BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hakikat Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas Pengertian efektivitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektivitas menurut Hidayat (dalam Danfar, 2009:47) yang menjelaskan bahwa “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya”. Menurut Komaruddin (2000: 269) “Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu”. Sedangkan pembelajaran yang efektif adalah belajar yang bermanfaat dan bertujuan bagi peseta didik, melalui pemakaian prosedur yang tepat (Miarso, 2004: 536). Oleh karena itu, efektivitas pendidikan sering kali diukur dengan tercapainya tujuan, atau dapat pula diartikan sebagai ketepatan dalam mengelola suatu situasi. Misalnya, untuk mengukur efektivitas hasil suatu kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan melalui keterampilan kognitif peserta didik sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan (Warsita, 2008: 199) Berdasarkan pengertian-pengertian efektivitas para ahli di atas, penulis dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu patokan yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana sasaran tersebut sudah direncanakan sebelumnya atau dengan kata lain efektivitas adalah pencapaian sasaran yang berkaitan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Suatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut dapat
diselesaikan pada waktu yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Efektivitas menekankan pada perbandingan antara rencana dengan tujuan yang ingin dicapai. 2.1.2. Tingkatan Efektivitas Efektivitas memiliki tiga tingkatan sebagaimana yang didasarkan oleh Lawless (dalam Gibson, et all 1997:25-26) antara lain : 1.Efektivitas Individu Efektivitas individu didasarkan pada pandangan dari segi individu yang menekankan pada hasil karya karyawan atau anggota dari organisasi; 2.Efektivitas kelompok Adanya pandangan bahwa pada kenyataannya individu saling bekerja sama dalam kelompok. Jadi efektivitas kelompok merupakan Jumlah kontribusi dari semua anggota kelompoknya; 3.Efektivitas Organisasi Efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Melalui pengaruh sinergitas, organisasi mampu mendapatkan hasil karya yang lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil karya tiap-tiap bagiannya. Gibson (dalam Tangkilisan 2005:65) mengatakan hal yang berbeda bahwa efektivitas organisasi dapat pula diukur melalui : 1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai 2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan 3. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap 4. Perencanaan yang matang 5. Penyusunan program yang tepat
6. Tersedianya sarana dan prasaranas 7. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik Adapun Emerson (dalam Handayaningrat 1996:16) mengatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan”. Jadi, apabila tujuan tersebut telah dicapai, baru dapat dikatakan efektif. Masih dalam buku yang sama, hal ini dipertegas kembali dengan pendapat Hasibuan (dalam Handayaningrat 1996:16) bahwa “efektivitas adalah tercapainya suatu sasaran eksplisit dan implisit”. Hal senada juga dikemukakan oleh Miller dalam Handayaningrat (1996:16) “Effectiveness be define as the degree to which a social system achieve its goals. Effectiveness must be distinguished from efficiency. Efficiency is mainly concerned with goal attainments”, yang dimaksudkan bahwa efektivitas dimaksudkan sebagai tingkat seberapa jauh suatu sistem-sistem sosial mencapai tujuannya. Selain pencapaian tujuan, Winardi (1992:84) menjelaskan “Efektifitas adalah hasil yang dicapai seorang pekerja dibandingkan dengan hasil produksi lain dalam jangka waktu tertentu”. Apabila peneliti analisa kutipan ini, maka efektivitas adalah hasil yang diperoleh seorang pekerja dan dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan untuk menghasilkan barang/jasa tersebut. Efektivitas berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Jadi, efektivitas ini lebih berorientasi kepada keluaran. Sedangkan masalah penggunaan masukan kurang menjadi perhatian utama. 2.2 Pengertian Pendidikan Karakter Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif bukan netral. Sedangkan Karakter
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain: tabiat dan watak. Secara etimologis, kata karakter bisa berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau watak ( Tesaurus, 2008: 229). Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80). Character atau diterjemahkan karakter memiliki makna substantive dan proses psikologi yang sangat mendasar. Menurut Lichona (1991 : 50) merujuk pada konsep good character yang dikemukakan oleh Aristoteles, yakni karakter dimaknai sebagai kehidupan prilaku baik dan penuh kebajikan yakni perilaku baik terhadap pihak lain ( Tuhan Yang Maha Esa, manusia dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Lebih lanjut, menurut Lichona (1991 : 51) menegaskan bahwa karakter yang baik atau good character terdiri atas proses psikologis knowing of the good, disiring the good, and doring the good atau habbit of the mean, habbit of the heart, and habbit of action. Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, nyata dan berperilaku baik yang secara koheren memancar sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, dan olah karsa. Selanjutnya kertajaya (dalam Asmani, 2011 : 28)
mengemukakan bahwa karakter
adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan mesin yang mendorong
bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespons sesuatu. Menurut koesoema, karakter diasosiasikan dengan tempramen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitan dengan pendidikan dan konteks lingkunagn. Karakter ini juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterimah dari lingkungan, misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir ( Asmani, 2011 : 28-29). Menurut Paulhan ( dalam Koesoema, 2007 : 103) menyatakan bahwa karakter sebagai apa yang membuat seorang pribadi itu dirinya sendiri, dan bukan yang lain. Jadi, karakter merupakan sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Dalam Pasal 1 UU SISDIKNAS tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia (http://dikdas. Kemdiknas.go.id). Amanah UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter. Sehingga, lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernapas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan,
setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masingmasing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP no 19 tahun 2005 pasal 6 ayat 4). Kebijakan ini juga terjadi untuk pembelajaran di Perguruan Tinggi. Dua mata kuliah (Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) yang termasuk mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) diarahkan untuk pembentukan karakter para mahasiswa sehingga melahirkan para sarjana yang berakhlak mulia dan pada akhirnya akan menjadi para pemimpin bangsa yang juga berakhlak mulia. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah kualitas moral seseorang dalam bertindak dan berperilaku sehingga menjadi ciri khas individu dan dapat membedakan dirinya dengan individu-individu lainnya. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilainilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil. Menurut Koesoema ( dalam Asmani, 2011: 30-31) mengemukakan bahwa pendidikan karakter mampu menjadi penggerak sejarah menuju indonesia emas yang di cita-citakan. Dalam pendidikan karakter, manusia di pandang mampu mengatasi determinasi di luar dirinya sendiri. Dengan adanya nilai yang berharga dan layak di perjuangkan, ia dapat mengatasi keterbatasan
yang dimiliki. Sehingga, nilai-nilai yang diyakini oleh individu yang terwujud dalam keputusan dan tindakan menjadi motor penggeraknya. Selanjutnya, Menurut Khan ( dalam Asmani , 2011 : 30-31) menjelaskan bahwa pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bangsa. Serta, membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami. Selanjutnya, menurut Foerster (dalam koesoema, 2007 : 43) menitik beratkan pada tahap individualitas menuju personalitas. Dalam hal ini tentang pendidikan karakter yang tidak hanya sesuai perkembangan natural pribadi sesuai bakat “watak” akan tetapi pendidikan karakter yang meletakkankebebasan/sharing nilai-nilai dengan tujuan mengatasi kepentingan pribadi. Pendidikan karakter tidak hanya menjangkau tahapan pengetahuan tentang nilai kebaikan, tetapi perlu pemahamanan, wilayah emosi dan kebiasaan diri serta keinginan untuk berbuat baik sesuai kaidah moral. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan yang cerah. Dengan kecerdasan emosi, seoarang anak akan lebih muda dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Dari berbagai pengertian pendidikan karakter diatas, maka pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana dalam internalisasi nilai-nilai karakter sehingga karakter tersebut dimengerti, dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan seharai-hari oleh peserta didik.
Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education) yang lebih
difokuskan
pada
pembinaan
karakter
melalui
mata
pelajaran
pendidikan
kewarganegararaan dengan berbagai aktivitas hal ini didasari banyaknya sekolah yang mengupayakan pembinaan karakter melalui pendidikan kewarganegaraan. 2.3 Pembinaan Karakter 2. 3.1 Pengertian Pembinaan karakter Pembinaan karakter, pembinaan karakter terdiri dari dua kata yaitu pembinaan dan karakter. Pembinaan adalah usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah, teratur untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang, dilakukan dengan tindakan bimbingan, pengarahan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Lembaran Depdikbud, 2006:3). Sementara definisi karakter, adalah watak, sifat, perilaku atau kepribadian. Dalam kamus Purwadaminta yang dikutip oleh Ismail (2006:65), bahwa „karakter adalah merupakan watak, sifat-sifat kejiwaan, ahklak atau budi pekerti yang membedakan sesama dengan orang lain‟. Jadi secara integral bahwa pembinaan karakter adalah proses yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah dan teratur baik formal maupun nonformal untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas karakter warga negara yang baik. Atau secara sederhana pembinaan karakter di definisikan sebagai usaha merubah dan memperbaiki sifat atau perilaku seseorang menuju kearah yang lebih baik, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Sementara Ismail (2006:84), menerangkan tentang definisi pembinaan karakter, bahwa ‟pembinaan karakter adalah merupakan upaya mendidik, melatih dan mengembangkan watak dan potensi yang ada dalam diri seseorang serta mengarahkan segala kecenderungan mereka pada hal-hal yang baik, konstruktif dan produktif‟. Dalam pembinaan karakter, seseorang atau
sekelompok orang akan dibekali berbagai pengetahuan dan dilatih untuk mendapatkan kecakapan hidup agar dapat mengembangkan diri secara maksimal. Sejalan dengan pengertian pembinaan tersebut diatas, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 tahun 1999 yang dikutip oleh Ismail (2006:86), tentang pembinaan karakter, bahwa ‟pembinaan karakter adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan intelektual, sikap dan perilaku potensial, kesehatan jasmani dan rohani‟. Selanjutnya kita menyimak pemaparan tentang hakekat pembinaan karakter menurut Simanjuntak (1990:1), beliau memaparkan tentang hakekat pembinaan karakter yang pada dasarnya adalah : upaya pendidikan, baik formal maupun nonformal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggungjawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras antara pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat, kecenderungan dan keinginan serta kemampuan-kemampuannya sebagai bekal untuk selajutnya atas prakasa sendiri, menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya sesamanya maupun lingkungannya kearah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi yang mandiri. Dari uraian diatas terkandung makna bahwa pembinaan karakter dapat dilakukan tidak hanya pada jalur-jalur pendidikan formal saja tetapi juga dapat dilakukan melalui jalur-jalur informal dan nonformal. Melihat begitu strategisnya kedudukan pembinaan karakter, maka dari itu sudah selayaknya pembinaan karakter warga negara yang baik mulai menggunakan saluransaluran pendidikan non formal dan informal agar lebih efektif dan efisien. Dari berbagai pengertian pembinaan karakter tersebut diatas terdapat kesamaan pandangan tentang makna inti dari pembinaan karakter, yaitu suatu usaha untuk merubah sifat, watak, perilaku, akhlak atau
kepribadian seseorang maupun kelompok orang secara sadar, terencana, terarah dan teratur baik formal maupun nonformal menuju kearah yang lebih baik. Dalam pembinaan karakter terdapat suatu tindakan bimbingan dan pengarahan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan dalam pembinaan karakter tidak hanya dibantu untuk memperoleh ilmu tetapi juga tentang pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan. Gambaran di atas menunjukan konsep pembinaan karakter memiliki kekayaan makna yang cukup banyak. Pada dasarnya kegiatan pembinaan karakter tidak hanya memberikan wawasan dan pengetahuan atau hanya memberikan keterampilan semata, tetapi juga harus dapat memberikan solusi bagi persoalan sosial maupun individual dengan bersandar pada pendekatan spiritual. 2.3.2 Tujuan Pembinaan Karakter Dalam setiap proses pembinaan karakter tentunya memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Simanjuntak (1990:89), memaparkan bahwa ada empat tujuan pokok pembinaan karakter, tujuan-tujuan tersebut dapat diurut sebagai berikut. Tujuan pertama, menambah pengetahuan dan keterampilan secara maksimal dan berguna bagi kehidupanya. Tujuan kedua, membina mental dan watak agar lebih optimal serta kemampuan-kemampuanya sebagai bekal untuk selajutnya atas prakasa sendiri, menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya maupun lingkungannya kearah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi yang mandiri. Tujuan ketiga, tujuan ketiga dalam upaya pembinaan karakter adalah mengembangkan potensi, bakat dan kepribadian. Hal ini sejalan dengan uraian mengenai tujuan pembinaan karakter yang dikutip oleh Ismail (2006:84), yang menerangkan bahwa, ‟pembinaan karakter adalah merupakan upaya mendidik, melatih dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang serta mengarahkan segala kecenderungan mereka pada hal-hal
yang baik, konstruktif dan produktif‟. Tujuan keempat, tujuan pembinaan karakter adalah menyeimbangkan antara dimensi akal dan spiritual. Hal ini sesuai dengan uraian tujuan pembinaan karakter yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 tahun 1999 yang dikutip oleh Ismail (2006:84), tentang hakekat pembinaan karakter, ‟pembinaan karakter pada hakekatnya adalah kegiatan yang bertujuan meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan intelektual, sikap dan prilaku potensial, kesehatan jasmani dan rohani‟. Tujuan pokok pembinaan karakter tersebut diatas menjadi target dari setiap proses pembinaan karakter. Apapun jenis, bentuk, model maupun pendekatan yang digunakan dalam pembinaan karakter pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu merubah suatu keadaan tertentu kepada keadaan yang baru dan lebih baik. 2.3.3 Bentuk dan Unsur-unsur Pembinaan Karakter Menurut Asmaya (2003:80), menerangkan bahwa pada dasarnya ada dua macam bentuk pembinaan karakter, yaitu diantaranya pertama, pembinaan kepribadian, yaitu pembinaan yang diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Kedua, pembinaan kemandirian, yaitu pembinaan yang diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan. Masih menurut Asmaya (2003:99), bahwa proses pembinaan karakter dapat dilakukan dengan dua bentuk pendekatan. Pertama, menggunakan pendekatan secara langsung. Pendekatan langsung terjadi apabila pihak pembina melakukan proses pembinaan melalui tatap muka langsung. Pendekatan langsung ini dilakukan melalui kegiatan diskusi, tanya jawab, kunjungan lapangan dan permainan. Cara-cara pembinaan langsung dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pembinaan individual dan pembinaan secara kelompok. Kedua, dengan menggunakan pendekatan tidak langsung. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui berbagai media informasi
baik cetak maupun elektronik. Selanjutnya Asmaya (2003:110), menerangkan bahwa unsurunsur yang terdapat dalam suatu proses pembinaan karakter adalah sebagai berikut : 1. Pembinaan karakter mempunyai tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk merubah perilaku meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. 2. Terdapat suatu proses bimbingan, pengarahan dan tindakan kepada yang dibinanya. 3. Terdapat unsur manajerial (perencanaan, pengorganisasian, pengawasan). 4. Output, kualitas hasil lulusan yang diharapkan. Sementara itu Soedarsono (2002: 149), mengemukakan bahwa pola pembinaan karakter dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan model, yaitu Top Down Model dan Bottom Up Model. Dalam Top Down Model, pembinaan karakter dilakukan pertama-tama pada kalangan atas terlebih dahulu kemudian merambat pada lapisan yang dibawahnya, efek yang diharapkan timbul dari model ini ialah proses Trickle Down Efec (efek yang menetes dari atas ke bawah). Model kedua dengan menggunakan pola Bottom Up Model, model ini mefokuskan pembinaan karakter yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat kemudian negara. Perubahan pada diri masing-masing akan merubah keluarga, masyarakat, dan negara. Sementara negara yang baik hadir dari individu-individu yang baik, dan individu yang baik lahir dari hati yang baik. Soedarsono (2002:149) mengutarakan bahwa : pembinaan warga negara harus dimulai dari diri sendiri dulu, maka pembentukan karakter harus diupayakan berawal dari diri sendiri. Sehingga hendaknya proses pembinaan warga negara tidak hanya melalui instansi pendidikan formal yaitu institusi pendidikan yang di kelolah oleh pemerintah. 2.3.4 Pembinaan Karakter Siswa di Sekolah
Pembinaan karakter siswa di sekolah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Terkait dengan sekolah, sekarang lagi digalakkan pembentukan kultur sekolah. Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Dari sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah. Borba juga menawarkan pola atau model untuk pembudayaan akhlak mulia. Borba menggunakan istilah membangun kecerdasan moral. Dia menulis sebuah buku dengan judul Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues That Kids to Do The Right Thing, 2001 (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008). Kecerdasan moral, menurut Borba (2008: 4), adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat, adalah sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati, berkarakter kuat, dan menjadi warga negara yang baik. Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuknan kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun. Meskipun sasaran buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa, termasuk para siswa di SD hingga SMA. Dengan kata lain tujuh kebajikan yang ditawarkan oleh Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun kecerdasan moralnya.
Guru Pendidikan Kewarganegaraan termasuk para guru yang lain bersama-sama dengan sekolah perlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui pemaksimalan peran pendidikan kewarganegaraan. Guru kewarganegaraan bersama-sama guru-guru lain perlu merancang pembelajaran kewarganegaraan di kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi siswa agar dapat membiasakan karakter atau akhlak mulia. Sementara itu, Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan sosial (Zuchdi, 2008: 46-50). Zuchdi menambahkan, untuk ketercapaian program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan secara terus-menerut (Zuchdi, 2008: 55). Dengan memadukan berbagai metode dan strategi seperti tersebut dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah, maka karakter siswa dapat dibina dan diupayakan sehingga siswa menjadi berkarakter seperti yang diharapkan. Peran pendidikan dalam upaya pembinaan warga negara memiliki peran sentral, karena salah satu upaya dalam peningkatan kualitas manusia Indonesia adalah melalui proses pendidikan seperti dalam definisi pendidikan dalam UU No.20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional bahwa ”...pendidikan bertujuan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dapat diasumsikan bahwa proses pendidikan memiliki peran penting dalam upaya menciptakan dan membentuk karakter warga negara yang baik, karena dengan pendidikan akan
dapat menciptakan karakter yang diinginkan sesuai dengan yang di cita-citakan, hal ini karena pendidikan memiliki unsurunsur yang dapat mengarahkan pada situasi dimana seseorang menjadi baik. 2.4 Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan 2.4.1 Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum pembelajaran yang mengembangkan misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor-koridor “Value based seducation” (pendidikan berbasis nilai). Menurut Erwin,et all (2005) mengemukakan kerangka dasar pemikira dalam mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang berdasarkan pada paradigma saat ini adalah:
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) secara kurikuler dirancang sebagai mata pelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga Negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif dan bertanggung jawab.
PKn secara teoritik dirancang sebagai mata pelajaran yang memuat dimensidimensi kongnitif, efektif, dan psikomotorik yang bersifat konfulaen (saling terkait) atau saling terpadu terintegrasi dalam bentuk substansi ide, nilai, konsep dan moral pancasila Kewarganegaraan yang demokratis dan bela Negara.
PKn secara pramatik dirancang sebagai mata pelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai dan merupakan tuntutan hidup bagi warga Negara, berbangsa dan bernegara.
Menurut Depdiknas (2005:3) visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah mewujudkan, proses pendidikan yang terarah pada pengembangan kemampuan individu sehingga menjadi warga Negara yang cerdas, partisipatif dan bertanggung jawab pada giliranya mampu mendukung berkembangnya kehidupan masyarakat bangsa dan Negara Indonesia. Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam hal ini merupakan sarana untuk membentuk totalitas warga negara menjadi warga negara yang baik serta mampu memperbaiki tatanan masyarakat menjadi lebih baik. Pendidikan Kewarganegaan seperti yang dipaparkan oleh Soemantri (2001:299), bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh positif dari dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang semuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Kewarganegaraan saat ini haruslah betul-betul sebagai media yang dapat mengatar bangsa Indonesia menciptakan alam demokrasi, pemerintahan yang baik, negara hukum, dan masyarakat madani. Pendidikan Kewarganegaraan harus dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan karakter warga negara yang baik dalam rangka membangun kekuatan sosial bagi tumbuhnya masyarakat madani. Seperti yang kita ketahui bahwa tema besar Pendidikan Kewarganegaraan, adalah menciptakan warga negara yang baik. Pendidikan Kewarganegaraan diidentikan dengan pendidikan demokrasi, hal ini tercermin dalam rumusan Civitas Internasional dalam Kaelan (2007:34), bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mencangkup empat hal. Pertama, pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya. Kedua, pemahaman tentang hukum dan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia. Ketiga, penguatan
keterampilan partisipasi untuk memberdayakan peserta didik dalam merespon dan memecahkan masalah-masalah masyarakat secara demokratis. Keempat, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian pada lembagalembaga pendidikan dan seluruh asfek kehidupan masyarakat. Menurut Azra (2005:15), Pendidikan Kewarganegaran merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa saat ini dalam membangun peradaban demokrasi, hal ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja lembaga-lembaga demokrasi di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya apatisme politik. Pembentukan warga negara yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual merupakan suatu tuntunan dan keniscayaan. Menurut
Branson
(dalam
Kaelan
2007:13),
dijelaskan
bahwa
Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom self government. Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri, mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya. Dalam demokrasi konstitusional, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu keharusan karena dapat mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain.
Berdasarkan pada penjelasan diatas maka PKn harus dinamis dan mampu menarik perhatian siswa yaitu dengan cara sekolah membantu siswa mengembangkan pemahaman baik materi maupun intelektual dan partisipasi dalam kegiatan sekolah berupa intra dan ekstrakuler. 2.4.2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Adanya Pendidikan Kewarganegaraan bagi bangsa Indonesia akan senantiasa diupayakan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945, yakni sebagai manusia Indonesia yang religius, berkemanusiaan dan berkeradaban, yang memiliki nasionalisme, yang cerdas, yang berkerakyatan dan yang adil terhadap lingkungan sosial. Adapun Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan tiga kompetensi utama yaitu pengetahuan kewarganegaraan civic knowledge, kecakapan kewarganegaraan civic skills, dan watak-watak kewarganegaraan civic dispositions (Erwin: 2011:5). Selanjutnya Menurut Erwin (2011:7), mengatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan menekankan pada empat hal Pertama, Pendidikan Kewarganegaraan bukan lagi sebagai indoktrinasi politik. Pendidikan Kewarganegaraan sebaiknya tidak menjadi alat
indoktrinasi politik dari
pemerintahan yang berkuasa. Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya dapat mengembangkan warga negara yang demokratis sebagai pelaku-pelaku pembangunan bangsa yang bertanggung jawab. Kedua, Pendidikan Kewarganegaraan mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Pendidikan kewarganegaraan memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan civic intelligence, tanggung jawab civic responsibility, dan partisipasi civic participation warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Ketiga, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang selama ini seperti
menuangkan air kedalam gelas watering down seharusnya diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Keempat, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai laboratorium demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu berkembang. Dalam hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan penting karena menekankan pada pertama, Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya sekadar melayani kebutuhan-kebutuhan warga dalam memahami masalah-masalah sosial politik yang terjadi, tetapi lebih dari itu. Pendidikan Kewarganegaraan memberikan informasi dan wawasan tentang berbagai hal menyangkut caracara penyelesaian masalah dalam kontek ini, Pendidikan Kewarganegaraan juga menjanjikan civic knowledge yang tidak saja menawarkan solusi alternatif, tetapi juga sangat terbuka dengan kritik yang konstruktif. Kedua, Pendidikan Kewarganegaraan dirasakan sebagai sebuah kebutuhan mendesak karena merupakan sebuah proses yang mempersiapkan partisipasi rakyat untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Sehingga diharapkan Pendidikan Kewarganegaraan dapat memberikan nilai-nilai demokrasi dengan tujuan tertentu. Pertama, dapat memberikan sebuah gambaran mengenai hak dan kewajiban warga negara sebagai bagian dari integral suatu bangsa dalam upaya mendukung terealisasinya proses transisi menujudemokrasi, dengan mengembangkan wacana demokrasi, penegakan HAM dan masyarakat madani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, menjadikan warga negara yang baik menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengedepankan semangat demokrasi keadaban, egaliter serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Ketiga, meningkatkan daya kritis masyarakat sipil. Keempat, menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat sipil secara aktif dalam setiap kegiatan yang menunjang demokratisasi, penegakan HAM dan perwujudan masyarakat madani.
Maka dari itu pembinaan karakter siswa selayaknya menjadi misi seluruh elemen masyarakat dan diupayakan tidak saja hanya melalui jalur pendidikan formal tetapi juga melibatkan jalur pendidikan informal (keluarga dan lingkungan) dan pendidikan nonformal. Karena ekspektasi yang kurang proporsional kalau menggantungkan pada Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai
satu-satunya
media
dalam
pembangunan,
penguatan
dan
pemberdayaan karakter warga negara yang baik. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa pembinaan karakter siswa yang baik, hendaknya tidak saja melalui institusi pendidikan formal saja, tetapi juga mulai mengoptimalkan peran jalur luar sekolah, baik itu melalui jalur nonformal maupun informal (keluarga dan lingkungan). Sebagaimana yang terkandung dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dikutip oleh Ismail (2006:35), tentang urgensi peran pendidikan nonformal, bahwa Pendidikan nonformal berfungsi mengambangkan kompetensi peserta didik dengan menekankan pada pengusaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta mengembangkan sikap dan kepribadian profesional.