BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Apendisitis
2.1.1
Pengertian Apendisitis Apendisitis
adalah
peradangan
pada
apendiks
vermiformis
atau
peradangan infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah (Smeltzer, 2002). Apendisitis dapat terjadi pada setiap usia. Namun, apendisitis paling sering terjadi pada remaja dan dewasa awal, angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik (Sylvia & Loraine, 2005). Menurut Mansjoer, Arif, dkk, (2001), penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering laki-laki yang berusia antara 10-30 tahun.
2.1.3 Patofisiologi Secara patogenesis faktor penting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Obstruksi lumen apendiks merupakan faktor penyebab dominan pada apendisitis akut. Peradangan pada apendiks berawal di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminal meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman didalam lumen
8
9
apendiks. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan edema. Kondisi ini memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks maka terjadi keadaan yang disebut apendiks fokal. (Pieter, 2005; Jaffe & Berger, 2005) Obstruksi yang terus menerus menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Keadaan ini akan menyebabkan edema bertambah berat, terjadi iskemia, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi penumpukan nanah pada dinding apendiks atau disebut dengan apendisitis akut supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, dimana tekanan intraluminer semakin tinggi, edema menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadi gangren. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid, keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila tekanan terus meningkat, maka akan terjadi perforasi yang mengakibatkan cairan rongga apendiks akan tercurah ke rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal (Bedah UGM)
2.1.4 Manifestasi Klinis Nyeri kuadran bawah terasa dan disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat atau tidaknya konstipasi dan diare tidak tergantung dari beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri
10
tekan dapat terasa di daerah lumbar bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat dengan rektum. Sedangkan nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi daerah kuadran bawah kiri , yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tandatanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukan obstruksi usus atau penyakit infeksi lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insiden perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Brunner & Suddarth, 2002)
2.1.5 Evaluasi Diagnostik Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan fisik lengkap dan tes laboratorium dan sinar x. Hitung darah lengkap akan dilakukan dan akan menunjukkan peningkatan jumlah darah putih. Jumlah leukosit mungkin lebih besar dari 10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat menunjukkan densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran udara terlokalisasi.
11
2.1.5 Penatalaksanaan Menurut Brunner & Suddarth (2002) pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Appendectomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Appendectomy dapat dilakukan dibawah anastesi umum maupun spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang memberikan metode baru yang sangat efektif.
2.1.6 Komplikasi Apendisitis Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah sampai 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Brunner & Suddarth, 2002)
2.2
Konsep Perioperatif Keperawatan
perioperatif
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencangkup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu pre operasi, intra operasi, dan pasca operasi ( Keperawatan medikal-bedah, 2001)
12
2.2.1
Fase Pre Operasi
a.
Pengertian Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Fase
pre operasi adalah fase dimulai ketika keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi (Smeltzer and Bare, 2002 ).
b.
Tipe Pembedahan Menurut fungsinya (tujuannya), Potter & Perry ( 2005 ) membagi menjadi:
1)
Diagnostik : biopsi
2)
Kuratif (ablatif) : tumor, appendectomy
3)
Reparatif : memperbaiki luka multiple
4)
Rekonstruktif : mamoplasti, perbaikan wajah.
5)
Paliatif : menghilangkan nyeri,
6)
Transplantasi : penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
13
c.
Persiapan Pasien Sebelum Menjalani Tindakan Pembedahan
a)
Persiapan Fisik Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi menurut Majid ( 2011 ), antara lain : 1)
Status kesehatan fisik secara umum Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. 2)
Status Nutrisi Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. 3)
Keseimbangan cairan dan elektrolit Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik.
14
4)
Kebersihan lambung dan kolon Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam, yang bertujuan untuk menghindari aspirasi dan menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan. Pada pasien yang membutuhkan operasi segera, maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube). 5)
Pencukuran daerah operasi Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya
infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan. Tindakan harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka. Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan dioperasi. 6)
Personal Hygine Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena
tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. 7)
Pengosongan kandung kemih Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan
kateter. Selain untuk pengsongan isi bladder tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.
15
b)
Persiapan Mental/Psikis Menurut Long B.C (2001), operasi merupakan ancaman yang potensial
maupun aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi fisiologis maupun psikologis. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain : 1)
Takut nyeri setelah pembedahan
2)
Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal.
3)
Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti).
4)
Takut mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama.
5)
Takut menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas.
6)
Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi.
7)
Takut operasi gagal. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan pasien adalah:
1)
Pengalaman operasi sebelumnya.
2)
Pengertian pasien tentang tujuan operasi.
3)
Pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang.
4)
Pengetahuan pasien tentang situasi kamar operasi dan petugas kamar operasi.
5)
Pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, dan pasca operasi)
16
6)
Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setelah operasi seperti latihan nafas dalam, batuk efektif, range of motion(ROM) dan lain-lain.
d.
Informed consent Izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari pasien diperlukan
sebelum suatu pembedahan dilakukan. Izin tertulis seperti ini melindungi pasien terhadap pembedahan yang lalai dan melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum. Tanggung jawab perawat adalah memastikan bahwa informed consent telah didapat secara sukarela dari pasien oleh dokter. Sebelum menandatangani formulir consent, ahli bedah harus memberi penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa yang diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus menginformasikan tentang alternatifalternatif yang ada, kemungkinan risiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh, kecacatan, ketidakmampuan, dan pengangkatan bagian tubuh, juga tentang apa yang diperkirakan terjadi pada periode pasca operasi awal dan lanjut. Persetujuan tindakan medik diperlukan ketika : 1)
Prosedur tindakan adalah invasif, seperti insisi, bedah, biopsi, sistoskopi, atau parasentesis.
2)
Menggunakan anastesi.
3)
Prosedur non bedah yang dilakukan dimana risikonya pada pasien lebih dari sekadar risiko ringan, seperti arteriogram.
17
4)
Prosedur yang dilakukan yang mencakup terapi radiasi atau kobalt. (Majid, 2011)
e.
Pendidikan Pasien Pra Operasi (Preoperative Teaching) Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha
untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu sehingga sasaran memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik yang akan berpengaruh pada prilakunya (Notoatmodjo, 2007). Mubarak dan Chayatin (2009) dalam Wartini (2011) menyatakan pendidikan kesehatan dapat mendorong prilaku yang menunjang kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan membantu pemulihan. Melalui pendidikan kesehatan akan terjadi proses belajar untuk mengembangkan pengertian dan sikap yang benar dan positif dari individu atau kelompok terhadap kesehatan agar yang bersangkutan menerapkan cara hidup sehat sebagai bagian dari cara hidupnya sehari-hari atas kemauannya sendiri Secara teori perubahan perilaku dalam kehidupan melalui tiga tahap : 1)
Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
2)
Sikap (Attitude) Sikap merupakan suatu respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Dengan kata lain bahwa sikap itu
18
merupakan penilaian (bias berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. 3)
Praktik atau tindakan (Practice) Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, dan sebagai proses selanjutnya diharapkan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui. Lebih lanjut Notoatmodjo (2007) dalam Wartini (2011) menguraikan
bahwa terdapat beberapa teori lain mencoba mengungkap faktor penentu prilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain teori Snehandu B. Kar (1983) dan WHO (1984) a.
Teori Snehandu B. Kar Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa
perilaku itu merupakan fungsi dari : 1)
Niat untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention)
2)
Dukungan sosial dari sekitarnya (social support)
3)
Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information).
4)
Otonomi pribadi yang bersangkutan dengan pengambilan keputusan (personal autonomy)
19
5)
Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation)
b.
Teori WHO WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku
tertentu karena adanya empat alasan pokok yaitu :
a)
1)
Pemikiran dan perasaan seseorang (thoughts and feeling)
2)
Orang yang menjadi referensi (personal reference)
3)
Sumber-sumber daya (resource)
4)
Kebudayaan (culture)
Pengertian Preoperative Teaching Preoperative teaching atau pendidikan pre operasi didefinisikan sebagai
tindakan suportif yang dilakukan perawat untuk membantu pasien bedah dalam meningkatkan kesehatannya sendiri sebelum dan sesudah pembedahan. Tuntutan klien akan bantuan keperawatan terletak pada area pengambilan keputusan, tambahan pengetahuan, keterampilan,dan perubahan perilaku (Smith et al ; Carpenito, 1995 dalam Ayu Ningsih, 2011). Penyuluhan atau pendidikan kesehatan pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan diberikan
dengan tujuan meningkatkan kemampuan
adaptasi pasien dalam menjalani rangkaian prosedur pembedahan sehingga klien diharapkan lebih kooperatif dalam perawatan pasca operasi, dan mengurangi resiko komplikasi pasca operasi (Ignativicius, 1996 dalam Ayu Ningsih, 2011).
20
b)
Tujuan Menurut Effendy (1998) dalam Gustina (2010) tujuan penyuluhan
kesehatan adalah mengubah prilaku perorangan dan masyarakat dalam bidang kesehatan sehingga masyarakat dapat menanamkan prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Preoperative teaching atau penyuluhan pre operasi bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan klien tentang mobilisasi dini sehingga pasien mampu mengaplikasikan latihan-latihan yang diajarkan pada saat pasca operasi. Hal ini berarti diharapkan terjadi perubahan pada prilaku atau pelaksanaan mobilisasi dini pasien. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek. Mubarak dkk (2007) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan individu yaitu umur, minat, lingkungan, social budaya, pendidikan, informasi, dan pengalaman Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2002) membagi prilaku manusia dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor Menurut Notoadmodjo (2007), tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mencakup enam tingkatan, yaitu : 1)
Tahu (know) Merupakan tingkatan pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah ia dapat menyebutkan, mneguraikan mendefinisikan dan menyatakan.
21
2)
Memahami (Comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak hanya
sekedar
menyebutkan
tetapi
orang
tersebut
harus
dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. 3)
Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan dan mengaplikasikan prinsip tersebut.
4)
Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan objek tersebut.
5)
Sintesis (Syntesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi sebelumnya.
6)
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
22
c)
Manfaat Preoperative teaching Menurut Potter Perry (2005) preoperative teaching atau penyuluhan pre
operasi yang terstruktur mempunyai pengaruh yang positif bagi pemulihan klien. Pada penyuluhan ini diajarkan mengenai mobilisasi dini klien pasca operasi. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan pasien sehingga siap untuk meningkatkan proses kesehatannya sebelum, selama dan khusunya sesudah pembedahan. Penyuluhan pre operasi yang terstruktur dapat mempengaruhi beberapa faktor pasca operasi seperti : 1)
Fungsi pernafasan. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien untuk batuk dan nafas dalam secara efektif.
2)
Kapasitas fungsi fisik. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien melakukan ambulasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari secara lebih awal.
3)
Perasaan sehat. Klien yang telah dipersiapkan untuk mengalami pembedahan memiliki kecemasan yang rendah dan menyatakan rasa sehat secara psikologis yang lebih besar.
4)
Lama rawat inap di rumah sakit. Penyuluhan pre operasi secara terstruktur dapat mempersingkat waktu rawat inap klien di rumah sakit.
5)
Ansietas tentang nyeri dan jumlah obat-obatan anti nyeri yang diperlukan untuk kenyamanan. Klien yang telah diberikan penyuluhan tentang nyeri dan cara untuk menghilangkannya memiliki kecemasan tentang nyeri yang lebih rendah
23
Diskusi yang terperinci dan demonstrasi latihan merupakan hal yang vital. Apabila klien memahami alasan pentingnya latihan untuk memulihkan kondisi pada pasca operasi dan klien melakukannya dengan benar, maka komplikasi pada tahap pemulihan akan berkurang.
d)
Waktu Pemberian Preoperative Teaching Sebuah penelitian menemukan bahwa klien lebih suka menerima informasi
perioperatif pada waktu antara kedatangan pasien ke rumah sakit sampai sebelum klien menjalani pembedahan, walaupun rentang waktunya hanya beberapa jam (Schoessler (1989) dalam Potter and Perry, 2006). Jika perawat memberi penyuluhan pada klien sejak satu atau dua hari sebelum pembedahan, klien mungkin akan mempelajarinya dengan lebih baik. Rasa cemas dan takut adalah hambatan dalam belajar, dan kedua emosi ini akan meningkat jika waktu pembedahan semakin dekat (Potter & Perry, 2006). Anggota keluarga dianjurkan ikut terlibat dalam persiapan perioperatif. Seringkali anggota keluarga menjadi pelatih klien dalam melakukan latihan pasca operasi saat klien selesai menjalani pembedahan. Keluarga klien yang cemas karena tidak memahami proses rutin yang terjadi pada masa pasca operasi, tampaknya akan meningkatkan rasa takut atau khawatir klien. Persiapan perioperatif bagi anggota keluarga sebelum pembedahan akan meminimalkan kecemasan dan kesalahpahaman keluarga. Apabila klien mampu untuk menerima pelajaran, perawat memberi informasi dengan cara yang logis, dimulai dari proses pre operasi, intra operasi sampai pasca operasi. Penyuluhan pre operasi yang
24
menyeluruh tidak hanya meningkatkan pemahaman klien tetapi juga mempercepat kembalinya fungsi fisiologis yang normal (Potter & Perry, 2006).
e)
Komponen Preoperative Teaching Setiap program penyuluhan preoperatif terdiri dari penjelasan dan
demonstrasi latihan-latihan pasca operasi. Latihan-latihan ini akan sangat berpengaruh pada pengetahuan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan mobilisasi dini pasca operasi. Klien juga perlu untuk mengetahui tentang mobilisasi dini baik pengertian, manfaat, waktu untuk memulai serta latihan mobilisasi yang harus mereka lakukan. Latihan tersebut sebaiknya diberikan sebelum pasien menjalani pembedahan, sehingga pasien tahu dan mampu untuk melaksanakan mobilisasi pasca operasi secara maksimal. Apabila pasien memahami alasan pentingnya penyuluhan ini, maka komplikasi pada tahap pemulihan akan berkurang. Latihan yang diberikan pada pasien pre operatif antara lain latihan nafas dalam, latihan batuk efektif dan latihan tungkai (Potter and Perry, 2006).
f)
Metode dan Media Pendidikan Kesehatan Metode merupakan cara untuk melaksanakan pendidikan kesehatan kepada
sasaran, sedangkan teknik adalah segala upaya tertentu agar cara yang dilaksanakan dapat terwujud secara baik dan sempurna. Dalam Achjar (2010), dikatakan perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh peran perawat dalam menyampaikan pesan tersebut sampai pada pasien dengan memperhatikan
25
berbagai aspek, diantaranya kesesuaian metode dan alat peraga/ alat bantu yang digunakan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemilihan metode pendidikan kesehatan disesuaikan dengan tujuan pendidikan, kemampuan sasaran, tingkat pendidikan sasaran, serta waktu penyampaian pendidikan kesehatan. Berkaitan dengan tujuan pendidikan kesehatan yaitu terjadinya perubahan prilaku. Berikut diuraikan beberapa metode pendidikan kesehatan untuk merubah masing-masing unsure prilaku yang diharapkan seperti : 1)
Perubahan pengetahuan/ knowledge, dapat menggunakna metode ceramah, seminar, studi kasus, curah pendapat, panel dan symposium.
2)
Perubahan sikap/attitude, dapat menggunakan metode diskusi kelompok, Tanya jawab, roleplay, pemutaran film, siaran terprogram
3)
Perubahan tindakan/practice, dapat menggunakan metode demonstrasi, bengkel kerja, latihan mandiri, dan eksperimen. Dalam
penjelasan
sebelumnya
dikatakan
bahwa
faktor
yang
mempengaruhi proses pendidikan kesehatan salah satunya tergantung pada media dan alat bantu/peraga yang digunakan. Alat peraga menurut Achjar (2010) berfungsi untuk membantu agar pesan yang disampaikan lebih jelas dan pasien dapat menerima pesan secara jelas pula dengan memanfaatkan panca indra sehingga mempermudah menerima pesan yang disampaikan. Semakin banyak indra yang digunakan, semakin banyak dan jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Manfaat alat peraga (Depkes, 2006) yaitu; menimbulkan minat sasaran, mencapai sasaran lebih banyak, membantu dalam mengatasi hambatan, membantu
26
sasaran untuk belajar lebih banyak dan cepat, mempermudah penyampaian informasi oleh sasaran, merangsang sasaran untuk menginformasikan pesan-pesan yang didapat kepada orang lain. Ada berbagai macam jenis alat peraga (Achjar, 2010) antara lain adalah leaflet, poster, papan tulis, flipchart, buletin, flash card, buku cerita bergambar, chart, diorama dan flannel graph. Dalam proses pembelajaran media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar (Santyasa, 2007:3). Dalam penyampaian pendidikan kesehatan, leaflet merupakan alat peraga sederhana yang sering digunakan. Leaflet/Brosur adalah media berbentuk selembar kertas yang diberi gambar dan tulisan (biasanya lebih banyak tulisan) pada kedua sisi kertas serta dilipat sehingga berukuran kecil dan praktis dibawa. Biasanya ukuran A4 dilipat tiga. Media ini berisikan suatu gagasan secara langsung ke pokok persoalannya dan memaparkan cara melakukan tindakan secara pendek dan lugas. Media ini yang banyak kita temui biasanya bersifat memberikan langkah-langkah untuk melakukan sesuatu (instruksional). Media ini sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang singkat dan padat
2.2.2
Fase Intra Operasi Keperawatan intra operasi merupakan bagian dari tahap keperawatan
perioperatif. Aktivitas ini dilakukan oleh perawat di ruang operasi yang berfokus pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu pasien (Majid,2011).
27
a.
Prinsip-Prinsip Asepsis Antisepsis dan asepsis adalah suatu usaha untuk mencapai keadaan yang
memungkinkan untuk meminimalkan atau meniadakan kuman-kuman patogen, baik secara kimiawi, mekanis maupun fisik. Prinsip-prinsip asepsis yang harus diterapkan pada fase intra operasi meliputi : 1)
Prinsip asepsis ruangan : mencakup tindakan asepsis alat-alat bedah, seluruh sarana kamar operasi, semua implantasi, alat-alat yang dipakai personal operasi dan juga cara membersihkan atau melakukan desinfeksi dari kulit dan tangan.
2)
Prinsip asepsis personel : meliputi tiga tahap, yaitu scrubbing (teknik cuci tangan steril), gowning (teknik memakai gaun operasi), dan gloving (teknik memakai sarung tangan steril). Disamping sebagai cara pencegahan terhadap infeksi nosokomial, teknik tersebut juga diberikan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap bahaya yang didapatkan akibat prosedur tindakan.
3)
Prinsip asepsis pasien : pasien yang akan menjalani pembedahan harus diasepsiskan. Prosedur tersebut antara lain adalah kebersihan pasien, desinfeksi area operasi dan tindakan drapping.
4)
Prinsip asepsis instrumen : instrumen bedah yang digunakan untuk pembedahan pada pasien harus benar-benar berada dalam keadaan steril. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah perawatan dan sterilisasi alat, mempertahankan kesterilan alat pada saat pembedahan
28
dengan menggunakan teknik tanpa singgung dan menjaga agar tidak bersinggungan dengan benda-benda non steril (Majid, 2011)
b.
Peran dan Fungsi Perawat Intra Operasi Peran perawat intra operasi adalah selain sebagai kepala advokat pasien
dalam kamar operasi yang menjamin kelancaran jalannya operasi dan menjamin keselamatan pasien selama tindakan pembedahan. Sedangkan fungsinya di dalam kamar operasi seringkali dijelaskan dalam hubungan aktivitas-aktivitas sirkulasi dan scrub. Aktivitas keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operasi meliputi empat hal yaitu : 1)
Safety Management : merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi pasien selama prosedur pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk jaminan keamanan diantaranya adalah pengaturan posisi. Hal-hal yang dilakukan oleh perawat terkait dengan pengaturan posisi pasien meliputi kesejajaran fungsional, pemajanan area pembedahan, mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi, memasang alat grounding ke pasien, memberikan dukungan fisik dan psikologis serta memastikan bahwa semua peralatan yang dibutuhkan telah siap.
2)
Monitoring fisiologis : pemantauan fisiologis yang dilakukan oleh perawat melliputi
memantau
keseimbangan
cairan,
memantau
kardiopulmonal dan memantau perubahan tanda-tanda vital. 3)
Monitoring dan dukungan psikologis.
kondisi
29
4)
Pengaturan dan koordinasi nursing care: tindakan yang dilakukan meliputi mengelola keamanan fisik, mempertahankan prinsip dan teknik aseptik (Majid, 2011)
2.2.3
Fase Pasca Operasi Keperawatan pasca operasi adalah periode akhir dari keperawatan
perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada upaya untuk menstabilkan kondisi pasien pada keadaan keseimbangan fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Upaya yangdapat dilakukan pada fase pasca operasi disarankan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan muncul pada tahap ini. Pengkajian dan intervensi yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang dapat memperpanjang lama perawatan di rumah sakit atau membahayakan diri pasien (Majid,2011)
a.
Tahapan Keperawatan Pasca Operasi Perawatan pasien pasca operasi meliputi beberapa tahapan, diantaranya
pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca operasi. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca operasi memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca bedah dipindahkan.
30
Selanjutnya pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan. Ketika pasien sudah mencapai ruang perawatan, maka hal yang harus dilakukan yaitu: 1)
Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainase, tube/selang, dan komplikasi
2)
Manajemen luka. Pastikan luka tidak mengalami perdarahan yang abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Fokus penanganan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan meminimalkan komplikasi dan biaya perawatan.
3)
Mobilisasi dini berupa nafas dalam, batuk efektif dan ROM yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular dan mengeluarkan sekret serta lendir. Hampir semua pasien pasca bedah dianjurkan untuk melakukan mobilsasi dini. Mobilisasi dini dapat mempertahankan fungsi tubuh, memperlancar peredaran darah, membantu pernapasan menjadi lebih baik, mempertahankan tonus otot, memperlancar eliminasi BAB dan BAK, mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal dan memenuhi kebutuhan gerak harian. Fase pre operasi memegang
peranan
penting
dalam
memaksimalkan
pelaksaanaan
mobilisasi dini pasca operasi. Latihan-latihan tentang mobilisasi dini perlu diajarkan sebelum pasien menjalani proses pembedahan sehingga pasien tahu dan paham apa yang harus mereka lakukan pasca operasi. 4)
Penanganan nyeri. Pengontrolan nyeri dilakukan dengan menggunakan analgetik intravena atau intratrakea utamanya untuk pembedahan abdomen terbuka.
31
5)
Posisi tempat tidur. Biasanya pasien ditempatkan pada posisi miring untuk mengurangi inhalasi muntah atau mukus.
6)
Penggantian cairan. Pemberian cairan baik secara intravena maupun secara oral sangat dibutuhkan. Penentuannya diambil berdasarkan faktor-faktor jumlah seperti kehilangan cairan intra operasi, output urine, waktu pembedahan dan jumlah cairan yang diterima pada waktu pemulihan.
7)
Nutrisi. Tujuan pemberian nutrisi adalah untuk meningkatkan fungsi imun dan mempercepat penyembuhan luka sehingga akan meminimalisir ketidakseimbangan metabolik.
b.
Komplikasi Pasca Operasi Menurut Majid (2011), komplikasi pasca operasi yaitu : syok, perdarahan,
trombosis vena prufunda, retensi urine, infeksi luka operasi, sepsis, embolisme pulmonal dan komplikasi gastrointestinal. Apabila pasien pasca operasi tidak melaksanakan mobilisasi dini komplikasi yang didapat antara lain pemanjangan waktu pemulihan peristaltik usus, pemanjangan waktu penyembuhan luka yang akan berpengaruh pada pemanjangan lama rawat inap pasien di rumah sakit dan tentunya akan berdampak pada bertambahnya biaya yang dikeluarkan pasien.
32
2.3
Konsep Mobilisasi Dini
2.3.1
Pengertian Mobilisasi Dini Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini mungkin di
tempat tidur dengan melatih bagian-bagian tubuh untuk peregangan atau belajar berjalan (Soelaiman, 2000). Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Craven, 2000). Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi
kembali
fungsi
gastrointestinal
normal,
mendorong untuk
menggerakkan kaki tungkai bawah sesegera mungkin biasanya dalam waktu 6 jam setelah pasien sadar dari pengaruh anastesi secara penuh / compos mentis (Gallagher, 2004).
2.3.2
Prinsip dan Manfaat Mobilisasi Menurut Dombovy ML dikutip oleh Rismalia (2010), mengemukakan
bahwa beberapa prinsip dalam melakukan mobilisasi yaitu mencegah dan mengurangi komplikasi sekunder seminimal mungkin, menggantikan hilangnya fungsi motorik, memberikan rangsangan lingkungan, memberi dorongan bersosialisasi, memberi kesempatan untuk dapat berfungsi dan melakukan aktivitas
sehari-hari
sebelumnya.
serta
memungkinkan
melakukan
pekerjaan
seperti
33
Menurut Kozier, et.al. (2004) dalam buku Fundamentals of Nursing, keuntungan yang dapat diperoleh dari mobilisasi bagi sistem tubuh adalah sebagai berikut : a.
Sistem Muskuloskeletal Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung dapat
dipertahankan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan yang berat. Dengan melakukan latihan, tonus otot dan kemampuan kontraksi otot meningkat. Dengan melakukan latihan atau mobilisasi dapat meningkatkan fleksibilitas tonus otot dan range of motion. b.
Sistem Kardiovaskular Dengan melakukan latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat
meningkatkan denyut jantung (heart rate), menguatkan kontraksi otot jantung, dan menyuplai darah ke jantung dan otot. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) meningkat karena aliran balik dari aliran darah. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal adalah 5 liter/menit, dengan mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/ menit. c.
Sistem Respirasi Jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh paru (ventilasi)
meningkat. Ventilasi normal sekitar 5-6 liter/menit. Pada mobilisasi yang berat, kebutuhan oksigen meningkat hingga mencapai 20x dari kebutuhan normal. Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah penumpukan sekret pada bronkus dan bronkiolus, menurunkan usaha pernapasan.
34
d.
Sistem Gastrointestinal Dengan beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan dan meningkatkan
tonus saluran pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi seperti kembalinya mempercepat pemulihan peristaltik usus dan mencegah terjadinya konstipasi serta menghilangkan distensi abdomen. e.
Sistem Metabolik Dengan latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme, dengan
demikian peningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil pembuangan. Selama melakukan aktivitas berat, kecepatan metabolisme dapat meningkat sampai 20 kali dari kecepatan normal. Berbaring di tempat tidur dan makan diit dapat mengeluarkan 1.850 kalori per hari. Dengan beraktivitas juga dapat meningkatkan penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi tingkat trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh. f.
Sistem Urinary Karena aktivitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah, tubuh dapat
memisahkan sampah dengan lebih efektif, dengan demikian dapat mencegah terjadinya statis urin. Kejadian retensi urin juga dapat dicegah dengan melakukan aktivitas.
2.3.3 Tahap-Tahap Mobilisasi pada Pasien Pasca Operasi Mobilisasi pasca operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernapasan, latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun
35
dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Smeltzer, 2001). Tahap-tahap mobilisasi pada pasien pasca operasi meliputi (Cetrione, 2009 dalam Rismalia 2010) : a.
Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tungkai yang bisa ditekuk dan diluruskan, mengkontraksikan otot-otot termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.
b.
Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan.
c.
Pada hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya ke toilet atau kamar mandi sendiri. Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin, hal ini perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien pasca operasi untuk mengembalikan fungsi pasien kembali normal. Gerakan-gerakan tersebut antara lain:
1.
Latihan Nafas Dalam Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri pasca operasi dan dapat membantu pasien relaksasi
36
sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien (Majid, 2011). Latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1)
Lakukan dalam posisi yang sama seperti posisi anda di tempat tidur nanti setelah pembedahan: posisi semi-fowler, berbaring di tempat tidur dengan punggung dan bahu tersangga baik dengan bantal
2)
Dengan tangan dalam posisi genggaman kendur, biarkan tangan berada di atas iga paling bawah, jari-jari tengan menghadap dada bagian bawah untuk merasakan gerakan
3)
Keluarkan nafas dengan perlahan dan penuh bersamaan dengan gerakan iga menurun dan kedalam mengarah pada garis tengah
4)
Kemudian ambil nafas dalam melalui hidung dan mulut anda, biarkan abdomen mengembang bersamaan dengan paru-paru terisi oleh udara. Tahan nafas ini dalam hitungan kelima.
5)
Hembuskan dan keluarkan semua udara melalui hidung dan mulut anda
6)
Ulangi 15 kali dengan istirahat singkat setelah setiap lima kali.
37
Gambar 1. Pernafasan Diafragmatik
2.
Latihan Batuk Efektif Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien yang mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranestesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien pasca operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret tersebut
(Majid, 2011). Pasien dapat
dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara : 1)
Condong sedikit kedepan dari posisi duduk di tempat tidur, jalinkan jarijari tangan, dan letakkan tangan melintang letak insisi untuk bertindak sebagai bebat ketika batuk
2)
Dengan mulut agak terbuka, hirup nafas dengan penuh
3)
“Hak”-kan keluar dengan keras dengan tiga kali nafas pendek
4)
Kemudian dengan mulut tetap terbuka, lakukan nafas dalam dengan cepat dan dengan cepat batuk dengan kuat satu atau dua kali. Hal ini membantu
38
membersihkan
sekresi
dari
dada.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
ketidaknyamanan tetapi tidak akan membahayakan insisi.
Gambar 2. Latihan batuk
3.
Latihan Gerak Sendi Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga pasca operasi pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien pasca operasi. Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat kentut/flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal. Intervensi ditujukan
39
pada perubahan posisi tubuh dan juga range of motion (ROM). Latihan perpindahan posisi dan ROM ini pada awalnya dilakukan secara pasif namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan tonus otot maka pasien diminta melakukan secara mandiri. Menurut Smeltzer and Bare (2002 ), latihan gerak sendi dilakukan secara bertahap meliputi: a)
Latihan Tungkai 1.
Berbaring dalam posisi semi-fowler dan lakukan latihan sederhana berikut ini untuk memperbaiki sirkulasi
2.
Bengkokkan lutut dan naikkan kaki – tahan selama beberapa detik, kemudian luruskan tungkai dan turunkan ke tempat tidur
3.
Lakukan lima kali untuk tiap tungkai, kemudian ulang pada tungkai lainnya.
4.
Kemudian buat lingkaran dengan kaki dengan membengkokkannya ke bawah , kedalam mendekat satu sama lain, ke atas, dan kemudian keluar
5.
Ulangi gerakan ini lima kali
Gambar 3. Latihan tungkai
40
Gambar 4. Latihan kaki b)
Miring 1.
Miring ke salah satu sisi dengan bagian paling atas tungkai fleksi dan disangga di atas bantal.
c)
2.
Raih pagar tempat tidur sebagai alat bantu untuk manuver ke samping.
3.
Lakukan pernafasan diafragmatik dan batuk ketika anda miring.
Turun dari Tempat Tidur 1.
Miring ke salah satu sisi.
2.
Dorong tubuh anda ke atas dengan satu tangan ketika mengayunkan tungkai anda turun dari tempat tidur.
2.3.4
Rentang Gerak dalam Mobilisasi Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi ada tiga rentang gerak, yaitu :
a.
Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
41
b.
Rentang gerak aktif Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya pasien berbaring sambil menggerakkan kakinya. c.
Rentang gerak fungsional Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan
aktivitas yang diperlukan.
2.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Dini Menurut Lauro (1985) dalam Rismalia (2010), mobilisasi dini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a.
Pengetahuan Pengetahuan adalah suatu ilmu tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu (Kurnia, 2002 yang dikutip oleh Purwanto tahun 2007). Pengetahuan individu terhadap sesuatu dan yakin akan manfaat menyebabkan seseorang untuk mencoba menerapkan dalam bentuk perilaku. Pengetahuan tersebut dapat didapatkan dari informasi, membaca, dan melalui pendidikan formal. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku individu tersebut. Pengetahuan mengenai mobilisasi dini pasca operasi bisa didapatkan dari informasi atau pendidikan kesehatan yang diberikan oleh seorang perawat kepada pasien yang akan menjalani tindakan operasi seperti appendectomy. Pendidikan
42
kesehatan tersebut dapat diberikan sebelum tindakan operasi dilakukan yaitu pada fase pre operasi. Sehingga setelah tindakan operasi selesai dilaksanakan, pasien telah mengetahui manfaat dari mobilisasi dan hal itu dapat mempengaruhi pasien tersebut untuk melakukan mobilisasi dini tanpa rasa takut. b.
Emosi Menurut Goleman, 2000 yang dikutip oleh Hanum (2006) emosi merujuk
pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu, yaitu : 1)
Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang didapat.
2)
Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini adalah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
3)
Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
4)
Terganggu dalam penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
5)
Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecil akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya maupun orang lain. Hospitalisasi merupakan stressor bagi seseorang yang dirawat dirumah
sakit. Perasaan yang dialami pasien pasca operasi appendectomy terhadap luka
43
operasi yang belum sembuh akan menimbulkan rasa takut untuk melakukan mobilisasi, sehingga rasatakut tersebut dapat menjadi penghambat bagi mereka untuk melakukan mobilisasi. c.
Sosial Sosial
adalah
hal-hal
yang
berkenaan
dengan
masyarakat
dan
kebersamaan, kekuatan masyarakat tersebut berada di sekitar individu tersebut dalam berinteraksi (Yusuf, 2008). Adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat memberikan kekuatan pada individu tersebut. (Nurdin, 2006). Interaksi yang dilakukan pasien dengan keluarga dan orang-orang di sekitar akan mempengaruhi pasien tersebut untuk melakukan mobilisasi pasca operasi, sehingga dengan mobilisasi tersebut akan memotivasi pasien untuk sembuh. d.
Fisik Fisik adalah postur tubuh, kesehatan, keutuhan tubuh, keberfungsian organ
tubuh seseorang (Yusuf, 2008). Pada pasien yang baru saja menjalani operasi seperti operasi appendectomy, keadaan fisik pasien tersebut belum kembali pulih pada keadaan sebelumnya. Hal tersebut dapat membuat pasien merasa enggan untuk melakukan mobilisasi, selain itu rasa nyeri yang dirasakan juga membuat pasien merasa lemah dan hanya ingin berbaring di tempat tidur. e.
Stimulus Lingkungan Stimulus lingkungan adalah rangsangan dari luar yang mempengaruhi dan
menggerakkan individu untuk berbuat (Handoko, 1997 dalam Rismalia, 2010). Stimulus lingkungan tersebut dapat berupa dukungan perawat atau keluarga.
44
Adanya dukungan dan dorongan dari perawat serta keluarga dapat menimbulkan motivasi pada pasien yang dirawat untuk melakukan aktivitas, seperti pasien yang baru saja menjalani operasi. Aktivitas yang dapat dilakukan yaitu berupa mobilisasi
sehingga
dengan
melakukan
mobilisasi
dapat
mempercepat
penyembuhan pasien. f.
Sarana atau fasilitas ruang rawat Peran serta perawat, peran serta keluarga yang mendukung dan tidak
mendukung agar pasien berinisiatif dan mau melakukan mobilisasi. Suasana lingkungan yang nyaman juga dapat mendukung terhadap aktivitas seseorang yang dilakukan.