BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Tentang Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan Pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjaga suatu tindakan sesuai dengan yang seharusnya. Dalam pelaksanaannya pengawasan merupakan suatu proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, maka pimpinan perusahaan harus melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, pengecekan, pencocokan, inspeksi, pengawasan dan
berbagai tindakan sejenis
dengan hal tersebut, bahkan bila mana perlu mengatur dan mencegah sebelumnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Apabila ternyata kemudian ada penyimpangan, penyelewengan atau ketidakcocokkan maka pimpinan diharapkan untuk menempuh langkah-langkah perbaikan dan penyempurnaan. Handoko (2003) mengemukakan: “Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai dengan yang direncanakan.” Menurut Julitriarsa dan Suprihanto (2003) pengertian pengawasan adalah: “Tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan, untuk kemudian dilakukan perbaikan dan mencegah terulangnya kembali 18 Universitas Sumatera Utara
kesalahan-kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana ditetapkan.” Manullang (2004) mengemukakan: “Pengawasan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menerapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan bila perlu mengoreksi dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.” Dari beberapa batasan pengertian tentang pengawasan seperti yang sudah diketemukan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengawasan merupakan suatu proses untuk mengetahui, mengoreksi, mengevaluasi serta mengarahkan
kegiatan-kegiatan
agar
rencana
yang
telah
ditetapkan
tidak
menyimpang dari apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Jadi pengawasan dapat dianggap
juga
sebagai
suatu
kegiatan
untuk
mengoreksi
penyimpangan-
penyimpangan atau kekeliruan-kekeliruan tertentu, karenanya fungsi pengawasan perlu dilakukan. Kekeliruan tersebut berupa anggapan bahwa pengawasan sebagai kegiatan
untuk mencari kesalahan dan
kelemahan orang lain, akan tetapi
pengawasan juga merupakan tindakan preventif dan korektif untuk menghindari agar para bawahan tidak membuat kesalahan lagi. Dan bilamana terjadi penyimpangan atau kesalahan maka dengan segera dapat diketahui penyebabnya lalu diadakan tindakan perbaikan. 2.1.2. Tahap-Tahap Dalam Proses Pengawasan Dalam pelaksanaan suatu tugas selalu terdapat urutan pelaksanaan yang menunjukkan bagaimana proses suatu kegiatan itu dilaksanakan mulai dari awal sampai dengan selesai. Demikian juga halnya dengan pengawasan merupakan suatu 35 Universitas Sumatera Utara
proses, dimana sebelum mendapatkan hasil akhir terlebih dahulu melakukan serangkaian tindakan yang telah direncanakan sebelumnya. Manullang (2004) menyatakan bahwa : “Proses pengawasan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh manajer dalam melaksanakan pengawasan terhadap perencanaan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan perusahaan.” Proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit lima tahap (langkah). Handoko (2003) mengemukakan tahap-tahap proses pengawasan sebagai berikut : 1.
Penetapan standar pelaksanaan (perencanaan) Penetapan standar sebagai suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai hasil-hasil perencanaan yang akan dicapai. Perencanaan itu adalah untuk mencapai tujuan, sasaran, target perencanaan, anggaran, margin keuntungan, keselamatan kerja dan sasaran produksi. Tiga bentuk standar umum adalah: a.
Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang jasa, jumlah langganan atau kualitas produk.
b.
Standar-standar moneter, yang ditujukan dalam nilai rupiah dan mencakup biaya tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor dan pendapatan sales.
c.
Standar-standar waktu yang meliputi kecepatan produksi-produksi atau batas waktu suatu pekerjaan harus diselesaikan.
2.
Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan Penetapan standar akan sia-sia bila tidak disertai cara mengukur pelaksanaan kegiatan, oleh karena itu tahap kedua dalam pengawasan adalah menetukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat. 36 Universitas Sumatera Utara
3.
Pengukuran pelaksanaan kegiatan Setelah frekwensi pengukuran dan system monitoring ditentukan pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang-ulang dan terus-menerus. Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan, antara lain :
4.
a.
Pengamatan (observasi)
b.
Laporan-laporan lisan tertulis
c.
Metoda-metoda otomatis
d.
Inspeksi pengujian (test) atau dengan pengambilan sample.
Membandingkan
pelaksanaan
kegiatan
dengan
standar
dan
analisa
penyimpangan Tahapan kritis dari proses pengawasan adalah perbandingan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Walaupun tahap ini mudah dilakukan, tetapi sering terjadi kompleksitas pada saat adanya penyimpangan (deviasi). Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisa untuk menentukan mengapa standar tidak dapat dicapai. 5.
Pengambilan tindakan koreksi bila perlu Bila hasil analisa menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil. Tindakan koreksi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki atau keduanya dilakukan bersamaan.
37 Universitas Sumatera Utara
Tindakan koreksi yang dilakukan dapat berupa: a.
Mengubah standar mula-mula (mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah)
b.
Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekwensinya atau kuran atau bahkan mengganti system pengukuran itu sendiri).
c.
Mengubah
cara
dalam
menganalisa
dan
menginterprestasikan
penyimpangan-penyimpangan.
2.2. Pidana dan Pemidanaan 2.2.1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Pengertian pidana ini dapat dilihat dari banyak defenisi, baik dari ahli hukum di daiam negeri, maupun dari ahli hukum di luar negeri. Jari sederetan defenisi tentang pidana yang ada, Muladi menyimpulkan pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1998) a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
38 Universitas Sumatera Utara
Memperhatikan unsur-unsur atau ciri-ciri pidana tersebut, tidak salah kiranya R. Soesilo (1979) membedakan pengertian hukuman atau pidana dengan pengertian hukuman yang merupakan istilah umum dan konvansional, yang dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Misalnya dalam bidang pendidikan, hukuman biasa diberikan oleh orang tua kepada anaknya, atau seorang guru kepada muridnya, demikian pula dalam bidang olah raga, hukuman dilarang bertanding biasa diberikan kepada seorang atlit yang terbukti menggunakan doping saat bertanding. Soesilo memberi arti hukuman atau pidana adalah "suatu tindakan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis pada orang yang teiah melanggat undang-undang hukum pidana. Sydarto dalam Lamintang (1988) menyatakan masalah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan antara lain bahwa, “Perkataan
pemidanaan
sinonim
dengan
istilah
"penghukuman".
Penghukuman itu sendiri berasal dari kata "hukum", sehingga dapat dibrtikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.
39 Universitas Sumatera Utara
Secara sederhana, pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu proses penjatuhan pidana oleh hakim terhadap seseorang yang dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana 2.2.2. Perkembangan Teori Tentang Tujuan Pemidanaan Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai sekarang, menurut Andi Hamzah (1986) telah menjurus kearah yang lebih rasional. Tujuan pidana yang dianggap paling tua adalah pembalasan (revange) sebagai pemuas pihak yang dendam, baik masyarakat maupun korban. Tujuan pidana yang juga dipandang kuno ialah penghapusan doss (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan keseimbangan antara yang baik dan buruk. Adapun yang dipandang sebagai tujuan pidana yang berlaku sekarang ini ialah variasi dari bentuk-bentuk : penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun masyarakat yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat, dan reformasi inilah yang paling modern dan populer sekarang ini. Hal ini selain bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah disebutkan di atas maka muncul teori-teori mengenai tujuan pidana. Teori-teori tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
40 Universitas Sumatera Utara
a. Teori Pembalasan atau Teori Absolut Teori ini tidak ada memikirkan akibat-akibat yang mungkin timbul dengan adanya pemidanaan, hanya menghendaki adanya pembalasan bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan. Aliran ini beranggapan bahwa siapa saja yang telah melakukan kejahatan tidak boleh tidak kepadanya harus diberi pembalasan yang berupa pidana, yang sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan. Jadi menurut teori ini, pidana tidaklah bertujuan praktis seperti memperbaiki penjahat, tetapi bertujuan menjadikan pelaku kejahatan menderita, tanpa memikirkan akibat-akibat yang mungkin akan timbul dengan adanya pemidanaan itu. Teori ini hanya melihat ke masa lampau dan tidak melihat ke masa yang akan datang. Teori absolut ini baru dikenal pada akhir abad 18 Masehi dan beberapa sarjana pengikut aliran ini diantaranya adalah Stahl, Kant dan lain-lain. Menurut Stahl, pembalasan itu sesuai dengan kehendak Tuhan, yang beranggapan bahwa keadilan abadi menghendaki adanya penjatuhan pidana bagi setiap pelaku kejahatan. Negara dipandang sebagai wakil Tuhan di dunia maka negara mempunyai tugas untuk mempertahankan norms-norma keadilan Tuhan yang tercantum dalam undang-undang duniawi. Sehingga apabila ada warganya yang telah melakukan kejahatan, negara harus membalasnya dengan suatu pidana dengan cara meniadakan penjahatnya atau membuat penjahatnya dapat merasakan suatu penderitaan.
41 Universitas Sumatera Utara
Menurut Imanuel Kant, suatu perbuatan kejahatan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan dan hukum, maka untuk menghilangkan ketidaksesuaian tersebut pelakunya secara mutlak harus dibalas dengan suatu pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Hal ini didasarkan dengan hal yang disebut Kategorischen Imperativ, yaitu yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aliran absolut tersebut hanya berorientasi pada pembalasan atas dilakukannya tindak pidana oleh seseorang. Pembalasan itu dilakukan oleh negara terhadap di pelaku tindak pidana. Orang yang melakukan pidana harus dibalas dengan tindakan pembalasan yang berupa pidana. b. Teori Tujuan atau Teori Relatif Oleh karena teori pembalasan kurang memuaskan kemudian timbul teori tujuan atau teori relatif. Teori ini mempunyai dasar pemikiran bahwa tujuan pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Akan tetapi ada juga yang menafsirkan bahwa tujuan pemidanaan itu adalah untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan atau tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan.(Lamintang, 1988) Agar tindak pidana tidak dilakukan oleh masyarakat maka diadakanlah pencegahan-pencegahan. Sifat dari pencegahan pidana ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
42 Universitas Sumatera Utara
1) Pencegahan umum Pencegahan umum ini ditujukan kepada semua orang atau masyarakat agar takut melakukan kejahatan, dengan jalan penjatuhan pidana yang sangat berat atau menjerakan pelaku tindak pidana yang pelaksanaannya dilakukan di muka umum. Dengan demikian setiap orang dapat menyaksikan pelaksanaan pidana tersebut untuk membuat agar masyarakat umum takut berbuat suatu tindak pidana. Tokoh utama prevensi umum ini adalah Von Feuerbach (1775-1833), dengan teorinya "Psychologische Zwang" atau paksaan psikologis. Secara garis besar teori ini menyatakan bahwa ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakutkan orang untuk melakukan tindak pidana. Pelaksanaan pidana hanya penting untuk merealisasikan ancaman itu.(Andi Hamzah, 1986). Dengan adanya ancaman pidana yang berat, maka dapat menakutkan orang yang berniat melakukan tindak pidana, karena ancaman dapat menimbulkan suatu tekanan jiwa. Apabila orang akan melakukan tindak pidana, maka ia akan berpikir terlebih dahulu dengan adanya ancaman pidana yang berat itu. Tujuan pencegahan umum adalah dengan mengetahui pelaksanaan pidana atau adanya ancaman pidana maka dapat dicegah orang dari perbuatan pidana. Dengan demikian pencegahan umum ini berfungsi sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
43 Universitas Sumatera Utara
2) Pencegahan khusus Pencegahan khusus ini berfungsi setelah terjadinya suatu tindak pidana. Tujuan pencegahan khusus ini adalah mencegah niat buruk si penjahat untuk melakukan kejahatan lagi. Jadi ancaman pidananya ditujukan kepada siterpidana agar tidak lagi melakukan tindak pidana. Tujuan pencegahan khusus ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang bersifat menakut-nakuti, memperbaiki dan membuatnya tidak berdaya. Dalam hal ini Van Hamel (XXX) membuat suatu gambaran tentang pidana yang bersifat pencegahan khusus yaitu : a Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk melaksanakan niat buruknya; b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki ; c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki; d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tats tertib hukum.(Andi Hamzah, 1986). Dengan berpokok pangkal pada pendapat seperti tersebut di atas maka dapat disimpulkan, bahwa baik pencegahan umum maupun pencegahan khusus menghendaki setiap orang takut melakukan suatu tindak pidana. c. Teori Gabungan Teori gabungan ini mendasarkan pidana sebagai pembalasan dan mempertahankan tats tertib di dalam masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsur tanpa menghilangkan unsur yang 44 Universitas Sumatera Utara
lainnya maupun menitikberatkan pada semua unsur yang ada.. Sedangkan menurut Muladi di dalam teori ini tujuan pemidanaan bersifat plural, karena berusaha menghubungkan prinsip-prinsip retributif dan utilitarianism. Sehingga sering kali teori ini disebut "Aliran Integratif. (Muladi, 1985) Penulis yang pertama mengajukan teori ini adalah Pelligrino Rossi (17871848), kemudian diikuti oleh sarjana yang lain yaitu Binding, Merkel, Kohler Schimid, dan Beling. Pandangan integratif ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus yaitu ‘retributif dan relatif’. Jadi pemidanaan dalarn hal ini memerlukan pembenaran ganda. Disamping negara mempunyai hak untuk memidana si pelanggar hukum, juga dengan upaya memidana tersebut diharapkan suatu hasil yang bermanfaat. Misalnya, pencegahan dan rehabilitasi, kesemuanya ini dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cars tertentu dapat memuaskan permintaan/kebutuhan pembalasan.
Namun
dengan
cars
tertentu
pula
dapat
merehabilitasi
dan
meresosialisasi para narapidana ke dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Muladi (1985) : "diperlukan seperangkat tujuan pemidanaan yang hares dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis". Seperangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan adalah 1. Pencegahan (umum dan khusus) ; 2. Perlindungan masyarakat ; 45 Universitas Sumatera Utara
3. Memelihara solidaritas masyarakat ; dan 4. Pengimbalan/pengimbangan. Sebagai penutup uraian tentang perkembangan teori tujuan pemidanaan ini, penulis kutipkan sebuah pandangan tujuan pemidanaan di zaman modern, yaitu dalam usulan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional tahun 2000 dalam Pasal 50, selengkapnya menentukan : (1) Pemidanaan bertujuan : a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan menggdkkan pembinaan sehingga menjadi orang baik yang berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum di dalam Rancangan KUHP Nasional Tahun 2000 tersebut merupakan penjabaran teori integratif dalam arti luas. Pasal 50 tersebut memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan, yang meliputi tujuan pertama tersimpul usaha preventif dan perlindungan masyarakat. Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja 46 Universitas Sumatera Utara
merehabilitasi, tetapi juga meresosialisasikan terpidana dan mengintegrasikan terpidana ke dalam masyarakat. Tujuan ketiga dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan terpidana, untuk menyelesaikan konflik dan juga untuk mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dan tujuan yang keempat untuk pembebasan rasa bersalah pada terpidana. Dengan penegasan bahwa pemidanaan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 2.3. Teori Tentang Pidana Bersyarat 2.3.1. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat atau yang juga Bering disebut sebagai hukuman percobaan berasal dare perkataan voorwaardelijke veroordeling. yang sebenarnya adalah lebih baik apabila perkataan tersebut diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat. Akan tetapi perkataan pemidanaan bersyarat itu sendiri sebenarnya juga kurang tepat, karena dapat memberikan kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan dari pidananya, padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang teiah dijatuhkan oieh hakim. Mengenai pengertian pidana bersyarat ada beberapa pendapat pars ahli hukum Menurut Lamintang (1988) bahwa, pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan di dalam putusannya.
47 Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Muladi (1985) menyatakan bahwa, pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mans si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perobahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana. Soesilo (1979) menyatakan bahwa, pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang "hukum dengan perjanjian" atau "hukuman dengan bersyarat" atau "hukuman janggelan" artinya adalah : orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman itu tidak dilakukan. Selanjutnya dieatakan oleh Soesilo (1979) bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini ialah untuk memberi kesempatan kepada terpidana agar supaya dalam tempo percobaan itu is memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat-syarat) yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya, dengan pengharapan jika ia lulus dalam ujian itu, maka pidana yang telah dijatuhkan kepadanya tidak akan jadi dijalankan buat selama-lamanya. 48 Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Tujuan Pidana Bersyarat Dari pengertian-pengertian tentang pidana bersyarat yang telah dijelaskan di atas maka dapat dikatakan bahwa pidana bersyarat itu sifatnya penundaan terhadap pelaksanaan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana. Hukuman itu bisa hapus apabila si terpidana selama jangka waktu yang telah ditetapkan oleh hakim, dapat menguasai atau mengendalikan dirinya agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, akan tetapi apabila syaratsyarat tersebut diabaikan maka si terpidana harus menjalani hukumannya setelah ada putusan dari hakim. Sepintas bila dikatakan pidana bersyarat itu ringan tidaklah berlebihan karena selama syarat-syarat itu dipenuhi maka selama masa hukumannya si terpidana tersebut berada di luar lembaga pemasyarakatan, akan tetapi anggapan tersebut tidaklah benar karena sebenarnya pidana bersyarat itu sama beratnya dengan pidana penjara, bedanya pidana penjara berada di lembaga pemasyarakatan sedangkan pidana bersyarat berada di luar lembaga pemasyarakatan. Namun setiap tindakan yang dilakukannya selaiu dalam pengawasan yang berlangsung sepanjang diterapkan syarat-syaratnya oleh hakim. Menurut Soesilo (1979) pidana bersyarat mempunyai tujuan sebagai berikut untuk memberikan kesempatan pada si terpidana supaya dalam tempo percobaan itu dia memperbaiki dirinya dengan tidak berbuat tindak pidana atau tidak melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan harapan jika berhasil hukuman yang dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalani untuk selama-lamanya. 49 Universitas Sumatera Utara
Jadi, menurut Soesilo (1979) tersebut di atas bahwa bagi terpidana yang dikenakan pidana bersyarat ini adalah suatu kesempatan untuk memperbaiki dirinya selama masa percobaan dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Akan tetapi adalah tidak tepat apabila untuk memperbaiki diri bagi si terpidana tersebut hanya selama masa ,menjalani pidana bersyaratnya saja, dengan demikian pengertiannya seolah-olah setelah habis masa percobaan yang ditetapkan oleh hakim maka individu atau bekas narapidana bebas untuk melakukan suatu tindak pidana. Tidak semua jenis tindak pidana itu dapat dijatuhkan pidana bersyarat, misalnya untuk tindak pidana (delik) kekerasan seperti pembunuhan, penganiayaan berat, perampokan dan lain-lain, karena alasan adanya anggapan dalam masyarakat, terutama korban seakan-akan putusan pidana bersyarat itu sinonim dengan bebas (vrijspraak) karena terpidana bebas berkeliaran di luar, dan kesulitan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 a ayat (4) KUHP.(Andi Hamzah, 1986) Penjatuhan pidana bersyarat sering dilakukan untuk tindak pidana ringan, seperti Pasal 352 ayat (1) tentang penganiayaan ringan, Pasai 310 ayat (1) tentang penghinaan ringan dan lain-lain. Selama terpidana berada di luar lembaga pemasyarakatan maka terpidana harus mematuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hakim, dengan demikian selama itu pula terpidana berada dalam pembinaan BAPAS, dan pengawasan kejaksaan yang dibantu oleh aparat kepolisian maupun camat serta lurah/kepala desa tempat si terpidana bertempat tinggal. 50 Universitas Sumatera Utara
Menurut Muladi (1985) tujuan pidana bersyarat harus diarahkan pada manfaat-manfaat sebagai berikut : a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak mempertahankan tertib hokum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut. b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara formal. c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibatakibat negatif bari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat. d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdaya guna. e. Pidana bersyarat diharapkan dapat mengatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana. f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.
51 Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Pembinaan Terpidana di Luar Lembaga Pemasyarakatan Di dalam Pasal 1 angka 32 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 1 angka 6 Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian terpidana adalah “seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 7 Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan". Istilah narapidana tidak identik dengan istilah terpidana. Terpidana meliputi tidak hanya seorang yang dipidana hilang kemerdekaan (narapidana) tetapi juga meliputi seorang yang dipidana bukan hilang kemerdekaan seperti seorang yang dipidana denda. Seorang narapidana secara otomatis juga merupakan seorang terpidana tetapi seorang terpidana belum tentu merupakan seorang narapidana. Dengan diterimanya konsep pemasyarakatan Saharjo (1963), maka sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan dihumanisasikan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan lahir pada tanggal 27 April 1964 sebagai hasil dari konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Jawa Barat. Dengan lahirnya sistem pemasyarakatan maka proses pembinaan narapidana dan anak didik mendapat pengayoman dan pembinaan demi pemasyarakatan narapidana yang mantap. Ini berarti bahwa narapidana dan anak didik dapat dibina, dibimbing dan dituntun menjadi warga masyarakat yang berguna. 52 Universitas Sumatera Utara
Reksodiputro
(1997)
menyatakan,
lahirnya
konsepsi
tentang
sistem
pemasyarakatan ini dianggap sebagai suatu perubahan yang menyeluruh dan mendasar dari falsafah penghukuman (yang antara lain ditandai oleh penderitaan seperti penggunaan pakaian penjara, kepala gundul dan rantai kaki) menjadi falsafah pembinaan (yang antara lain ditandai oleh pengakuan martabat terpidana sebagai manusia, mengembalikan harga diri terpidana dan mempersiapkannya kembali ke masyarakat). Sistem pemasyarakatan barn diwujudkan dalam undang-undang yakni dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa "pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembaaaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana". Pasal 1 angka 2 menentukan pengertian sistem pemasyarakatan adalah : Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, agar aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
53 Universitas Sumatera Utara
Pokok-pokok pikiran Saharjo tersebut akhirnya dijadikan prinsip-prinsip dari konsepsi pemasyarakatan sehingga bukan semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana. Adapun tujuan utama dari sistem pemasyarakatan menurut Pengabdian Hukum UI adalah : 1. Memasukkan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga negara yang baik. 2. Melindungi masyarakat dari timbulnya kejahatan bekas narapidana ke dalam masyarakat karena tidak mendapatkan pekerjaan. Proses pemasyarakatan adaiah menggambarkan tahap-tahap sistem pembinaan narapidana yang bertujuan mencapai sasaran utama dari sistem pemasyarakatan Indonesia. Dalam sistem pemasyarakatan ini proses pemasyarakatan (resosialisasi) narapidana dilaksanakan lewat 2 (dua) jalur. Pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan ditangani oleh Direktorat Pemasyarakatan dan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Bentuk pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan yaitu meliputi : program perawatan, program pendidikan, program keamanan dan ketertiban serta program rekreasi. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 183 Tahun 1968 yang disempurnakan oleh Keputusan Presiden No. 44 dan No. 45 Tahun 1974 jo. Keputusan Menteri Kehakiman R.I No. Y.5.4/3/7/1975 ditentukan bahwa pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan berwujud kegiatan bimbingan yang meliputi : 54 Universitas Sumatera Utara
1. Pidana bersyarat 2. Pelepasan bersyarat 3. Bimbingan lebih lanjut, 4. Proses asimilasi/integrasi, 5. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak, 6. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau orang tua/wali. (Poernomo, 1986) Narapidana dapat diberikan lepas bersyarat menurut Pasal 15 Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yaitu jika terpidana telah menjalani masa pidananya 2/3 (duapertiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, dan yang paling sedikit telah menjalani 9 (sembilan) bulan pidana penjara. Pelepasan bersyarat ini sifatnya fakultatif, dapat diadakan jika menurut pertimbangan seorang narapidana itu patut diberikan Pelepasan bersyarat. Adapun faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengusulkan dan memberikan pelepasan bersyarat antara lain, yaitu : 1. Sifat delik yang telah dilakukan, 2. Pribadi dan riwayat hidup terpidana, 3. Kelakuan terpidana selama dalam lembaga pemasyarakatan, 4. Kemungkinan-kemungkinan pekerjaan/tempat yang akan diperoleh terpidana setelah diberi pelepasan bersyarat.
55 Universitas Sumatera Utara
Bimbingan lebih lanjut adaiah sangat perlu, oleh karena bukan saja dengan maksud mempermudah asimilasi dengan masyarakat, tetapi juga apabila ternyata perhitungan hakim waktu menerapkan pidana tidak cocok dengan kenyataan, yang maksudnya lamanya masa pidana yang diterapkan ternyata tidak/belum cukup membentuk narapidana menjadi manusia yang seratus persen bersih dan baik, maka narapidana dibina dalam proses lanjutan ini. Dipandang dari unsur bimbingan/bantuan yang perlu diberikan, maka pembinaan lanjutan ini menyerupai pelepasan bersyarat, yaitu kedua pelanggar hukum tersebut telah lama-sama pernah dibina di dalam lembaga yang kemudian juga sama-sama memerlukan bantuan dan bimbingan dalam proses kembalinya ke dalam masyarakat yang telah terpaksa dipisahkan darinya. Asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan apabila telah menjalani setengah dari masa pidana sebenarnya. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PK.04.10 Tahun 1989 yang dimaksud dengan asimilasi adaiah "proses pembinaan narapidana yang dilakukan dengan membaurkan narapidana ke dalam kehidupan masyarakat. Wujud dari kegiatan assimilasi ini dapat berupa : memberikan kesempatan kepada narapidana untuk beribadah di luar lembaga pemasyarakatan bersama masyarakat luar, bekerja di luar lembaga pemasyarakatan ataupun rnengikut sertakan narapidana ke dalam berbagai bentuk kegiatan cuti.
56 Universitas Sumatera Utara
Peraturan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PK.04.10 Tahun 1989 mengenai cuti yang berkaitan dengan kegiatan assimilasi ini ada 2 (dua) bentuk yaitu : 1. Cuti biasa, adalah cuti yang diberikan kepada narapidana melalui syaratsyarat tertentu untuk keperluan mengunjungi keluarga atas alasan-alasan seperti menjadi wali dalam pernikahan, menghadiri kematian, atau karena ada keluarganya yang sakit keras. Cuti ini dilaksanakan selama 2 x 24 jam, dengan mendapat pengawalan dari petugas lembaga pemasyarakatan, dan diberikan kepada narapidana dengan ketentuan sebagai berikut : a. Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, tidak memperoleh cuti ; b. Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun c. memperoleh cuti 1 kali dalam 1 (satu) tahun d. Narapidana yang dipidana 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun memperoleh cuti 1 kali dalam 2 (dua) tahun ; e. Narapidana yang dipidana 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun memperoleh cuti 1 kali dalam 3 (tiga) tahun f. Narapidana yang dipidana seumur hidup, setelah pidana berubah menjadi pidana sementara (melalui syarat-syarat tertentu) sebelum is memperoleh kebebasannya, dengan syarat bahwa narapidana yang bersangkutan telah menjalani setenaah dari masa pidana yang 57 Universitas Sumatera Utara
sebenarnya harus dijalani sesuai dengan remisi terakhir selamalamanya 1 (satu) tahun tidak boleh lebih dari 6 (enam) bulan. 2. Cuti menjelang lepas mutlak (cuti pre-release) ialah cuti yang diberikan kepada narapidana melalui syarat-syarat tertentu sebelum is memperoleh kebebasannya, dengan syarat bahwa narapidana yang bersangkutan telah menjalani setengah dari masa pidana yang sebenarnya harus dijalani sesuai dengan remisi terakhir selama-lamanya 1 (satu) tahun tidak boieh lebih dari 6 (enam) bulan. Balai Pemasyarakatan (BAPAS) selaku pembimbing dan pembina terpidana di luar lembaga pemasyarakatan rnemiliki tugas yang sangat renting bagi tercapainya keberhasilan pembinaan diri terpidana. Selain Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang memiliki tugas membimbing terpidana di luar embaga pemasyarakatan maka unsur yang tidak kalah pentingnya dalam turut serta mensukseskan program pembinaan itu sendiri adalah peran serta Masyarakat. Masyarakat diharapkan pengertiannya, bantuannya dan bahkan rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan program pembinaan narapidana karena pada dasarnya program pemasyarakatan itu justru diiakukan demi kepentinaan masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya rasa pengertian dari masyarakat maka mustahil program pembinaan narapidana yang bertujuan untuk memasyarakatkan kembali narapidana sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna akan dapat dicapai dengan baik.
58 Universitas Sumatera Utara