BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
LANDASAN TEORI
2.1.1
Leader Member Exchange (LMX) Teori
Leader-Member
Exchange
(LMX)
pertama
kali
diperkenalkan oleh Dansereau, Graen dan Casman pada tahun 1975. Kemudian diperkenalkan kembali pada tahun 1976. Menurut Dansereau, Graen dan casman teori Leader-Member Exchange (LMX) merupakan teori yang menjelaskan bagaimana hubungan interpersonal berkembang diantara atasan dan bawahan. Leader-Member Exchange
(LMX)
merupakan suatu proses interaksi yang terjadi pada dua individu dan secara berkesinambungan akan mengalami perkembangan. Sedangkan Graen (dalam Ping & Yue, 2010) menjelaskan leader-member exchange atau pertukaran pemimpin-anggota (LMX) sebagai suatu hubungan pertukaran interpersonal antara bawahan dan pemimpinnya. Berdasarkan pendapat ahli diatas terkait pengertian LMX dapat disimpulkan bahwa LMX merupakan hubungan pertukaran interpersonal antara atasan dan bawahan
yang
secara
berkesinambungan
akan
mengalami
perkembangan. Kualitas LMX ini dibagi menjadi 2 yaitu kualitas LMX tinggi (in group) dan kualitas LMX rendah (out group). Graen dan Cashman (1975) menjelaskan
bahwa
bawahan
yang
termasuk
dalam
in
group
menjalankan pekerjaan mereka sesuai dengan kontrak kerja atau job deskripsinya saja dan dapat diandalkan oleh atasan untuk melakukan
9
10
tugas-tugas yang tidak ada dalam struktur, menjadi sukarelawan untuk diberikan pekerjaan tambahan, dan untuk mengambil tanggung jawab tambahan. Atasan bertukar sumber daya pribadi dan posisi (dalam informasi, pengaruh dalam pengambilan keputusan, tugas-tugas, lintang pekerjaan, dukungan, dan perhatian) sebagai imbalan atas kinerja bawahan pada tugas-tugas yang tidak terstruktur (dalam Truckenbrodt, 2000). Sebaliknya, hubungan out group atau LMX kualitas rendah tersebut melibatkan pertukaran terbatas pada kontrak kerja. Dengan kata lain, kelompok out group melakukan tugas-tugas rutin dari unit dan mengalami pertukaran yang lebih formal dengan atasan (Linden & Graen, 1980 (dalam Lee, 2000). Cakupan isi dari LMX terdiri atas tiga hal yakni, leader (pimpinan atau
atasan),
follower
(bawahan)
dan
relationship
(hubungan
interpersonal) (Graen dan Bien, 1995). Pada akhirnya, pendekatan melalui hubungan (relationship) antara atasan dan bawahan akan menjelaskan mengenai bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi. Sparrowe
dan
Liden
(1997) menjelaskan bahwa
terdapat
beberapa tahap dalam proses hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu : a. Testing and Assessment ( Menilai bawahan ) Pada tahap ini masih belum ada hubungan diantara pemimpin dan bawahannya. Pemimpin masih menimbang mana yang dapat masuk ke dalam kategori in-group maupun out-group berdasarkan pada kriteria subjektif maupun objektif.
11
b. Development of Trust ( pengembangan kepercayaan ) Tahapan ini pemimpin memberikan kesempatan dan tantangan yang baru untuk menumbuhkan rasa percaya diantara mereka. Sebagai timbal baliknya, maka para bawahan yang termasuk ke dalam kategori
in-group
akan
memperlihatkan
loyalitas
kepada
pemimpinnya. c. Creation of Emotional Bond ( terciptanya ikatan emosional ) Seorang bawahan yang memiliki hubungan yang baik dengan pemimpinnya dapat masuk ke dalam tahapan ini, dimana hubungan dan juga ikatan diantara keduanya menjadi kuat secara emosional. Pada tahap ini, seorang bawahan memiliki komitmen yang tinggi terhadap atasan. 2.1.2
Deprivasi Relatif Deprivasi relatif ialah perasaan seseorang yang timbul karena adanya kesenjangan antara kenyataan dengan harapan individu (Aberle. 1962). Sedangkan Runcimann (1966) menyatakan bahwa deprivasi relatif adalah perbedaan antara situasi yang diinginkan seseorang dengan situasi yang terjadi pada saat itu. Gurr (1975) mengartikan deprivasi relatif adalah persepsi seseorang terhadap adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, baik di lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Berdasarkan pengertian para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa deprivasi relatif adalah keadaan atau kondisi psikologis seseorang dimana adanya kekecewaan yang timbul karena harapan dan kenyataan tidaklah sama.
12
Menurut Runciman. (dalam Fatturochman, 1998) menjelaskan munculnya deprivasi relatif bila seseorang (1) tidak mempunyai X ,(2) dia tahu orang lain mempunyai X, (3) dia ingin menginginkan X, (4) dia merasa layak atau mampu memilik X. Deprivasi dibagi menjadi dua yaitu: a. Deprivasi Relatif Egoistical Deprivasi Relatif Egoistical terjadi apabila seseoarang merasa kondisinya lebih buruk di banding orang lain dalam kelompoknya. b. Deprivasi Relatif Fraternal Deprivasi Relatif Fraternal terjadi apabila sesorang menilai kondisi kelompoknya
lebih
jelek
dibanding
kelompok
lain.
Dan
ada
kemungkinan orang tersebut mengalami keduanya sehingga dia mengalami doubly deprived Selain itu menurut Gurr (dalam Tri dayakisni, et al. 2009) menyatakan bahwa deprivasi relatif adalah sinonim dengan frustasi. Menurutnya ada tiga jenis-jenis deprivasi yaitu : a. Decremental Deprivation adalah kehilangan tentang apa yang dipikirkan orang bahwa itu seharusnya mereka miliki. Mereka mengalami deprivasi ini dengan menunjuk pada kondisi masa lalu yang dialaminya. Beragam situasi yang mungkin dapat menyebabkan deprivasi ini, misalnya depresi atau resesi ekonomi, pemberlakuan aturan, kemunduran pada sejumlah kesempatan yang ada seperti tenaga kerja yang tidak tampil cakap dalam suatu masyarakat yang meningkat teknologinya. Sehingga banyak orang yang menderita reduksi status, kesulitan ekonomi dan perasaan tidak aman. Dengan demikian dapat di katakan decremental deprivation adalah ketika
13
“value expepectations” dan “value capabilities” dalam waktu tertentu berjalan sejajar, tetapi pada suatu saat tertentu “value Capabilities” menurun sehingga terdapat jarak antara kedua values itu yang makin lama makin besar. Bentuk-bentuk dari Decremental Deprivation yaitu seseorang mengalami berbagai mcam keadaan contohnya: 1) Depresi :akibat harapan yang tidak pernah terpenuhi sehingga meresa kecewa dan berujung mengalami depresi. 2) Resesi ekonomi: ekonomi
atau
keadaan
semakin
seseorang
berkurangnya
mengalami kesulitan tambahan
ekonomi
pemberlakuan
aturan
sehingga mengalami kemiskinan. 3) Pemberlakuan
aturan:
adanya
mengakibatkan seseorang terbatas untuk berekspresi dan di batasi untuk melakukan aktivitas yang berlebihan. 4) Perasaan tidak aman : perasaan yang timbul dari dalam diri seseorang akibat dari lingkungan yang menunjukkan rasa tidak aman
misalnya
:
terjadi
persaingan
dalam
dunia
kerja,
permusuhan dalam satu lingkungan, lingkungan yang sering di jadikan ajang perang. b. Aspirational Deprivation yaitu jika jarak antara kedua values terjadi karena kedua values yang tadinya berjalan sejajar pada suatu saat tertentu tidak lagi sejajar dengan meningkatnya “values expectation“ sedangkan “values capabilities” tetap. Dalam situasi ini orang tidak merasa kehilangan, tetapi mereka merasa marah karena tidak memiliki alat / sarana untuk memperoleh harapan yang baru atau intensif.Harapan-harapan itu dapat berbentuk:
14
1) Meningkatanya harapan tentang beberapa komoditas dalam pesediaan yang terbatas (komoditas itu bisa dalam bentuk barang, kebebasan pribadi, atau rasa ketidak adilan). 2) Harapan megenai beberapa nilai baru yang sebelumya tidak pernah mereka miliki, misalanya partisipasi dalam dunia kerja atau kesamaan kelas sosial atau komitmen untuk melakukan sesuatu yang sebelumya tidak mereka pikirkan. c. Progressive deprivation yaitu deprivasi yang dimulai dengan kenaikan kedua values secara bersama-sama, tetapi pada suatu saat “values Expectation“ terus meningkat sedangkan “values capabilities” justru menurun sehingga terjadi jarak antara kedua values yang makin lama makin besar. Menurut Davies, perkembangan ini kebanyakan atau pada umumnya terjadi pada masyarakat yang mengalami sejumlah perubahan. Misalnya: seseorang karyawan yang sedang bekerja di salah satu perusahaan mempunyai tanggungan kebutuhan keluarga yang terus meningkat pada suatu saat seorang tersebut di pecat dari perusahaan itu karena kemampuan bekerjanya berkurang. Perubahan yang sebenarnaya tidak melangkah sejajar dengan meningkatnya harapan sehingga mengakibatkan ketidakpuasan. 2.1.3
Effort Behavior Sujan et al (1994) mengembangkan konsep work effort atau effort behavior dengan membagi kerja cerdas dan kerja keras. Dua macam effort (kerja cerdas dan kerja keras) ini diyakini oleh beberapa peneliti menjadi metode dan atau sebuah solusi strategi untuk membantu karyawan dalam mencapai tujuannya.
15
a. Kerja Cerdas Karyawan yang mampu kerja dengan cerdas (smart) akan lebih mudah memahami perilaku seseorang dan lebih mudah dalam mengambil keputusan dengan cepat berdasarkan pertimbangan– pertimbangan yang lebih matang, karena karyawan yang cerdas memiliki pengetahuan pekerjaan dalam setiap situasi. Dengan kerja lebih cerdas, diindikasikan karyawan mulai melakukan perencanaan dalam menentukan perilaku dan aktivitas kerja yang pantas maupun tidak untuk dilakukan, dan mereka akan lebih dapat menyesuaikan perubahan perilaku kerja dan aktivitas
dengan pertimbangan
situasional. b. Kerja Keras Sedangkan kerja keras merupakan manivestasi kunci dari keseluruhan usaha karyawan dan ketahanan mereka dalam hal lama waktu yang dicurahkan dalam bekerja dan usaha lanjutan yang dilakukan ketika mengalami kegagalan. Karyawan yang bekerja dengan keras menunjukkan tingkat tanggung jawab yang tinggi dari seorang kayawan untuk bekerja lebih baik dari target job description yang diberikan perusahaan, hal tersebut akan berdampak positif bagi perusahaan
karena
karyawan
memberikan
pengorbanan
atas
kinerjanya untuk bekekerja lebih keras bagi perusahaan sehingga semakin tinggi kerja keras maka semakin tinggi kinerja (Sujan et al., 1994).
16
2.1.4
Sabotase Layanan Sabotase adalah tindakan yang disengaja untuk menghancurkan, mengganggu dan merusak peralatan atau jasa oleh seorang individu atau sekelompok karyawan yang tidak puas dalam bekerja (Ambrose et al., 2002). Ackroyd dan Thompson (1999) menyatakan bahwa kegiatan sabotase adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang di tempat kerja. Secara umum, sabotase karyawan adalah tindakan sengaja untuk merusak citra perusahaan, properti, aset perusahaan, entitas perusahaan
itu
mencerminkan
sendiri
(Weston,
2002)
perilaku
karyawan
yang
sabotase
layanan
menyimpang
akan
dari tujuan
organisasi (Rahim, 2008). Perilaku sabotase layanan disebut sebagai perilaku menyimpang (Patterson & Baron, 2010). Southey (2010) menyatakan
bahwa
hasil
dari
kegiatan
yang
menyimpang
dari
ketidakpuasan karyawan dalam bekerja. Perilaku menyimpang dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu sifat penyimpangan dan penyimpangan produksi (Gruys, 2000). Properti penyimpangan adalah tindakan karyawan yang mencuri atau kerusakan properti dan aset organisasi, penyimpangan produksi adalah perilaku yang melanggar norma-norma produksi dalam organisasi. Patterson et al. (2010) juga menyatakan bahwa perilaku menyimpang oleh karyawan dilakukan secara terbuka dan dilakukan secara rahasia. Sabotase merupakan konsekuensi dari layanan perusahaan yang harus diperhitungkan sebelumnya terkait dengan hubungan pelanggan jangka pendek dan jangka panjang (Skeel et al. 2007).
17
2.1.5
Work Family Conflict (WFC) Netemeyer et al. (1996: 401) mendefinisikan WFC sebagai bentuk konflik antar peran meliputi: tuntutan, waktu, dan ketegangan yang berasal dari pekerjaan mengganggu seseorang dalam melakukan tanggung jawabnya dalam keluarga. Carr, et al. (2008: 246) menyatakan, bahwa WFC terjadi jika tanggung jawab dalam satu domain (pekerjaan) membatasi individu untuk memenuhi kewajiban yang lain (keluarga). WFC mengacu pada situasi antara tanggung jawab, dan harapan dari peran individu dalam pekerjaannya, mengganggu tanggung jawab dan harapan peran dalam keluarga (Grzywacz, 2009: 490). Dari pengertian tersebut,
dapat
disimpulkan,
bahwa
konflik
pekerjaan
keluarga
merupakan konflik yang dialami seseorang karena adanya tuntutan dalam pekerjaan yang mengganggu keluarga. Jenis WFC Menurut Greenhaus dan Beutell (1985: 77), terdapat 3 jenis WFC, yaitu: a. Time-based conflict, WFC dapat mempengaruhi waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan untuk kegiatan dalam satu peran tidak dapat digunakan untuk kegiatan dalam peran lain. Dengan kata lain, waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). b. Strain-based conflict, bentuk kedua WFC ini melibatkan ketegangan peran. Strain-based conflict terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran (keluarga atau pekerjaan) mempengaruhi kinerja peran yang lainnya (pekerjaan atau keluarga).
18
c. Behavior-based conflict, pola perilaku dalam peran tertentu mungkin tidak sesuai dengan harapan mengenai perilaku dalam peran lain. Behavior-based conflict berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian peran (pekerjaan atau keluarga) Menurut Netemeyer et al. (1996: 401), terdapat 5 indikator WFC yaitu: a. Tuntutan pekerjaan mengganggu keluarga; tuntutan dari pekerjaan misalnya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, mengganggu keluarga. b. Pekerjaan mengurangi keterlibatan diri dalam keluarga; pekerjaan menyebabkan kurangnya waktu untuk bersama dengan keluarga. c. Pekerjaan mengganggu keinginan
keluarga; karena pekerjaan
keinginan dan harapan keluarga tidak bisa terwujud. d. Pekerjaan
menghambat
kegiatan
dalam
keluarga;
pekerjaan
menghambat atau menggangu kegiatan maupun aktivitas penting dalam keluarga. e. Konflik antara komitmen pekerjaan dan tanggung jawab keluarga; komitmen dalam bekerja dan tanggung jawab dalam keluarga tidak dapat berjalan dengan seimbang. Dari kelima indikator menurut Netemeyer et al.. (1996: 401) tersebut, semua indikator digunakan dalam penelitian ini, dengan masingmasing indikator diwakili oleh satu pernyataan.
19
2.2
PERUMUSAN HIPOTESIS
2.2.1
Pengaruh Negatif LMX terhadap Deprivasi Relatif Kontras dengan hasil positif biasanya terkait dengan kualitas hubungan LMX yang tinggi, karyawan lebih mungkin untuk mendapatkan hal yang buruk dalam kasus kualitas LMX rendah dan cenderung berhubungan dengan berbagai hasil negatif. Penelitian menunjukkan bahwa pekerja dalam hubungan LMX yang rendah kemungkinan besar dibandingkan dengan pekerja dalam hubungan LMX yang tinggi melaporkan kasus perlakuan yang berbeda dan melihat perbedaan perlakuan sebagai tidak adil (Lee, 2001). Ketika individu membandingkan imbalan yang mereka terima, dan mereka merasa bahwa mereka telah menerima kurang dari apa yang seharusnya mereka layak dapatkan, deprivasi relatif terjadi (Crosby, 1976; Martin, 1981 dalam Dai et al., 2016). Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 1: LMX berpengaruh negatif terhadap deprivasi relatif.
2.2.2
Pengaruh Negatif Deprivasi Relatif terhadap Perilaku Kerja Ilmu pengetahuan menggambarkan 2 karekteristik untuk mengatur literature deprivasi relatif ke dalam beberapa kelas-kelas variable output, seperti tindakan afirmatif, perilaku kritik, dan perilaku berorientasi individual (Smith et al., 2012). Dalam studi ini, perilaku di tempat kerja mencakup dua tipe: effort behavior dan sabotase layanan. Testa (1999) menunjukkan dalam studinya bahwa effort Behavior melibatkan sejauh mana karyawan berusaha untuk memberikan kualitas tinggi layanan untuk tujuan memuaskan pelanggan. Semakin upaya
20
penyedia layanan berikan dalam pelayanan, akan semakin baik kualitas layanan, dan persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan akan lebih tinggi. Selain itu, Harris dan Ogbonna (2002) berpendapat sabotase layanan
sengaja
dirancang
negatif
mempengaruhi
layanan,
dan
kemungkinan akan merusak tidak hanya untuk layanan tetapi juga untuk profitabilitas dan pertumbuhan perusahaan. Apabila tidak ditanggapi, dapat terjadi hal lebih radikal termasuk pemogokan kerja (Smith et al., 2012). Menurut affective event theory (AET) (Weiss & Cropanzano, 1996), peristiwa kerja (misalnya, perilaku pemimpin) mempengaruhi perilaku (misalnya, perilaku positif dan negatif) melalui kondisi afektif (misalnya, deprivasi relatif) dimana peristiwa kerja dibuat. Peristiwa kerja adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman karyawan setiap hari di tempat kerja dan pemimpin adalah sumber utama dari peristiwa pekerjaan tersebut. Teori ini menunjukkan bahwa perasaan adalah mekanisme penting di mana peristiwa kerja dan kondisi afektif mempengaruhi effort behavior dan sabotase layanan. Jika seorang karyawan diperlakukan secara adil oleh atasannya sehubungan dengan distributif, prosedural, interpersonal, dan aspek informasi , karyawan akan melihat saran atau masukan sebagai manfaat (Mc Cain et al., 2010;. Dai et al., 2013). Dalam situasi ini, sebagai cara untuk menghargai perusahaan, karyawan frontliner mungkin melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan pelanggan untuk menyelesaikan tugas di tempat kerja. Di sisi lain, Martin (1981) mengemukakan bahwa deprivasi relatif biasanya berhubungan dengan gejala stres, sikap negatif, dan perilaku kerja yang tidak diinginkan. Dalam situasi ini, karyawan
21
frontliner mungkin menunjukkan emosi negatif mereka selama melakukan pelayanan, seperti mempercepat atau mengganggu pelanggan. Oleh karena itu, penelitan ini menduga bahwa perasaan deprivasi bawahan akan mempengaruhi baik perilaku positif dan negatif. Berdasarkan argumen diatas, maka: Hipotesis 2: Deprivasi relatif berpengaruh negatif terhadap effort behavior. Hipotesis 3:. Deprivasi relatif berpengaruh positif terhadap sabotase layanan. 2.2.3
Peran Moderasi Work Family Conflict Work-Family Conflict (WFC) dan Family-Work Conflict (FWC) adalah stres utama yang sering dialami oleh karyawan dalam industri perhotelan (Deery, 2008; Karatepe & Uludag, 2008). Namun, penelitian terdahulu ternyata lebih banyak melakukan penelitian terhadap WFC dibanding FWC. Hal ini dikarenakan WFC dianggap mempunyai dampak yang serius kepada karyawan dibandingkan FWC (Bagger dan Andrew, 2012: 474). Berdasarkan tinjauan literatur, subjek WFC sangat hangat terutama di industri perhotelan (Choi & Kim, 2012; Karatepe, 2013). Namun, hal yang paling menarik jika WFC dibahas sebagai posisi situasi stress tinggi dan tuntutan yang dibuat oleh perusahaan
atau industri
hotel yang mendasari. Peran Pemimpin menjadi alat yang lebih penting untuk mengurangi emosi negatif karyawan (yaitu, deprivasi relatif) (Bolino & Turnley, 2009).
22
Ketika mengalami WFC, karyawan mudah frustrasi oleh pekerjaan dan cenderung mempersepsikan lebih patah semangat. Mereka akan menunjukkan lebih butuh bantuan dari supervisor, yang dapat membantu mereka mengatasi kesulitan dan tantangan mereka (Karatepe & Uludag, 2008). Dalam situasi seperti itu, supervisor sebagian besar dapat menurunkan perasaan tidak adil karyawan jika supervisor menunjukkan perhatian lebih untuk mereka. Dengan kata lain, deprivasi relatif akan berkurang jika kualitas hubungan LMX antara supervisor dan bawahan baik. Menariknya ketika individu dengan kualitas LMX tinggi,terutama dalam konteks WFC, mereka lebih mungkin untuk diberikan tugas berlimpah untuk bekerja , menerima lebih banyak dukungan supervisor, dan merasa lebih positif tentang pekerjaan mereka. Karena itu, Penelitian ini mengusulkan bahwa deprivasi relatif yang dialami oleh karyawan dari persepsi mereka tentang kualitas LMX mungkin ada kaitanya dengan work family conflict. Berdasarkan argument diatas, maka: Hipotesa 4:
WFC memoderasi pengaruh negatif
deprivasi relatif
LMX
terhadap
23
2.3
KERANGKA PENILITIAN Untuk memudahkan alur pemikiran dalam penelitian ini, hubungan antar variable yang terdiri dari LMX, deprivasi relatif, effort behavior, sabotase layanan, dan WFC akan digambarkan dalam sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut: WFC Effort Behavior H4
H2 Deprivasi Relatif
LMX H1
H3
Sabotase Layanan
Sumber: You-De dai, Kuan-Yang Chen, dan Wen-Long Zhuang (2016) Gambar II.1: Model Penelitian
Gambar 1 menunjukan kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam peneitian ini. Dimana variabel independen terdiri dari LMX dan deprivasi relatif. Sedangkan variabel dependen adalah deprivasi relatif, effort behavior dan sabotase layanan, kemudian untuk variabel moderasi yang digunakan adalah work family conflict. Penelitian You-De dai, Kuan-Yang Chen, dan Wen-Long Zhuang (2016)