BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Farmasi Klinik Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama. Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat ( apotek ). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat. Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.
Sedangkan
Herfindal
dalam
bukunya
“Clinical
Pharmacy
and
Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat. Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, “Pills, Profits and Politics”, menyatakan bahwa : 1) Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter menuliskan resep rasional. Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai “bagaimana, kapan, mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter. 2) Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakar dalam hal produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang berpengalaman. 3) Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai
dari University of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981). Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu disajikan
proyek
percontohan
yang
disebut
“9th
floor
project”
yang
diselenggarakan di University of California. “Perkawinan” antara pemberian informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali kelahiran suatu konsep baru dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota delegasi konferensi disebut sebagai farmasi klinik. Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan farmasi di Amerika saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang memiliki keahlian klinik. Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan ketika Hepler dan Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990 memperkenalkan istilah pharmaceutical care. Pada dekade berikutnya, kata itu menjadi semacam kata “sakti” yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan menjadi “asuhan kefarmasian”, adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan berorientasi terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini,
farmasis menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab pada outcome pengobatan. Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin diperkuat pada tahun 2000, ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika American College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah makalah berjudul, “A vision of pharmacy’s future roles, responsibilities, and manpower needs in the United States.” Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan yang akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit (ACCP, 2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan memadai. Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah yang dapat dipercaya tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective. Konsep farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara berdasarkan kondisi masing-masing. 2.2 DRUG RELATED PROBLEM
Drug Related Problems (DRPs) dapat juga dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara actual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien (Cipolle et al., 1998). DRPs ada dua yaitu DRPs aktual dan potensial. Keduanya memiliki perbedaan, tetapi pada kenyataannya problem yang muncul tidak selalu terjadi dengan segera dalam prakteknya. DRPs aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan potensial, karena resiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun tangan (Rovers, et al., 2003). Tabel 1. Kategori DRPs dan penyebabnya Kategori DRP Indikasi yang tidak diterapi
Pemilihan obat tidak tepat
Penyebab DRP a. Pasien membutuhkan terapi obat baru b. Pasien menderita penyakit kronis sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan. c. Pasien membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis. d. Pasien beresiko mengalami kejadian yang tidak diharapkan akibat terapi obat yang dapat dicegah dengan terapi profilaksis. a. Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat yang diterima. b. Obat yang diterima pasien bukan merupakan obat yang paling efektif. c. Pasien mempunyai kontra indikasi terhadap obat yang diterima. d. Pasien menerima obat efektif tetapi bukan yang paling murah. e. Obat yang diterima pasien tidak efektif terhadap bakteri penyebab infeksi (bakteri bersifat resisten
terhadap obat). f. Pasien menerime kombinasi obat yang sebenernya tidak perlu. Penggunaan obat tanpa Indikasi
a. Pasien menerima obat tanpa indikasi medis yang jelas. b. Adanya duplikasi terapi. c. Pasien menerima obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang sebenarnya dapat dicegah. d. Terapi non obat (misalnya perubahan pola hidup) lebih baik untuk pasien.
Dosis kurang
a. Dosis obat yang diberikan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diharapkan. b. Kadar obat dalam darah pasien dibawah kisaran terapi. c. Frekuensi pemberian, durasi terapi, dan cara pemberian obat pada pasien tidak tepat. d. Waktu pemberian profilaksis tidak tepat (misalnya profilaksis pembedahan diberikan terlalu awal)
Dosis Lebih
Adverse Drug Reaction (ADR)
a. Dosis obat yang diberikan terlalu tinggi. b. Kadar obat dalam darah pasien melebihi kisaran terapi. c. Dosis obat dinaikkan terlalu cepat. d. Frekuensi pemberian, durasi terapi dan cara pemberian obat pada pasien tidak tepat a. Pasien mengalami reaksi alergi terhadap obat. b. Pasien mempunyai resiko mengalami efek samping obat. c. Pasien mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap obat. d. Biavailabilitas obat berubah akibat interaksi obat dengan obat lain atau dengan makanan.
Kegagalan dalam menerima Obat
e. Efek obat berubah akibat inhibisi atau induksi enzim oleh obat lain. f. Efek obat berubah akibat penggantian ikatan antara obat dengan protein aleh obat lain. a. Pasien gagal menerima obat yang tepat karena adanya medication errors. b. Pasien tidak mampu membeli obat (obat terlalu mahal untuk pasien). c. Pasien tidak memahami petunjuk penggunaan obat. d. Pasien tidak mau minum obat (misalnya karena rasa obat tidak enak).
(Cipolle, et al., 1998) 2.3 Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang buncis yang terletak dekat punggung bagian tengah, persis di bawah sangkar tulang rusuk sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Masing-masing ginjal berukuran 10-15 cm panjangnya dan berat sekitar 160 gram. Setiap hari kedua ginjal tersebut mengeluarkan sekitar 1,5 sampai 2,5 liter urine. Fungsi utama ginjal yaitu : 1. Mempertahankan keseimbangan air dan kadar unsur kimia ( elektrolit, hormone, gula darah, dll) dalam cairan tubuh. Fungsi dasar ginjal (terutama nefron) adalah untuk membersihkan atau menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak diperlukan dicegah agar tidak diserap ulang. Sementara zat-zat yang diperlukan, terutama air dan banyak elektrolit, diserap kembali ke darah. Ketika kadar zat-zat dalam darah dipertahankan, jumlah zat-zat dalam cairan tubuh lain juga dipertahankan.
2. Mengatur Tekanan Darah Laju cairan yang disaring dalam ginjal dipengaruhi besarnya tekanan darah dalam arteri. Jika tekanan meningkat berlipat ganda, pengeluaran urine dapat meningkat delapan kali lipat. Ini akan mengakibatkan hilangnya cairan tubuh lebih banyak sampai volume darah menjadi kurang cukup mengembalikan ke keadaan normal. Di sisi lain, jika tekanan darah sangat rendah, aliran darah dalam ginjal menurun. Diikuti dengan penurunan kecepatan penyaringan cairan. Sebagai akibatnya, ginjal cenderung menahan garam dan air untuk meningkatkan tekanan pada tingkat normal. 3. Membantu Mengendalikan Keseimbangan Asam-Basa Darah Jika berbicara mengenai pengaturan keseimbangan asam basa, biasanya berarti pengaturan konsentrasi ion hydrogen dalam cairan tubuh. Jika ion hydrogen menyimpang dari nilai normal, ginjal akan membentuk urine asam maupun alkaline. Dengan begitu ginjal akan membantu menyesuaikan kembali konsentrasi ion hydrogen untuk mempertahan keseimbangannya pada tingkat normal,. Jika keseimbangan asam basa tidak diatur seperti pada beberapa kondisi di mana pasien mengalami asidosis, ini bisa menuntun pada keadaan koma dan akhirnya mati. Disisi lain, jika pasien mengalami alkalosis, kematian bisa jadi merupakan akibat dari tetanus atau kejang. 4. Membuang Sisa Bahan Kimia Dari Dalam Tubuh Dari waktu ke waktu darah kita mengumpulkan zat-zat yang harus dibuang. Ini termasuk produksi akhir dari metabolisme seperti urea, keratin, asam urat dan urates. Selain itu, banyak zat lain seperti ion sodium, potassium, klorida
dan hydrogen cenderung
menumpuk dalam darah dengan jumlah yang
berlebihan. Oleh sebab itu fungsi ginjal adalah membersihakan kelebihan itu. 5. Bertindak sebagai kelenjar- menghasilkan hormone dan enzim , yang memilki fungsi penting dalam tubuh. Zat-zat berikut dihasilkan oleh ginjal: Rennin : sebuah enzim yang mengatur tekanan darah. Bentuk aktif vitamin D: membantu mempertahankan penyerapan kalsium untuk pembentukan tulang. Pada saat yang sama mempertahankan keseimbangan kalsium dalam tubuh. Erythtropoletin : sebuah hormone yang merangsang sumsum tulang untuk membuat sel darah merah. 2.3.1 Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah (dan linkungan dalam tubuh) dengan mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3-4 minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus, diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai disepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan keluar tubuh dalam urin melalui system pengumpul urin. 1. Saluran kemih Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus-menerus menghasilkan urine, dan berbagai saluran dan resevoar yang dibutuhklan untuk membawa urine keluar
tubuh . Ginjal merupakan oragan berbentuk kacang terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kirin karena tertekan kebawah hati . kutub atasnya terletak lebih tinggi setinggi iga kedua belas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 – 12 inci (25-30 cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan urine ke vesika urinaria. Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis, terletak dibelakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara : dua dari ureter dan satu menuju uretra. Dua fungsi urinaria adalah : (a) sebagai tempat pemyimpanan urine sebelum meninggalkan tubuh dan (b) berfungsi mendorong urine keluar dari tubuh (dibantu uretra). Uretra dalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria sampai keluar tubuh. Panjang pada perempuan sekitar 11/2 inci (4 cm) dan pda laki-laki 8 inci (20 cm). Muara urerta keluar tubuh disebut meatus urinarius.
2. Nefron Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai strukur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut . Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, Lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul. Orang yang normal masih dapat bertahan (walaupun dengan susah payah) dengan jumlah nefron kurang dari 20.000 atau 1% dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin untuk transplantasi tanpa ,membahayakan kehidupan. 3. Korpuskulus Ginjal Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsul bowman dan rumbai kapiler glomerulus. Istilah glomerulus seringkali digunakan untuk menyatakan korpuskulus ginjal walaupun glomurulus lebih sesuia untuk meyatakan rumbai kapiler. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula bowman dan ruang yang mengandung urine ini diikenal dengan nama ruang bowman atau ruang kapsular. Kapsula bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula, sel epitel viseralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit yang bersinggungan dengan membrane basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. 2.3.2 Penyebab penyakit ginjal 1. Infeksi Infeksi dapat terjadi dibeberapa bagian ginjal yang berbeda. Ini termasuk unit penyaringan atau glomerulus pada kasus glomerulonefritis atau renal pelvis dan sel tubulointerstitial pada pielonefritis. Infeksi juga bisa naik dari kandung kemih melewati ureter menuju ginjal dimana terdapat sumbatan
disaluran kencing bawah. Beberapa infeksi dapat menunjukkan gejala sementara yangt lain tanpa gejala. Jika tidak diperhatikan, semakin banyak jaringan fungsional ginjal yang perlahan-lahan hilang. Selama proses peradangan tubuh kita secara normal berusaha menyembuhkan diri. Hasil akhir penyembuhan adalah adanya bekas luka jaringan dan atrofi sel (sel yang menyusut jadi kecil) yang mengubah fungsi penyaringan ginjal. Ini merupakan kondisi yang tidak dapat dipulihkan. Jika presentase jaringan yang rusak besar akan berakhir pada kegagalan ginjal. 2. Obat-obatan Sebagian besar obat dieksresikan lewat ginjal. Padahal, banyak dari obatobatan ini bersifat racun, oleh sebab itu istilahnya disebut nefrotoksik. Ini termasuk: a. Antibiotik Aminoglikosid, sulfonamid, amphotericin B, polymyxin, neomycin, bacitracin, rifampicin, aminosalicylic acid, oxy- dan chlortetracyclines.
b. Analgesic ( pereda sakit) Salisilat, acetaminofhen, phenacetin, dan NSAID, phenylbutazone, semua penghambat prostaglandin synthetase. c. Antiepilektik ( untuk epilepsy dan kejang) Trimethadione, paramethadione, succinamide, carbamezapine. d. Obat-obat anti kanker
Cyclosporine, cisplatin, cyclophospamide, streptozocin, methotrexate, nitrosoureas, (CCNU, BCNU, methyl,CCNU), doxorubicin, daunorobicin. e. Immune –complex inducers ( obat-obat untuk kekebalan tubuh) Penicillamine, captopril levamisole, gold salt. 3. Bahan nefrotoksik umum lainnya. a. Logam berat : klorida merkuri anorganik, garam merkuri anorganik, timah anorganik, cadmium, uranium, emas, tembaga, arsenic, besi, kromium. Talium, selenium, vanadium, bismuth. b. Pelarut : methanol , alcohol, amylglikol etilen, dietilen glikol, cellosolves, karbontetra klorida, trikloroetilen, aneka hidrokarbon. c. Bahan pembentuk oxalosis: asam oksalat, methoxyflurane, glikol etilen, asam askorbat, bahan anti karat. d. Herbisida
dan
peptisida
:
paraquat,
sianida,
dioksin,
dipenil,
cycloheximide, dan organoklorin insektisida. e. Bahan diagnostic : sodium iodide, semua bahan kontras organic iodide. f. Bahan botanical dan biological : mushroom (misalnya Amanita phallodes- racun muscarine berat) g. Methemoglobin forms ( pembentuk methehoglobin) : bahan- bahan medis, industry dan makanan yang memabukkan. 4.
Makanan protein hewani Terlalu banyak protein dalam makanan menuntun pada kerusakan ginjal dan gagal ginjal dini. Anjuran asupan tiap hati (RDA) dari protein sekitar 0,8 gr untuk setiap kilogram berat badan.banyak penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara makanan tinggi protein dan kerusakan ginjal. Asupan protein hewani yang berlebih bertanggung jawab pada eksresi kalsium yang lebih banyak melalui ginjal dan juga berkaitan dengan meningkatnya resiko berkembangnya batu ginjal terutama batu kalsium. 2.3.3 Uji Fungsi Ginjal Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara kasar atau garis besar saja dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata adanya gangguan ginjal. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal dan menunjukkan apakah ada penyakit ginjal jenis apapun. Ini meliputi : 1. Kreatinin serum Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin dieksresikan terutama oleh filtrasi glomeruler dengan sejumlah kecil yang disekresikan atau direabsorsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada klirens melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indicator fungsi ginjal. Nilai kreatinin serum yang normal berbeda menurut jenis kelamin, usia dan ukuran. Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal. Namun ada beberapa factor yang mempengaruhi kadar kreatinin serum. Diet, saat pengukuran, usia penderita, jenis kelamin, berat badan, latihan fisik, keadaan pasien dan obat. 2. Klirens kreatinin ( Klkr)
Dalam keadaan normal, kreatinin tidak disekresi atau direabsopsi oleh tubuluh ginjal dalma jumlah yang bermakna. Oleh karena itu eksresi terutama ditentukan oleh filtrasi glomeruler, sehinnga laju filtrasi glomeruler (LFG) dapat diperkirakan melalui penentuan laju klirens kreatinin endogen. Bila massa obat tetap, maka perubahan apapun pada klirens kreatinin akan mencerminkan perubahan pada laju klirensnya melalui filtrasi. Nilai klirens kreatinin berbeda menurut usia, jenis kelamin dan ukuran tubuh . LFG misalnya, berkurang sesuai peningkatan usia (terutama pada pria dibanding wanita). 3. Urea Urea disintesa dalam hati seagai produk metabolisme makanan dan protein endogen. Eliminasinya dalam urin menggambarkan eksresikan utama nitrogen. Laju produksi lebih beragam dibandingkan kreatinin. Urea disaring oleh glomerulus dan sebagian reabsorbsi oleh tubulus. Kadar diatas 10 mmol/liter mungkin mencerminkan gangguan ginjal walaupun kecendrungan dalam individu lebih penting dibandingkan dengan satu hasil pengukuran semata. Urea adalah penguuran yang kurang tepat menggambarkan fungsi ginjal tetapi sering digunakan sebagai perkiraan kasar, karena dapat memberikan informasi mengenai keadaan umum penderita beserta tingkat hidrasinya. 2.4 Jenis – Jenis Gangguan Fungsi Ginjal 2.4.1 Gagal Ginjal Akut Ini adalah kondisi di mana ginjal berhenti bekerja seluruhnya atau hamper seluruhnya. Penyebab palng umum adalah:
Glomerulonefritis akut, ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaksi kekebalan yang tidak normal. Sekitar 95 % pasien akan menderita glomerulonefritis akut satu sampai tiga minggu seseudah terjadi infeksi ditempat lain dalam tubuh. Ini karena beberapa tipe tertentu bakteri yang disebut betastreptococci kelompok A. Infeksi itu baik berupa sakit tenggorokan, tonsillitis, atau bahkan infeksi kulit. Infeksi ini memicu berkembangnya kompleks antigen-antibodi yang tersimpan dalam saringan dan dapat menyebabkan sumbatan secara keseluruhan. Secara tidak normal, protein dan darah bocr ke saringan glomerular yang mengakibatkan adanya darah dalam urin. Tubular nekrosis, ini merupakan kerusakan sel epitel dalam tubulus, penyebabnya termasuk racun-racun ginjal. Contoh racun ginjal adalah karbon tetraklorida dan logam berat seperti ion merkuri. Zat-zat ini begitu beracun terhadap sel epitel tubular, sehingga menyebabkan banyak kematian. Ketika selsel ini terlepas dari tempatnya, sel-sel tersebut tersangkut ditubulus. Perbaikan bisa terjadi 10-20 hari dengan pertumbuhan sel tubular yang baru. Iskemia ginjal akut berat, kehilangan suplai darah yang berat dalam ginjal biasanya akibat syok sirkulasi berat. Pada syok, jantung gagal memompakan cukup darah yang benutrisi pada berbagai bagian yang berbeda dari tubuh. Pembuluh darah dalam ginjal cenderung mengecil dalam usaha mempertahankan tekanan darah. Akibatnya, kurangnya nurtisi yang adekuat (memadai) sering menghancurkan banyak sel epitel tubular yang menyebabkan sel-sel mati ini menyumbat banyak nefron.
Reaksi transfusi, reaksi transfuse yang berat biasanya berakibat pada rusaknya sel darah merah yang jumlah besar (hemolisis) yang melepaskan hemoglobin lebih kecil daripada pori-pori saringan, hemoglobin dengan mudah melalui saringan glomerular. Karena konsentrasi hemoglobin meningkat cenderung mengakibatkan penumpukan nefron sehingga timbul sumbatan. Selain itu, kerusakan darah merah menyebabkan pelepasan bahan konstruksi dalam aliran darah, menyebabkan suplai darah yang buruk pada ginjal dan tubular yang rusak. 2.4.2 Penyakit ginjal Hipertensi Hipertensi renal hipertensif dalam pembulu darah dan unit penyaringan atau glomeruli dapat menyebabkan darah tinggi, tetapi belum tentu menyebabkan gagal ginjal. Jika terdapat aliran darah yang rendah atau kecepatan saringan glomerular rendah, akan terjadi retensi garam dan air. Ketika tekanan darah meningkat untuk kompensasi, kecepatan filtrasi glomerular seluruhnya kembali normal. Selama nefron tidak dihancurkan, tidak akan terjadi kegagalan. Peningkatan tekanan darah adalah respon mekanisme rennin-angiostensin seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 2.4.3 Sindroma Nefrotik Keadaan ini ditandai dengan hilangnya banyak plasma protein atau karena albumin yang masuk ke dalam urin. Penyebab kebocoran ini adalah peningkatan permeabilitas membran glomerular. Penyakit-penyakit yang menyebabkan peningkatan permeabilitas tersebut adalah : glomerulonefritis akut, zat-zat protein
abnormal dalam dinding pembuluh darah (amyloidosis), dan perubahan minimal sindroma nefrotik. 2.4.4 Gagal Ginjal Kronik Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah. (Brunner & Suddart edisi 8 vol 2, 2001) Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam , mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal kronik. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal.( Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi IV 2006)
2.5 Patofisiologi a. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein ( yang normal dieksresikan ke dalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh, semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. b. Gangguan klirens renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihakan oleh ginjal. Dengan menurunnya fungsi glumeruli maka klirens keratin akan menurun dan kadar keratin darah meningkat. Selain itu kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Keratin merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal subsans ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. c. Retensi
cairan
dan
natrium.
Ginjal
juga
tidak
mampu
umtuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secra normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap masukan cairan dan ekektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan yang tertimbun akan meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongesti dan hipertensi. Hipertensi dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiostensin dan kerjasama
keduanya
meningkatkan
sekresi
hormonal
aldosteron.
Kecenderungan yang lain adalah hilangnya garam yang mengakibatkan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan menipiskan air dan natrium yang semakin memperburuk status uremik. d. Asidosis
metabolic
terjadi
karena
ketidakmampuan
ginjal
dalam
mengekskersikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk sekresi ammonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat. Penurunan eksresi fosfat dan asam organic lain juga terganggu. e. Anemia, terjadi karena produksi eritropoetin oleh ginjal yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defesiensi nutrisi dan kecenderungan mengalami pendarahan akibat status uremik pasien terutama dari saluran
gastrointerstinal. Fungsi eritropoetin adalah untuk menstimulsi sumsum tulang dalam pembentukan sel darah merah. f. Ketidak seimbangan kalsium dan fosfat, kadar serum kalsium dan fosfat mempunyai hubungan timbal balik, jika salah satu meningkat yang lain turun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glumerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada gagal ginjal tubuh tidak merespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, akibatnya kalsium ditulang menurun menyebabkan perubahan pada tulang penyakit ginjal. 2.6 Etiologi a. Amerika serikat( 1995-1999) Diabetes mellitus : DM tipe 1 adalah 7%, DM tipe 2 adalah 37% (total) 47%. Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27 % Glumerulonefritis 10 % b. Indonesia (tahun 2000) menurut Pernefri Glumerulonefritis
: 46, 39 %
Diabetes mellitus
: 18, 65 %
Obstruksi dan infeksi
: 12, 85 %
Hipertensi
: 8, 46%
Sebab lain
: 13, 65%
2.7 Hemodialisis
Dialysis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. (Brunner & Suddart, 2001). Hemodialisis berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialysis yang berarti dipisahkan. Hemodialisis merupakansalah satu dari terapi pengganti Ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik itu akut maupun kronik. Prinsip dasar dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotik dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Hemodialisis dapat dikerjakan untuk sementara waktu (misalnya pada gagal ginjal akut) atau dapat pula untuk seumur hidup (misalnya pada gagal ginjal kronik). 1. Tujuan Hemodialisis a. Untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. b. Untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. 2. Indikasi a. LFG < 5 ml/ menit b. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata c. Nilai kalium darah > 6 mEq/ L d. Nilai ureum darah > 200 mg/dl e. PH darah < 7,1 f. Cairan overload.
3. Prinsip- prinsip Dasar Hemodialisis Berdasarkan prinsip yang mendasar hemodialisis a. Difusi : Proses pemindahan toksin dan zat limbah dari konsentrasi yang lebih tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi
yang lebih rendah.
Cairan dialisat tersusun dari semua elektolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat. Pori-pori kecil dalam membrane semipermeabel tidak memungkinkan lolosnya sel darah merah dan protein. b. Osmosis : air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan tekanan gradient, dengan kata lain air bergerak dari daerah tekanan yang lebih tinggi(tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat) c. Ultafiltrasi : tekanan negative diterapkan pada alat (mesin dialysis) sebagai kekuatan pengisap pada membrane dan memfasilitasi peneluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan) d. System buffer tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme
untuk
membentuk
bikarbonat.
Darah
yang
sudah
dibersihakan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena pasien. Pada akhir terapi hemodialisis banyak zat limbah telah
dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sitem buffer juga telah diperbaharui.(Price. 2006) 2.8 Dosis 2.8.1 Pengertian Dosis Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud dosis adalah dosis maksimum dwwasa untuk pemakaian melalui mulut, injeksi subkutan dan rectal. Selain dosis maksimum dikenal juga dosis lazim. Dalam FI ed III tercantum dosis lazim untuk dewasa dan bayi atau anak yang merupakan takaran petunjuk yang tidak mengikat. Dosis atau takaran suatu obat adalah banyaknya suatu obat yang dapat dipergunakan atau diberikan untuk obat dalam maupun obat luar. 2.8.2 Macam- Macam Dosis 1. Dosis terapi , suatu takaran obat yang diberikan dalam keadaan biasa dapat dan dapat menyembuhkan penderita. 2. Dosis minimum, suatu takaran obat terkecil yang diberikan yang masih dapat menyembuhkan dan tidak menimbulkan resistensi pada penderita. 3. Dosis maksimum, suatu takaran obat terbesar yang diberikan yang masih dapat menyembuhkan dan tidak menimbulkan keracunan pada penderita. 4. Dosis letal, takaran suatu obat yang dalam keadaan biasa dapat menyebabkan kematian pada penderita a. L.D 50 : takaran yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan.
b. L.D 100: takaran yang menyebabkan kematian pada 100% pada hewan percobaan 5. Dosis toksis : suatu takaran obat yang dalam keadaan biasa dapat menyebabkan keracunan pada penderita. (Syamsuni. 2007) 2.9 Prinsip penyesuaian dosis pada gangguan ginjal Peresepan untuk penderita dengan gagal ginjal memerlukan pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat pengobatan, metabolisme, dan aktivitas obat, lama kerja obat serta cara eksresinya. Tingkatan fungsi ginjal yang memerlukan penurunan dosis tergantung beberapa obat yang secara noral dikeluaran melalui ginjal dan beberapa bagian yang melalui rute metabolisme lain serta seberapa toksik obat tersebut. 1. Rute eliminasi, eliminasi obat merupakan parameter yang paling penting untuk dipertimbangkan pada saat penentuan dosis karena eliminasi obat atau metabolitnya mungkin menurun sehngga menyebabkan peningkatan efek farmakologis atau toksisitas. 2. Indeks terapi, indeks terapi suatu obat merupakan pengukuran secara garis besar mengenai keamanan obat jika digunakan, dengan cara memperlihatkan hubungan antara dosis efektis dan toksiknya. 3. Penyesuaian dosis, pengobatan yang benar-benar bermanfaat diperlukan oleh pasien dengan gangguan ginjal dan penyesuain dosis berupa penurunan terhadap total dosis penjagaan hatian sering kali diperlukan. Perubahan dosis obat yang hanya memiliki efek samping ringan atau tidak tergantung dosis,
perubahan pemberian obat yang sangat rinci tidak penting dan cukup menggunakan skema penurunan secara sederhana. 4. Obat yang bersifat nefrotoksik, obat yang bersifat nefrotoksik sedapat mungkin harus dihindari pada pasien penyakit ginjal karena efek yang diakibatkan oleh nefrotoksisitasmya akan lebih berbahaya, jika cadangan ginjal menurun. Idealnya obat yang digunakan untuk mengobati penderita ginjal memiliki karakteristik berikut: a. Tidak menghasilkan metabolit aktif b. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan cairan c. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein d. Respon obat tidak dipengaruhi oleh perubahan kepekatan jaringan e. Mempunyai/ rentang terapi yang lebar f. Tidak bersifat nefrotoksik 5. Perhitungan dosis, anjuran dosis didasarkan pada tingkatan keparahan gangguan ginjal, yang biasanya dinyatakan dengan istilah laju filtrasi glomeruler (LFG), umumnya diperkirankan dengan mengukur klirens kreatinin. Jika dianggap klirens kreatinin normal adalah 120 ml/menit, maka untuk tujuan peresepan gangguan ginjal dapat dibagi menjadi : Tabel 2. Perbandingan nilai klirens kreatinin, LFG dengan gangguan ginjal Tingkat
LFG
Kreatinin serum
Ringan
20-50 ml/ menit
150 – 300 mikromol/L
Sedang
10-20 ml / menit
300-700 mikromol / L
Berat
< 10 ml/ menit
> 700 mikromol/L
Istilah gangguan ginjal sering digunakan jika LFG turun sampai dibawah 60 ml/menit tetapi tetap diatas 30 ml/menit, pada tahap ini,penderita mungkin masih belum menunjukkan gejala apapun. Gagal ginjal dapat dijabarkan sebagai nilai LFG dibawah 30 ml/menit, dimana gejala muncul secara jelas. Apabila LFG turun sampai dibawah 10 ml/menit, maka keadaan ini disebut sebagai gagal ginjal terminal atau “end stage”. Gagal ginjal memperlihatkan adanya granul-granul pada permukaan ginjal, fungsi ginjal menurun, ukurannya mengecil, dan pada protein urine sangat tinggi. Obat yang telah diketahui dapat merusak ginjal melalui berbagai mekanisme. Bentuk kerusakan yang paling sering dijumpai adalah interstitial nefritis dan glomeruloneprihis. Obat dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal melalui dua cara : kerusakan atau perubahan fungsi ginjal secara langsung atau kerusakan secara tidak langsung melalui efek pada pasokan darah. Obat dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung meliputi aminoglikosida, amfoterisin B, cisplatin, bentuk garam dari emas, logam brat, penisilamin, metotreksat dan radiocontrast media. 2.10 Pemerikasaan Penunjang Untuk mementukan diagnosa pada gagal ginjal kronik dapat dilakukan cara sebagai berikut : 1. Pemerikasaan urin, urin merupakan hasil akhir proses filtrasi, reabsorbsi dan eksresi ginjal, dan merupakan jendela untuk mulai melihat apakah ada
kelainan pada saluran kemih. Karena pada malam hari penderita istirahat dan tidak minum, pada umumnya kemih pertama paling kental dan terbanyak dapat menunjukkan kelainan, sehingga pemerikasaan urin hendaknya pada urin yang pertama keluar pagi hari. 2. Pemeriksaan laboratorium. Menentukan derajat keparahan GGK, menentukan gangguan system dan membantu menetapkan etiologi. Seperti pemeriksaan darah untuk fungsi, meliputi pemeriksaan ureum dan kreatinin darah. Pemeriksaan kreatinin lebih konstan daripada oleh diet, pendarahan usus dan gangguan fungsi hati. 3. Pemeriksaan USG. Untuk mencari apakah ada bantuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal. 4. Pemeriksaan EKG. Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit.