6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pegagan (Centella asiatica) Pegagan merupakan jenis tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di daerah tropis seperti India, Sri Lanka, China, Madagaskar, Afrika Selatan, Meksiko, Venesuela, Colombia, serta Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pegagan telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai ramuan tanaman obat serta jamu (Bermawie et al., 2008). Gambar tumbuhan pegagan dapat dilihat dalam Gambar 2.1. Klasifikasi ilmiah pegagan berdasarkan BPOM RI (2010) sebagai berikut: Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Rosidae
Bangsa
: Apiales
Suku
: Apiaceae
Bangsa
: Centella
Jenis
: Centella asiatica
Gambar 2.1 Tumbuhan Pegagan (Mangas et al., 2009)
6
7
Pegagan merupakan tanaman herba tahunan, tanpa batang tetapi dengan rimpang pendek dan stolon-stolon yang melata, panjang 10-80 cm. Tumbuhan ini memiliki daun tunggal, tersusun dalam roset yang terdiri dari 2-10 daun, tangkai daun panjang sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar, bundar dengan garis tengah 1-7 cm, pinggir daun bergeringgit terutama ke arah pangkal daun. Bunga tumbuhan pegagan berupa payung tunggal atau 3-5 bersama-sama keluar dari kelopak ketiak daun, gagang bunga 5-50 mm dan lebih pendek dari tangkai daun. Bunga umumnya 3, yang di tengah duduk, di samping bergagang pendek. Tumbuhan pegagan memiliki daun pelindung bunga sebanyak 2 buah dengan panjang 3-4 mm, berbentuk bundar telur dengan tajuk berwarna merah lembayung. Buah tumbuhan pegagan berbentuk pipih dengan lebar sampai 7 mm dan tinggi samapai 3 mm, memiliki lekuk sebanyak 2 dengan warna kuning kecoklatan (Seevaratnam et al., 2012). Pegagan memiliki efek farmakologi sebagai antioksidan, antijamur, antivirus, antiprotozoa, antidiabetes, antimalaria, aktivitas sitotoksik, aktivitas perlindungan kulit, meningkatkan aktivitas memori, dan efek penyembuhan luka, antibakteri (anti jerawat), serta antiinflamasi. Efek farmakologis pegagan sebagai anti jerawat serta antiinflamasi disebabkan karena kandungan utama dalam pegagan yaitu asiatikosida , madekasosida, asam asiatat, dan asam madekasat (James and Dubery, 2009). Keempat komponen utama dalam pegagan ini merupakan
biomarker
dalam
menentukan
penilaian
kualitas
pegagan
(Seevaratnam et al., 2012). Struktur dari keempat komponen utama dalam pegagan dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Selain keempat komponen utama
8
tersebut, pegagan memiliki komponen lain seperti asam indosentoat, bayogenin, asam 2α, 3β, 20, 23-tetrahidroksiurs-28-oat, asam euskapat, asam terminolat, asam 3β-6β-23-tri-hidroksiolean-12-en-28-oat, asam 3β-6β–23–trihidroksiurs–12en-28-oat, kaempferol, kuersetin, sentelasapogenol, kadiyenol, sentelin, asiatisin dan sentelisin (BPOM RI, 2010). B
A
C
O
C
O
HO
HO
OH
OH HO
HO OH
OH
OH
C
D C
HO
O
C
O
HO
O
HO
O
O
O OH
OH OH
O OH OH
O
OH
OH
OH
OH
O OH OH
O
OH
OH
OH
O OH
O OH
OH
O OH
HO
HO
OH
O
HO
OH
OH
Gambar 2.2 Struktur dari asam madekasat (A), asam asiatat (B), madekasosida (C), dan asiatikosida (D) (James and Dubery, 2011)
9
1.2 Kromatografi Lapis Tipis-Spektrofotodensitometri Kromatografi lapis tipis merupakan jenis kromatografi yang menggunakan fase diam berupa padatan adsorben dan fase gerak berupa cairan. KLT menggunakan fase diam berupa lapisan adsorben yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik, dan fase gerak yang digunakan berupa campuran dari beberapa jenis pelarut. Prinsip umum KLT yaitu pemisahan campuran karena adanya pergerakan fase gerak melewati permukaan datar, analit akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari afinitasnya terhadap fase diam dan fase gerak (Muderawan, 2009). Jarak antara penotolan dengan bercak noda hasil pemisahan analit dikenal dengan faktor retardasi (Rf). Dalam kondisi yang sama, senyawa yang sama akan memiliki nilai Rf yang sama, sehingga nilai Rf sering digunakan sebagai pembanding antara senyawa standar dengan sampel yang tidak diketahui. Hasil pemisahan KLT sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi banyaknya sampel yang dipisahkan, ukuran beam pada detektor yang digunakan, kejenuhan chamber dan volume penotolan yang digunakan (Vicente et al., 1999). Konsentrasi penotolan yang terlalu tinggi atau kurang jenuhnya chamber akan menyebabkan terjadinya pengekoran (tailing) pada kromatogram hasil pemisahan. Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang mendasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada KLT. Densitometri lebih menitik beratkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar kecil, yang mana diperlukan pemisahan terlebih dahulu dengan
10
KLT. Untuk evaluasi bercak hasil KLT secara densitometri, bercak di-scaning dengan sumber sinar dalam bentuk celah (slit) yang dapat dipilih baik panjang maupun lebarnya. Pengukuran densitometri dapat dibuat dengan absorbansi ataupun fluoresensi (Rohman, 2009). Salah satu instrumen KLT spektofotodensitometri adalah CAMAG TLC Scaner 4. Dalam pengukuran dengan instrumen CAMAG TLC Scaner 4 seringkali background juga ikut dalam pengukuran sehingga akan mengganggu hasil pengukuran. Untuk itu perlu dilakukan baseline correction untuk mengurangi dampak background pada hasil pengukuran atau memaksimalkan sinyal dari keberadaan noise (Camag, 2010). Dengan melakukan baseline correction maka akan memberikan hasil pengukuran yang lebih baik. . 1.3 Peranan Sidik Jari Kromatografi dalam Standarisasi Tanaman Herbal Standarisasi merupakan suatu sistem yang menjamin kualitas, kuantitas serta efek terapetik dari kandungan kimia suatu tanaman (Choundhary and Sekhon, 2011). Standarisasi suatu obat herbal sangat penting dilakukan untuk menjaga kualitas (kontrol kualitas) dari suatu obat herbal. Banyaknya komponen kimia yang terdapat dalam tanaman obat memungkinkan sulitnya menjamin keamanan, kendali mutu, dan konsistensi produk herbal dibandingkan dengan obat sintesis (Palanisamy and Natesan, 2012). Sidik jari kromatografi tanaman herbal merupakan suatu pola kromatografi yang menunjukkan karakteristik kimia dan efek farmakologi dari komponen senyawa aktif penyusun obat herbal (Liang et al., 2004). Sidik jari kromatografi
11
dapat digunakan untuk konfirmasi dan identifikasi obat herbal secara tepat walaupun jumlah atau konsentrasinya tidak sama untuk sampel yang berbeda. Metode ini juga harus dapat menjelaskan adanya perbedaan dan kesamaan dari variasi sampel secara tepat. Pemanfaatan sidik jari kromatografi dalam penentuan kualitas tanaman herbal telah direkomendasikan oleh WHO (2000), dan telah digunakan oleh Prancis, Jerman, Inggris Raya, India, dan Chinese State Food and Drug Administration (SFDA) telah menggunakan metode sidik jari kromatografi dalam melakukan kontrol kualitas bahan herbal (Zhang et al., 2011). Penentuan sidik jari kromatografi dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) (Chirag et al., 2014). KLT banyak dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan analitikal termasuk dalam proses standarisasi obat herbal (Liang et al., 2004). Hal ini disebabkan metode KLT relatif mudah digunakan dan dapat memisahan beberapa sampel secara bersamaan. Keuntungan lain dari metode KLT yaitu sederhana, cepat, spesifik serta preparasi sampel yang relatif mudah. Hasil pemisahan yang spesifik dari metode KLT menyebabkan kromatogram yang dihasilkan sangat khas dan membentuk suatu pola yang disebut dengan sidik jari kromatografi. Pola atau sidik jari kromatografi dari sampel herbal merupakan dasar untuk menentukan stabilitas serta konsistensi dari produk herbal (Choundhary and Sekhon, 2011)
1.4 Pemisahan Komponen Aktif dalam Pegagan Pemisahan komponen utama dalam pegagan (meliputi empat komponen utama yaitu asiatikosida, madekasosida, asam asiatat, dan asam madekasat) telah
12
dilakukan dalam berbagai penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Bonfill et al (2005) dan James and Duberi (2011) menggunakan fase diam berupa plat silika gel 60 F254. Sedangkan untuk fase gerak dapat digunakan pelarut murni atau pun campuran dari beberapa pelarut. Pemisahan komponen aktif utama dalam pegagan yang dilakukan oleh Bonfil et al (2005) menggunakan fase gerak berupa campuran antara etil asetat-metanol (3:2), penelitian lain yang dilakukan oleh James dan Duberi (2011) menggunakan fase gerak berupa campuran antara kloroform-asam asetat glasial-metanol-air (15:8:3:2). Berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia (2008), pemisahan komponen dalam pegagan menggunakan fase gerak campuran n-heksana etil asetat dan dietil amin (40:10:1). Penentuan kandungan komponen secara kuantitatif dapat dilakukan dengan spektrofotodensitometri. Densitometri pada prinsipnya adalah menyerap panjang gelombang yang dipantulkan oleh komponen ketika komponen tersebut ditembakkan sinar. Namun penggunaan spektrofotodensitometri ini terbatas pada panjang gelombang UV-Visible. Sehingga komponen hasil pemisahan hendaknya dibuat berwarna agar dapat terdeteksi (James and Duberi, 2011). Deteksi
dengan
KLT-spektrofotodensitometri
dilakukan
dengan
melakukan penyemprotan hasil pemisahan dengan reagen anisaldehid-asam sulfat pada plat KLT. Selanjutnya plat dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit sampai muncul warna (ungu) dan diamati di bawah sinar UV 366. Intensitas warna per mm2 menunjukkan konsentrasi terpenoid yang akan diidentifikasi (James and Duberi, 2011)
13
Reagen anisaldehid-asam sulfat memiliki sifat yang tidak stabil dalam waktu yang lama sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu lama setelah pembuatannya. Reagen ini dapat digunakan dalam mendeteksi keberadaan triterpen dan saponin. Pembuatan reagen dilakukan dengan mencampurkan 0,5mL para-anisaldehid, 10 mL asam asetat glasial, 85 mL metanol, dan 5 mL asam sulfat pekat secara berurutan (James and Dubery, 2011).
1.5 Analisis Multivarian Sidik jari kromatografi hasil pemisahan dengan metode KLT akan menghasilkan data yang begitu bervariasi. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam proses pengolahan data, sehingga diperlukan analisis secara statistik untuk membantu proses pengolahan data tersebut. Analisis multivarian jenis PCA dan HCA telah banyak digunakan dalam melakukan pengolahan data sidik jari kromatografi dari bahan herbal (Bansal et al., 2014). PCA berbasis sidik jari dapat langsung mencerminkan perbedaan antar sampel, sedangkan HCA dapat mengklasifikasikan objek berdasarkan karakteristik kuantitatif mereka (Jing et al., 2011).
1.5.1
Analisis komponen utama Analisis komponen utama atau principle component analysis (PCA)
merupakan metode yang paling banyak diterapkan dalam melakukan analisis sidik jari kromatografi. PCA adalah salah satu teknik analisis multivarian yang bertujuan untuk mengurangi sebaran data, dimana data tersebut memiliki korelasi (Miller and Miller, 2005). PCA tidak dapat digunakan apabila data yang akan
14
dikurangi tidak memiliki korelasi. PCA digunakan untuk menentukan komponen utama dari beberapa variable melalui kombinasi linier variabel-variabel tersebut. Komponen utama akan menggantikan variabel-variabel yang membentuknya tanpa mengurangi atau kehilangan informasi mengenai keseluruhan variabel. PCA akan menunjukkan pengukuran asli dengan menemukan komponen utama (faktorfaktor yang dominan), sedangkan komponen pengganggu yang bersifat minoritas akan direduksi. Hal ini tentu saja akan mempermudah dalam pembacaan serta identifikasi data sidik jari kromatografi (Jing et al., 2011). Secara matematis komponen utama (Z) yang memiliki kombinasi linier dengan beberapa variabel (X), serta koefisien atau bobot dari setiap variabel dinyatakan dengan a sebagai berikut: Z1 = a11X1 + a12X2 + a13X3+ ………. a1nXn Z2 = a21X1 + a22X2 + a23X3 +………… a2nXn dan seterusnya Komponen utama pertama (Z1) akan merupakan kombinasi linier dari seluruh variabel yang diamati dan memiliki varians terbesar. Sedangkan komponen utama kedua (Z2) akan memiliki varians terbesar kedua setelah Z1, dan begitu seterusnya sampai komponen utama terakhir memiliki jumlah varians terkecil.
1.5.2
Analisis klaster hirarki Teknik pengelompokan yang paling populer dalam evaluasi kualitas
tanaman obat adalah analisis pengelompokan hirarki atau hierarchical cluster
15
analysis (HCA). Keuntungan utama dari HCA adalah fleksibilitas untuk mengubah kriteria pengukuran kesamaan (Jing et al., 2011). Klaster analisis merupakan suatu metode untuk mengelompokkan objekobjek analisis ke dalam kelas tertentu berdasarkan kemiripan sifat yang dimilikinya. Semakin mirip sifat yang dimiliki maka objek tersebut akan berada dalam
kelompok
atau
kelas
yang
sama
(Miller
and
Miller,
2005).
Pengelompokkan objek dapat dilakukan dengan metode non hirarki atau pun hirarki. Dalam metode non hirarki, jumlah kelompok yang akan dibuat telah ditentukan terlebih dahulu sehingga kemiripan sifat objek akan masuk ke dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan. Sedangkan dalam metode hirarki, pengelompokan dimulai dari dua objek yang memiliki kesamaan paling dekat. Kemudian diikuti oleh objek lain dan seterusnya hingga pengelompokan akan menyerupai pohon yang disebut sebagai dendogram. Contoh dendogram dengan menggunakan klaster analisis, ditunjukkan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Contoh dendogram berdasarkan analisis klaster hirarki (Miller and Miller, 2005)
16
1.6
Metode Validasi Validasi metode analisis merupakan suatu penilaian terhadap parameter
tertentu melalui uji laboratorium untuk menunjukkan kelayakan parameter tersebut. Beberapa parameter yang diukur dalam metode standarisasi berdasarkan sidik jari kromatografi meliputi linieritas serta presisi.
1.6.1
Linieritas Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon
yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). Dalam metode standarisasi berdasarkan sidik jari kromatografi lapis tipis, penentuan linieritas suatu metode dilakukan dengan mengukur analit dalam berbagai volume penotolan (Joshi et al., 2012). Hasil pengukuran akan ditampilkan dalam kurva kalibrasi yang menunjukkan perbandingan antara volume penotolan dengan respon yang diberikan oleh analit. Berdasarkan kurva yang telah dibuat, nilai r yang mendekati 1 menunjukkan kelinieritasan suatu metode.
1.6.2
Presisi Presisi (keseksamaan) menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji
individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Penentuan keseksamaan suatu metode dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran berulang terhadap sampel yang berbeda namun
17
berasal dari populasi yang sama. Penentuan presisi suatu metode dilakukan dengan melakukan pengukuran sampel dalam beberapa konsentrasi yang berbeda, serta dilakukan beberapa kali pengulangan pada hari yang sama (intra-day) dan hari yang berbeda (inter-day). Dalam metode standarisasi berdasarkan sidik jari kromatografi lapis tipis, hasil pengukuran secara intra-day maupun inter-day akan dilakukan perhitungan besarnya persentase relative standard deviation (RSD) berdasarkan nilai luas area kurva (AUC) (Joshi et al., 2012).