BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Teori proses penuaan (Aging) Ilmu kedokteran semakin hari semakin berkembang begitu cepatnya, sehingga memunculkan ilmu baru dalam hal ini ialah Anti-Aging Medicine (AAM) dengan membawa konsep baru dalam dunia kedokteran yaitu bahwa “Penuaan diperlakukan sebagai penyakit sehingga dapat
dicegah atau diobati bahkan
dikembalikan ke keadaan semula “sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan berfungsi seperti pada usia yang lebih muda; maka penampilan dan kualitas Klatz, 2003; Pangkahila, 2007). Fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal dengan mencegah proses penuaan , sehingga organ tubuh dapat hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007). Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Pangkahila, 2007). Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik (Goldman dan Klatz, 2003).
7
8
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear dan tear dan teori program. Teori wear dan tear meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan neuroendocrine theory (Pangkahila, 2007). Menurut Goldman dan Klatz (2003) ada 4 teori pokok dari aging, yaitu: 1.
Teori “wear dan tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse dan abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. 2.
Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, yaitu sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Usia yang makin bertambah mengakibatkan tubuh memproduksi hormon dalam jumlah makin sedikit , akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. 3.
Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan
9
mental tertentu. Penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup. 4.
Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas baru oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas baru tersebut akan merusak molekul lain sehingga menimbulkan akumulasi kerusakan molekul dan berakibat terjadinya kerusakan sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein. Semakin bertambahnya usia akan menyebabkan akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas sehingga akan mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2003). 2.1.2 Tanda-tanda penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan
10
gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu: 1.
Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang.
2.
Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi. Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas. Menurut Pangkahila (2007), proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap
sebagai berikut: 1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun): Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal, walaupun pada tahap ini banyak perempuan usia muda pengguna kontrasepsi mengalami sex disorder. 2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun): Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh
11
darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan ekspresi genetik oleh radikal bebas mulai tampak dan dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner, dan diabetes. 3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas): Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepidanrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan juga hormon tiroid. Densitas tulang dan massa otot mulai menurun, tetapi lemak tubuh dan berat badan meningkat. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan. Melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengalami gejala atau keluhan bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Sebagai pegangan
untuk mengatasi proses penuaan, kita jangan
menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007). 2.2 Radikal Bebas 2.2.1 Definisi radikal bebas Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang
12
dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural Sering kali pengertian oksidan dan radikal bebas dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat. Kedua jenis senyawa ini memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama tetapi dengan proses yang berbeda (Winarsi, 2007). Walaupun ada kemiripan dalam sifatnya namun dari sudut kimia keduanya harus dibedakan. Oksidan dalam pengertian ilmu kimia adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sebaliknya radikal bebas adalah atom molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron yang tidak berpasangan atau unpaired electron. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas (Suryohudoyo, 2000) Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu : 1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa yang berasal dari proses fisiologis, namun oleh karena suatu sebab terdapat dalam jumlah banyak 2. Yang berasal dari proses peradangan. 3. Yang berasal dari luar tubuh seperti polutan, obat-obatan Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan non radikal.
13
2.2.2 Sifat-sifat radikal bebas Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu : 1.
Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron.
2.
Mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal bebas baru. Berkaitan
dengan
tingginya
reaktivitas
senyawa
radikal
bebas
mengakibatkan molekul lain diubah menjadi senyawa radikal bebas baru. Radikal bebas baru tersebut bila bertemu molekul lain akan membentuk radikal bebas baru lagi yang berkurang reaktivitasnya. Hal tersebut terjadi berulangkali sehingga
Gambar 2.1 Sumber Reactive Oxygen Species (ROS) dan Efek yang Ditimbulkan bagi Tubuh (Li, 2013) ROS dikeluarkan sebagai hasil dari metabolism aerobic dalam mitochondria dan aktivasi dari xanthin oxidase, jenis sel dalam sistim kekebalan tubuh dapat menyebabkan produksi ROS. Levels ROS yang cukup diperlukan untuk mempertahankan kapasitas buffering allostatic redox (ABC), yang akan meningkatkan kebugaran fisik.
14
akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk memepertahankan integritas sel yaitu : 1.
Asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel.
2.
DNA, yang merupakan pembawa genetik sel.
3.
Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, sitoskeleton. Dari ketiga molekul target tersebut yang paling rentan terhadap serangan
radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel sehingga membran sel menjadi rapuh, akhirnya terjadi kerusakan membran sel. Senyawa oksigen reaktif ini juga mampu merusak membran sel pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan dinding pembuluh darah dan dapat berakibat meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis. Jaringan lipid yang dirusak oleh senyawa radikal bebas akan membentuk peroksida dan senyawa lain yang bersifat toksik, dimana peroksida ini dapat merusak basa DNA dan mengacaukan sistim info genetika, yang dapat berlanjut pada pembentukan sel kanker degeneratif.
selain juga memicu munculnya penyakit
15
2.2.3 Tahapan terbentuknya radikal bebas Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi (Winarsi, 2007) yaitu: 1.
Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas. Misal: Fe ++ + H 2O 2 -----. Fe +++ + OH - + • OH
2.
Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.
3.
Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah. Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron transfer).
Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Oleh karena oksigen hanya dapat menerima satu elektron pada setiap tahap maka terjadi dua hal yaitu : 1.
Kurangnya reaktif oksigen
2.
Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O2 • ( ion peroksida), H2O2 ( hydrogen peroksida ) , • OOH ( radikal peroksil) Reaksi–reaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa-
senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat dapat sebagai berikut : O2 + e- -------- O2 - • ( ion peroksida) O2
+ e- + H+ ------• OOH (radikal peroksil)
O2
+ 2e- + 2 H + ------- H2O2 (hydrogen peroksida)
O2
+ 3 e- + 3H + -------- • OH + H 2O (radikal hidroksil)
16
O2
+ 4 e- + 4H+ --------2 H2O
Dari reaksi–reaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.
2.2.4 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal bebas (Saxena dan Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal diatas yang paling rentan adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh (Pasupathi, 2009). Ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan inilah perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak tak jenuh yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan protein (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007).
17
Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging) dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007) 2.3. Stres Oksidatif 2.3.1 Keadaan yang menimbulkan stres oksidatif Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas sehingga dapat merusak membran sel, protein dan DNA. Stres oksidatif yang terjadi dalam waktu yang berkepanjangan akan berakibat penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel, sehingga sel /jaringan kehilangan fungsinya dan mati. Penumpukan hasil kerusakan tadi akan bertambah dengan bertambahnya umur hal ini merupakan penyebab utama proses penuaaan (Bagiada, 2001). Prinsip dasar teori ini adalah hilangnya fungsi jaringan/ tubuh pada proses penuaan disebabkan oleh bertambah dan menumpuknya secara irreversible molekul molekul hasil perusakan oksidatif oleh radikal bebas. Radikal bebas terbentuk sebagai hasil metabolisme aerobik normal, namun dapat juga diproduksi dalam jumlah banyak pada keadaan patofisiologis . Salah satunya adalah aktivitas fisik yang berat atau berlebih dapat meningkatkan stress oksidatif .
18
Senyawa oksigen reaktif dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stress maupun tidak. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres, pembentukan senyawa reaktif lebih tinggi di bandingkan pemusnahannya. Oksigen tereduksi akan membentuk radikal superoksida, hidrogen peroksida dan hidroksil. Apabila kondisi keseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan kerusakan oksidatif (oxidative stress). Stress oksidatif di definisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat oksigen reaktif yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen (Arief, 2010). Pada keadaan inilah terjadi perusakan dalam tubuh oleh radikal bebas. 2.3.2
Peroksidasi lipid Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat kompleks akibat reaksi
asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa oksigen reaktif (SOR). Peroksidasi lipid yang diperantarai SOR mempunyai tiga komponen utama reaksi, yaitu reaksi inisiasi, propagasi, dan terminasi. Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas asam lemak tak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH2) dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron, sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda, sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen.
19
Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2) membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH) serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Catala, 2006). Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan pada aliran cairan dan permiabilitas, mengubah transport ion serta menghambat reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel. Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid. Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti MDA, 4-hydroxy-2nonenal (HNE), 4-hydroxy-2-hexenal (4-HHE) dapat menyebabkan kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2007). 2.4 Antioksidan 2.4.1 Definisi antioksidan Dalam pengertian kimia senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (elektron donor). Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas, yaitu merupakan senyawa–senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan (radikal bebas), termasuk enzim dan protein pengikat logam (Pangkahila, 2007)
20
2.4.2 Jenis-jenis antioksidan Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : 1.
Antioksidan enzymatis / antioksidan primer / antioksidan endogenus / chainbreaking-antioxidant misalnya : enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase.
2.
Antioksidan non – enzimatis dibagi 2 kelompok lagi yaitu a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, qinon, dan bilirubin. b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme. Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi
aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan dalam tubuh. Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan dapat dibagi menjadi 2 golongan ( Kaur dan Kapoor, 2001) yaitu: 1. Antioksidan pencegah (preventive antioksidan) Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H 2O2 dan O2•, agar reaksi Fenton (Fe ++ (Cu+) ) + H 2O2 Fe +++ ( Cu ++ ) + OH - + •OH tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan Diperlukan peran beberapa protein penting, yaitu : a. Untuk Fe : transferin atau feritin
ion Fe2+ atau Cu+ bebas .
21
b. Untuk Cu : seruplasmin atau albumin Penimbunan O2•- dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) yaitu dengan mengkatalisa reaksi dismutasi O2 • - : 2O2• -
+ 2H
--------H 2O 2 + O 2
Penimbunan H2O2 dicegah melalui aktivitas dua enzim yaitu : a. Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutase H 2O2 2H2O2 ---------- 2 H 2O2 + O 2 b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut: R + H2O2 -------- RO + H2O 2. Antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidan) Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitamin E, caroten, flavonoid, quinon bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol. Tabel 2.1 Spesies oksigen reaktif dan antioksidannya Spesies reaktif
Antioksidan
O2
Oksigen singlet
Vitamin A, ß karoten, vitamin E
O2 - •
Radikal bebas superoksida
Superoksida Dismutase, ß-karoten, Vitamin E, Flavonoid
OH •
Radikal bebas hidroksil
Flavonoid, Albumin.
ROO•
Radikal bebas peroksil
Vitamin E, Vitamin C, Flavonoid
H2O2
Hidrogen Peroksida
Katalase, Glutation Peroksidase, Flavonoid
LOOH
Lipid peroksida
Glutation peroksidase, Flavonoid.
22
2.5. Pelatihan Fisik Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, pelatihan fisik dapat meningkatkan kebugaran fisik (Sharkey, 2011). Selain itu, olah raga dengan intensitas rendah dapat meminimalkan produksi radikal bebas yang berlebihan serta meningkatkan jumlah antioksidan endogen (Cooper, 2001). Aktivitas fisik seperti olahraga meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan frekuensi
(3-4x seminggu), intensitas (72-87%) dari denyut jantung maksimal
(220-umur), serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60 menit kombinasi latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan).Tujuan dari prinsip FITT (Frequency, Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan. Frekuensi olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut nadi saat olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300 menit/minggu, serta jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila, 2007). Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38 molekul ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2 molekul ATP. Sumber energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari pembakaran karbohidrat, lemak dan protein yang menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP). Saat kontraksi otot, tambahan ATP didapatkan dari pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatinin fosfat ke ADP, fosfolirasi oksidatif, dan proses glikolisis (Sherwood, 2007). Sumber energi untuk aktivitas fisik anaerobik berasal dari proses hidrolisis phosphocreatine dan glikolisis glukosa, yang terjadi tanpa
23
oksigen, serta menghasilkan asam laktat yang dapat menimbulkan nyeri otot dengan stres fisik (Hernawati, 2009). Secara teori, aktivitas fisik sedang dapat menangkal efek proses penuaan akibat penurunan sistem imun. Aktivitas fisik sedang terbukti dapat ditoleransi dengan baik oleh individu lanjut usia. Pada individu berusia lanjut aktivitas fisik sedang menunjukan penurunan stimulasi proliferasi limfosit. Aktivitas fisik yang teratur dan tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik. (Pangkahila, 2007). 2.6 Pelatihan Fisik Berlebih Pelatihan fisik ferlebih atau Overtraining dapat didefinisikan sebagai peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik dari olahraga (Urhausen dan Kindermann, 2002). Para pakar mendefinisikkan overtraining sebagai suatu perubahan karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining saat ini (Brooks dan Carter, 2013). Hingga saat ini, belum terdapat pertanda/marker overtraining spesifik yang dapat digunakan sebagai pedoman pasti untuk mendefinisikan overtraining (Lac dan Maso, 2004). Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan kompetisi dan pemulihan (Brooks dan Carter, 2013). Dilaporkan bahwa 6 % pelari jarak jauh, 21% perenang dan lebih dari 50% pemain sepak bola Australia telah mengalami pelatihan
berlebih
(overtraining)
(Smith,
2000).
Hasil
penelitian
lain
24
menyebutkan bahwa 29% dari para atlet mengalami overtraining sepanjang karir mereka (Matos et al., 2011). Diperkirakan bahwa 60% dari semua atlet lari elite pria dan wanita yang terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif mengalami overtraining syndrome (Kreher and Schwartz, 2012). Peneliti membuktikan bahwa resiko mengalami overtraining lebih besar pada olahraga individual dibandingkan olahraga kelompok (Matos et al., 2011). 2.6.1
Pembentukan ROS pada saat pelatihan fisik Mitokondria sering disebut sebagai sumber utama penghasil ROS di
jaringan. Berdasarkan penelitian sebelumnya sekitar 2% dari total oksigen yang dikonsumsi oleh mitokondria diubah menjadi H2O2 dan lainnya ROS. Konsumsi oksigen sangat meningkat selama latihan. Banyak peneliti berasumsi bahwa mitokondria sebagai sumber utama pembentukan ROS, dan sejauh mana peningkatan ROS mungkin berhubungan dengan konsumsi oksigen oleh mitokondria (Winarsi, 2007). Ketika Davies dan Hochstein (1982) menemukan bukti langsung untuk pertama kali bahwa pelatihan fisik menginduksi pembentukan ROS, mereka juga menyatakan bahwa mitokondria sebagai sumber utama pembentukan ROS. Hipotesis ini dibuktikan oleh data berikutnya, Davies dan Hochstein (1982) mengidentifikasi adanya dua radikal bebas yaitu dua bentuk semistabilized
ubisemiquinone
mitokondria.
Mereka
menemukan
bahwa
konsentrasi radikal bebas jelas lebih tinggi pada hewan yang dilakukan pelatihan fisik dari pada hewan kontrol. Studi sinyal EPR lain juga mendukung pentingnya mitokondria sebagai penghasil ROS (Sauza et al., 2005).
25
Pelatihan fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001) Sumber lain pembentuk ROS selama pelatihan , terutama pelatihan fisik berlebih adalah xantin oksidase (XO). Pelatihan berlebih dapat mengakibatkan iskemia atau hipoksia di daerah tertentu dari tubuh. ATP akan dikonversi ke adenosin difosfat, monofosfat adenosin, inosin, dan akhirnya hipoksantin (Chevion et al., 2003).
Gambar 2.2 Jalur Xanthine Oksidase Pembentukan Radikal Bebas pada Pelatihan Fisik (Chevion et al., 2003)
Dalam kondisi fisiologis normal, xanthine dehidrogenase adalah bentuk dominan dari XO, yang dapat mengkatalisis oksidasi hipoksantin menjadi xantin
26
atau lebih lanjut oksidasi xanthine menjadi asam urat dengan menggunakan NAD + sebagai akseptor elektron. Pada kondisi iskhemia, xanthine dehidrogenase dikonversi ke XO oleh oksidasi sulfhidril. Sebaliknya pada kondisi reperfusi, terjadi pembentukan anion superoksida dan H2O2 .
Gambar 2.3. Vascular ischaemia and reperfusion injury (Holger dan Charles, 2004)
XO telah dianggap bertanggung jawab atas produksi ROS dan kerusakan jaringan selama atau setelah latihan intensif, dan penghambatan XO oleh allopurinol atau oxypurinol dapat mengurangi produksi ROS. Ryan dkk. (2011) melakukan pengukuran XO, tingkat H2O2, peroksidasi lipid, aktivitas enzim antioksidan, dan fungsi otot rangka pada tikus tua dengan dan tanpa pemberian allopurinol. Selain menemukan penghambatan XO pada
27
pemberian allopurinol, mereka menemukan bahwa pemberian allupurinol dapat mencegah peningkatan aktivitas katalase dan CuZnSOD, mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan fungsi otot rangka yang dirangsang secara elektrik supaya terjadi kontraksi isometrik. Pada kebanyakan kasus pada hewan lain, juga telah terbukti efek positif dari allopurinol atau oxypurinol dalam menghambat XO sehingga terjadi hambatan terhadap pembentukan ROS. Latihan dapat menyebabkan peningkatan aktivitas XO darah pada tikus, dan pemberian allopurinol dapat mencegah oksidasi pada pelatihan yang berlebih. Selanjutnya, allopurinol juga telah terbukti menurunkan stres oksidatif dan memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung kongestif. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa XO mungkin memainkan peran yang lebih penting dalam menghasilkan ROS daripada mitokondria . Namun, hasil dari Capecchi dkk. (1988)
telah
menunjukkan
bahwa
allopurinol
tidak
berpengaruh
pada
pembentukan anion superoksida atau pelepasan enzim dari neutrofil. Pada penelitian yang lebih baru juga mendukung peran penting dari XO dalam menghasilkan ROS selama latihan intensif. Gomez-Cabrera dkk. (2005) meneliti efek dari allopurinol pada penghambatan produksi ROS dan aktivasi faktor nuklir kappaB (NFkB) pada tikus yang diberi pelatihan berlebih. Mereka menemukan bahwa olahraga tidak menghasilkan glutathione oksidasi lebih banyak pada tikus kontrol dibandingkan dengan tikus yang diberikan dengan allopurinol sebelum latihan. Namun, pemberian allopurinol juga bisa meniadakan aktivasi NFkB akibat pelatihan, yang merupakan jalur sinyal penting
dalam regulasi ekspresi enzim untuk
28
pertahanan sel (superoxide dismutase) dan adaptasi untuk berolahraga. Artinya, pada saat yang sama allopurinol mengurangi stres oksidatif XO-, juga berguna mencegah adaptasi seluler pada pelatihan berlebih pada tikus.
Gambar 2.4 Jalur Aktivasi Adaptasi Seluler terhadap ROS yang dihasilkan selama Overtraining (Gomez-Cabrera et al., 2005)
Selain pada mitokondria dan XO, dicurigai adanya mekanisme lain yang menerangkan
produksi ROS selama dan setelah latihan. Ketika kerusakan
jaringan telah terjadi, beberapa sel dalam sistem kekebalan tubuh (termasuk makrofag / monosit, eosinohpils dan neutrofil) juga dapat menghasilkan jumlah besar ROS. Misalnya, beredarnya neutrofil telah dilaporkan untuk menghasilkan ROS karena difasilitasi degranulasi myeloperoxidase setelah pelatihan fisik
29
berlebih. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme pembentukan ROS saat pelatihan, walaupun pada saat ini kita masih fokus bahwa sumber ROS terdapat di mitokondria dan XO. Pada aktifitas fisik berlebih
terjadi peningkatan metabolisme tubuh,
peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh mitokondria, yang akan menjadi SOR (Sauza et al., 2005). Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan Radikal Bebas. 2.6.2 Diagnosa dan biomarker pelatihan fisik berlebih Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah dijadikan standar tes skrining
yang komprehensif untuk calon atlet meliputi
fungsi ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap darah, C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone (Petibois et al., 2002).
Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam
berbagai populasi atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu atau sensitifitas yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron (Urhausen dan Kindermann, 2002). Biomarker stres oksidatif juga telah terbukti berkorelasi dengan status beban latihan (Margonis et al., 2007). Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun memiliki banyak variabel pengganggu seperti siklus menstruasi, status gizi
30
(Meeusen et al., 2006). Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal dan atlet dengan overtraining (Kreher dan Schwartz, 2012). Rasio testosteron terhadap kortisol juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai marker overtraining, dimana rasio ini akan menurun dengan bertambahnya intensitas overtraining (Halson dan Jeukendrup, 2004). Sebuah studi prospektif ditemukan peningkatan yang signifikan pada kadar kortisol urin semalam selama periode beban latihan yang tinggi pada atlet. (Gouarne et al., 2005). 2.7 Dampak Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Pankreas Beban kerja berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen 100-200 kali lipat dibandingkan kondisi istirahat. Peningkatan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran elektron dari mitokondria yang memproduksi ROS atau Reactive Oxygen Species (Clarkson and Thomson, 2000). Pelatihan Fisik berlebih akan mengaktifkan kondisi hipoksia relatif yang terjadi di dalam organ hati, ginjal, dan usus disebabkan redistribusi aliran darah ke otot yang bekerja. Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi xantine oksidase dengan reduksi satu elektron oksigen sehingga akan meningkatkan pembentukan radikal superoksida (Ji, 2000). Selain itu beban kerja berlebih dapat merangsang respon biomarker stress oksidatif (Murray et al., 2000). Stres oksidatif ini dapat merusak semua sel di dalam tubuh termasuk sel-sel pankreas. Studi laboratorium menyatakan bahwa peningkatan stres oksidatif sistemik dapat menurunkan konsentrasi insulin (Hoeldtke et al., 2003). Hal ini disebabkan oleh karena pada stress oksidtatif terjadi invasi makrofag dan sel
31
dendritik (DCs) pada region islet pankreas dan menstimulasi sel DTH (delayed type hypersensitivity) untuk merusak sel β pankreas. Makrofag dan DCs sebagai faktor primer terjadinya diabetes melitus tipe I yang
teraktivasi oleh ROS
intraseluler (Delmastro dan Piganelli, 2011).
Gambar 2.5 Mekanisme terjadinya diabetes melitus tipe I yang teraktivasi oleh ROS intraseluler (Delmastro and Piganelli, 2011).
Sebaliknya kondisi pra-overtraining adalah penurunan kinerja jangka pendek yang diikuti pemulihan lengkap dalam beberapa hari atau bahkan terjadi peningkatan kinerja fisik (supercompensation) (Gleeson, 2002). Hal ini yang mendasari banyak pelatih menegaskan bahwa perlu untuk menginduksi keadaan pra-overtraining selama proses pelatihan (Urhausen dan Kindermann, 2002).
32
Sebagai contoh nyata stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan sel-β pankreas adalah cara kerja aloksan. Aloksan yang banyak digunakan oleh peneliti sebagai agen spesifik penyebab diabetes melitus tipe I, bekerja dengan menginduksi pembentukan ROS yang merusak sel β pankreas (Mesa et al., 2011). Sel β pankreas menjadi sasaran utama stress oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas karena rendahnya antioksidan endogen dalam jaringan islet pankreas (Azavedo-Martins et al., 2003). Penelitian sebelumnya dengan menggunakan 36 ekor tikus jantan yang sehat dapat diamati hilangnya granula-granula sitoplasma pada sel beta pankreas kelompok tikus yang diberi perlakuan aktivitas fisik maksimal dengan periode pemulihan selama 48 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Tahapan awal dari nekrosis dapat teramati pada kelompok ini, yaitu inti sel nampak mengalami piknosis, pecahnya sejumlah inti sel β (karyoreksis) dan berakhir pada kematian sel (nekrosis). Begitu pula pada kelompok sampel dengan perlakuan overtraining yang lebih intensif, dimana teramati beberapa sel yang telah mengalami nekrosis dan beberapa debris sel. Batas antar sel β dengan sel lainnya disekitar pulau Langerhans tidak nampak jelas. Banyak sel yang mengalami piknosis teramati pada kelompok ini (Siswanto et al., 2015). Hasil penelitian kuantitatif terhadap jumlah sel β pankreas menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (p<0,05) (Tabel 2.2) (Siswanto et al., 2015).
33
Tabel 2.2. Rata-rata jumlah sel-β Pankreas Tikus dalam Pulau Langerhans
2.8. Dampak Pelatihan Fisik Berlebih terhadap Otot Reactive oxygen species (ROS) yang banyak dihasilkan selama overtraining telah banyak dibuktikan terlibat dalam kerusakan jaringan, termasuk jaringan otot (Kang et al., 2009). Senyawa reaktif ini termasuk anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. ROS dapat menyebabkan cedera sel, seperti peroksidasi lipid, inaktivasi enzim intraseluler, perubahan status redoks dan kerusakan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2007) . Namun sel memiliki sistem pertahanan enzimatik untuk mengurangi risiko cedera oksidatif, yaitu superoxide dismutase, glutation peroksidase dan katalase (Yaegaki et al., 2008). Peningkatan produksi ROS terjadi selama latihan fisik dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada otot, hati, darah dan jaringan lain (Margonis et al., 2007). Pelatihan fisik yang berlebih telah dibuktikan sangat berperan terhadap peningkatan konsumsi oksigen dalam otot rangka (Santalla et al., 2009), peningkatan peroksidasi lipid, dan inhibisi enzim mitokondria seperti citrate synthase dan malate dehydrogenase (Margonis et al., 2007).
34
Gambar 2.6. Patofisiologi Kerusakan Sel Akibat Overtraining (Dong et al., 2011)
Kadar enzim otot skletal dalam serum merupakan penanda atau marker yang potensial untuk mengetahui status fungsional jaringan otot dan kadar ini dapat bervariasi pada kondisi patologis dan fisiologis. Peningkatan enzim ini dalam serum dapat menggambarkan indeks nekrosis seluler dan kerusakan jaringan otot pada keadaan cedera akut maupun kronis. Namun perubahan kadar enzim otot dan isoenzimnya juga dapat ditemukan pada subyek normal dan pada atlet setelah pelatihan berat karena kadar enzim otot dalam darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik (Brancaccio et al., 2007). Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim khas yang terdapat dalam otot, aktivitas CK yang diukur dari biopsi otot menunjukkan kadar yang berbeda sebelum dan sesudah pelatihan (Simmons et al., 2003). Penelitian juga membuktikan bahwa terjadi perubahan kadar CK serum pada atlet yang diberikan intensitas dan frekuensi pelatihan yang berbeda (Klapcinska et al., 2001)
35
Kadar CK serum dapat meningkat akibat kerusakan jaringan otot sebagai konsekuensi dari pelatihan dengan frekuensi yang lama dan intensitas yang tinggi. Hal ini mungkin akibat dari proses metabolisme dan penyebab mekanik. Proses metabolisme yang mendasari kerusakan otot akibat overtraining adalah penurunan resistensi membran yang diikuti dengan peningkatan ion kalsium bebas intraseluler, yang menginduksi aktivasi kalium channel. Mekanisme lain yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal otot adalah degenerasi sarcomer Z-disk. CK merupakan indikator nekrosis otot baik akibat proses metabolisme ataupun mekanik, yang akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya beban aktivitas fisik (Brancaccio et al., 2007). Studi CK dalam kedokteran olahraga memungkinkan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan otot. Tingginya kadar CK serum pada subyek yang tampak sehat dapat berkorelasi dengan status pelatihan fisik yang dijalankan. Namun, jika level CK tetap tinggi pada saat istirahat, kemungkinan merupakan tanda dari penyakit otot subklinis, seperti profound fatigue (Angeli et al., 2004) Cratine Kinase (CK) merupakan protein dimer globular yang terdiri dari dua subunit dengan massa molekul 43 kDa. CK merupakan buffer seluler terhadap keseimbangan ATP dan ADP dengan mengkatalisis pertukaran reversibel ikatan fosfat berenergi tinggi antara phosphocreatine dan ADP yang dihasilkan selama kontraksi. Terdapat lima isoform dari CK, tiga diantaranya berada dalam sitoplasma (CK-MM, CK-MB dan CK-BB) dan dua sisanya berada dalam mitokondria (non-sarcomeric dan sarcomeric). Kadar isoenzim CK memberikan informasi spesifik terhadap kerusakan jaringan karena lokalisasi jaringan dari CK
36
yang spesifik. Di dalam tubuh, CK-MM ditemukan di beberapa domain dari myofibril dimana konsumsi ATP tinggi dan merupakan penanda penyakit otot. Kadar CK-MB akan meningkat pada infark miokard akut, dan CK-BB meningkat pada kerusakan jaringan otak. Kadar CK mitokondria meningkat pada kasus mitochondrial myopathies (Ruiz-Gines et al., 2006) CK-MM secara khusus terikat pada myofibril M-Line sarkomer, struktur kompleks yang mengandung setidaknya 28 protein yang berbeda. Terdapat sekitar 5-10% dari total CK-MM pada myofibril M-Line (Hornemann et al., 2003). Keberadaan CK-MM menunjukkan bahwa M-line memiliki peran struktural dan enzimatik untuk meregenerasi ATP di daerah yang mengkonsumsi energi tinggi, sehingga memberikan myosin dengan ATP yang cukup untuk bekerja bahkan pada kondisi overtraining. Oleh karena itu, kadar CK yang tinggi dalam serum menunjukkan adanya kerusakan yang timbul pada sarcomer baik akibat olahraga berat atau kondisi patologi otot lainnya (Hornemann et al., 2000) 2.9 Anggur Bali (Vitis vinifera) 2.9.1. Karakteristik tanaman anggur bali Pohon anggur merupakan semak yang tumbuh memanjat dan memiliki keistimewaan ranting-rantingnya yang mampu mengeluarkan buah yang lebat dan lezat (Wongsodipuro, 2010). Karena keistimewaan ini, anggur dibudidayakan sebagai tanaman penghasil buah (Nurcahyo, 2010). Di Indonesia terdapat dua jenis spesies anggur yang umum dibudidayakan dan bisa dikonsumsi, yakni Vitis vinifera dan Vitis labrusca. Kedua jenis anggur ini memiliki karakter yang berbeda dengan kebutuhan tempat hidup yang berbeda pula (Wiryanta, 2008)
37
Buah anggur berbentuk bulat. Buah yang matang kulitnya berwarna ungu kehitaman dan mengandung tepung atau lilin yang tebal. Daging buahnya berwarna putih dengan rasa manis. Setiap buah berisi 2-3 biji yang ukurannya cukup besar, berbentuk lonjong, dan berwarna coklat muda. Setiap 100 buah mempunyai bobot 535 g. Umur panennya antara 105-110 hari setelah pangkas (Yusuf, 2009). Karakteristik tanaman anggur lainnya antara lain batang yang berbentuk tegak, silindris, berkayu dan coklat kehijauan. Daunnya tunggal, lonjong, berseling, tepi bergigi, berambut, panjang 10-16 cm, lebar 5-8 cm, bertangkai panjang dengan panjang 10 cm dan berwarna hijau (Nurcahyo, 2010). Klasifikasi ilmiah dari anggur adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2013) : Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Vitales
Famili
: Vitaceae
Genus
: Vitis
Species
: V. vinifera
Nama Binomial
: Vitis vinifera
2.9.2. Kandungan kimia buah anggur bali Buah anggur memiliki banyak sekali kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, karbohidrat, protein serta phytochemical. Senyawa Phytochemical pada
38
buah anggur yang memiliki nilai manfaat paling tinggi adalah polifenol karena aktivitas biologisnya. Pada dasarnya, polifenol dalam anggur dapat dibagi menjadi 2 kelas, yakni flavonoid dan non flavonoid. Non flavonoid terdiri dari asam fenol dan resveratrol (Ivanova et al., 2010). Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak etanol buah anggur bali mengandung total fenol, flavonoid, antosianin dan beta karoten seperti ditunjukkan pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Etanol Anggur Bali Pada Konsentrasi 80% No
Analisis
Hasil
Satuan
1
Total Fenol
6,25
% b/b GAE
2
Flavonoid
183,77
mg/100gQE
3
Antosianin
635,7
mg/kg
4
Beta Karoten
593,2
µg/kg
5
Kapasitas Antioksidan
487,98
ppm GAEAC
6
IC 50%
1,72
mg/ml
Keterangan : QE
= Quercetin Equivalent
GAEAC = Gallic Acid Equivalent Antioxidant Capacity
2.9.2.1 Flavonoid Flavonoid merupakan suatu antoksidan golongan phenol yang banyak ditemukan di sayuran, buah-buahan, kulit pohon, akar, bunga, teh dan wine. Ada empat golongan utama flavonoid yaitu Flavon, Flavanones, Catechins, Anthocyanin. Flavonoid dapat membantu memberikan perlindungan terhadap
39
beberapa penyakit bersama dengan vitamin, antioksidan dan enzim, untuk pertahanan antioksidan total dalam tubuh (Nijveldt et al,. 2001)
Gambar 2.7 Struktur Flavonoid (http://www.solvobiotech.com/science-letter/effects-of-flavonoids-on-pglycoprotein-activity)
Sebuah penelitian oleh Dr Van Acker di Belanda menunjukan bahwa flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai pemecah rantai anti-oksidan didalam membran hati. Konstribusi flavonoid untuk sistem pertahanan antioksidan sangat besar mengingat total asupan harian flavonoid dapat berkisar 50-800 mg, konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata asupan harian diet antioksidan lain seperti vitamin C (70 mg), vitamin E (7-10) atau keratenoid (2-3 mg). Asupan Flavonoid tergantung pada asupan buah–buahan, sayuran dan minuman tertentu seperti red wine, teh, bir (Buhler dan Miranda, 2000). Potensi terpenting yang dimiliki oleh hampir setiap kelompok flavonoid adalah kapasitas mereka sebagai antioksidan untuk membantu tubuh melawan oksigen reaktif. Salah satu kelompok flavonoid adalah antosianin. Antosianin banyak ditemukan
40
di buah beri, anggur, dan buah lainnya yang berwarna merah keunguan (Spormann et al., 2008). Flavonoid bisa mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dengan beberapa cara. Salah satunya adalah memusnahkan radikal bebas secara langsung. Flavonoid dioksidasi oleh radikal, menghasilkan radikal yang lebih stabil dan kurang reaktif. Flavonoid menstabilkan senyawa oksigen reaktif dengan bereaksi dengan susunan reaktif dari radikal tersebut (Nijveidt et al., 2001). Flavonoid (OH) + R• > flavonoid(O•) + RH Beberapa flavonoid tertentu dapat mengurangi aktivasi komplemen, sehingga menurunkan adesi sel inflamasi ke endothelium, menyebabkan berkurangnya respon inflamasi. Hal penting lain dari flavonoid adalah mengurangi pelepasan dari peroksidase, yang menghambat produksi reactive oxygen species oleh neutrofil dengan interfering dengan aktivasi α1-antitripsin. Efek lain yang juga menarik dari flavonoid adalah menghambat metabolisme arachnoid acid. Hal tersebut memberikan efek anti inflamasi dan anti trombotik pada flavonoid. Pelepasan aracnoid acid merupakan awal penting untuk terjadi untuk terjadinya respon inflamasi secara umum (Chi et al., 2001). Flavonoid bertindak sebagi penangkal yang baik untuk radikal hidroksil dan superoksida sehingga membran lipid terlindungi (Tapas et al., 2008). Flavonoid umumnya memiliki struktur yang terdiri dari dua cincin aromatik (A dan B) yang terikat dengan tiga karbon dan biasanya dalam bentuk heterosiklik teroksigenasi. Variasi struktur flavonoid ini terjadi karena hidroksilasi, metilasi, isoprenilasi, dimerisasi dan glikosilasi (Tapas et al., 2008). Flavonoid pada anggur
41
terbagi menjadi beberapa subkelas, yaitu flavonol (quercetin, kaempferol, myricetin), flavanol (proanthocyanidin, flavan-3-ols, catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin 3-O-gallate,) flavon (rutin), anthocyanidin (cyanidin, malvidin), flavanon (hesperitin), dan isoflavon (Ivanova et al., 2010). Penelitian
yang
telah
dilakukan
menunjukkan
bahwa
kadar
proanthocyanidin berkisar antara 48,7 – 73,3 mg/ 100 gram anggur merah, dan 3426,5 –3638,1 mg/100 gram biji anggur (Gu et al., 2004). Proanthocyanidin merupakan oligomer atau polimer dari flavan-3-ol yang terhubung melalui ikatan tipe-B tunggal, atau ikatan tipe-A rangkap ganda. Proanthocyanidin yang hanya mengandung epicatechin disebut dengan procyanidin, yang mengandung epiafzelechin
disebut
propelargonidin,
sedangkan
yang
mengandung
epigallocatechin disebut dengan prodelphinidin. Di alam, propelargonidin dan prodelphinidin lebih jarang ditemukan dibandingkan procyanidin (Gu et al., 2004). 2.9.2.2 Asam Fenol Senyawa fenol adalah metabolit sekunder tumbuhan yang berasal dari suatu jalur biosintesa dengan prekursor dari jalur sikimat dan/atau asetat-malonat. Fungsi metabolit ini adalah untuk melindungi tumbuhan dari serangan stres biologis dan lingkungan. Oleh karena itu, senyawa ini disintesa untuk merespon serangan patogen seperti jamur atau bakteri. Fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et al., 2008). 2.9.2.3 Resveratrol/Stilbene
42
Resveratrol (3,5,4’-trihydroxystilbene) adalah senyawa polifenol (stilbene) yang ditemukan terutama pada kulit anggur (Burns et al., 2002). Resveratrol ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada pohon anggur dalam tanaman, akar, biji dan tangkai bunga. Kandungan tertinggi terdapat pada kulit buah anggur. Kandungan resveratrol dalam kulit anggur yang segar berkisar 50-100 mikrogram per gram dan pada red wine berkisar 0,6 - 0,8 mikrogram per milliliter (Howes, 2006). 2.9.3. Manfaat buah anggur bali Telah diketahui secara luas bahwa buah anggur mengandung berbagai macam zat gizi dan antioksidan yang berguna bagi kesehatan. Berbagai kandungan vitamin, mineral, dan antioksidan dalam anggur memiliki banyak sekali khasiat (Wiryanta, 2008). Anggur memiliki kandungan vitamin A, B1, B2, B6 dan C. Selain itu, buah anggur juga memiliki kandungan flavonoid. Semakin hitam warna anggur maka semakin banyak kandungan atau konsentrasi flavonoid di dalamnya (Ivanova et al., 2010). Karena itu anggur Bali yang memiliki warna ungu kehitaman mengadung flavonoid yang tinggi. 2.10. Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus) Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang dipelihara. Tikus merupakan hewan laboraorium yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia,
43
karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008): Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
2.10.1. Penggunaan tikus (Rattus norvegicus) Pada percobaan ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) karena tikus jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988)
44
Tabel 2.4 Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kondisi Biologi Berat badan: -jantan -betina Lama hidup Temperatur tubuh Kebutuhan: -air -makanan Pubertas Lama kehamilan Tekanan darah: -sistolik -diastolik Frekuensi: -jantung -respirasi Tidal Volume
Jumlah 300-400 g 250-300 g 2,5- 3 tahun 37,50 C 8-11 ml/100g BB 5g/100g BB 50-60 hari 21-23 hari 84-184 mmHg 58-145 mmHg 330-480/menit 66-114/menit 0,6-1,25mm
2.10.2. Pemberian makanan dan minuman Bahan dasar makanan untuk tikus dapat berupa misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg (Ngatidjan, 2006). Pemberian minum tikus ad libitum. 2.10.3. Pemantauan keselamatan tikus Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu, mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan
45
pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret.