BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lanjut Usia
2.1.1
Pengertian Lanjut Usia Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis yang berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individu (Hawari, 2001 dalam Efendy & Makhfludi 2009). Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Keliat, 1999 dalam Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Penggolongan lansia menurut WHO, dibagi menjadi 4 kelompok (Padila, 2013), yakni: a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45-59 tahun b. Lanjut Usia (elderly), ialah kelompok usia 60-74 tahun c. Lanjut Usia Tua (old), ialah kelompok usia 75-90 tahun d. Usia Sangat Tua (very old), ialah kelompok usia diatas 90 tahun Batasan lansia menurut Depkes RI terbagi dalam 4 kelompok yaitu : a. Pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara usia 45-54 tahun. b. Usia lanjut dini/prasemu yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun.
8
9
c. Usia lanjut/semua usia 65 tahun ke atas. d. Usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun. Menurut Pasal 1 Ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). 2.1.2
Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia Menua dalam diri seseorang dapat membawa pengaruh serta perubahan
menyeluruh baik fisik, sosial, mental, dan moral spiritual, yang keseluruhannya saling terkait (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). 1. Perubahan fisik a. Perubahan pada Sistem Sensoris Komplikasi dari DM dapat menyebabkan lansia mengalami penurunan penglihatan seperti katarak. Sesuai dengan teori penuaan yaitu teori glikosilasi, adanya penambahan glukosa ke dalam asam nukleat menyebabkan menurunnya fungsi sel dan jaringan (Sa’abah, 2008). Kadar gula darah yang terlalu tinggi dalam darah (hiperglikemi) akan mengakibatkan terjadinya penimbunan sorbitol (hasil dari metabolisme glukosa) dalam lensa yang akan menyebabkan terjadinya pembengkakan lensa akibat masuknya air. Awalnya mata mampu melakukan kompensasi, tetapi pada saat yang sama pasien telah mengalami perubahan tajam penglihatan. Terjadi pembengkakan dan kerusakan serabut lensa pada tahap selanjutnya sehingga pasien akan mengeluh adanya glare atau silau dan akhirnya timbul kekeruhan lensa atau katarak diabetes (Mawan, 2013).
10
b. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular Perubahan sistem kardiovaskular pada lansia DM tipe 2 yaitu terjadinya peningkatan risiko penyumbatan pembuluh darah dekat jantung (serangan jantung), otak (stroke) atau kaki (gangren) (Salma, 2010). Perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat DM, menurut teori penuaan yaitu teori glikosilasi, adanya penambahan glukosa ke dalam asam nukleat menyebabkan menurunnya fungsi sel dan jaringan dan menyebabkan penggumpalan darah (Sa’abah, 2008). c. Perubahan pada Sistem persarafan Terjadi perubahan pada saraf pancaindra menjadi makin mengecil pada usia tua sehingga fungsinya menurun dan lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan (Efendy & Makhfudli, 2009). Kualitas sirkulasi darah yang buruk akibat DM dalam jangka panjang dapat merusak jaringan saraf. Kerusakan sistem saraf pada umumnya terjadi di bagian kaki dan tungkai yang biasanya ditandai rasa kesemutan, kehilangan sensasi (mati rasa) atau nyeri di jari-jari kaki, kemudian naik secara bertahap hingga tungkai. Hal ini perlu diwaspadai karena bila terdapat luka dan lansia DM tidak merasakan adanya luka, maka luka tersebut dapat menjadi borok (Salma, 2010). d. Perubahan pada Sistem Genitourinaria Perubahan terjadi pada ginjal, dimana ginjal akan mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomelurus menurun, dan fungsi tubulus
11
menurun sehingga kemampuan mengkonsentrasi urin ikut menurun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Jaringan ginjal terdiri dari banyak pembuluh darah
kecil
yang
membentuk
sebuah
filter
yang
berperan
menghilangkan racun dan limbah dari darah. DM yang kronis dapat menyebabkan pembuluh-pembuluh darah kecil itu rusak. DM juga membuat ginjal bekerja lebih keras untuk menyaring kelebihan kadar glukosa darah yang tidak terserap karena kekurangan insulin atau resistensi insulin. Hal ini berkaitan dengan teori penuaan yaitu teori Wear and Tear dimana pada teori ini terjadinya kelebihan usaha menyebabkan sel-sel tubuh lelah dan tidak dapat berfungsi dengan baik (Padila, 2013). Ginjal pada penderita DM akan mengalami kerusakan secara bertahap, mulai dari hyperfiltrasi (pembengkakan ginjal karena bekerja terlalu keras), mikroalbuminuria (kerusakan membran penyaring sehingga sebagian protein masuk ke dalam darah dan urin), sampai akhirnya menjadi gagal ginjal (Salma, 2010). e. Perubahan pada Sistem Endokrin Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan (Padila, 2013). Sesuai dengan teori penuaaan yaitu teori glikosilasi, dalam teori ini menyatakan bahwa adanya ikatan glukosa (gula sederhana) pada protein yang menyebabkan berbagai masalah. Setelah pengikatan ini terjadi protein menjadi terganggu dan tidak dapat melakukan performa secara efisien. DM sering dipandang sebagai bentuk penuaan akibat ketidakseimbangan terkait usia insulin dan toleransi glukosa, masalah ini
12
telah disebut Sindrom X. Penderita diabetes memiliki 2-3 kali jumlah silang protein jika dibandingkan dengan orang yang sehat. Dalam teori ini juga menyebutkan bahwa gula mengikat DNA dan dapat menyebabkan kerusakan yang mengarah ke sel-sel cacat dan akhirnya menjadi kanker (Micans, 2014). 2. Perubahan psikososial Perubahan pada lansia dalam sosial di masyarakat dan takut menghadapi kematian akibat adanya penyakit menimbulkan stres dan kesepian pada lansia (Padila, 2013). Sesuai dengan teori psikososial, munculnya stres ini diyakini dapat mempercepat proses penuaan. Seseorang yang mengalami stres, membuat tubuhnya harus memproduksi adrenalin untuk menenangkannya. Adrenalin yang dipacu terus-menerus akan menyebabkan insulin akan sulit mengatur kadar gula yang ideal (Jacken, 2005).
2.2
DM Tipe 2
2.2.1
Pengertian DM tipe 2 pada Lansia DM merupakan penyakit kronis yang disebabkan karena adanya
keturunan, karena kekurangan produksi insulin oleh pankreas, atau dengan tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Kurangnya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah, akan mengakibatkan rusaknya banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf (WHO, 2015). DM yang utama diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 (Insulin Dependen Diabetes Mellitus) dan DM tipe 2 (Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus) (Hasdianah, 2012). DM Tipe 2 adalah penyakit kronis dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif yang diproduksi oleh pankreas (WHO, 2015). Kadar insulin
13
mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel β pankreas, maka DM tipe 2 dianggap sebagai Non Insulin Dependent DM (NIDDM) (Corwin, 2009). DM tipe 2 pada lansia, adanya intoleransi glukosa berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang, kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lansia dengan DM tipe 2 terjadi penurunan kemampuan insulin terutama pada post reseptor (Kurniawan, 2010). 2.2.2
Etiologi DM tipe 2 pada Lansia Peningkatan kadar gula darah pada lanjut usia disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu (Misnadiarly, 2006): a. Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang. b. Perubahan karena lanjut usia sendiri yang berkaitan dengan resistensi insulin, akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskular. c. Aktivitas fisik yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan. d. Sering menderita stres e. Sering menggunakan bermacam-macam bahan-bahan kimia dalam waktu lama. Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang pankreas, yang mengakibatkan fungsi pankreas menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin (Hasdianah, 2012). f. Adanya faktor keturunan. Gen penyebab DM akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita DM (Hasdianah, 2012).
14
2.2.3
Tanda dan Gejala DM tipe 2 pada Lansia Tanda dan gejala DM secara umum adalah banyak makan (polyphagia)
banyak minum (polydipsia), banyak kencing (polyuria) (Corwin, 2009). Selanjutnya akan timbul gejala nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah, dan akan timbul rasa mual bahkan koma yang disebut dengan koma diabetik (Hasdianah, 2012). Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur (Hasdianah, 2012). Tanda dan gejala DM pada lansia sering kali tidak jelas dan diagnosis biasanya terlambat. Gejala DM pada lansia dapat muncul tidak spesifik dan tidak pasti (Bilous dan Donelly, 2014). Tanda dan gejala DM pada lansia adalah sebagai berikut (Misnadiarly, 2006): a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala awal. b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi traktus urinarius sulit untuk disembuhkan. c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot, disfungsi
otomatis
dari
traktus
gastrointestinal
(diare),
sistem
kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan inkontinensia stres. d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemi, angina, dan infark miokard), perdarahan intra serebral (stroke).
15
e. Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal (proteinuria, glomerulopati, uremia). 2.2.4 Pengelolaan DM Tipe 2 pada Lansia Pengelolaan DM tipe 2 pada lansia perlu diperhatikan secara khusus yang bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah, mengurangi hiperglikemik, mencegah dan mengatasi komplikasi, serta mencapai harapan hidup yang normal (Perkeni, 2011; Bilous dan Donelly, 2014). Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu) serta dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin (Misnadiarly, 2006). Terdapat empat pilar utama dalam pengelolaan DM tipe 2 yang meliputi (Perkeni, 2011): a.
Edukasi Keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 memerlukan partisipasi aktif dari
pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien menuju perilaku yang sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku tersebut dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi tidak hanya kepada pasien DM tipe 2 namun juga kepada keluarganya (Perkeni, 2011). b.
Diet Pasien DM tipe 2 perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam hal
jadwal, jenis, dan jumlah makanan, terutama bagi mereka yang menggunakan Obat Hipoglikemia Oral (OHO) atau insulin (Perkeni, 2011). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
16
karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat : 45-65% total asupan energi, protein: 10-20% total asupan energi, 20-25% kebutuhan kalori. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, usia, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali dengan kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Alternatif diet rendah karbohidrat, tinggi lemak tak jenuh, tinggi serat diterapkan pada pasien DM tipe 2 (Hartono, 2006). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada lansia dengan rentang usia 65-80 tahun membutuhkan energi sebanyak 1900 kkal (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.75 Tahun 2013). Kebutuhan diet pada lansia DM tipe 2 disesuaikan dengan kebutuhan kalori yaitu 1900 kkal dengan kebutuhan karbohidrat sebanyak 299 gr, protein 60 gr, lemak 48 gr (Almatsier, 2004). Tabel 2.1. Daftar Bahan Makanan Penukar A. Golongan I: Sumber Karbohidrat Satu satuan penukar mengandung: 175 kkalori, 4 gr protein, dan 40 gr karbohidrat Bahan Berat (g) URT Bahan Berat (g) Makanan Makanan Nasi beras 100 ¾ gls Maizena* 40 giling Nasi beras ½ 200 1 gls Tepung beras 50 giling Nasi ketan 100 ¾ gls Biskuit 40 hitam Nasi ketan putih 100 ¾ gls Jagung 125 Bengkuang 320 2 bj bsr Tepung 40 singkong* Gadung 175 1 ptg Tepung sagu* 40 Kentang 200 2 bj sdg Tepung terigu 50 Singkong 100 1 ptg sdg Tepung 40 hunkwee* Talas 200 1 bj bsr Mie basah 200
URT 8 sdm 8 sdm 4 bh bsr 3 bj sdg 8 sdm 7 sdm 8 sdm 8 sdm 2 gls
17
Ubi Makaroni Roti putih Kraker
150 50 80 50
1 bj sdg ½ gls 2 iris 5 bh bsr
Mie kering Havermout Bihun Maizena
50 50 50 50
1 gls 6 sdm ½ gls 10 sdm
B. Golongan II: Sumber Protein Hewani Menurut kandungan lemaknya, sumber protein hewani dibagi menjadi tiga kelompok: 1. Rendah Lemak Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr protein, 2 gr lemak, 50 kalori Bahan Makanan Kepiting Cumi-cumi Daging ayam tanpa kulit Ikan lele Babat
Berat (g)
URT
Berat (g)
URT
1/3 gls 1ekor kcl 1 ptg sdg
Bahan Makanan Putih telur ayam Kerang Ikan pindang
50 45 50
65 90 25
½ ptg sdg 1 ptg bsr
Ikan segar Ikan kakap
40 35
Ikan kembung
30
2 ½ btr ½ gls ½ ekor sdg 1 ptg sdg 1/3 ekor bsr 1/3 ekor sdg
40 40
2. Lemak Sedang Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr protein, 5 gr lemak, 75 kalori Bahan Makanan
Berat (g)
URT
Bakso Daging kambing Hati ayam Hati babi Hati sapi Otak
170 40 30 35 35 65
10 bj sdg 1 ptg sdg 1bh sdg 1 ptg sdg 1 ptg sdg 1 ptg bsr
Bahan Makanan Telur ayam Telur bebek asin Telur puyuh Usus sapi Daging sapi Telur penyu
Berat (g)
URT
55 50 55 50 35 60
1 btr 1 btr 5 btr 1 ptg bsr 1 ptg sdg 2 btr
3. Tinggi Lemak Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr karbohidrat, 5 gr protein, 3 gr lemak, 75 kalori Bahan Makanan Bebek Belut Daging ayam dengan kulit Sosis Kuning telur ayam Telur bebek
Berat (g) 45 45 40 50 45 55
URT 1 ptg sdg 3 ekor kcl 1 ptg sdg ½ ptg 4 butir 1btr
C. Golongan III: Sumber Protein Nabati Satu satuan penukar mengandung: 75 kalori, 5 gr protein, 3 gr lemak, dan 7 gr karbohidrat Bahan Makanan Kacang Hijau Kacang Kedelai Kacang merah
Berat (g) 20 25 20
URT
Bahan Makanan
Berat (g)
URT
2 sdm 2 ½ sdm 2 sdm
Kacang tolo Oncom Tahu
20 50 110
2 sdm 2 ptg sdg 1 bj bsr
18
Kacang tanah terkupas 15 2 sdm Tempe 50 2 ptg sdg D. Golongan IV: Sayuran Hendaknya digunakan campuran dari daun-daunan seperti: bayam, kangkung, daun singkong dengan kacang panjang, buncis, wortel, dsb. 100 gr sayuran campur adalah lebih kurang 1 gelas (setelah dimasak dan ditiriskan). Golongan sayuran dibagi atas 3 macam berdasarkan kandungan zat gizinya. 1. Sayuran A. Digunakan sekehendak karena sangat sedikit sekali kandungan kalorinya. Beligo Gambas (oyong) Jamur kuping segar Ketimun Labu air
Lettuce Lobak Slada Slada air Tomat
2. Sayuran B. Satu satuan penukar (dalam 100 g) mengandung: 5 g karbohidrat, 1 g protein, 25 kalori Cabe hijau besar Daun koro Daun kacang panjang Jagung muda Kol Bawang Bombay Bayam Broccoli Buncis Cabe merah besar
Sawi Seledri Taoge kac.hijau Terong Kangkung Labu siam Pepaya muda Wortel Daun kemangi Pare
3. Sayuran C. Satu-satuan penukar (100 g) mengandung: 10 g karbohidrat, 3 g protein, 50 kalori. Bayam merah Daun katuk Daun labu siam Daun mangkokan Daun mlinjo Daun pepaya Daun singkong
Kluwih Mlinjo Taoge kacang kedele Daun talas Kacang kapri Nangka muda
E. Golongan V: Buah-buahan dan gula Satu satuan penukar mengandung: 40 kkalori dan 10 gr hidrat arang Bahan Makanan Gula
Berat (g)
URT
Berat (g)
URT
1 sdm
Bahan Makanan Mangga
13
90
85
1 bh kcl
Nanas
95
Anggur Belimbing
165 70
20 bh sdg 1 bh bsr
Nangka masak Pepaya
45 190
Jambu biji Jambu air Jambu bol
100 110 90
1 bh bsr 2 bh bsr 1 bh kcl
Pisang ambon Madu Rambutan
50 15 75
¾ bh bsr ¼ bh sdg 3 bj sdg 1 ptg bsr 1 bh kcl 1 sdm 8 bh
Apel merah
19
Duku Jeruk bali
80 105
16 bh sdg 1 ptg
Salak Sawo
75 50
Jeruk manis Kedondong
100 100
2 bh sdg 1 bh bsr
Sirsak Semangka
60 180
1 bh bsr 1 bh sdg ½ gls 1 ptg bsr
F. Golongan VI: Susu Merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin (terutaman vitamin A dan Niacin), serta mineral (zat kapur dan fosfor). Bahan Makanan Susu sapi Susu kambing Susu kerbau Susu kental manis Keju
tak
Berat (g) 200 165 100 100
URT
Bahan Makanan
Berat (g)
URT
1 gls ¾ gls ½ gls ½ gls
Tepung susu asam Tepung susu skim* Tepung susu penuh YogURT non fat
35 20 30 120
7 sdm 1 sdm 6 sdm 2/3 gls
35
1 ptg kcl
YogURT penuh
200
1 gls
susu
G. Golongan VII: Minyak/lemak Satu satuan penukar mengandung: 50 kalori dan 5 gr lemak 1. Lemak tidak jenuh Bahan Makanan Alpukat Biji labu merah Kacang almond Margarine jagung Mayonnaise 2. Lemak Jenuh Bahan Makanan Minyak kelapa Minyak inti kelapa sawit Keju krim Mentega
Berat (g) 60 10 25 5 20
URT
Bahan Makanan
Berat (g)
URT
½ bh bsr 2 bj 7 bj ¼ sdt 2 sdm
Minyak jagung Minyak kacang kedele Minyak kacang tanah Minyak zaitun Minyak bunga matahari
5 5 5 5 5
1 sdt 1sdt 1sdt 1sdt 1sdt
Berat (g) 5 5
URT
15 15
1 ptg kcl sdm
1 sdm 1 sdm
Bahan Makanan Kelapa Santan
Berat (g) 15 40
URT
Lemak babi
5
1 ptg kcl
1 ptg kcl 1/3 gls
H. Golongan VIII (Makanan tanpa kalori) 1. Mengandung kurang dari 5 g karbohidrat dan kurang dari 20 kalori tiap penukarnya. 2. Bahan makanan yang ada ukuran rumah tangganya. Dibatasi maksimal 3 penukar sehari, tetapi jangan dikonsumsi sekaligus oleh karena dapat menyebabkan kenaikan gula darah. 3. Bahan makanan yang tidak ada ukuran rumah tangganya dapat dikonsumsi lebih bebas. Agar-agar Air kaldu Air mineral Cuka mineral Kecap
Tauco Teh Selai rendah gula Krim, non dairy, cair bubuk Margarine, non fat
20
Kopi Minuman ringan tanpa gula Minuman tonik tanpa gula Sumber: Kemenkes R.I
Permen, tanpa gula Sirup tanpa gula Wijen
Prinsip-prinsip dalam melaksanakan diet DM sehari-hari, dilakukan dengan pedoman Jadwal, Jenis, dan Jumlah atau yang sering disebut dengan pedoman 3J, yaitu: (1) J1: Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan interval. Pada dasarnya diet DM diberikan dengan tiga kali makanan utama dan tiga kali makanan antara (interval) tiga jam.
Tabel 2.2. Jadwal Waktu Makan Jenis Makanan Makanan utama yang terdiri dari: makanan pokok (nasi), lauk pauk, sayuran. 2. Selingan (pk. 10.00) Buah/susu 3. Makan siang (pk. 12.00-13.00) Makanan utama 4. Selingan (pk. 16.00) Buah/susu 5. Makan malam (pk. 19.00) Makanan utama 6. Selingan (pk. 21.00) Buah Sumber: Almatzier, 2004 (Jadwal ini dapat diubah asalkan interval tetap 3 jam) 1.
Waktu Makan Makan pagi (pk. 07.00-08.00)
(2) J2: Jenis makanan yang dianjurkan adalah jenis makanan pada syarat-syarat diet DM. a. Bahan makanan yang dianjurkan (Almatsier, 2004): 1. Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mi, kentang, singkong, ubi, dan sagu. 2. Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe tahu, dan kacang-kacangan.
21
3. Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah dicerna. Terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, dan direbus. b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan (Almatsier, 2004): 1. Mengandung banyak gula sederhana seperti gula pasir dan gula jawa. Buah-buahan yang diawetkan dengan gula. Sirup, selai, jeli, susu kental manis, minuman botol ringan, dan es krim. 2. Mengandung banyak lemak, seperti cake, makanan siap saji, gorenggorengan. 3. Mengandung banyak natrium, seperti ikan asin, telur asin, makanan yang diawetkan. (3) J3: Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi ataupun ditambah. Tabel 2.3. Contoh Menu Makanan Sehari Diet DM 1900 kkal Waktu Pagi
Pukul 10.00 Siang
Pukul 16.00 Malam
Bahan makanan Nasi Telur ayam Tempe Sayuran A Minyak Buah Nasi Ikan Tempe Sayuran B
Penukar 1 ½p 1p 1p S 2p 1p 1p 2p 1p 1p
(URT) 1 gls 1 btr 2 ptg sdg
Buah Minyak Buah Nasi Ayam tanpa kulit Tahu Sayuran B Buah Minyak
1p 2p 1p 2p 1p 1p 1p 1p 2p
¼
1 sdm 1 ptg sdg 1 ½ gls 1 ptg sdg 2 ptg sdg 1 gls bh sdg 1 sdm 1 ptg 1 ½ gls 1 ptg sdg 1 bh bs 1 gls 1 ptg sdg 1 sdm
Menu Nasi Telur dadar Oseng-oseng tempe Sop Oyong + tomat Pepaya Nasi Pepes ikan Tempe goreng Lalapan panjang+kol Nanas
kacang
Pisang Nasi Ayam bakar bumbu kecap Tahu bacem Stup buncis+wortel Pepaya
22
Keterangan:
bh = buah ptg = potong sdg = sedang gls = gelas (240 ml)
sdm = 1 sendok makan bsr = besar btr = butir URT= ukuran rumah tangga atau penimbangan menggunakan timbangan makanan.
Nilai Gizi Energi: 1912 kkal Protein: 60 g (12,5% energi total) Lemak: 48 g (22,5% energi total)
Karbohidrat: 299 g (62,5% energi total) Kolesterol: 303 mg Serat: 37 g
Sumber: Almatzier, 2004
Pencacatan menu makanan untuk diet DM dapat dilakukan dengan menggunakan food record yaitu pendekatan monitoring konsumsi makanan dan minuman dalam sehari atau lebih. Pencatatan tersebut dilakukan selama periode waktu tertentu biasanya 1 sampai 7 hari (Berdanier, Dwyer, dan Feldman, 2007), apabila pencacatan dilakukan beberapa hari biasanya dilakukan berturut-turut dan tidak lebih dari 7 hari (Thompson & Subar, 2013) yaitu 2-4 hari berturut-turut (Supariasa, 2012). Food record baik dilakukan ketika setelah makan atau minum sehingga hasilnya akurat. Jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi diperkirakan dengan menggunakan Ukuran Rumah Tangga (URT) (Thompson & Subar, 2013). c.
Aktivitas Fisik Manfaat aktivitas fisik pada lansia DM adalah untuk perbaikan toleransi
glukosa, peningkatan kemampuan, konsumsi oksigen maksimum, meningkatan kekuatan otot, penurunan tekanan darah, pengurangan lemak tubuh, perbaikan profil lipid (Kurniawan, 2010). Aktivitas fisik secara teratur dilakukan 3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit (Sudoyo, 2009). Jenis olahraga yang baik adalah aerobic yang
23
bersifat daya tahan, karena dapat memperkuat otot jantung dan pembuluh darah seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang (Sustrani, dkk, 2006). Aktivitas fisik sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani serta memperhatikan aktivitas fisik bila menggunakan insulin, untuk lansia DM tipe 2, intensitas aktivitas fisik bisa ditingkatkan kecuali sudah mengalami komplikasi (Perkeni, 2011). 1. Aktifitas Fisik pada pasien DM yang Bergantung Insulin (Waluyo, 2009) : a)
Monitor kadar gula darah sebelum dan sesudah beraktivitas fisik.
b)
Hindari gula darah rendah dengan memakan karbohidrat sebelum aktivitas fisik.
c)
Hindari aktivitas fisik berat selama reaksi puncak insulin.
d)
Lakukan suntikan insulin di tempat–tempat yang tidak akan digunakan untuk beraktivitas fisik secara aktif.
e)
Ikuti saran dokter untuk mengurangi dosis insulin sebelum melakukan aktivitas fisik yang melelahkan atau lama.
f)
Gula darah bisa turun bahkan beberapa jam setelah beraktivitas fisik untuk itu dianjurkan untuk memeriksa gula darah secara periodik.
2. Aktivitas fisik untuk Pasien DM yang Tidak Bergantung Insulin (Waluyo, 2009): a)
Gula darah rendah jarang terjadi selama beraktivitas fisik untuk itu tidak perlu untuk memakan karbohidrat ekstra.
b)
Aktivitas fisik untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan pengurangan asupan kalori.
24
c)
Aktivitas fisik sedang perlu dilakukan setiap hari. Aktivitas fisik berat mungkin bisa dilakukan tiga kali seminggu.
d)
Sangat penting untuk melakukan latihan ringan guna pemanasan dan pendinginan sebelum dan sesudah beraktivitas fisik.
e)
Pilihlah aktivitas fisik yang paling sesuai dengan kesehatan dan gaya hidup secara umum.
f)
Manfaat aktivitas fisik akan hilang jika tidak beraktivitas fisik selama tiga hari berturut-turut.
g)
Aktivitas fisik bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti juga asupan kalori bertambah. Sangat penting untuk menghindari makan makanan ekstra setelah beraktivitas fisik.
Melakukan aktivitas fisik sebaiknya dibagi menjadi tiga waktu yaitu satu jam setelah sarapan, satu jam setelah makan siang, dan satu jam setelah makan malam (Waluyo, 2009). Contoh aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah dengan dengan 2 hari libur (Fox & Klivert, 2010): 1. Jalan kaki selama 30-40 menit/hari. 2. Berenang selama 20 menit/hari. 3. Jogging selama 20 menit/hari. 4. Bersepeda selama 20 menit/hari. Jenis aktivitas fisik untuk DM lainnya adalah senam kaki diabetes. Senam kaki diabetes adalah suatu kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien DM untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki (Padila, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2014)
25
melaporkan dengan melakukan latihan senam kaki diabetes menunjukan terjadinya penurunan kadar gula darah yang dilakukan selama dua kali selama 15 menit dalam seminggu sebelum makan. Berikut langkah-langkah pelaksanaan senam kaki diabetes (Padila, 2013): 1. Duduk tegak diatas bangku dengan kaki menyentuh lantai. 2. Dengan tumit yang diletakkan dilantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan keatas lalu dibengkokkan kembali kebawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali. 3. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat telapak kaki ke atas. Kemudian sebaliknya pada kaki yang lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dan tumit kaki diangkatkan ke atas. Gerakan ini dilakukan secara bersamaan pada kaki kanan dan kiri bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali. 4. Tumit kaki diletakkan di lantai. Kemudian bagian ujung jari kaki diangkat ke atas dan buat gerakan memutar pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 5. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Kemudian tumit diangkat dan buat gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 6. Kemudian angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Lalu gerakan jari-jari kaki kedepan kemudian turunkan kembali secara bergantian kekiri dan ke kanan. Ulangi gerakan ini sebanyak 10 kali. 7. Selanjutnya luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki tersebut dan gerakkan ujung jari-jari kaki kearah wajah lalu turunkan kembali ke lantai. Ulangi sebanyak 10 kali. Lakukan pada kedua kaki.
26
8. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi sama seperti pada langkah ke-7, namun gunakan kedua kaki kanan dan kiri secara bersamaan. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10 kali. 9. Angkat kedua kaki dan luruskan, pertahankan posisi tersebut. Kemudian gerakan pergelangan kaki kedepan dan kebelakang. 10. Selanjutnya luruskan salah satu kaki dan angkat, lalu putar kaki pada pergelangan kaki, lakukan gerakan seperti menulis di udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian. 11. Letakkan selembar koran dilantai. Kemudian bentuk kertas koran tersebut menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki. 12. Buka kembali bola tersebut menjadi lembaran seperti semula menggunakan kedua belah kaki. 13. Kemudian robek koran menjadi 2 bagian, lalu pisahkan kedua bagian koran tersebut. 14. Sebagian koran di sobek-sobek menjadi kecil-kecil dengan kedua kaki. 15. Kemudian pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan kedua kaki lalu letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh tadi. 16. Lalu bungkus semua sobekan-sobekan tadi dengan kedua kaki kanan dan kiri menjadi bentuk bola. d.
Terapi farmakologis Terapi farmakologis diberikan selama dengan pengaturan makan dan
aktivitas fisik. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Pemilihan jenis obat disesuaikan dengan kondisi klien dan perkembangan
27
penyakit DM tipe 2 (Perkeni, 2011). Hipoglikemia harus dihindari pada lansia DM tipe 2, oleh karena itu sebaiknya obat-obat yang bekerja jangka panjang tidak dipakai dan diberikan obat-obat yang mempunyai masa yang pendek tetapi bekerja cukup lama (Misnadiarly, 2006). 2.2.5
Kadar Gula Darah pada Lansia DM Tipe 2
1. Pengertian Gula Darah Glukosa merupakan substrat utama untuk menghasilkan energi di jaringan seperti otak dan sel darah merah (Guyton, 2007). Gula yang diserap dari makanan akan diangkut ke seluruh tubuh melalui aliran darah, kemudian diberikan ke selsel organ tubuh yang memerlukan dengan bantuan insulin, hormon yang dihasilkan pankreas. Bila jumlah gula berlebih maka insulin membantu menyimpan kelebihan gula tersebut di dalam organ hati, atau tubuh mengubah gula menjadi glikogen untuk disimpan di otot, atau diubah menjadi trigliserida untuk disimpan di jaringan lemak (Prodia, 2008). Pasien DM tipe 2 tidak mampu menggunakan atau menyimpan sebagian besar gula yang diserap dari makanan, sehingga gula tersebut tetap berada dalam darah, dan gula dalam darah yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai macam masalah yang disebut sebagai komplikasi diabetes (Prodia, 2008). Kadar gula darah dapat diketahui dengan rutin melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan gula darah harus rutin dilakukan pada lansia DM tipe 2. Penelitian Badriah (2012) dilakukan pemeriksaan gula darah pada lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali setelah dikelola oleh kelompok pendukung. Sudoyo (2009) mengemukakan batasan atas kadar glukosa darah normal seperti pada Tabel 2.4.
28
Tabel 2.4. Kadar Gula darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Diagnosis DM Tipe 2 Bukan DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Kadar guloksa darah puasa (mg/dl)
Belum Pasti DM DM
Plasma vena
<100
100-199
≥200
Darah Kapiler
<90
90-199
≥200
Plasma Vena
<100
100-125
≥126
Darah kapiler
<90
90-99
≥100
Pasien DM yang berusia lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dl, dan sesudah makan 145-180 mg/dl) (Perkeni, 2011). Berdasarkan data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam setelah makan (Kurniawan, 2010). 2. a.
Faktor yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah pada Lansia Diet Kebiasaan mengkonsumsi makanan siap saji dapat meningkatkan obesitas,
makanan-makanan siap saji ini banyak mengandung lemak, kalori, serta kolesterol (Jacken, 2005). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat : 45-65% total asupan energi, protein: 10-20% total asupan energi, 20-25% kebutuhan kalori (Hartono, 2006). b.
Aktivitas fisik Terjadi penimbunan zat gula yang tidak terpakai akibat dari kurangnya
aktivitas yang dilakukan (Jacken, 2005), bila aktivitas fisik yang melelahkan dapat
29
menyebabkan konsentrasi glukagon dalam darah seringkali meningkat sebanyak empat sampai lima kali lipat (Guyton, 2007). c.
Stres Stres akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin (Smeltzer and Bare, 2008). Seseorang yang mengalami stres, membuat tubuhnya harus memproduksi adrenalin untuk menenangkannya. Adrenalin yang dipacu terus-menerus akan menyebabkan insulin akan kelabakan mengatur kadar gula yang ideal (Jacken, 2005). d.
Usia DM tipe 2 dalam perkembangannya hampir diderita oleh semua jangkuan
usia, baik anak-anak, remaja, dan orang dewasa apalagi jika memilki berat badan yang tidak seimbang. Namun, DM tipe 2 sering muncul seiring dengan bertambahnya usia, yaitu usia 45 tahun keatas, dimana keadaan fisik mulai menurun (Jacken, 2005). e.
Jenis kelamin Perempuan memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki
untuk terkena DM tipe 2, karena pada perempuan memiliki kadar LDL yang umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Jacken, 2005).
30
2.3
Keluarga sebagai Kelompok Pendukung
2.3.1
Konsep Keluarga Keluarga dalam UU No. 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau suami istri, ayah dengan anaknya, atau ibu dan anaknya. Friedman (1998) mendefinisikan keluarga sebagai suatu sistem sosial. Keluarga merupakan kelompok kecil yang terdiri dari individu-individu yang memiliki hubungan erat satu sama lain, saling tergantung yang diorganisir dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan bersama (Padila, 2012). Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masingmasing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Bailon dan Maglaya, 1978 dalam Achjar, 2010). Tipe keluarga secara tradisional dapat dibagi menjadi dua yaitu keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya sedangkan keluarga besar adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi) (Harnilawati, 2013). 2.3.2
Tugas dan Peran Keluarga di Bidang Kesehatan Keluarga dalam Depkes RI (1998) merupakan unit terkecil dari komunitas
sehingga melalui keluarga yang sehat akan tercipta komunitas yang sehat, demikian sebaliknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan dan
31
untuk
menyelesaikan
masalah
tersebut
keluargalah
sebagai
pengambil
keputusannya. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di masyarakat (Padila, 2012). Keluarga memiliki tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan menurut Friedman (1998), meliputi: a.
Mengenal masalah kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga. Apabila keluarga menyadari adanya perubahan kesehatan pada anggota keluarganya, hal tersebut perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa perubahannya (Suprajitno, 2004).
b.
Mengetahui kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat (Suprajitno, 2004).
c.
Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan (Suprajitno, 2004).
d.
Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga (Suprajitno, 2004).
e.
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga (Suprajitno, 2004). Setiap anggota keluarga memliki peranannya masing-masing dalam
perawatan di sebuah keluarga, salah satu hal yang tidak dapat ditinggalkan adalah dalam melakukan perawatan terhadap lansia. Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam
32
merawat lansia adalah memberikan kasih sayang, menghormati, dan menghargai lansia dalam merawat dan menjaga lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual lansia (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). 2.3.3
Konsep Kelompok Pendukung
1. Pengertian Kelompok Pendukung Beberapa jenis kelompok dalam dukungan sosial yaitu kelompok pembimbing/psikoedukasi,
kelompok
konseling/intrapersonal,
kelompok
swabantu (self-help group), dan kelompok pendukung (support group). Kelompok pendukung merupakan kelompok yang terstruktur yang berfungsi untuk memberikan informasi, ketenangan, dan keterikatan dengan orang lain. Kelompok pendukung menawarkan komunitas atau lingkungan yang aman sehingga anggota yang berpatisipasi dapat belajar dari mendengar, mengamati, mencoba perilaku baru, menerima umpan balik, dan merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley & Fisher, 2008). Kelompok pendukung memberikan kesempatan untuk berdiskusi berbagai stategi dalam mengatasi penyakit dan pengelolaannya (Smeltzer & Bare, 2008). Tujuan memperjelas
kelompok perubahan
pendukung yang
ingin
adalah
meningkatkan
dilakukan,
dan
pengetahuan,
membantu
dalam
pengembangan ketrampilan yang diperlukan untuk mewujudkan perubahan tersebut (Bensley & Fisher, 2008).
33
2. Syarat Kelompok pendukung memiliki pertemuan yang waktunya dibatasi. Kebanyakan kelompok pendukung mengadakan empat sampai sepuluh sesi pertemuan yang dapat disesuaikan dengan panduan fasilitatornya dan anggota dalam kelompok pendukung terdiri dari 5-10 orang (Bensley & Fisher, 2008). Waktu pertemuan dalam kelompok pedukung rata-rata bagi orang dewasa berlangsung sampai 90 menit (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pertemuan dengan kelompok pendukung dalam pengelolaan DM tipe 2 dilakukan sebanyak empat kali dengan durasi rata-rata 60 menit dan rentang
waktu
diadakannya
pertemuan
selanjutnya
disesuaikan
dengan
persetujuan anggota, pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan gula darah pada lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali setelah dikelola oleh kelompok pendukung dan terjadi penurunan gula darah sebesar 12,5% selama dua minggu tersebut. 3. Tahap-tahap Kerja Kelompok Pendukung Beberapa tahap dalam kelompok pendukung: a. Tahap awal. Selama tahapan awal dalam proses kelompok, fokus diarahkan pada pembentukan kelompok, dan mengarahkan anggota (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pembentukan kelompok, perkenalan masing-masing anggota, dan mengidentifikasi masalah terkait upaya pengelolaan lansia DM tipe 2. b. Tahap peralihan. Kelompok pendukung berfokus pada pendidikan dan mengubah pola komunikasi. Dalam tahap ini peran fasilitator adalah
34
mempertahankan
objektivitas
dan
tetap
memperlihatkan
penerimaan,
perhatian, dan dukungan (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pertemuan untuk membahas penyakit DM. c. Tahap kerja. Pada tahap ini, memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap perannya. Anggota kelompok mulai relaks dalam mengambil tindakan dan beruji coba memperlihatkan kegiatan yang baru (Bensley & Fisher, 2008). Tahap kerja pada penelitian Badriah (2012) dilakukan pada pertemuan ketiga, dimana dilakukan cara pengaturan diet dengan membawa bahan makanan asli oleh masing-masing anggota dan diberikan juga dijelaskan mengenai cara pengisian food record. Pertemuan keempat dilakukan cara penanggulangan stres. d. Tahap penutupan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dimana fase ini berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, dan umpan balik (Bensley & Fisher, (2008). 2.3.4
Keluarga sebagai Kelompok Pendukung Memberikan perawatan kesehatan pada anggota keluarga yang sakit
adalah tugas dari keluarga, agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama, peran keluarga harus terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses teurapetik (Padila, 2013). Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Kehadiran teman-teman atau
35
anggota keluarga telah terbukti mengurangi tingkat ini antara orang-orang selama periode yang sulit. Penelitian yang dilakukan di Brigham Young University dan University of North Carolina menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki dukungan sosial yang kuat adalah 50% lebih mungkin untuk meninggal akibat penyakit daripada mereka yang memiliki dukungan dari sekitarnya (Blue, 2010). Dukungan
keluarga
adalah
hubungan
dan
prinsip-prinsip
yang
memperkuat perkembangan keluarga. Dukungan keluarga membantu setiap anggota keluarganya dalam membangun dasar yang kuat untuk mendorong pertumbuhan anggotanya (U.S Department of Health and Human Service, 2013). Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010). Pemenuhan kesehatan lansia, cenderung untuk membutuhkan bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
2.4
Hubungan Keluarga sebagai Kelompok Pendukung dengan Kadar Gula Darah Lansia DM Tipe 2 Perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga, kelompok khusus,
dan masyarakat dalam membina, memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal karena mendapat pendidikan dalam hal kesehatan (Nursalam & Efendi, 2011). Teori Lawrence
36
Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) kesehatan individu dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, dan norma sosial), faktor pendukung (saran pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya), dan faktor pendorong (sikap dan perilaku petugas kesehatan. Perubahan perilaku melalui cara ini memerlukan waktu lama, namun perubahan yang terjadi sifatnya akan menetap karena didasari pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan, bukan karena paksaan (Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan dari tenaga kesehatan dapat mengubah dan menguatkan faktor-faktor perilaku dan faktor di luar perilaku sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan dan menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap kesehatan (Noorkasiani, 2009). Dukungan keluarga menurut Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga termasuk dalam faktor penguat yang membuat seseorang bersemangat untuk melakukan perubahan perilaku dalam memperhatikan hal yang dijalankan. Menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu, keluarga menjadi faktor yang sangat berpengaruh di dalamnya, selain itu keluarga juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima dalam membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010). Keluarga
dapat
membantu
mengurangi
kecemasan
dan
dapat
mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi
37
kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010). Dalam pemenuhan kesehatannya, lansia memiliki kecendrungan untuk membutuhkan bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004). Bentuk dari dukungan sosial adalah kelompok swabantu, dimana pembentukan kelompok ini merupakan seuatu intevensi keperawatan yang melibatkan masyarakat melalui pembentukan kelompok atau bekerja sama dengan kelompok yang telah ada untuk meningkatkan kualitas kerja (Stanhope & Lancaster, 2004). Selain itu, dukungan sosial lainnya adalah adanya kelompok sebaya dan kelompok pendukung. Kelompok pendukung merupakan kelompok yang terstruktur yang berfungsi untuk memberikan informasi, ketenangan, dan keterikatan dengan orang lain. Kelompok pendukung menawarkan komunitas atau lingkungan yang aman sehingga anggota yang berpatisipasi dapat belajar dari mendengar, mengamati, mencoba perilaku baru, menerima umpan balik, dan merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley & Fisher, 2008). Pembentukan kelompok pendukung akan memberikan dukungan sosial kepada lansia melalui proses pembentukan kelompok. Berawal dari fase orientasi yang merupakan usaha mencari cara membangun keinginan anggota-anggota masyarakat. Tahap ini masyarakat merasakan mempunyai masalah dan motivasi yang sama khususnya dalam menangani lansia yang mengalami masalah DM tipe 2. Fase konflik, dalam fase ini banyak perbedaan antar kelompok dan adanya
38
keinginan yang berbeda yang sering menjadi penyebab konflik pada kelompok yang baru dibentuk. Selanjutnya adalah fase kohesif yaitu adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap peran dan aturan kelompok. Tahap selanjutnya adalah fase kerja dimana setiap anggota kelompok menjalankan peranannya masing-masing untuk memberikan dukungan terhadap individu. Fase terminasi merupakan fase terakhir dimana fase ini berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, dan umpan balik (Hitchcock, et al, 1999 dalam Badriah 2010). Kelompok pendukung menurut penelitian Badriah (2010) dapat mengatasi dua sampai tiga masalah keperawatan keluarga terkait pengendalian faktor resiko peningkatan gula darah. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap aktivitas fisik dan kadar gula darah pasien DM tipe 2. Berdasarkan hal tersebut pengaruh kelompok pendukung sangat kuat dalam pengelolaan DM tipe 2 dan anggotanya terdiri dari keluarga dari lansia karena lansia memiliki kecendrungan ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhannya dan keluarga termasuk dalam faktor penguat, dimana membuat seseorang bersemangat unuk melakukan perubahan perilaku dalam memperhatikan hal yang dijalankan.