BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Efektivitas Audit Aparat Inspektorat 2.1.1 Pengertian Efektivitas Efektivitas merupakan pencapaian suatu tujuan yang sesuai dengan ketentuanketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Efektivitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuantujuan yang telah ditentukan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan dalam setiap organisasi. Efektivitas disebut juga efektif, apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditemukan sebelumnya. Menurut Handoko (2003), efektifitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan menyangkut bagaimana melakukan pekerjaan yang benar. Menurut Madiasmo (2004), efektivitas adalah pada dasarnya berhubungan dengan pencapain tujuan atau terget kebijakan (hasil guna). Menurut Tunggal (2004), efektivitas adalah penentuan tujuan perusahaan yang ditetapkan telah dicapai. Efektivitas ditinjau dari segi kualitas ataupun dari segi kuantitas hasil kerja dan batas waktu yang ditargetkan. Menurut Anthony (2004), efektivitas adalah hubungan antar output yang dihasilkan oleh pusat pertanggung jawaban dengan tujuan jangka pendek (objektivitas), semakin besar output yang dikontribusikan terhadap jangka pendek 11
12
perusahaan maka semakin efektiflah unit tersebut. Menurut Yamit (1998) dalam Sari (2009), efektivitas sebagai suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat tercapai, baik secara kualitas maupun waktu, orientasinya adalah pada keluaran (output) yang dihasilkan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu keadaan yang menyatakan keberhasilan dalam melakukan suatu kegiatan atau efektivitas guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.1.2 Pengertian Audit Audit adalah pemerikasaan keuangan dengan prosedur-prosedur yang berlaku untuk mengawasi auditee agar tidak melakukan fraud.
Arens dan
Loebbecke (2003) mendifenisikan audit adalah suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten. Menurut Mulyadi (2002), audit merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasilhasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Menurut Agoes (2008), audit adalah suatu pemeriksaan dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporangan keuangan yang telah
13
disusun oleh manajemen beserta catatan pembukuan dan bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
2.1.3 Efektivitas Audit Aparat Inspektorat Efektivitas audit merupakan suatu pencapaian atau selesai audit sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam melakukan audit secara efektif dan efisien. Pengawasan yang efektif menurut Sarwoto (2010), sebagai berikut ini. 1.
Ada unsur keakuratan, data harus dapat dijadikan pedoman dan valid.
2.
Tepat-waktu, yaitu dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasikan secara cepat dan tepat dimana kegiatan perbaikan perlu dilaksanakan.
3.
Objektif dan menyeluruh dalam arti mudah dipahami.
4.
Terpusat dengan memutuskan pada bidang-bidang penyimpangan yang paling sering terjadi.
5.
Realistis secara ekonomis, yaitu biaya sistem pengawasan harus lebih rendah atau sama dengan kegunaan yang didapat.
6.
Realistis secara organisasional, yaitu cocok dengan kenyataan yang ada di organisasi.
7.
Terkoordinasi dengan aliran kerja, karena dapat menimbulkan sukses atau gagal operasi serta harus sampai pada karyawan yang memerlukannya.
14
8.
Fleksibel, yaitu harus dapat menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, sehingga tidak harus buat sistem baru bila terjadi perubahan kondisi.
9.
Sebagai petunjuk dan operasional, dimana harus dapat menunjukan deviasi standar sehingga dapat menentukan koreksi yang akan diambil.
10. Diteima para anggota organisasi,
yaitu maupun mengarahkan
pelaksanaan kerja anggota organisasi dengan mendorong peranaan otonomi, tangung jawab dan prestasi. Menurut Tugiman (1997), untuk mencapai fungsi audit internal yang efektif, terdapat lima faktor atau syarat yang harus dipertimbangkan, antara lain berikut ini. 1.
Akses, yaitu berkaitan dengan masalah ketersediaan informasi yang diperlukan oleh auditor internal untuk melaksanakan audit. Aksesnya dapat bersumber dari: a) Fasilitas, yaitu meliputi seluruh realitas fisik yang mungkin dapat memberikan informasi bagi auditor yang melakukan observasi langsung. b) Catatan, yaitu mewakili realitas walaupun bukan realitas itu sendiri. c) Orang, terutama bila fasilitas dan catatan kurang mendukung.
2.
Objektivitas, yaitu merupakan keadaan jiwa yang memungkinkan seseorang untuk merasakan sesuatu realitas seperti apa adanya. Hal tersebut dapat dicapai melalui kesadaran, pengetahuan formal,
15
pengetahuan berdasarkan pengalaman (ketekunan) dan tidak adanya kecondongan emosional. 3.
Kebebasan berpendapat, yaitu merupakan suatu keadaan yang memungkinkan suatu auditor untuk menyatakan sesuatu yang diketahuinya tanpa rasa takut adanya konsekuensi yang buruk bagi status dan pemisahan organisasional sangat membantu kebebasan berpendapat.
4.
Ketekunan, yaitu pada umumnya ketekunan merupakan kualitas yang berasal dari dalam diri auditor sehingga dapat dipengaruhi untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ketekunan dapat diperkuat dengan pemberian isyarat menyangkut maksud atasan sesungguhnya serta status organisasional yang memadai.
5.
Ketanggapan, yaitu menurut perhatian auditor terhadap berbagai temuan dan pembuatan keputusan. Adanya tindakan korektif bila dipandang perlu. Ketanggapan sangat dipengaruhi oleh status organisasional auditor internal.
Menurut Standar Profesi Audit Internal (SPAI) yang terdapat dalam Tugiman (1997), terdapat sembilan indikator efektivitas audit internal, antara lain dijelaskan sebagai berikut. 1.
Kelayakan
dan
rekomendasinya
arti
penting
(reasonable
temuan and
pemeriksaan
meaningful
findings
beserta and
recommendations). Tolak ukur ini untuk melihat apakah suatu temuan dan rekomendasi dari audit internal dapat memberikan nilai tambah
16
bagi auditee dan apakah dapat dipergunakan oleh manajemen sebagai suatu informasi yang berharga. 2.
Respon dari objek yang diperiksa (auditee’s response and feedback). Hal ini berkaitan dengan tolak ukur pertama tetapi berkenaan dengan umpan balik dan respon dari auditee. Apakah temuan atau rekomendasi tersebut dapat diterima dan dioperasionalisasikan oleh auditee. Temuan pemeriksaan dan rekomendasi dari auditor yang tidak dapat dioperasionalisasikan dan tidak mendapat respon dari auditee kemungkinan pula terjadi karena adanya kesalahan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor atau sebab-sebab lainnya.
3.
Profesionalisme
auditor
(profesionalism
of
the
internal
audit
department). Kriteria dari profesionalisme adalah berikut ini. a) Independensi b) Integritas seluruh personil pemeriksaan c) Kejelian dan ketajaman review pimpinan tim pemeriksa d) Penampilan, sikap, dan perilaku pemeriksa e) Kesanggupan dan kemampuan dalam memberikan jawaban atas pertanyaanpertanyaan auditee atas permasalahan yang diajukan f)
Kemampuan tim pemeriksa dalam melakukan komunikasi dan didapatnya tanggapan yang baik dari auditee atau manajemen puncak Pendidikan dan keahlian para pemeriksa
4.
Peringatan dini (absence of surprise). Auditor dapat memberikan laporan peringatan dini baik dalam bentuk formal maupun informal
17
mengenai kelemahan atau permasalahan operasi perusahaan serat kelemahan pengendalian manajemen. 5.
Kehematan biaya pemeriksaan (cost effectiveness of the internal audit department). Output dari suatu biaya pemeriksaan tidak dapat diukur. Bila pemeriksaan yang dilakukan mampu meminimalisasi biaya tanpa mengurangi nilai tambah yang dihasilkan, maka pemeriksaan sudah efektif ditinjau dari tolak ukur ini.
6.
Pengembangan personil (development of people). Jika pengembangan personil dianggap menjadi peran yang penting, maka pimpinan auditor akan menggunakan waktunya dalam pembinaan untuk penempatan dan pengembangan stafnya.
7.
Umpan balik dari manajemen lainnya (operating management’s feedback). Umpan balik dari manajemen lainnya bersifat subjektif dan sangat dipengaruhi oleh profesi auditor itu sendiri. Hal ini menunjukkan sampai sejauh mana dukungan yang diberikan oleh para manajemen lainnya
terhadap
para
auditor
dalam
melaksanakan
kegiatan
pemeriksaan. 8.
Meningkatnya jumlah pemeriksaan (number of requests for audit work). Semakin baik dan semakin meningkatnya kemampuan auditor maka manfaat dari audit ini akan semakin dirasakan. Dengan semakin dirasakannya manfaat tersebut, maka jumlah pemeriksaanpun akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan.
18
9.
Tercapainya program pemeriksaan. Hal ini meliputi tindakan evaluasi terhadap risiko objek yang diperiksa serta jaminan bahwa bidangbidang yang berisiko tinggi telah ditempatkan sebagai prioritas utama dalam perencanaan pemeriksaan.
2.1.4. Konsep Inspektorat Inspektorat adalah auditor internal pemerintah daerah untuk mengawasi yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah agar perangkat-perangkat pemerintah sesuai dengan perundang-undangan dan sesuai apa yang diharapan oleh masyaratakat. Berdasarkan amanat Pasal 112 ayat (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 11 PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, maka unsur pengawasan pada pemerintah daerah yang semula dilaksanakan oleh Inspektur Wilayah propinsi/kota atau kota. Inspektorat merupaka unsur penunjang pemerintah daerah di bidang pengawasan yang dipimpin oleh seorang kepala badan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah. Inspektorat mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah serta usaha daerah lainnya. Disamping itu, inspektorat mempunyai fungsi, yaitu berikut ini. 1.
Perumusan kebijakan teknis di bidang pengawasan fungsional.
2.
Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh perangkat daerah dan pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah dan usaha daerah lainnya.
19
3.
Pelaksanaan pemeriksaan, pengujian dan penilaian atas kinerja perangkat daerah dan Badan Usaha Milik Daerah serta usaha daerah lainnya.
4.
Pelaksanaan
pengusutan
dan
penyelidikan
terhadap
dugaan
penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang baik berdasarkan temuan hasil pemeriksaan maupun pengaduan atau informasi dari berbagai pihak 5.
Pelaksanaan pemeriksaan, pengujian dan penilaian atas kinerja perangkat daerah dan Badan Usaha Milik Daerah serta usaha daerah lainnya
6.
Pelaksanaan
pengusutan
dan
penyelidikan
terhadap
dugaan
penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang baik berdasarkan temuan hasil pemeriksaan maupun pengaduan atau informasi dari berbagai pihak 7.
Pelaksanaan tindakan awal sebagai pengamanan diri terhadap dugaan penyimpangan yang dapat merugikan daerah
8.
Pelaksanaan fasilitasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah melalui pemberian konsultasi
9.
Pelaksanaan koordinasi tindak lanjut hasil pemeriksaan. Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)
10. Pelaksanaan pelayanan informasi pengawasan kepada semua pihak. 11. Pelaksanaan
koordinasi
dan kerja sama dengan pihak
yang
berkompeten dalam rangka menunjang kelan-caran tugas pengawasan.
20
12. Pelaporan hasil pengawasan disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada DPRD. 13. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh gubernur.
2.1.5. Fungsi Inspektorat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 2008 menetapkan bahwa inspektorat kabupaten/kota mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengawasan yang meliputi pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan serta keuangan dan kekayaan daerah. Fungsi inspektorat provinsi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 2008, meliputi hal berikut ini. 1.
Perencanaan program pengawasan.
2.
Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan.
3.
Pembinaan dan pelaksanaan pengawasan meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan serta keuangan dan kekayaan daerah.
4.
Pemeriksaan, pengusutan pengujian dan penilaian tugas pengawasan.
5.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya, sedangkan inspektorat kabupaten/kota mempunyai kedudukan, tugas pokok dan fungsi yang hampir sama tetapi dalam konteks kabapaten/kota masing-masing yang diatur dan ditetapkan dengan perda masing-masing kabapaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21
2.2 Kohesivitas Kelompok Kerja 2.2.1 Definisi Kohesivitas Kelompok Kerja Kelompok kerja menjadi suatu hal yang sangat penting saat ini. Bekerja dalam sebuah kelompok tentu saja memberikan keuntungan dibandingkan dengan bekerja sendiri. Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan kelompok sebagai sekelompok orang yang dipersepsikan terikat satu sama lain dalam sebuah unit yang koheren pada derajat tertentu. Faktor-faktor yang menyebabkan anggota kelompok bertahan dalam kelompok inilah yang disebut kohesivitas. Menurut George dan Jones (2002), kohesivitas kelompok adalah anggota kelompok yang memiliki daya tarik satu sama lain. Kelompok kerja yang kohesivitasnya tinggi adalah saling tertarik pada setiap anggota, kelompok yang kohesivitasnya rendah adalah tidak saling tertarik satu sama lain. Mcshane dan Glinow (2003) mengatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Karyawan merasa kompok adalah ketika mereka percaya kelompok mereka akan membantu mereka menyelesaikan tujuan mereka, saling mengisi kebutuhan mereka, atau memberikan dukungan sosial selama masa krisis. Greenberg (2005) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok kerja adalah perasaan dalam kebersamaan antar anggota kelompok. Tingginya kohesivitas kelompok kerja berarti tiap anggota dalam kelompok saling berinteraksi satu sama lain, mendapatkan tujuan mereka, dan saling membantu di tiap pertemuan, dan
22
bila kelompok kerja tidak kompak maka tiap anggota kelompok akan saling tidak menyukai satu sama lain dan mungkin terjadi perbedaan pendapat. Robbins (2001) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah sajauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Misalnya, karyawan suatu kelompok kerja yang kompak karena menghabiskan banyak waktu bersama, atau kelompok yang berukuran kecil menyediakan sarana interaksi yang lebih intensif, atau kelompok yang telah berpengalaman dalam menghadapi ancaman dari luar menyebabkan anggotanya lebih dekat satu sama lain. Gibson (2003) mengungkapkan bahwa kohesivitas kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya dari pada terhadap kelompok lain. Mengikuti kelompok akan memberikan rasa kebersamaan dan rasa semangat dalam bekerja. Kohesivitas kelompok, menurut Man dan Lam (2003), adalah sebuah proses dinamis yang mencerminkan kecenderungan anggota kelompok untuk selalu bersama dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. Certo (2003) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan memiliki anggota yang ingin tetap tinggal dalam kelompok selama mengalami tekanan dalam kelompok. Kohesivitas dalam kelompok terdapat pekerja yang bekerja keras dari pada kelompok lain dan lebih objektif dalam menyelesaikan tugas. Forsyth (1999) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interkasi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan di dalamnya terdapat semangat kerja
23
yang tinggi. Berdasarkan pendapat diatas, maka disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok kerja merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok kerja dimana adanya rasa saling menyukai, membantu, dan secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok kerja dalam mencapai satu tujuan.
2.2.2. Karakteristik Kelompok Kohesif Stott dan Walker (dalam Supramono, 2007) menyatakan karakteristik kelompok yang kohesif, meliputi hal berikut ini. 1.
Dorongan yang kuat untuk menjaga identitas dan integritas kelompok.
2.
Tingkat perpecahan yang rendah dengan kepercayaan yang menyertai bahwa hal itu dapat disingkirkan.
3.
Kemampuan beradaptasi dengan perubahan melalui penyesuaian interpersonal.
4.
In-group feeling yang kuat.
5.
Tujuan atau target dan nilai-nilai yang dianut bersama anggota kelompok.
6.
Komunikasi interpersonal yang terbuka.
7.
Perasaan bangga berada dalam tim.
Karakteristik di atas menekankan pada perasaan-perasaan yang ada pada anggota kelompok yang kohesif. Anggota kelompok kohesif akan mempunyai perasaan-perasaan tertentu pada timnya yang berbeda dengan perasaan yang ada pada anggota kelompok yang tidak kohesif. Nibler dan Harris (2003) menjelaskan bahwa kelompok dengan kohesivitas rendah terdiri dari individu yang memiliki
24
interaksi yang rendah antar anggota-anggotanya. Konsekuensinya, tidak ada interaksi timbal balik antar anggota kelompok. Di lain pihak, kelompok dengan kohesivitas tinggi terdiri atas individu yang membentuk kelompok berdasarkan hubungan daya tarik. Interaksi yang saling menguntungkan antar anggota kelompok ini tentu saja akan terus berlanjut dan menghasilkan produktivitas yang baik. Menurut Man dan Lam (2003), semakin tinggi derajat kohesivitas maka akan meningkatkan kesempatan untuk saling berinteraksi dalam kelompok dan lebih mudah dalam membuat keputusan bersama. Semakin tinggi kohesivitas juga akan semakin memudah untuk mengatasi perbedaan dalam kelompok. Kohesivitas kelompok dapat menularkan dan mengembangkan sikap “pasti bisa” yang nantinya akan meningkatkan efektivitas kinerja. Johnson (1991) dalam Supramono (2007) menambahkan bahwa interaksi dan ketertarikan antar anggota kelompok memainkan peranan penting dalam prestasi kelompok. Lebih lanjut dikatakan, kelompok yang seluruh anggotanya saling tarik menarik secara kuat dalam kelompoknya akan bekerja dengan baik. Kelompok seperti ini akan memiliki semangat tinggi, motivasi kuat, dan tekanan kuat untuk melawan konflik yang dapat mengganggu prestasi kelompok. Kualitas kelompok seperti ini disebut kelompok yang kohesif. Masih menurut Johnson (1991) dalam Supramono (2007), semakin kuat daya tarik-menarik satu anggota dengan anggota lain, dan semakin tertarik dengan kelompok, maka kohesivitas kelompok semakin besar. Kelompok yang kohesif merupakan sumber keamanan bagi anggota kelompok karena kondisi tersebut
25
mengurangi kecemasan dan mempertinggi tingkat harga diri, merasa diterima dan dibutuhkan oleh anggota kelompok lain. Penerimaan diri ini berhubungan dengan partisipasi anggota dalam kelompok. Semakin besar rasa penerimaan itu, semakin suka orang berpartisipasi dalam kelompok. Supramono (2007) menyatakan bahwa karakteristik kelompok yang kohesif ialah anggota kelompok mempunyai hasrat yang kuat untuk tetap bertahan dalam kelompok, adanya kebanggaan terhadap kelompok, anggota kelompok mempunyai kesepakatan mengenai target dan tujuan kelompok, anggota kelompok memberikan kontribusi optimal dalam pencapaian tujuan kelompok, komunikasi yang terbuka diantara anggota kelompok, kepuasan anggota kelompok yang tinggi, produktivitas kelompok yang tinggi.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Kohesivitas Kelompok Kerja Kohesivitas sangat penting dalam kehidupan organisasi, karena tanpa memperhatikan kohesivitas, kehidupan organisasi akan menjadi kacau, dan loyalitas anggota tidak akan cukup untuk menahan beban organisasi. Mason (2004) menyatakan bahwa kohesivitas dipengaruhi banyak hal. Beberapa tercipta secara alami, sedang yang lainnya terbentuk akibat pengaruh tujuan organisasi, struktur dan strategi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kohesivitas menurut Mason, (2004) adalah berikut ini. 1.
Kegiatan-kegiatan kelompok. Ikut berpartisipasi dalam acara-acara yang diselenggarakan bersama akan mendorong anggota untuk berbagi nilai sejarah, tujuan, dan aktivitas kelompok.
26
2.
Simbol. Simbol dapat meliputi seragam, bendera, cincin, pin, dan sebagainya. Simbol tersebut dapat menjadi pembeda antara anggota kelompok dengan komunitas luar.
3.
Komunikasi. Individu membutuhkan pengingat yang teratur mengenai tradisi, visi dan misi kelompok. Memuji pekerjaan yang baik yang telah dilakukan oleh individu dalam mengerjakan tugas kelompok harus menjadi bagian dalam sistem reward. Shultz (2003) dalam Rachmawati (2009) berpendapat bahwa untuk membangun kohesivitas kelompok dapat dilakukan dengan tindakan nyata seperti mengkritik anggota lain tidak didepan umum, memuji anggota lain secara terbuka, dan selalu ingat untuk mengatakan terima kasih atas apa yang telah orang lain lakukan. Komunikasi dalam sebuah kelompok adalah suatu hal penting yang menyatukan banyak bagian menuju kohesivitas yang tinggi.
4.
Komunitas. Komunitas yang ada akan menimbulkan perasaan “di sinilah saya berada, ini orang-orang saya, saya peduli dengan mereka, mereka peduli dengan saya, saya bagian dari mereka”.
5.
Mimpi. Setiap kelompok mempunyai mimpi. Mimpi tersebut meliputi hasil dari aspirasi tiap anggota kelompok. Saat seseorang percaya bahwa sesuatu hal akan terjadi, mereka akan bertindak seakan-akan hal itu akan terjadi, dan biasanya hal itu akan terjadi.
6.
Ancaman luar. Tidak ada kekuatan yang dapat menahan ancaman luar, yaitu musuh. Nyata atau tidak, musuh meningkatkan kohesivitas. Semakin kuat ancaman maka semakin kuat ikatan dalam kelompok.
27
7.
Prospek masa depan. Kohesivitas dipengaruhi oleh apakah organisasi tersebut memiliki prospek yang baik atau tidak. Saat prospek masa depan semakin gelap, anggota akan semakin mencari-cari kesalahan atas kegagalan, dan banyak yang akan berpaling dari kelompok. Saat prospek kelompok cerah dan mampu menjamin masa depan, maka anggota akan tetap berada dalam kelompok. Sebuah harapan menjadi faktor yang penting saat mengerjakan tugas kelompok atau individu.
8.
Homogenitas. Semakin homogen sebuah kelompok, maka semakin mudah untuk menciptakan kohesivitas kelompok. Homogenitas dapat tercipta karena kesamaan latar belakang atau kesamaan nilai dan tujuan yang ditimbulkan oleh anggota kelompok. Saat anggota memiliki sifat yang sama, dan pandangan yang sama mengenai hidup, maka kohesivitas akan meningkat secara cepat.
9.
Interaksi. Semakin sering anggota bekerja bersama, maka semakin mudah untuk terciptanya kohesivitas. Semakin dekat seseorang dalam bekerja sama menyebabkan individu untuk berinteraksi, dan semakin mudah hubungan sosial untuk berkembang. Semakin sering kelompok berinteraksi maka akan semakin kohesif kelompoknya.
10. Pencitraan. Saat anggota merasa bahwa kelompoknya mampu meningkatkan citra serta harga diri mereka, maka kohesivitas akan meningkat.
28
11. Keterbukaan. Anggota harus merasakan keterbukaan dalam organisasi. Jika anggota merasakan ketidakjujuran dalam organisasi, maka kohesivitas akan kacau. 12. Kepemimpinan. Kepemimpinan memberikan magnet tersendiri bagi kohesivitas. Tipe kepemimpinan kharismatik sangat berpengaruh pada organisasi non profit, karena tipe kepemimpinan kharismatik dapat menjadi panutan yang akhirnya akan meningkatkan sistem nilai organisasi. 13. Prinsip kepunyaan. Organisasi menjadi lebih kohesif saat anggota kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk mendesain, mengaplikasikan, dan membuat sebuah keberhasilan berdasarkan kerja kerasnya. Partisipasi dalam kelompok akan mempertegas identitas individu dalam kelompoknya. 14. Berbagi pengalaman. Semakin sering anggota melakukan sharing atau berbagi pengalaman, maka akan semakin kohesif kelompok mereka. Berbagi cerita kesuksesan atau bahkan kegagalan akan semakin mengikat kelompok. 15. Sosialisasi. Kegiatan rapat, makan, minum, dan bersenang-senang akan menciptakan kohesivitas. Hal tersebut dapat memfasilitasi pertemanan dan menciptakan kohesivitas serta kepercayaan. 16. Waktu. Semakin lama kelompok tersebut terbentuk, maka semakin kohesif. Jika tidak ada hal lain, waktu memberikan kesempatan bagi
29
setiap anggota untuk mempunyai pengalaman yang sama, pengaruh yang sama terhadap pemimpin, dan komunikasi yang baik. Robbins dan Judge (2008) berpendapat bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi kohesivitas, yaitu berikut ini. 1.
Ukuran kelompok. Kohesivitas dapat meningkat dengan mengecilkan ukuran kelompok. Semakin kecil ukuran suatu kelompok maka akan semakin kohesif kelompoknya.
2.
Kesepakatan terhadap tujuan kelompok. Kesepakatan terhadap tujuan kelompok ini akan meningkatkan kohesivitas. Kelompok yang telah mempunyai kesepakatan yang jelas akan tujuan kelompok akan menjadi lebih kohesif.
3.
Interaksi antar anggota. Jumlah interaksi akan berpengaruh terhadap kohesivitas. Kelompok yang lebih banyak melakukan interaksi, cenderung lebih kohesif. Interaksi dalam kelompok menunjukkan bahwa adanya komunikasi antar anggota kelompok. Jadi dapat dikatakan
bahwa
komunikasi
antar
anggota
kelompok
akan
mempengaruhi kohesivitas. 4.
Status kelompok. Semakin tinggi status semakin sulit untuk menjadi anggota, maka akan mempengaruhi kohesivitas kelompok tersebut. Status tinggi dan tingkat kesulitan tinggi untuk menjadi anggota kelompok
akan
cenderung
membuat
kelompok
lebih
dibandingkan dengan kelompok dengan status yang rendah.
kohesif
30
5.
Kompetisi antar kelompok. Kelompok yang berkompetisi dengan kelompok lain akan meningkatkan kohesivitas dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami kompetisi.
6.
Sistem reward. Sistem reward harus dirancang untuk memberi penghargaan kepada setiap anggota untuk membuat kelompok menjadi lebih kohesif.
7.
Isolasi kelompok. Kelompok yang terisolasi lingkungan luar cenderung lebih kohesif, karena individu di dalam kelompok merasa aman di dalam kelompok daripada di luar kelompok.
Supramono (2007) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kohesivitas menjadi tiga, yaitu berikut ini. 1.
Faktor input. Faktor input mempengaruhi kohesivitas berdasarkan karakteristik ketika kelompok tersebut terbentuk. Faktor input meliputi ukuran kelompok, minat anggota kelompok, kepribadian anggota kelompok, dan tujuan kelompok.
2.
Faktor proses. Faktor ini berpengaruh dan muncul ketika proses dalam kelompok sedang berlangsung. Adapun yang termasuk faktor proses adalah
kedekatan
hubungan
interpersonal
anggota
kelompok,
kebersamaan diantara anggota kelompok, interaksi dan komunikasi antar anggota kelompok, penggunaan waktu, dan kesulitan ketika akan menjadi anggota kelompok. 3.
Faktor eksternal. Faktor ini berpengaruh dan muncul dari luar. Faktor eksternal meliputi: tantangan atau tekanan dari luar, status kelompok,
31
kompetisi antar kelompok, sistem reward, isolasi yang dialami kelompok, dan sejarah kesuksesan kelompok.
2.2.4 Aspek-Aspek Kohesivitas Kelompok Cota (1995) dalam Supramono (2007) juga mengungkap aspek-aspek kohesivitas yang lebih lengkap lagi, yaitu berikut ini. 1.
Integrasi kelompok dalam tugas (group integration-task), persepsi anggota kelompok terhadap persamaan dan kedekatan tim dalam menyelesaikan tugas.
2.
Integrasi kelompok secara sosial (group integration-social), persepsi anggota kelompok terhadap kedekatan dan keakraban tim dalam aktivitas sosial.
3.
Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attraction to group-task), persepsi anggota kelompok terhadap keterlibatan diri pada tugas kelompok.
4.
Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attraction to group-social), persepsi anggota kelompok terhadap keterlibatan interaksi sosial dalam kelompok.
2.3 Independensi 2.3.1 Pengertian Independensi Independensi merupaka sikap yang tidak memihak atau yang tidak dikendalikan oleh pihak luar maupun didalam diri auditor sendiri. Mulyadi (2002) menyatakan bahwa independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh,
32
tidak dikendalikan pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanua pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapat. Arens et al. (2000) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit. Menurut Messier et al. (2005), independensi merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh profesi auditor. Independensi menghindarkan hubungan yang mungkin mengganggu obyektivitas auditor.
2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Independensi Peraturan Badan Pemeriksaan Republik Indonesia No. 01 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, yaitu dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.
2.3.2.1. Gangguan Pribadi Organisasi pemeriksa harus memiliki sistem pengendalian mutu intern untuk membantu menentukan apakah pemeriksa memiliki gangguan pribadi terhadap independensi. Organisasi pemeriksa perlu memperhatikan gangguan pribadi terhadap independensi petugas pemeriksanya. Gangguan pribadi yang disebabkan oleh suatu hubungan dan pandangan pribadi mungkin mengakibatkan
33
pemeriksa membatasi lingkup pertanyaan dan pengungkapan atau melemahkan temuan dalam segala bentuknya. Pemeriksa bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dalam organisasi pemeriksanya apabila memiliki gangguan pribadi terhadap independensi. Gangguan pribadi dari pemeriksa secara individu meliputi antara lain berikut ini. 1.
Memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan jajaran manajemen entitas atau program yang diperiksa atau sebagai pegawai dari entitas yang diperiksa, dalam posisi yang dapat memberikan pengaruh langsung dan signifikan terhadap entitas atau program yang diperiksa.
2.
Memiliki kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung pada entitas atau program yang diperiksa.
3.
Pernah bekerja atau memberikan jasa kepada entitas atau program yang diperiksa dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
4.
Mempunyai hubungan kerjasama dengan entitas atau program yang diperiksa.
5.
Terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan obyek pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultasi, pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereviu laporan keuangan entitas atau program yang diperiksa.
6.
Adanya prasangka terhadap perorangan, kelompok, organisasi atau tujuan
34
7.
Suatu program yang dapat membuat pelaksanaan pemeriksaan menjadi berat sebelah.
8.
Pada
masa
sebelumnya
mempunyai
tanggung
jawab
dalam
pengambilan keputusan atau pengelolaan suatu entitas yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan atau program entitas yang sedang berjalan atau sedang diperiksa. 9.
Memiliki tanggung jawab untuk mengatur suatu entitas atau kapasitas yang dapat mempengaruhi keputusan entitas atau program yang diperiksa, misalnya sebagai seorang direktur, pejabat atau posisi senior lainnya dari entitas, aktivitas atau program yang diperiksa atau sebagai anggota manajemen dalam setiap pengambilan keputusan, pengawasan atau fungsi monitoring terhadap entitas, aktivitas atau program yang diperiksa.
10. Adanya kecenderungan untuk memihak, karena keyakinan politik atau sosial, sebagai akibat hubungan antar pegawai, kesetiaan kelompok, organisasi atau tingkat pemerintahan tertentu. 11. Pelaksanaan pemeriksaan oleh seorang pemeriksa yang sebelumnya pernah sebagai pejabat yang menyetujui faktur, daftar gaji, klaim, dan pembayaran yang diusulkan oleh suatu entitas atau program yang diperiksa. 12. Pelaksanaan pemeriksaan oleh seorang pemeriksa yang sebelumnya pernah menyelenggarakan catatan akuntansi resmi atas entitas/unit kerja atau program yang diperiksa.
35
13. Mencari pekerjaan pada entitas yang diperiksa selama pelaksanaan pemeriksaan.
2.3.2.2 Gangguan Eksternal Gangguan ekstern bagi organisasi pemeriksa dapat membatasi pelaksanaan pemeriksaan atau mempengaruhi kemampuan pemeriksa dalam menyatakan pendapat atau simpulan hasil pemeriksaannya secara independen dan obyektif. Independensi dan obyektifitas pelaksanaan suatu pemeriksaan dapat dipengaruhi apabila terdapat hal-hal berikut ini. 1.
Campur tangan atau pengaruh pihak ekstern yang membatasi atau mengubah lingkup pemeriksaan secara tidak semestinya.
2.
Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan prosedur pemeriksaan atau pemilihan sampel pemeriksaan.
3.
Pembatasan waktu yang tidak wajar untuk penyelesaian suatu pemeriksaan.
4.
Campur tangan pihak ekstern mengenai penugasan, penunjukan, dan promosi pemeriksa.
5.
Pembatasan terhadap sumber daya yang disediakan bagi organisasi pemeriksa yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan organisasi pemeriksa tersebut dalam melaksanakan pemeriksaan.
6.
Wewenang
untuk
menolak
atau
mempengaruhi
pemeriksa terhadap isi suatu laporan hasil pemeriksaan.
pertimbangan
36
7.
Ancaman penggantian petugas pemeriksa atas ketidaksetujuan dengan isi laporan hasil pemeriksaan, simpulan pemeriksa, atau penerapan suatu prinsip akuntansi atau kriteria lainnya.
8.
Pengaruh yang membahayakan kelangsungan pemeriksa sebagai pegawai, selain sebab-sebab yang berkaitan dengan kecakapan pemeriksa atau kebutuhan pemeriksaan.
2.3.2.3 Gangguan Organisasi Independensi organisasi pemeriksa dapat dipengaruhi oleh kedudukan, fungsi, dan struktur organisasinya. Dalam hal melakukan pemeriksaan, organisasi pemeriksa harus bebas dari hambatan independensi. Pemeriksa yang ditugasi oleh organisasi pemeriksa dapat dipandang bebas dari gangguan terhadap independensi secara organisasi, apabila melakukan pemeriksaan di luar entitas tempat ia bekerja.
2.4 Faktor-Faktor Individual Faktor-faktor individual dalam penelitian ini meliputi pengalaman audit dan tingkat pendidikan yang dijelaskan sebagai berikut ini.
2.4.1 Pengalaman Audit Pengalaman audit merupakan suatu pekerjaan audit membutuh waku lama untuk memahami betul tentang masalah audit sehingga auditor terbiasa dan dengan mudah dalam melakukan audit. Kusumastuti (2008) menyatakan bahwa pengalaman adalah keseluruhan perjalanan yang di petik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang di alami dalam perjalanan hidupnya. Pengalaman
37
berdasarkan lama bekerja merupakan pengalaman auditor yang dihitung berdasarkan suatu waktu atau tahun. Auditor yang telah lama bekerja sebagai auditor dapat dikatakan berpengalaman, karena semakin lama bekerja menjadi auditor, maka akan dapat menambah dan memperluas pengetahuan auditor dibidang akuntansi dan dibidang auditing. Sukriah (2009) menyimpulkan bahwa semakin banyak pengalaman kerja seorang auditor maka semakin meningkat kualitas hasil pemeriksaan yang dilakukan. Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya akan memberikan hasil yang baik daripada mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam menjalankan tugasnya. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin lama seseorang bekerja, maka semakin banyak pengalaman yang dimiliki pekerja tersebut. Sebaliknya, semakin singkat masa kerja berarti semakin sedikit pengalaman yang diperolehnya. Pengalaman bekerja memiliki keahlian dan keterampilan kerja yang cukup. Namun sebaliknya, keterbatasan kerja mengakibatkan tingkat keterampilan dan keahlian yang dimiliki semakin rendah. Kebiasaan untuk melakukan tugas dan pekerjaan sejenis merupakan sarana positif untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja.
2.4.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan juga sangat diperlukan dalam menentukan efektivitas audit. Semakin banyak pengetahuan yang didapat maka akan memudahkan auditor dalam memecahkan masalah dalam melaksanakan tugas audit. Menurut Gorda (2004) dalam Laksmi (2010), pendidikan adalah kegiatan untuk meperbaiki dan mengembangkan sumber daya manusia dengan cara meningkatkan
38
kemampuan dan pengertian tentang pengetahuan umum dan pengetahuan ekonomi termasuk didalamnya peningkatan pengetahuan teori dan ketrampilan dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi perusahaan. Futri dan Juliarsa (2014) menyatakan dalam penelitian mereka bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki seorang auditor akan meningkatkan kualitasnya, karena dengan jenjang pendidikan yang tinggi. Hal ini berkecendrungan kuat akan meningkatkan wawasan serta kemampuan seorang auditor untuk memegang tanggung jawab serta meningkatkan perannya dalam menjalankan tugasnya. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula tentunya akses informasi yang dimilikinya menjadi lebih banyak sehingga kompetensi dalam menjalankan tugas akan semakin meningkat dan hal itu akan berdampak pada peningkatan kualitasnya.
2.5 Landasan Teori 2.5.1 Teori Keagenan Teori Keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan bahwa organisasi sebagai suatu hubungan kerja sama antara pemegang saham (prinsipal) dan manajer (agent) berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Manajer tidak menanggung resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan, dan resiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham (prinsipal). Oleh karena itu, para manajer cenderung melakukan
39
pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya, seperti peningkatan gaji dan status. Menurut Eisenhard (1989) dalam Sebani (2005), teori keagenan dilandasi tiga buah asumsi, yaitu: (1) asumsi tentang sifat manusia, (2) asumsi tentang keorganisasian, dan (c) asumsi tentang informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingakan diri sendiri, memiliki keterbatasan rasionalitas, dan tidak menyukai risiko. Asumsi keorganisasian adalah adanaya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asimetri informasi meruapakan informasi yang tidak seimbang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalama hal ini, prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur keberhasilan yang diperolah oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kenerja agen yang sesunggungnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agaen. Jensen dan Meckling (1976) dalam Arifah (2012) menyatakan permasalahan tersebut sebagai berikut. 1.
Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
40
2.
Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benarbenar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Praktek teori agensi pada entitas sektor publik di Indonesia, Halim dan Abdullah (2010) menyatakan berdasarkan UU22/1999 legislatif memiliki kewengan untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara eksekutif dan legislatif, dimana
legislatif
memiliki
kekuasaan
yang
tinggi.
Artinya,
legislatif
mendelegasikan suatu kewengan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan kunsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tesebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepatakan atau kontrak, yakni yang memberikan kewengan atau kekuasaan (disebut prinsipal) dan yang menerima kewengan (disebut agen). Dalam suatu organisasi, hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai prinsipal) dan pihak bawahan (sebagai agen). Teori tentanga hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan. Hubungan eksekutif-legislatif seperti disebut di atas menjadi lebih menarik dengan diamandemennya UU 22/1999 menjadi UU Nomer 32 tahun 2004 tentang
41
Pemerintahan Daerah. Pada UU terbaru tersebut terjadi perubahan posisi “luasnya kekuasaan” atau kesejajaran antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewengan kepada agen seperti pemerintah atau penitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa pemerintah daerah sebagai agen dan DPRD sebagai prinsipal, sedangkan fungsi DPRD sebagai pengawas kinerja pemerintah daerah sekaligus mengawasi keuangannya. Fungsi pemerintahan daerah itu sendiri adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan-peraturan yang berlaku. selain memberi pelayanan kepada masyarakat, pemerintah wajib melaporakan hasil kinerja (keuangan) kepada DPRD untuk dievaluasi sehingga dapat mengambil keputusan untuk kegiatan operasional pemerintah selanjutnya.
2.5.2 Teori Atribut Teori atribusi menjelaskan bahwa tindakan seorang pemimpin maupun orang yang diberikan wewenang dipengaruhi oleh atribut penyebab (Green and Mitchell, dalam Waworuntu, 2003). Teori atribusi merupakan perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktorfaktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Ikhsan & Ishak, 2005).
42
Menurut Robbins (2006), teori atribusi menyatakan bahwa bila individu-individu mengamati perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah itu ditimbulkan secara internal atau eksternal. Teori atribusi menurut Ikhsan dan Ishak (2005) merupakan suatu proses untuk menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilaku seseorang. Teori ini ingin menjelaskan tentang perilaku seseorang terhadap peristiwa di sekitarnya dan mengetahui alasan-alasan melakukan perilaku seperti itu. Teori atribusi yang dikemukakan oleh Robbins (2006) menjelaskan perilaku seseorang yang disebabkan oleh faktor internal atau faktor eksternal. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori atribusi adalah teori yang menjelaskan upaya untuk memahami penyebab dibalik perilaku orang lain. Perilaku individu menurut Robbins (2006) disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Perilaku yang disebabkan oleh faktor internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali atau berasal dari dalam diri individu seperti ciri kepribadian, motivasi atau kemampuan. Perilaku yang disebabkan oleh faktor eksternal adalah perilaku yang diyakini sebagai hasil dari sebab-sebab luar atau berasal dari luar diri individu seperti peralatan atau pengaruh sosial dari orang lain (Kusumastuti, 2012). Dalam konteks pemerintah daerah, khususnya auditor inspektor, dari uraian diatas menunjukkan bahwa perilaku seorang auditor inspektorat akan memperngaruhi terhadap efektivitas audit adalah salah satunya perilaku kekompakan dalam kelompok audit dan perilaku independensi dalam melakukan audit.
43
2.5.3. Teori Harapan Teori harapan memprediksi bahwa karyawan akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila mereka merasa bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja, kinerja dan penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuan-tujuan pribadi. Setiap hubungan ini akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Supaya usaha menghasilkan kinerja yang baik, individu harus mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja, dan sistem penilaian kinerja yang mengukur kinerja individu tersebut harus dipandang adil dan objektif. Hubungan kinerja – penghargaan akan menjadi kuat bila individu merasa bahwa yang diberi penghargaan adalah kinerja (bukannya senioritas, alasan pribadi, atau kriteria lainnya). Hubungan terakhir dalam teori harapan adalah hubungan penghargaan – tujuan. Motivasi akan tinggi sampai tingkat di mana penghargaan yang diterima seorang individu atas kinerja yang tinggi memenuhi kebutuhan-kebutuhan dominan yang konsisten dengan tujuan-tujuan individual (Robbins, 2008). Konsisten dengan teori harapan, usaha harus ditingkatkan ketika karyawan melihat bahwa penghargaan diberikan berdasarkan kriteria kinerja. Kinerja karyawan adalah sebuah fungsi (f) dari interaksi kemampuan (A) dan motivasi (M); yaitu kinerja = f(A x M). apabila salah satu dari keduanya tidak memadai, kinerja akan dipengaruhi secara negatif. Jadi, selain motivasi, kemampuan (berupa kecerdasan dan keterampilan) seorang individu harus dipertimbangkan ketika menjelaskan dan memprediksi kinerja karyawan dengan akurat. Tetapi, ternyata masih ada satu faktor lagi. Faktor itu adalah peluang untuk bekerja (opportunity to
44
perform, O), sehingga terbentuk fungsi kinerja = f(A x M x O). Meskipun seorang individu bersedia dan
mampu, mungkin ada rintangan-rintangan
yang
menghalangi kinerja (Robbins, 2008). Dalam konteks pemerintahan daerah khususnya di inspektorat, uraian diatas menunjukkan bahwa masyarakat mengharapkan kepada audit internal pemerintah atau inspektorat agar kinerjanya sesuai dengan perundang-undang yang berlaku. Untuk memenuhi harapan-harapan masyarakat tersebut, inspektorat harus bersunggung-sunggung dalam melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah sesuai dengan aturan-aturan maka masyarakat akan percaya dan mendukungnya apabila inspektorat benar-benar melaksanakan sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh perundang-undangan.
2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengerahui efektivitas audit atau kenerja auditor telah banyak dilakukan (Muh. Taufiq Efendy, 2010; Harvita Yulian Ayuningtyas, 2013; Latifa Agustina, 2010; Nenni Yulistiyani, 2014; Ely Wani, Lismawati, dan Nila Aprilla, 2010; Murtiadi Awaluddin, 2013; Adelia Lukyta Arumasri, 2014; Sri Trisnanigsih, 2007; Endah Wulandari dan Heru Kurnianto Tjahjono, 2011; Agus Mulyono, 2009; Putu Septiani Futri dan Gede Juliarsa, 2014; Putu Ira Indayani, Edy Sujana, dan Luh Gede Emi Sulindawati, 2015; Made Wicaksana dan Ketut Budiartha, 2015; Arief Wibowo, 2012; Arif Yusri, 2013; Putu Gede Jurnaedi, Lucy Sri Musmini dan Anatawikrama Tunggu Atmadja, 2014;). Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu independensi, faktor-faktor individual, dan kohesivitas kelompok kerja.
45
Penelitian terdahulu terkait independensi yang mempengaruhi efektivitas audit atau kinerja auditor (Efendy, 2010; dan Ayuningtyas, 2013). Hasil penelitian penunjukkan bahwa independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit aparat inspektorat. Berbeda dengan hasil penelitian lain bahwa indpendensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit atau keinerja auditor yang dilakukan oleh beberapa peneliti, yaitu Latifa Agustina 2010;
Enni Yulistiyani, 2014; Ely Wani,
Lismawati, dan Nila Aprilla, 2010; Murtiadi Awaluddin, 2013; Adelia Lukyta Arumasri, 2014; Sri Trisnanigsih, 2007; Endah Wulandari dan Heru Kurnianto Tjahjono, 2011; Putu Septiani Futri dan Gede Juliarsa, 2014; dan Arif Yusri, 2013. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang tidak konsisten Penelitian terdahulu terkait dengan faktor-faktor individual yang terdiri dari pengalaman audit dan tingkat pendidikan, yaitu Putu Gede Jurnaedi, Lucy Sri Musmini dan Anatawikrama Tunggu Atmadja 2014; Made Wicaksana dan Ketut Budiartha, 2015; Putu Ira Indayani, Edy Sujana, dan Luh Gede Emi Sulindawati, 2015; Putu Septiani Futri dan Gede Juliarsa, 2014; dan Agus Mulyono, 2009. Hasil beberapa penelitian terkait pengalaman audit dan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa pengalaman audit dan tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap kualitas audit dan kinerja auditor. Penelitian terdahulu tentang kohesivitas kelompok kerja yang pernah dilakukan oleh Arief Wibowo (2012). Penelitiannya untuk mengetahui pengaruh persepsi individu tentang kohesivitas kelompok kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja auditor BPK RI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kohesivita
46
kelompok kerja dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja auditor BPK RI. Motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja auditor. Kohesivitas kelompok kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor BPK RI melalui motivasi kerja. Penelitian yang terkait dengan kohesivitas kelompok kerja sebagai variabel mediasi yang pernah dilakukan oleh Pramusari (2009). Penelitiannya untuk mengetahui hubungan antara pertukaran atasan-bawahan (LMX-leader behavior (OCB) yang dimediasi oleh kohesivitas kelompok pada kantor pertanahan kota administrasi Jakarta Selatan. Hasilnya penunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara LMX dan OCB yang dimediasi oleh kohesivitas kelompok.
47
Tabel 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu No
Nama dan Tahun Penelitian
Metode Analisis
Variabel Independen
variabel Dependen
Muh. Taufiq Efendy (2010)
Regresi linear berganda
Kompetensi, independensi, dan motivasi
Kualitas audit apart inspektorat
Kompetensi dan motivasi berpengaruh positif terhadap kualitas audit apara inspektorat. Variabel independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit aparat inspektorat
Harvita Yulian Ayuningtyas (2013)
Regresi liner berganda
Pengalaman kerja, independensi, obyektivitas, integrasi dan kompetensi
Kualitas hasil audit
Obyektivitas, integrasi dan kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil audit. Pengalaman kerja dan independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas hasil audit
Latifa Agustina (2010)
Regresi berganda
Kompetensi dan independensi
Efektivitas peran audit internal dalam mewujudkan good corporate governance
Kompetensi dan independensi berpengaruh positif terhadap efektivitas peran audit internal dalam mewujudkan good corporate governance
1
2
3
Variabel Kontrol
Hasil Penelitian
48
Lanjutan Tabel 2.1 No
Nama dan Tahun Penelitian Nenni Yulistiyani (2014)
Metode Analisis Uji t
Variabel Independen Independensi, gaya kepemimpian, komitmen oraganisasi dan budaya organisasi
variabel Dependen Kinerja auditor
Alwa Pascaselnofra Amril (2013)
Kualitatif
Efektivitas dan efisien
Ely Wani, Lismawati, dan Nila Aprilla (2010)
Regresi berganda
Murtiadi Awaluddin (2013)
SEM
Independensi, gaya kepemiminan, komitmen organisasi, dan pemahaman good governance Independensi dan kompetensi
Penetapan fungsi internal audit pada pemerintah kabupaten Padang Pariaman Kinerja auditor pemerintah
4
5
6
7
Kepuasan kerja dan kinerja auditor Inspektorat
Variabel Kontrol
Hasil Penelitian Independensi, gaya kepemimpinan, komitmen organisasi dan budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas dan efisien secara umum dapat diterima sepenuhnya. Independensi, gaya kepemimpinan, komitmen organisasi dan pemahaman good governance berpengaruh positif terhadap kinerja auditor pemerintah Independensi dan kompetensi terhadap kepuasan kerja dan kinerja auditor inspektorat
49
Lanjutan Tabel 2.1 No
Nama dan Tahun Penelitian Adelia Lukyta Arumasri (2014)
Metode Analisis Regresi berganda
Sri Trisnanigsih (2007)
SEM
Endah Wulandari dan Heru Kurnianto Tjahjono (2011)
Anova
8
9
10
Variabel Independen Profesionalisme, independensi, etika profesi, budaya organisasi, dan gaya kepemimpinan Independensi dan komitmen orgnisasi sebagai variabel mediasi. pemahaman good governance gaya kepemimpinan dan budaya organisasi
variabel Dependen Kinerja auditor
Variabel Kontrol
Kinerja auditor
Pemahaman good governance tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor, melainkan berpengaruh tidak langsung melalui independensi. Gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor. Budaya organisasi tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor. Secara tidak langsung komitmen organisasi memediasi hubungan antara budaya organisasi terhadap kinerja auditor.
Kompetensi, independensi dan komitmen organisasi
Kinerja auditor pada BPK
Kompetensi, independensi, efective commitment, normative commitment, continuance commitment berpengaruh terhadap kinerja auditor
Hasil Penelitian Profesionalisme, independensi, etika profesi, budaya organisasi, dan gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja auditor
50
Lanjutan Tabel 2.1 No
Nama dan Tahun Penelitian Agus Mulyono (2009)
Metode Analisis Uji F dan secara persial menggunakan uji t
Putu Septiani Futri dan Gede Juliarsa (2014)
Regresi linier berganda
Putu Ira Indayani, Edy Sujana, dan Luh Gede Emi Sulindawati (2015) Made Wicaksana dan Ketut Budiartha (2015)
11
Variabel independen Latar belakang pendidikan, kompetensi teknik, sertifikasi jabatan, dan pendidikan dan pelatihan Independensi, profesionalisme, tingkat pendidikan, etika profesi, pengalaman, dan kepuasan kerja auditor
variabel dependen Kinerja Inspektorat
Kualitas audit pada kantor akuntan publik di Bali
Independensi, profesionalisme, tingkat pendidikan, etika profesi, pengalaman, dan kepuasan kerja auditor berpengaruh terhadap kualitas audit pada kantor akuntan publik di Bali
Regresi liner berganda
Gender,tingkat pendidikan formal dan pengalaman kerja auditor
Kualitas audit
Gender,tingkat pendidikan formal dan pengalaman kerja auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit
Regresi liner berganda
Tingkat pendidikan, pengalaman kerja, komitmen profesional dan disiplin auditor
Rentang waktu penyelesaian audit
Tingkat pendidikan, pengalaman kerja, komitmen profesional dan disiplin auditor berpengaruh positif terhadap rentang waktu penyelesaian audit
12
13
14
Variabel Kontrol
Hasil Penelitian Latar belakang pendidikan, kompetensi teknik, sertifikasi jabatan, dan pendidikan dan pelatihan berpengaruh positif terhadap kinerja inspektorat
51
Lanjutan Tabel 2.1 No
Nama dan Tahun Penelitian Arief Wibowo (2012)
Metode Analisis Regresi liner berganda
Arif Yusri (2013)
Regresi liner berganda
Kompetensi, independensi dan sikap profesional auditor
Kualitas audit dalam meningkatkan kinerja auditor
Pramusari, Diyah (2009)
Regresi berganda
Organizational citizenship behavior (OCB)
Putu Gede Jurnaedi, Lucy Sri Musmini dan Anatawikrama Tunggu Atmadja (2014)
Regresi liner berganda
Pertukaran atasanbawahan (LMXLeader-member exchange) dan kohesivitas kelompok kerja Tingkat pendidikan, formal, pengalaman kerja, tingkat kualifikasi profesi dan etika profesi
Variabel Independen Kohesivitas kelompok kerja dan motivasi
variabel Independen Kinerja auditor BPK RI
15
16
17
18
Kualitas audit
Variabel Kontrol
Hasil Penelitian Kohesivita kelompok kerja dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja auditor BPK RI. Motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja auditor. Kohesivitas kelompok kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor BPK RI melalui motivasi kerja Kompetensi, independensi, dan sikap profesional berpengaruh positif terhadap kualitas audit dalam meningkatkan kinerja auditor Terdapat hubungan positif antara LMX dan OCB yang dimediasi oleh kohesivitas kelompok
Tingkat pendidikan, formal, pengalaman kerja, tingkat kualifikasi profesi dan etika profesi berpengaruh positif terhadap kualitas audit
52
Dari beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa terkait penelitian efektivitas audit internal masih sedikit yang dilakukan di inspektorat. Selaian ini, penelitian terdahulu terkait independensi menunjukkan hasil tidak konsisten. Penelitian terhadap pengaruh tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pada efektivitas audit aparat inspektorat masih sedikit yang malakukannya. Penelitian yang mengenai kohesivitas kelompok kerja di bidang auditing masih sedikit yang melakukannya. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh kohesivitas kelompok kerja dan independensi auditor terhadap efektivitas audit inspektorat. Penelitian ini juga menambahkan beberapa variabel faktor-faktor individual. Selain itu, peneliti menguji variabel kohesivitas kelompok kerja sebagai variabel mediasi antara independensi dan efektivitas audit aparat inspektorat.
2.7 Perumusan Hipotesis 2.7.1 Pengaruh Independensi terhadap Efektivitas Audit Aparat Inspektorat Teori agensi merupakan teori yang di identik dengan prinsipal dan agen yang diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasional ekonomis yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi, tetapi mereka mungkin berbeda rasa dalam preferences, beliefs dan informasi. Dalam suatu negara yang sistem demokrasi, DPR sebagai prinsipal dan pemerintah sebagai agen. Keduanya adalah institusi yang berbeda dan mempunyai fungsi masing-masing yang saling berkaitan untuk kelangsungan suatu negara. Fungsi pemerintah itu sendiri adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan aturan-aturan yang ditentukan, sedangkan fungsi DPR adalah mengawasi kinerja pemerintah. hal ini akan
53
menimbulkan asimetri informasi yang berujung menimbulkan masalah sehingga membutuh pihak independensi, yaitu auditor inspektorat yang melakukan pengauditan laporan keuangan pemerintah daerah, sehingga auditor inspektorat dituntut untuk independensi. Independensi merupakan mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapat (Mulyadi, 2002). Menurut Anggoro (2015) bahwa independensi menjadi salah satu unsur penting bagi pengawas. Sunarto (2003) menyatakan bahwa kompetensi tidaklah cukup, auditor harus bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Aren (2006) yang menyatakan bahwa kompetensi orang-orang yang melaksanakan audit tidak akan ada nilainya jika mereka tidak independensi dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti. Penelitian yang dilakukan Yusri (2013) menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap audit dan dapat menigkatkan kinerja inspektorat. Hal ini konsisten dengan penelitian Agustin (2010) yang menyatakan bahwa independensi audit berpengaruh terhadap efektivitas audit internal. Semakin independensi auditor maka semakin terwujud efektivitas audit. Untuk itu dalam melaksanakan audit agar pelaksanaan audit internal mamadai maka seorang audit
54
internal harus mempunyai independensi yang tinggi secara objektif. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: H1: Independensi auditor berpengaruh positif terhadap efektivitas audit aparat inspektorat.
2.7.2
Pengaruh
Independensi
terhadapa
Efektivitas
Audit
Aparat
Inspektorat Melalui Kohesivitas kelompok Kerja Independensi merupakan sikap yang tidak memihak atau yang tidak dikendalikan oleh pihak luar maupun di dalam diri auditor sendiri. Sikap independensi itu sangat penting bagi auditor inspektorat dalam mengaudit laporan keuangan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk mencapai tujuan tersebut, auditor inspektorat harus kompak dalam melaksanakan audit laporan kuangan, karena auditor inspektorat merupakan kerja tim audit, tanpa adanya usaha atau kekompakan dalam audit, maka tujuan audit sulit untuk dicapai. Berdasarkan teori harapan, karyawan akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila mereka merasa bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja, kinerja dan penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuantujuan pribadi. Untuk mencapai usaha dan kinerja yang tinggi dalam pengauditan maka tim audit harus kohesif atau kompak dalam kelompok audit tanpa kohesivitas kelompok, efektivitas audit sulit untuk dicapainya, karena tanpa ada bantuan dari orang lain suatu pekerjaan tidak bisa selesai secara efektif. Hidup di dunia ini saja tanpa ada orang lain tidak akan bisa hidup sendiri. kohesivitas kelompok merupakan perasaan daya terik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal
55
tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Keryawan merasa kompok adalah ketika mereka percaya kelompok mereka akan membantu mereka menyelesaikan tujuan mereka, saling mengisi kebutuhan mereka, atau memberikan dukungan sosial selama masa krisis (Mcshane dan Glinow, 2003). Menurut Man dan Lam (2003), semakin tinggi derajat kohesivitas maka akan meningkatkan kesempatan untuk saling berinteraksi dalam kelompok dan lebih mudah dalam membuat keputusan bersama. Semakin tinggi kohesivitas juga akan semakin memudah untuk mengatasi perbedaan dalam kelompok. Kohesivitas kelompok dapat menularkan dan mengembangkan sikap “pasti bisa” yang nantinya akan meningkatkan efektivitas kinerja. Terkait variabel kohesivitas kelompok kerja sebagai variabel mediasi pernah diteliti oleh Pramusari (2009), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pertukaran atasan-bawahan (LMX-leader-member exchange) dan organization citizenship behavior (OCB) yang dimediasi oleh kohesivitas kelompok. Dalam konteks disektor pemerintah, khususnya di inspektorat, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat independensi auditor inspektorat, maka kohesivitas kelompok kerja juga akan tinggi. karena auditor inspektorat adalah homogenitas. Semakin homogen sebuah kelompok, maka semakin mudah untuk menciptakan kohesivitas kelompok. Homogenitas dapat tercipta karena kesamaan latar belakang atau kesamaan nilai dan tujuan yang ditimbulkan oleh anggota kelompok. Saat anggota memiliki sifat yang sama, maka kohesivitas akan meningkat secara cepat dan akan mewujudkan efektivitas audit atau kinerja auditor.
Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2012) yang menyatakan bahwa
56
kohesivitas kelompok kerja berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. Hal ini menunjukkan bahwa kekompakan sangat penting dalam melaksanakan audit laporan keuangan, sehingga dapat menunjang tercapainya efektivitas audit. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: H2: Independensi auditor berpengaruh positif terhadap efektivitas audit aparat inspektorat melalui kohesivitas kelompok kerja.
2.7.3 Pengaruh Faktor-Faktor Individual terhadap Efektivitas Audit Aparat Inspektorat Teori atribusi yang dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), dan faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Ikhsan & Ishak, 2005). Salah satu faktor perilaku seseorang yang timbul dari internal adalah kemampuan. Untuk mendapatkan kemampuan tersebut yaitu melalui pendidikan dan pengalaman. Pendidikan adalah suatu pengetahuan yang akan mengarahkan semua pekerjaan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Pengalaman itu penting di semua pekerjaan, karena dengan pengalaman tersebut seseorang akan mudah melakukan sesuai dengan profesinya. Faktor-faktor individu dalam penelitian ini meliputi pengalaman audit dan tingkat pendidikan. Pengalaman merupakan keseluruhan perjalanan yang di petik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang di alami dalam perjalanan hidupnya.
57
Pengalaman berdasarkan lama bekerja merupakan pengalaman auditor yang dihitung berdasarkan suatu waktu atau tahun, sehingga auditor yang telah lama bekerja sebagai auditor dapat dikatakan berpengalaman. Semakin lama bekerja menjadi auditor, maka akan dapat menambah dan memperluas pengetahuan auditor dibidang akuntansi dan dibidang auditing (Kusumastuti, 2008). Menurut Bouman dan Bradley (1997), pengalaman kerja auditor dipandang sebagai faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor. Banyak orang percaya bahwa semakin pengalaman seseorang dalam pekerjaannya, maka hasil pekerjaannya pun akan semakin bagus. Hal ini konsisten dalam penelitian Putu Ira Indayani (2015) yang menyatakan bahwa pengalam audit berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Nyoman (2014) menyatakan bahwa pengamalan audit berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemerikasaan. Semakin lama pengalaman audit semakin baik kualitas hasil pemerikasaan. Pendidikan adalah kegiatan untuk memperbaiki dan mengembangkan sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan dan pengertian tentang pengetahuan umum dan pengetahuan ekonomi termasuk didalamnya peningkatan pengetahuan teori dan ketrampilan dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi perusahaan (Gorda, 2004 dalam Laksmi, 2010) Penelitian Indayani dkk (2015) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap waktu penyelesaian audit. Futri dan Jualiarsa (2014) menyatakan dalam penelitian mereka bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki seorang auditor akan meningkatkan kualitasnya, karena dengan jenjang pendidikan yang tinggi, maka auditor berkecenderungan kuat akan meningkatkan
58
wawasan serta kemampuan seorang auditor untuk memegang tanggung jawab serta meningkatkan perannya dalam menjalankan tugasnya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dharmawan (2014) bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula tentunya akses informasi yang dimilikinya menjadi lebih banyak sehingga kompetensi dalam menjalankan tugas akan semakin meningkat dan hal itu akan berdampak pada peningkatan kualitasnya. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dapat dirumus adalah sebagai berikut: H3: Faktor-faktor individual berpengaruh positif terhadap efektivitas audit aparat inspektorat.
2.8. Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustakan serta beberapa penelitian terdahulu, maka penelitian ini menggunakan independensi auditor sebagai variabel independen penelitian yang mempengaruhi efektivitas audit aparat inspektorat. Penelitian ini juga menggunakan kohesivitas kelompok kerja sebagai variabel intervening antara independensi auditor dan efektivitas audit aparat inspektorat. Penelitian ini juga memasukkan faktor-faktor individu sebagai variabel independen yang penelitian yang mempengaruhi efektivitas audit aparat inspektorat. Atas dasar penjelasan diatas dan keterkaitan antar variabel dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut ini.
59
Gamber 2.1 Kerangka Pemikiran
Kohesivitas kelompok kerja
Independensi
Faktor-Faktor Individual
Efektivitas Audit Inspektorat