabrakan karena lepas kendali.
Sketsa tabrakan dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah.
Tabrak depan (Head On)
Tabrak belakang (Rear End)
Tabrak saat menyalip (Side Swipe)
Tabrak waktu berbelok (Right Angle)
Gambar 2.1 Jenis Tabrakan Sumber: Departemen Perhubungan, 2004
Keluar Jalur (Out of Control)
13
2.2.4 Karakteristik Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Tipe Kecelakaan Karakteristik kecelakaan menurut tipe kecelakaan (Al Ghamdi, 2002) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Bertabrakan dengan kendaraan (With Vehicles) dapat berupa dengan satu atau lebih kendaraan bermotor.
2.
Bertabrakan dengan obyek diam (Fixed Object), termasuk di dalamnya pohon, rambu atau tiang di pinggir jalan.
3.
Terguling/tergelincir (Overturned) akibat misalnya lepas kontrol, jalan licin, atau pengemudi mabuk.
4.
Bertabrakan dengan pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan atau berjalan di pinggir jalan.
2.3
Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit untuk diprediksi
dimana dan kapan terjadinya. Terjadinya kecelakaan lalu lintas didahului oleh gagalnya pemakai jalan didalam mengantisipasi keadaan sekelilingnya termasuk dirinya sendiri. Kecelakaan lalu lintas umumnya tidak terjadi akibat penyebab tunggal. Terdapat sejumlah hal yang secara bersama-sama berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan. Pada dasarnya terdapat 4 (empat) faktor utama penyebab kecelakaan yaitu faktor pemakai jalan (manusia), faktor kendaraan, faktor jalan, dan faktor lingkungan. Masing-masing faktor tersebut diuraikan secara lengkap sebagai berikut.
14
2.3.1 Faktor Pemakai Jalan (Manusia) Pemakai jalan merupakan unsur terpenting dalam lalu lintas karena manusia sebagai pemakai jalan adalah unsur utama terjadinya pergerakan lalu lintas (Soesantiyo, 1985). Pemakai jalan adalah semua orang yang menggunakan fasilitas langsung dari suatu jalan (Warpani, 2002) yang terdiri dari 2 (dua) golongan, yaitu: 1.
Pengemudi, termasuk pengemudi kendaraan tidak bermotor. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki surat ijin mengemudi (UU No 22 Tahun 2009). Pengemudi kendaraan merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan, sehingga sangat perlu untuk mendapat perhatian. Tingkah laku pribadi pengemudi di dalam arus lalu lintas adalah faktor yang menentukan karakteristik lalu lintas yang terjadi. Dengan bertambahnya usia, refleks pengemudi menjadi lebih lambat dan kemampuan fisik tertentu akan menurun. Faktor fisik yang penting untuk mengendalikan kendaraan dan mengatasi masalah lalu lintas adalah penglihatan dan pendengaran. Indera penglihatan yaitu mata mendapat perhatian besar karena hampir semua informasi dalam mengendalikan kendaraan diterima melalui mata. Sedangkan indera pendengaran yaitu telinga diperlukan untuk mengetahui peringatan sirine, klakson, peluit polisi dan sebagainya.
2.
Pejalan kaki, termasuk pedagang asongan dan pedagang kaki lima. Pejalan kaki sebagai salah satu unsur pengguna jalan dapat menjadi korban kecelakaan dan dapat pula menjadi penyebab kecelakaan. Pejalan kaki
15
sangat mudah mengalami cedera serius atau kematian jika ditabrak kendaraan bermotor. Pelayanan terhadap pejalan kaki perlu mendapat perhatian yang optimal, yaitu dengan cara memisahkan antara kendaraan dan pejalan kaki, baik menurut ruang dan waktu, sehingga dapat dilakukan dengan menyediakan trotoar untuk mencegah agar pejalan kaki tidak berjalan secara reguler di sepanjang jalan (Warpani, 2002). Pada persimpangan dapat juga dibuat jembatan penyeberangan, terowongan bawah tanah atau jalan khusus bagi pejalan kaki. Walaupun telah banyak dibuat fasilitas untuk pejalan kaki terutama didaerah perkotaan, namun kenyataannya banyak pejalan kaki yang tidak menggunakan fasilitas tersebut, misalnya menyeberang tidak pada tempatnya atau berjalan menggunakan jalur kendaraan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan. Faktor pemakai jalan (manusia) yang berpengaruh terhadap kecelakaan lalu lintas (Hubdat, 1999) adalah sebagai berikut: 1.
Pengemudi mabuk (Drunk Driver) yaitu keadaan dimana pengemudi mengalami hilang kesadaran karena pengaruh alkohol, obat-obatan, narkotik, dan sejenisnya.
2.
Pengamudi lelah (Fatigued or Overly Tired Driver) yaitu keadaan dimana pengemudi membawa kendaraan dalam keadaan lelah atau mengantuk sehingga kurang waspada serta kurang tangkas bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
3.
Pengemudi lengah (Emotional or Distracted Driver) yaitu keadaan dimana pengemudi
mengemudikan
kendaraannya
dalam
keadaan
terbagi
16
konsentrasinya karena melamun, mengobrol, menggunakan ponsel, melihat kekanan-kekiri dan sebagainya. 4.
Pengemudi kurang terampil (Unskilled Driver) yaitu keadaan dimana pengemudi kurang dapat memperkirakan kemampuan kendaraannya, misalnya kemampuan untuk melakukan pengereman, kemampuan untuk menjaga jarak dengan kendaraan di depannya, dan lain-lain.
5.
Pejalan kaki dengan berbagai kemungkinan juga dapat sebagai penyebab kecelakaan seperti menyeberang jalan pada tempat ataupun waktu yang salah, berjalan terlalu ke tengah, tidak berhati-hati, dan lain sebagainya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Bab X Pasal 91 Ayat 1 dijelaskan mengenai keharusan pejalan kaki untuk mentaati aturan sebagai berikut: a.
Berjalan pada bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki atau pada bagian jalan yang paling kiri apabila tidak terdapat bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki.
b.
Menggunakan bagian jalan yang paling kiri apabila mendorong kereta dorong.
c.
Menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
Pada Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Bab X Pasal 91 Ayat 2 juga dijelaskan bahwa dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c, pejalan kaki dapat menyeberang di tempat yang dipilihnya dengan memperhatikan keselamatan dan kelancaran lalu lintas.
17
2.3.2 Faktor Kendaraan Kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor dan tidak bermotor. Menurut Bab I Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraaan itu dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang dan kendaraan khusus. Sedangkan kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang atau hewan, pengelompokkannya terdiri dari sepeda, kereta yang ditarik hewan, becak, kereta dorong atau tarik. Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua, atau tiga tanpa rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping. Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyakbanyaknya delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. Mobil bus adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih dari delapan tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. Mobil barang adalah setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang, dan mobil bus yang diperuntukkan untuk mengangkut barang-barang. Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor selain daripada kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang, yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.
18
Kendaraan merupakan sarana angkutan yang penting dalam kehidupan modern ini karena dapat membantu manusia melaksanakan kegiatan sehari-hari serta memudahkan manusia dalam mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat sekaligus menunjang nilai aman dan nyaman. Faktor kendaraan yang berpengaruh terhadap kecelakaan lalu lintas adalah sebagai berikut: 1.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perlengkapan kendaraan misalnya alat-alat rem tidak bekerja dengan baik, alat-alat kemudi tidak bekerja dengan baik, ban atau roda dalam kondisi buruk, dan tidak ada kaca spion.
2.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan kendaraan meliputi syarat lampu penerangan tidak terpenuhi, menggunakan lampu yang menyilaukan, dan lampu tanda rem tidak bekerja. Lampu kendaraan mempunyai dua persyaratan utama yaitu : a.
Dapat menginformasikan secara jelas atas adanya kendaraan kepada orang lain dari berbagai sudut, tanpa menimbulkan ketidaknyamanan akibat silau bagi orang-orang yang melihatnya.
b.
Memungkinkan pengemudi melihat area pandang yang diterangi oleh lampu sesuai dengan kecepatan kendaraan dan kondisi jalan setiap waktu.
Di dalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009 Pasal 107 menyebutkan tentang penggunaan lampu utama pada kendaraan bermotor yaitu:
19
a.
Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu. Adapun yang dimaksud dengan kondisi tertentu adalah kondisi jarak pandang yang terbatas karena gelap, hujan lebat, terowongan, dan kabut.
b.
Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
Saat mengendarai kendaraan, mata adalah indra yang paling penting sebagai sensor penghindar kecelakaan. Mata akan bekerja menangkap pantulan sinar yang diperoleh pada jarak pandang mata. Kegunaan daripada menyalakan lampu pada siang hari bagi pengguna sepeda motor adalah untuk membuat kehadiran pengendara sepeda motor mudah terlihat oleh pengendara lain dengan cara memberikan rangsangan terhadap mata berupa kilatan cahaya yang dapat memicu kecepatan reaksi antisipasi pengemudi yang diharapkan dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Aturan ini sudah terlebih dahulu diterapkan di negara maju yang disebut dengan DLR (Daytime Light Running). Berdasarkan penelitian dari National Road and Traffic Research Institute, Linkoping, Swedia tahun 1981, terjadi pengurangan kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 11% dari dua tahun sebelum aturan diterapkan sampai dengan dua tahun setelah aturan diterapkan. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Norwegia menemukan pengurangan jumlah kecelakaan sebesar 14% dari hasil membandingkan sebelum dan sesudah
20
aturan DLR diterapkan antara tahun 1980 sampai dengan tahun 1985, dimana pada periode tersebut banyak kendaraan yang melakukan DLR dengan sukarela. 3.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh mesin kendaraan, misalnya mesin tiba-tiba mogok.
4.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengamanan kendaraan, misalnya karoseri kendaraan yang tidak memenuhi syarat keamanan.
5.
Karena hal-hal lain, seperti muatan kendaraan melebihi batas yang diizinkan untuk truk, perawatan kendaraan yang kurang baik (persneling rusak, kemudi patah, dan sebagainya).
2.3.3 Faktor Jalan Kondisi jalan dapat pula menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Dengan rekayasa, para ahli merancang sistem jaringan dan rancang bangun jalan yang sedemikian rupa untuk mempengaruhi tingkah laku para pengguna jalan dan mengurangi atau mencegah tindakan yang membahayakan keselamatan lalu lintas. Jalan lebar, disatu sisi memberi kenyamanan bagi lalu lintas kendaraan, namun disisi lain dapat menjadi ancaman keselamatan karena kecepatan kendaraan yang tidak terkendali. Kecelakaan dapat juga terjadi akibat tidak adanya fasilitas-fasilitas jalan yang memadai, seperti marka jalan, lampu lalu lintas, pagar pengaman, jalur pemisah dan lain-lainnya.
21
Kecelakaan yang disebabkan oleh faktor jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perkerasan jalan, misalnya permukaan jalan yang licin, permukaan jalan yang bergelombang dan permukaan jalan yang berlubang.
2.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh alinyemen jalan, misalnya tikungan jalan yang terlalu tajam, tanjakan dan turunan yang terlalu tajam.
3.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pemeliharaan jalan, misalnya jalan rusak, saat perbaikan jalan yang menyebabkan material jalan berserakan.
4.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan jalan, misalnya tidak adanya lampu penerangan jalan pada malam hari, lampu penerangan yang rusak.
5.
Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh rambu-rambu lalu lintas, misalnya penempatan rambu yang tidak sesuai, ketiadaan rambu lalu lintas dan sebagainya.
2.3.4 Faktor Lingkungan Jalan dibuat untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain melalui berbagai lokasi, baik didalam kota maupun diluar kota. Faktor lingkungan jalan berpengaruh pada penjelajahan berlalu-lintas, hal ini mempengaruhi pengemudi dalam mengatur kecepatan kendaraannya. Pohon atau bukit yang menghalangi pandangan, tanjakan atau turunan terjal serta tikungan tajam merupakan faktor
22
alam yang patut mendapat perhatian dalam pengelolaan lalu lintas. Lingkungan alam ini ada yang dapat diubah sesuai dengan tuntutan keamanan dan keselamatan lalu lintas, namun ada pula yang tidak mungkin diubah karena pertimbangan kelestarian lingkungan itu sendiri dan atau biaya yang terlalu mahal. Faktor alam lain yang tidak dapat diubah adalah posisi matahari terhadap pengemudi yang menyebabkan gangguan pandangan karena silau (Warpani, 2002). Cuaca juga dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas, misalnya pada saat hujan jalan akan menjadi licin sehingga meningkatkan resiko kecelakaan. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pengemudi dalam mengatur/mengendalikan kendaraannya antara lain: 1.
Lokasi jalan, a.
Dalam kota misalnya daerah pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, perumahan dan sebagainya.
b.
Luar kota, misalnya di daerah datar, pedesaan, pegunungan dan sebagainya.
c.
Tempat khusus, misalnya tempat ibadah, tempat wisata, rumah sakit dan sebagainya.
2.
Iklim/musim Indonesia
mengalami musim hujan dan kemarau yang mempengaruhi
pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya. Jalan akan menjadi licin dan berair akibat air hujan. Dengan adanya pergantian waktu pagi, siang, sore dan malam akan memberikan intensitas cahaya yang berbeda-beda, hal ini mempengaruhi keadaan jalan seperti terang, gelap atau remang-remang.
23
3.
Volume lalu lintas (karakteristik arus lalu lintas) Makin padat arus lalu lintas pada suatu ruas jalan maka makin banyak kemungkinan kecelakaan yang terjadi, akan tetapi kerusakan yang timbul tidak fatal. Sebaliknya makin sepi/sedikit arus lalu lintas, makin sedikit kemungkinan terjadi kecelakaan akan tetapi fatalitas makin tinggi. Dengan kondisi lalu lintas yang bervariasi, baik dari jumlah maupun jenisnya tersebut, maka pengemudi harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat - Departemen
Perhubungan (Warpani, 2002), persentase jumlah kecelakaan yang berhubungan dengan faktor penyebab kecelakaan adalah seperti tabel berikut: Tabel 2.1 Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas Faktor Penyebab Pengguna Jalan (manusia) Kendaraan Jalan
Lingkungan
Uraian
%
Lengah, mengantuk, tidak terampil, lelah, mabuk, kecepatan tinggi, tidak menjaga jarak, kesalahan pejalan, gangguan binatang Ban pecah, kerusakan sistem rem, kerusakan sistem kemudi, as/kopel lepas, sistem lampu tidak berfungsi Persimpangan, jalan sempit, akses yang tidak dikontrol/dikendalikan, marka jalan kurang/tidak jelas, tidak ada rambu batas kecepatan, permukaan jalan licin Lalu lintas campuran antara kendaraan cepat dengan kendaraan lambat, interaksi antara pejalan dengan kendaraan, pengawasan dan penegakan hukum belum efektif, pelayanan gawat darurat yang kurang cepat, cuaca gelap, hujan, kabut dan asap
93,52
Sumber: Warpani, 2002
2,76 3,23
0,49
24
2.4
Faktor yang Mempengaruhi Fatalitas Kecelakaan Lalu Lintas Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Al-Ghamdi (2002), faktor-
faktor yang mempengaruhi fatalitas kecelakaan lalu lintas (accident severity factors) terdiri dari lokasi kejadian, tipe kecelakaan, tipe tabrakan, waktu kecelakaan, tipe pelanggaran, umur tersangka, jender tersangka, dan jenis kendaraan tersangka. Umur tersangka, jender tersangka, dan tipe pelanggaran merupakan faktor kecelakaan yang disebabkan oleh manusia yaitu pengguna jalan itu sendiri. Tipe tabrakan dan jenis kendaraan tersangka adalah faktor kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan. Lokasi dari kecelakaan dan waktunya masingmasing disebabkan oleh faktor jalan dan lingkngan. Sedangkan faktor kecelakaan yaitu tipe kecelakaan merupakan gabungan dari keempat faktor utama tersebut. Masing-masing faktor yang mempengaruhi tingkat fatalitas dari kecelakaan lalu lintas akan diuraikan sebagai berikut:
2.4.1 Lokasi Kecelakaan Kecelakaan dapat terjadi dimana saja di sepanjang ruas jalan, baik pada jalan lurus, tikungan, persimpangan jalan, tanjakan dan turunan, di dataran atau di pegunungan, di dalam kota maupun di luar kota. Pada jalan antar kota dua jalur, persimpangan bersama-sama dengan lengkung horizontal dan jembatan menempati peringkat yang sama sebagai konsentrasi kecelakaan. Sementara itu menurut penelitian oleh National Safety Council di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 56% dari kecelakaan di dalam kota dan 32% dari kecelakaan di luar kota terjadi pada persimpangan (LPKM-ITB, 1997). Walaupun rata-rata kecelakaan
25
yang terjadi di persimpangan tersebut tidak sefatal dari kecelakaan yang terjadi di ruas jalan, terdapat juga konsentrasi kecelakaan fatal pada persimpangan.
2.4.2 Tipe Kecelakaan Klasifikasi dari tipe kecelakaan ini adalah: 1.
Bertabrakan dengan kendaraan (With Vehicles) dapat berupa dengan satu atau lebih kendaraan bermotor.
2.
Bertabrakan dengan obyek diam (Fixed Object), termasuk di dalamnya pohon, rambu atau tiang di pinggir jalan.
3.
Terguling/tergelincir (Overturned) akibat misalnya lepas kontrol, jalan licin, atau pengemudi mabuk.
4.
Bertabrakan dengan pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan atau berjalan di pinggir jalan.
2.4.3 Tipe Tabrakan Kecelakaan dapat terjadi dalam berbagai posisi atau tipe tabrakan terdiri dari: 1.
Tidak dapat mengendalikan kendaraan (Out of Control)
2.
Tabrakan saat menyalip (Side Swipe)
3.
Tabrakan depan dengan samping (Right Angle)
4.
Tabrakan muka dengan belakang (Rear End)
5.
Tabrakan muka dengan muka (Head On)
26
2.4.4 Waktu Kecelakaan Menurut Warpani (2002), kecelakaan berdasarkan waktu terjadinya kecelakaan dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu: 1.
2.
Berdasarkan Jenis hari meliputi: a.
Hari kerja : Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat
b.
Hari libur : Minggu dan Hari libur nasional
c.
Akhir minggu : Sabtu
Menurut Waktu kejadiannya dapat dikelompokkan menjadi: a.
Dini hari : jam 00.00 – jam 06.00
b.
Pagi hari : jam 06.00 – jam 12.00
c.
Siang hari : jam 12.00 – jam 18.00
d.
Malam hari : jam 18.00 – jam 24.00
2.4.5 Tipe Pelanggaran Klasifikasi dari faktor ini ialah kecelakaan yang terjadi akibat: 1.
Pengemudi menjalankan kendaraan melebihi batas kecepatan maksimum (Speeding).
2.
Pengemudi melanggar lampu merah (Run Red Light).
3.
Pengemudi mengemudikan kendaraan terlalu dekat dengan kendaraan di depannya atau di sebelahnya (Follow to Close).
4.
Kendaraan berada pada jalur yang salah (Wrong Way), misalnya kecelakaan pada saat mendahului kendaraan di depannya dan mengambil haluan terlalu ke kanan.
27
5.
Pengemudi tidak memberikan prioritas terhadap pemakai jalan lain (Failure to Yield).
6.
Hal-hal lain (Other) seperti misalnya tidak menyalakan lampu reting.
2.4.6 Umur dan Jender Tersangka Umur dan jender tersangka perlu untuk diketahui mengingat hal ini terkait dengan faktor pemakai jalan terutama yang menyangkut kondisi fisik dan emosi seseorang di dalam berlalu lintas. Suatu penelitian yang dilakukan di Kanada memperlihatkan bahwa lemahnya daya pikir mengenai resiko berkendara menjelaskan kenapa para remaja memiliki resiko kecelakaan dan korban paling banyak dari setiap jenjang usia. Faktor umur berpengaruh terhadap kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM). Menurut UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam kepemilikan SIM ada syarat usia sebagaimana dimaksud pada Pasal 81 Ayat 2 ditentukan paling rendah sebagai berikut: a.
Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengmudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin mengemudi D.
b.
Usia 20 (dua Puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi BI.
c.
Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin mengemudi BII. Jender tersangka juga berpengaruh terhadap terjadinya suatu kecelakaan lalu
lintas. Pria cenderung lebih banyak beraktifitas di jalan raya dibandingkan dengan wanita. Karena sifat pria yang cenderung lebih agresif dalam berperilaku di jalan
28
jika dibandingkan dengan wanita yang cenderung lebih berhati-hati sehingga pelaku dari suatu kecelakaan lalu lintas didominasi oleh pria.
2.4.7 Tipe Kendaraan Tersangka Klasifikasi kendaraan tersangka terdiri dari kendaraan berat, kendaraan ringan dan sepeda motor. Klasifikasi ini adalah mengacu kepada data kecelakaan lalu lintas yang diperoleh dari pihak kepolisian.
2.5
Model dan Analisis Regresi Untuk dapat memodelkan hubungan antara kecelakaan lalu lintas fatal
dengan faktor-faktor kecelakaan lalu lintas yang berpengaruh dengan metode regresi, terlebih dahulu kita harus memahami definisi dari model itu sendiri. Model dapat didefinisikan sebagai bentuk penyederhanaan suatu realita (Tamin, 2000) termasuk diantaranya: 1. Model fisik (model arsitek, model teknik sipil, wayang golek, dan lain-lain) 2. Model grafis (peta dan diagram) 3. Model statistika dan matematika (persamaan) yang menerangkan beberapa aspek fisik, sosial-ekonomi, dan model transportasi. Semua model tersebut merupakan cerminan dan penyederhanaan realita untuk tujuan tertentu, seperti memberikan penjelasan, pengertian, serta peramalan. Dengan menggunakan model, akan lebih mempermudah menjelaskan hubungan dalam bentuk kuantitatif maupun kualitatif.
29
Model regresi merupakan komponen penting dalam beberapa analisis data karena menggambarkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Analisis regresi adalah suatu metode sederhana untuk melakukan investigasi tentang hubungan antara beberapa variabel yang diwujudkan dalam suatu model matematis yaitu dengan menggunakan persamaan atau fungsi matematika sebagai media dalam usaha mencerminkan realita. Pada model regresi, variabel dibedakan menjadi dua bagian yaitu variabel respon atau yang diterangkan (the explained variable) yang juga disebut sebagai variabel tergantung atau variabel terikat, serta variabel penduga atau yang menerangkan (the explanatory) yang juga disebut variabel yang tidak tergantung atau variabel bebas. Secara umum ada dua macam hubungan antara dua atau lebih variabel, yaitu bentuk hubungan dan keeratan hubungan. Jika ingin mengetahui bentuk hubungan dua variabel atau lebih, digunakan analisis regresi, sedangkan untuk analisis keeratan hubungan, digunakan analisis korelasi. Kegunaan analisis regresi diantaranya adalah untuk mengetahui variabelvariabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap variabel bergantung, pemodelan, serta pendugaan (estimation). Nilai dugaan yang diberikan oleh model regresi tidak selalu sama persis dengan nilai sebenarnya, melainkan terdapat selisih. Selisih inilah yang kemudian disebut sebagai error atau residu, atau disebut juga dengan galat. Secara matematis model regresi yang baik adalah model yang mampu membangun nilai dugaan sedemikian rupa sehingga mendekati nilai sebenarnya dan galat mendekati nol. Dengan melalui proses pengkalibrasian, keluaran model yang diharapkan sesuai dengan kenyataan atau mendekati realita.
30
Penyelesaian regresi dapat berupa persamaan linier maupun non linier, oleh karena itu analisis regresi terbagi atas regresi linier dan regresi non linier. Yang termasuk dalam regresi linier adalah regresi linier sederhana dan regresi linier berganda, yang termasuk dalam regresi non linier adalah regresi logistik, regresi kurvilinier, dan sebagainya. Untuk menjelaskan hubungan antara satu variabel terikat dengan satu variabel bebas digunakan regresi linier. Apabila variabel terikatnya ada beberapa, maka yang digunakan adalah regresi berganda. Akan tetapi sering juga ditemukan kasus dengan variabel terikatnya berupa data kualitatif atau kategori. Misalnya respon kelulusan siswa SLTA masuk Perguruan Tinggi Negeri di Bali hanya ada dua yaitu lulus dan tidak lulus. Untuk respon seperti ini, biasanya standar pengukurannya adalah memberikan nilai 1 apabila lulus dan nilai 0 apabila tidak lulus. Regresi logistik merupakan salah satu metode yang dapat digunakan karena variabel terikatnya berupa kategori. Jika variabel terikatnya berupa data kuantitatif, metode regresi linier lebih cocok digunakan. Pengunaan regresi linier memerlukan banyak persyaratan antara lain seluruh variabelnya mempunyai skala pengukuran minimal interval (kelompok data kontinyu), seluruh variabel bebas tidak berautokorelasi (ada tidaknya korelasi antara variabel pengganggu pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya), tidak terjadi multikolinearitas (ada tidaknya variabel bebas yang memiliki korelasi yang sangat kuat dengan variabel bebas lainnya), dan persyaratan heteroskedastisitas (ada tidaknya perbedaan variansi residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain). Persyaratan-persyaratan tersebut sulit untuk dipenuhi
31
dalam masalah sosial, khususnya dalam skala pengukuran. Di dalam regresi logistik, data pengamatan yang bersifat kategori dan nominal dapat dibuatkan dalam bentuk variabel dummy.
2.6
Regresi Logistik Didalam statistik, regresi logistik (seringkali disebut model logistik atau
model logit) adalah model regresi yang digunakan ketika variabel terikatnya bersifat kualitatif. Regresi logistik dapat dibedakan berdasarkan variabel bebas dan variabel terikatnya. Berdasarkan variabel bebasnya, regresi logistik terbagi menjadi dua yaitu regresi logistik sederhana (simple logistic regression) dan regresi logistik berganda (multiple logistic regression). Berdasarkan variabel terikatnya, regresi logistik terbagi menjadi dua yaitu regresi logistik biner (binary logistic regression) dan regresi logistik multinomial (multinomial logistic regression). Regresi logistik biner digunakan ketika hanya ada dua kategori variabel terikat (dichotomous), sedangkan regresi logistik multinomial digunakan ketika variabel terikatnya lebih dari dua (polychotomous). Karena variabel terikat di dalam penelitian ini terdiri dari dua kategori yaitu fatal dan non fatal, maka digunakan regresi logistik biner untuk menentukan hubungan antara variabel bebas dan variabel tidak bebas atau variabel terikatnya. Data yang bersifat biner (binary) adalah data dengan 2 (dua) respon, misalnya fatal (1)-non fatal (0), gagalberhasil, ya-tidak, on-off, 0-1 dan sebagainya. Seperti pada analisis regresi berganda, untuk regresi logistik variabel bebas (X) bisa juga terdiri lebih dari satu variabel dan dapat berupa variabel yang bersifat kontinyu maupun diskrit.
32
2.6.1 Desain Variabel Dummy Karena regresi logistik diakomodasikan untuk variabel tidak bebas biner, maka di dalam pemodelannya baik variabel bebas dan tidak bebas harus direpresentasikan dalam bentuk kode. Variabel yang dinyatakan dalam bentuk kode tersebut didefinisikan sebagai variabel dummy. Dummy variabel atau variabel boneka adalah variabel yang digunakan untuk menunjukkan suatu variabel bebas atau variabel penduga bersifat kualitatif. Variabel ini kemudian dikodekan sesuai aturan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap variabel terikat. Misalnya kita ingin mengetahui hubungan antara keuntungan perusahaan dengan kenaikan penjualan saham yang dimilikinya. Penjualan saham suatu perusahaan mungkin tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan, kemungkinan besar penjulan saham juga akan dipengaruhi oleh situasi ekonomi nasional dan global. Mungkin pada saat situasi ekonomi nasional dan internasional sedang terjadi krisis, penjualan saham akan berbeda pada saat situasi ekonomi yang stabil. Kondisi ekonomi yang berbedabeda ini dalam analisis regresi dapat dijadikan sebagai variabel dummy. Tujuan variabel dummy adalah untuk lebih menspesifikkan model dan mengurangi kesalahan estimasi. Pada dasarnya, semua perangkat lunak statistik akan melakukan perhitungan regresi logistik, jika dan hanya jika variabel tidak bebas diberi kode 0 dan 1. Kode ini harus berupa bilangan numerik dan bukan tekstual dan merupakan suatu keharusan bahwa kode dengan bilangan 0 berarti kejadian tidak ada atau gagal dan kode dengan bilangan 1 berarti kejadian ada atau berhasil (Washington et.al,
33
2003). Secara spesifik, perangkat lunak statistik mengasumsikan variabel terikat yang mempunyai nilai selain 0 adalah 1, sehingga jika variabel terikat diberikan kode 3 dan 4, maka perangkat lunak akan mendefinisikannya sebagai bilangan 1. Akan tetapi, ketentuan untuk variabel terikat ini tidak berlaku untuk variabel bebas. Bentuk variabel bebas di dalam regresi logistik dapat berupa variabel yang bersifat kontinyu maupun diskrit. Untuk variabel bebas yang bersifat diskrit dengan beberapa klasifikasi dapat diberi kode 0, 1, 2, 3, …dst. Sebagai ilustrasi, variabel tipe kendaraan mempunyai beberapa klasifikasi yaitu kendaraan berat, kendaraan ringan dan sepeda motor, maka di dalam pengkodeannya klasifikasi variabel tipe kendaraan tersebut dapat diberikan kode mulai dari 0, 1 dan 2 maupun mulai dari 1, 2 dan 3.
2.6.2 Uji Hipotesis dan Reduksi Variabel Dummy Setelah variabel bebas dinyatakan dalam variabel dummy, langkah selanjutnya adalah melakukan uji statistik (uji hipotesis). Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap suatu hal atau dapat diartikan sebagai kesimpulan sementara tentang hubungan suatu variabel dengan satu atau lebih variabel yang lain. Pengujian hipotesis ini bertujuan untuk menyeleksi variabel bebas yang akan digunakan di dalam model. Hipotesis awal yang menyatakan kondisi sebagai dasar perbandingan disebut dengan hipotesis nol (H0). Penolakan dari hipotesis nol akan membawa kita pada penerimaan hipotesis alternatif (Ha). Penolakan atau penerimaan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas (p) atau significance (Sig.). Tingkat signifikan adalah standar statistik yang digunakan
34
untuk menolak H0 yang dilambangkan dengan (alpha) dengan ketentuan apabila nilai Sig. < maka H0 ditolak dan Ha diterima, sedangkan jika nilai Sig. > maka H0 diterima dan Ha ditolak. Dalam tahap uji hipotesis ini, dilakukan proses reduksi variabel bebas atau variabel dummy berdasarkan proporsi masingmasing klasifikasi. Reduksi adalah proses penyempurnaan data, baik pengurangan terhadap data yang kurang perlu maupun penambahan terhadap data yang dirasa masih kurang. Dalam proses reduksi variabel dummy, variabel bebas yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 95% dengan tingkat signifikansi 5% atau mengandung nilai nol akan mengalami proses reduksi dimana variabelnya akan dikeluarkan dan tidak diikutsertakan di dalam model sedangkan datanya akan digabungkan dengan variabel lain yang berada dalam satu klasifikasi. Masing-masing variabel desain diuji keberartiannya dengan menggunakan rumusan selang kepercayaan 95% dari proporsi sampel yaitu:
ˆ Z / 2 p
ˆq ˆ p n
................................................................................ (2.1)
dimana: pˆ
= proporsi sampel berdasarkan jumlah yang ‘berhasil’ (kode = 1)
qˆ
= 1- pˆ , proporsi sampel yang ‘gagal’ (kode = 0)
n
= jumlah sampel
z
/2
= nilai variabel standar normal (Z) = 1,96 Apabila nilai p pada selang kepercayaan 95% mengandung nilai 0 dengan
Sig. > = 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak. Sedangkan apabila nilai p berada
35
pada selang kepercayaan 95% atau tidak sama dengan nilai 0 dengan Sig. < = 0,05, maka H0 ditolak dan Ha diterima. Apabila variabel bebas mengandung nilai p = 0 artinya variabel tersebut tidak cukup berpengaruh terhadap variabel terikat sehingga tidak akan digunakan di dalam pemodelan.
2.6.3 Bentuk Umum Regresi Logistik Model logistik biner adalah model regresi yang memiliki variabel terikat berupa data kategori sedangkan variabel bebasnya berupa data numerik. Data kategori pada variabel terikat kemudian diberi nilai 0 dan 1. Setiap nilai dugaan dari
variabel
bebas
terhadap
variabel
terikat
dinyatakan
dalam
nilai
probabilitas (p). Bentuk umum regresi logistik biner dapat dituliskan sebagai berikut: PY 1 pi
e ( 0 1 X i ) .....................................................................(2.2) 1 e ( 0 1 X i )
dimana: p i = P(Y=1) adalah nilai respon dari pengamatan ke i yang dinyatakan dengan nilai 1 jika suatu kejadian adalah berhasil (sukses) dan bernilai 0 untuk menyatakan kejadian yang gagal (tidak sukses).
0 , 1 = parameter model X
= nilai variabel bebas Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ada model regresi linier yang
tersembunyi didalam regresi logistik. Sebuah transformasi yang tepat akan dapat mengungkapkan regresi linier tersebut yang disebut dengan transformasi logit. Transformasi logit bertujuan untuk membuat fungsi linier dari parameter-
36
parameternya dan dapat bersifat kontinyu. Adapun bentuk umumnya adalah sebagai berikut: p ln i 0 1 X i .............................................................................(2.3) 1 pi
Pada regresi linier memiliki variabel terikat berupa data numerik dan bukan kategori. Apabila memiliki variabel terikat berupa data biner, jika diterapkan pada regresi linier, maka akan bisa didapatkan regresi dugaan yang nilainya bermacammacam tidak hanya 0 dan 1 bahkan mungkin nilainya ada yang lebih dari 1 atau negatif. Dugaan nilai seperti ini akan menyulitkan dalam menginterpretasikannya. Regresi logistik tidak mengasumsikan hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas secara linier, regresi logistik merupakan regresi non linier dimana akan memodelkan hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya dengan hubungan melengkung. Pola kurvanya seperti terlihat pada Gambar 2.2 di bawah.
1.0
Response, Y
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 30
40
50 60 Predictor, X
70
Gambar 2.2 Regresi Logistik Sumber: Cook et.al, 2000
80
37
Dari grafik diatas, dapat dilihat bahwa tidak ada nilai yang diramalkan mempunyai kemungkinan atau probabilitas kurang dari 0 (nol) dan lebih dari 1 (satu). Fungsi regresinya yang membengkok mampu mewakili sebaran data dengan baik. Tanda koefisien 1 menunjukkan arah kurva, sebuah nilai positif akan memberikan arah meningkat sedangkan nilai negatif akan menunjukkan penurunan fungsi. Prinsip kerja logistik biner pada dasarnya adalah bagaimana mengestimasi besarnya peluang suatu kejadian akan sukses atau tidak sukses berdasarkan hasil pengamatan variabel terikat (y) dan variabel bebas (x).
2.6.4 Kalibrasi dan Validasi Kalibrasi adalah proses yang dilakukan untuk menaksir nilai parameter atau koefisien sehingga hasil yang didapatkan mempunyai galat (error atau kesalahan) yang sekecil mungkin dibandingkan dengan hasil yang sebenarnya (Tamin, 2000). Proses kalibrasi dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak dan beberapa kinerja statistik untuk menentukan tingkat ketepatannya. Setelah dikalibrasi, diharapkan model tersebut dapat menghasilkan keluaran yang sama dengan data lapangan (realita). Validasi berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Dengan demikian pada kajian ini model yang validasi adalah model yang dianggap baik yang telah diperoleh dari proses kalibrasi yaitu untuk signifikansi tujuan, ketepatan prosedur, manfaat hasil penelitian dan juga untuk memahami data, penelusuran data sesuai teori yang digunakan dan di analisis secara statistik.
38
2.6.5 Maximum Likelihood untuk Penentuan Parameter Model Logistik Respon dari variabel terikat akan menghubungkan parameter dari variabel bebas dengan variabel terikat dalam suatu bentuk yang bersifat probabilitas. Probabilitas ini adalah probabilitas benar dari variabel terikat itu. Selanjutnya, dengan mengetahui probabilitas dari jawaban benar tersebut, kita dapat mengitung probabilitas jawaban salah. Kalau probabilitas jawaban benar adalah p, maka probabilitas jawaban salah adalah q = 1 - p. Sebagai contoh misalkan suatu pertanyaan dijawab oleh dua orang peserta. Peserta pertama menjawab dengan benar sedangkan peserta kedua menjawab dengan salah. Secara probabilitas, kombinasi dari jawaban benar dan salah dalam kasus ini adalah pq. Kombinasi probabilitas dari kedua jawaban benar salah ini disebut kebolehjadian (likelihood). Kebolehjadian ini menyatakan bahwa boleh saja terjadi diantara kedua peserta itu, satu peserta menjawab dengan benar dan satu peserta lagi menjawab dengan salah. Pertanyaannya adalah berapa besar kebolehjadian bahwa satu peserta menjawab dengan benar serta peserta lainnya menjawabnya dengan salah? Kebolehjadian ini masih bergantung kepada nilai p. Jika nilai p berubah maka nilai kebolehjadian itu juga akan ikut berubah. Sebagai gambaran, dapat dilihat pada contoh perhitungan berikut. p
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
q
1,0
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
pq 1,0
0,09
0,16
0,21
0,24
0,25
0,24
0,21
0,16
00,9
0,0
39
Tampak dalam perhitungan ini bahwa sangat boleh jadi satu peserta menjawab dengan benar dan peserta lain menjawab dengan salah, kalau nilai p = 0,5. Sangat boleh jadi ini dikenal dengan kebolehjadian maksimum (maximum likelihood). Dalam hal ini, maximum likelihood adalah 0,25 yaitu pada saat p = 0,5. Dengan kata lain, kalau kita mempunyai p = 0,5 maka peluang paling besar adalah terdapat satu peserta yang menjawab dengan benar serta peserta lainnya menjawab dengan salah. Maximum likelihood ini merupakan cara yang paling banyak digunakan orang untuk mengestimasi parameter dari model logistik dikarenakan metode ini akan menghasilkan hasil estimasi yang lebih baik untuk penelitian dengan jumlah sampel yang besar. Estimasi pada pendekatan maximum likelihood dilakukan dengan memaksimumkan nilai variabel yang diestimasi agar sedekat mungkin dengan nilai variabel yang sebenarnya. Estimator yang diperoleh dari metode ini disebut dengan Maximum Likelihood Estimator (MLE). Dari contoh soal diatas kita dapat merumuskan bentuk umum dari likelihood (L). Misalkan jika data observasi bersifat bebas maka likelihood dari data Y1, Y2,…,Yn adalah pi dan qi = 1 - pi. Jika untuk setiap Yi = 1,dengan probabilitas pi (probabilitas berhasil) dan untuk setiap Yi = 0 dengan probabilitas q = 1 - pi (probabilitas gagal) maka bentuk umum dari likelihood (L): n
L=
p
Yi i
(1 pi )1Yi ................................................................................(2.4)
i 1
Sepintas model di atas menyatakan bahwa likelihood hanya berkaitan dengan probabilitas dan belum menjelaskan mengenai probabilitas dari variabel
40
bebas yang akan diperoleh. Fungsi logistik dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara probabilitas pi dan variabel bebas Xi yaitu seperti terlihat pada Persamaan (2.2) sebagai berikut: e ( 0 1 X i ) pi 1 e ( 0 1 X i )
dan 1 pi
1 1 e
( 0 1 X i )
.................................................................................. (2.5)
Dengan menggunakan kedua Persamaan (2.3) dan (2.5) pada Persamaan (2.4) diperoleh: e 0 1 X i L 0 1 X i i 1 1 e n
n
i 1
e
Yi
1 0 1 X i 1 e
1Yi
0 1 X i Yi
1 e
0 1 X i
......................................................................................(2.6)
Menghitung nilai 0 dan 1 pada Persamaan (2.6) merupakan suatu hal yang berat untuk dilakukan. Seringkali ditemukan bahwa lebih mudah untuk menggunakan logaritmik natural dari likelihood itu sendiri yaitu dengan memilih 0 dan 1 untuk memaksimumkan log likelihood. Log-likelihood dari data biner didalam suatu model regresi logistik adalah: n
n
i 1
i 1
log( L) Yi ( 0 1 X i ) log 1 e 0 1 X i ......................................(2.7)
Serupa dengan prinsip kuadrat terkecil pada regresi linier, akan terdapat dua persamaan yang harus dipecahkan untuk dua parameter (solusinya adalah estimasi dari 0 dan 1). Akan tetapi, tidak seperti pada kuadrat terkecil, dua persamaan
41
pada regresi logistik bersifat tidak linier sehingga harus dipecahkan dengan proses iterasi. Ini dimungkinkan dengan penentuan nilai awal untuk 0 dan 1, evaluasi log-likelihood, penentuan nilai baru untuk 0 atau 1 yang menaikkan nilai loglikelihood, dan mengulangi proses tersebut sampai selisih diantara putaranputaran dalam proses tersebut semakin kecil yang disebut dengan konvergensi. Pada akhirnya akan didapatkan nilai log-likelihood tidak berubah atau konstan pada suatu nilai tertentu. Jika hal tersebut terjadi maka dikatakan bahwa proses iterasi nilai log-likelihood sudah bersifat konvergen.
2.6.6 Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit) 2.6.6.1 Uji Rasio Likelihood Di dalam uji kelayakan model, yang pertama harus dilakukan adalah melakukan uji signifikansi parameter dari variabel bebas untuk mengetahui apakah taksiran parameter yang diperoleh berpengaruh secara signifikan terhadap model atau tidak dan seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap model. Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989), suatu statistik uji rasio likelihood G (uji G) adalah fungsi dari L0 dan L1 yang berdistribusi X 2 (Chi-square) dengan derajat bebas n (banyaknya variabel bebas yang ada di dalam model) yang didefinisikan dengan rumus berikut: G 2L0 L1 .......................................................................................(2.8)
dimana: L0 = log-likelihood dari model tanpa variabel bebas L1 = log-likelihood dari model dengan n variabel bebas
42
Nilai log-likelihood dihitung berdasarkan persamaan (2.7). Uji G ini menunjukkan bahwa model logistik secara keseluruhan dapat menjelaskan atau memprediksi variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji hipotesisnya adalah sebagai berikut: H0 : variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel terikat Ha : variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat Dengan tingkat signifikansi sebesar 0,05 maka kesimpulan yang dapat diambil adalah jika p-value (Sig.) > 0,05 atau nilai G < Chi-square tabel maka H0 diterima dan Ha ditolak, berarti variabel bebas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel terikat. Jika p-value (Sig.) < 0,05 atau nilai G > Chisquare tabel maka H0 ditolak dan Ha diterima, berarti variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat.
2.6.6.2 Uji Hosmer dan Lemeshow Uji kelayakan model yang dilakukan dengan menggunakan uji statistik dari Hosmer dan Lemeshow bertujuan untuk mengevaluasi cocok tidaknya model dengan data, nilai observasi yang diperoleh sama atau mendekati dengan yang diharapkan dalam model. Uji hipotesisnya adalah sebagai berikut: H0 : model yang diuji layak Ha : model yang diuji tidak layak Jika uji Hosmer dan Lemeshow dipenuhi maka model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan model dapat diterima karena sesuai dengan data observasinya. Uji Hosmer dan Lemeshow dihitung berdasarkan
43
taksiran probabilitas (Hosmer and Lemeshow, 1989). Pada uji ini sampel dimasukkan ke sejumlah kelompok (g) dengan tiap-tiap kelompok memuat n/10 sampel pengamatan, dengan n adalah jumlah sampel. Jumlah kelompok sekitar 10. Jadi data diurutkan dari data yang paling kecil kemungkinannya (p~0) ke data yang paling besar kemungkinannya (p~1). Setiap kelompok yang dihitung memiliki data hasil observasi dan hasil prediksi. Prinsip dasar dari uji statistik ini adalah frekuensi hasil prediksi dan frekuensi observasi dari variabel tidak bebas harus mempunyai perbedaan yang relatif kecil. Semakin kecil perbedaannya semakin layak model tersebut. Model yang layak menurut uji statistik ini akan mempunyai nilai probabilitas (p-value) yang besar yaitu lebih besar dari tingkat keyakinan 5% atau α=0.05 (Washington, et.al, 2003). Formula dari uji Hosmer dan Lemeshow ini adalah: ^
(Ok E k ) 2 ...................................................................................(2.9) vk k 1 9
C
dimana: Cˆ
=
Uji Hosmer-Lemeshow (H-L test)
Ok
=
Nilai Observasi pada grup yang ke-k
Ek
=
Nilai Ekspektasi pada grup yang ke-k
vk
=
Faktor koreksi variansi untuk grup yang ke-k
Dengan tingkat signifikansi sebesar 0,05 maka kesimpulan yang dapat diambil adalah jika p-value (Sig.) > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak, berarti model regresi logistik fit dengan data atau model yang diuji layak. Jika p-value (Sig.) < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima, berarti model regresi logistik tidak fit dengan data atau model yang diuji tidak layak.
44
2.6.6.3 Koefisien Determinasi R 2
Koefisien determinasi R 2 bertujuan untuk menyatakan sejauh mana model yang dibentuk mampu dijelaskan oleh variabel bebas. Semakin tinggi R 2 berarti model yang dikembangkan juga semakin baik. Ukuran yang digunakan adalah nilai Cox dan Snell R Square dan Nagelkerke R Square dengan rumus sebagai berikut: Cox dan Snell R Square 2 LLnull R 1 2 LLk
2/n
2
...........................................................................(2.10)
Model nol hanya mencakup konstanta, sementara k model berisi semua variabel bebas di dalam model. Cox dan Snell R Square tidak dapat mencapai 1 (satu) sehingga Nagelkerke R Square digunakan untuk merevisinya. Nagelkerke R Square 2 LLnull 1 2 LLk 2 R 1 {2 LLnull }2 / n
2/n
........................................................................(2.11)
2.6.7 Rasio Odds dan Probabilitas Setelah model dinyatakan layak di dalam menggambarkan hubungan antara variabel
bebas
dan
tidak
bebas
maka
langkah
selanjutnya
adalah
menginterpretasikan model tersebut yang berguna di dalam penarikan kesimpulan. Interpretasi adalah suatu proses pemahaman makna dari serangkaian data yang telah tersaji. Interpretasi parameter bertujuan untuk mengetahui arti dari nilai
45
taksiran parameter pada variabel bebas. Ada dua jenis variabel bebas yaitu variabel yang bersifat kategorik dan variabel kontinu. Cara yang digunakan untuk menginterpretasikan parameter regresi logistik dari variabel kategorik adalah dengan rasio odds (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Odds adalah perbandingan probabilitas kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dalam suatu kategori. Odds untuk x = 1 dan x= 0 secara berturut-turut adalah
p (1) p (0) dan 1 p (1) 1 p ( 0)
Sebagai ilustrasi di dalam pelemparan koin, kemungkinan memperoleh kepala adalah 0.5 dan kemungkinan tidak mendapat kepala juga 0.5. Karenanya, odds adalah 0.5/0.5= 1. Bahwa kemungkinan dari suatu peristiwa yang terjadi dan kemungkinan dari
peristiwa tidak terjadi, jumlahnya harus 1. Jika
diasumsikan bahwa dengan mengubah koin sedemikian rupa sehingga kemungkinan mendapat kepala adalah 0.6 maka kemungkinan tidak mendapat kepala menjadi 0.4. Odds mendapat kepala adalah 0.6/0.4= 1,5. Jika kemungkinan mendapat kepala adalah 0.8 maka odds mendapatkan
kepala akan menjadi
0.8/0.2= 4. Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa, ketika odds sama, kemungkinan dari peristiwa terjadi sama dengan kemungkinan peristiwa tidak terjadi. Ketika odds salah satunya lebih besar, kemungkinan dari kejadian peristiwa adalah lebih tinggi dibanding kemungkinan dari peristiwa tidak terjadi, dan ketika odds lebih kecil dari yang lainnya, kemungkinan dari kemungkinan dari peristiwa tidak terjadi.
kejadian peristiwa kurang dari
46
Odds dapat dikonversi kembali ke suatu peluang (probabilitas) yaitu dengan rumusan peluang = odds / (1+odds). Konsep berikutnya adalah mengenai rasio odds, seperti telah diketahui bahwa rasio odds (odds ratio) adalah perbandingan dua odds. Sebagai ilustrasi, diasumsikan bahwa terdapat wanita dan pria di dalam satu regu dengan proporsi 75% wanita dan 60% pria. Odds untuk wanita adalah 0.75/0.25= 3, dan odds untuk pria adalah 0.6/0.4= 1.5. Rasio odds akan menjadi 3/1.5= 2, artinya bahwa odds dari wanita dibanding pria untuk ikut bergabung ke dalam regu adalah 2 berbanding 1. Sebagai ilustrasi di dalam pengertian mengenai odds dan probabilitas (kemungkinan) dapat dilihat pada contoh berikut. Misal untuk analisa keropos tulang (osteoporosis) diperoleh suatu model logit sebagai berikut: p = a + b.Umur Logit (p) = ln 1 p
dimana variabel bebas Umur merupakan umur responden. Dari hasil pemodelan diperoleh bahwa koefisien a dan b bernilai masing-masing -21.18 dan 1.629. Menggunakan kedua nilai ini maka diperoleh model sebagai berikut: p = -21.18 + 1.629.Umur Logit (p) = ln 1 p
Untuk menginterpretasikan model ini misalnya diinginkan untuk mengetahui probabilitas seorang anak berumur 10 tahun menderita keropos tulang dapat dilakukan dengan cara: p = -21.18 + 1.629 (10) = -4.89 Logit (p) = ln 1 p
Nilai -4,89 di atas bukan nilai probabilitas.
47
Untuk memperoleh nilai yang diinginkan maka dihitung exp (-4.89) = 0.0075 . Nilai ini merupakan nilai odds yang mengindikasikan bahwa berubahnya seorang anak sebanyak satu unit umur akan menyebabkan nilai odds dari anak tersebut menderita keropos tulang adalah 0.0075. Jika ingin diketahui probabilitas (kemungkinan) seorang anak berumur 10 tahun maka dilakukan dengan menghitung: exp log it ( p ) exp 4.89 0.0075 p 0.007 log it ( p ) 4.89 1 0.0075 1 exp 1 exp
Hasil di atas menyatakan bahwa probabilitas (kemungkinan) seorang anak 10 tahun ke bawah menderita keropos tulang adalah sangat kecil (0.7%).
2.7
Penggunaan Perangkat Lunak SPSS Version 17 SPSS atau Statistical Product and Service Solution merupakan program
komputer yang digunakan untuk melakukan perhitungan statistik. Yang perlu dilakukan adalah mendesain variabel yang akan dianalisis, memasukkan data, dan melakukan perhitungan dengan menggunakan tahapan yang ada pada menu yang tersedia. Adapun perintah (command) untuk menjalankan model regresi logistik pada perangkat lunak SPSS ver. 17 secara umum adalah sebagai berikut : 1.
Buka file dummy dalam format CSV (comma separated variable) melalui menu File, Open, Data, pilih direktori tempat file dummy diletakkan dan pilih tipe file all files (*.*). Untuk memudahkan analisis, definisikan label variabel bebas dan variabel tidak bebas dengan pilihan menu Data kemudian pilih Define Variable Properties.
48
2.
Pilih menu Analyze, Regression, Binary Logistic. Kemudian masukkan variabel tidak bebas pada Dependent dan variabel bebas pada Covariates.
3.
Pada menu Method pilih Backward:LR untuk metode stepwise backward likelihood ratio test.
4.
Pilih menu Categorical jika terdapat variabel bebas dengan tipe data diskrit dan masukkan variabel bebas diskrit tersebut. Setelah selesai klik Continue.
5.
Pada menu Save contreng Probabilities, Studentized dan Cook’s. Kemudian klik Continue.
6.
Pada menu Options contreng Hosmer-Lemeshow goodness of fit, kemudian klik Continue. Untuk melihat keluaran model klik OK.