9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1.
Perilaku a.
Batasan perilaku Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Sedangkan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, membaca dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003, p.114). Menurut Skiner seorang ahli psikologi, yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dalam teori Skiner dibedakan adanya dua respon: 1) Respondent respons atau flexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eleciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap.
10
2) Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respon. Dilihat
dari
bentuk
respon
terhadap
stimulus
ini,
maka
Notoatmodjo (2003) membagi perilaku menjadi dua: 1) Perilaku tertutup (covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2) Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003, p.115)
b.
Domain perilaku Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor
11
lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007, p.139). Benyamin Bloom (1908) yang dikutip Notoatmodjo (2007), membagi perilaku manusia ke dalam 3 domain ranah atau kawasan yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembanganya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni: pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan (Notoatmodjo, 2007, p.139).
c.
Pembentukan perilaku Menurut Ircham (2005) ada beberapa cara pembentukan perilaku diantaranya: 1) Kondisioning atau kebiasaan Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk
12
berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. 2) Pengertian (insight) Disamping pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif, yaitu belajar dengan disertai adanya pengertian. 3) Menggunakan model Cara ini menjelaskan bahwa dalam pembentukan perilaku pemimpin dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinya. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau Observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura (1977). d.
Beberapa teori perilaku Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku manusia didorong oleh motif tertentu sehingga manusia berperilaku (Ircham, 2005, p.20). Teori perilaku menurut Ircham (2005), diantaranya: 1) Teori insting Menurut McDougall perilaku itu disebabkan karena insting. Insting merupakan perilaku yang innate, perilaku yang bawaan, dan akan mengalami perubahan karena pengalaman. 2) Teori dorongan (drive theory)
13
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongandorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong organisme berperilaku. 3) Teori insentif (incentive theory) Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku organisme itu disebabkan karena adanya insentif. Dengan insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku. Insentif atau juga disebut sebagai reinforcement ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcement yang positif adalah berkaitan dengan hadiah dan akan mendororong organisme dalam berbuat. Sedangkan reinforcement yang negatif berkaitan dengan hukuman dan akan
menghambat organisme
berperilaku.
4) Teori atribusi Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku seseorang. Apakah perilaku itu disebabkan oleh disposisi internal (misal motif, sikap, dan sebagainya), atau oleh keadaan eksternal (Ircham, 2005, p.21). e.
Pengukuran perilaku Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara, secara langsung, maupun secara tidak langsung. Pengukuran perilaku yang baik adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan
14
(observasi), yaitu mengamati tindakan dari subyek dalam rangka memelihara kesehatanya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subyek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan obyek tertentu (Notoatmodjo, 2005, p.59).
2.
Faktor-faktor perilaku Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku menurut teori Lawrence Green: a.
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor-faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap halhal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat,
tingkat
pendidikan,
tingkat
sosial
ekonomi,
dan
sebagainya. b.
Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagainya, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan sebagainya.
15
c.
Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan untuk berperilaku sehat (Notoatmodjo, 2003, p.164).
16
3.
Pengetahuan a.
Definisi Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003, p.121).
b.
Tingkat Pengetahuan Penelitian Rogers (1974) yang dikutip Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru
(berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: 1)
Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
2)
Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut.
3)
Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4)
Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
17
5)
Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran,
dan
sikapnya
terhadap
stimulus
(Notoatmodjo, 2007, p.140). Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: 1)
Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2) Memahami (Comprehention) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar
tentang
obyek
yang
diketahui,
dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3)
Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4) Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
18
obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5) Sintesis (Syntesis) Sintesis yang dimaksud menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru. 6) Evaluasi Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003, p.123). c.
Cara memperoleh pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2005) cara memperoleh pengetahuan adalah sebagai berikut: 1) Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan a) Cara coba–salah (Trial and Error) Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan
apabila
kemungkinan terpecahkan.
kemungkinan yang
lain
tersebut sampai
tidak masalah
berhasil, tersebut
dicoba dapat
19
b) Cara kekuasaan atau otoritas Sumber pengetahuan dengan cara ini dapat berupa pemimpinpemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya. Prinsip ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai
otoritas,
tanpa
terlebih
dahulu
menguji
atau
membuktikan kebenaranya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. c) Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman
pribadi juga dapat
digunakan
sebagai upaya
memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan mengulang
kembali
pengalaman
yang
diperoleh
cara dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. d) Melalui jalan pikiran Dalam
memperoleh
kebenaran
pengetahuan
manusia
telah
menggunakan jalan pikiranya, baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pernyataanpernyataan yang dikemukakan, kemudian dicari hubunganya sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan (Notoatmodjo, 2005, p.11). 2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis
20
Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Dallen yang mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatanpencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan obyek
yang
diamatinya. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah atau scientific research method (Notoatmodjo, 2005, p.18). d.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan.
1) Faktor Internal a) Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai
keselamatan
dan
kebahagiaan.
Pendidikan
diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang akan pola hidup terutama
dalam
memotivasi
untuk
berperan
serta
dalam
pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi. b)
Pekerjaan Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
21
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. c) Umur Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
2) Faktor Eksternal a) Faktor Lingkungan Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003) lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. b)
Sosial Budaya Sistem
sosial
budaya
yang
ada
pada
masyarakat
dapat
mempengaruhi sikap dalam menerima informasi. e.
Pengukuran pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
22
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatanya (Notoatmodjo, 2007, p.142).
4.
Sikap a.
Definisi Menurut Notoatmodjo (2005) sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek tertentu, yang melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2005, p.52).
b.
Komponen pokok sikap Menurut Allport (1954) yang dikutip Notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok, yakni: 1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu obyek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap obyek.
23
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap obyek. 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk berperilaku terbuka (Notoatmodjo, 2005, p.53). c.
Tingkatan sikap Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo, 2007, p.144), yaitu:
1) Menerima (receiving) Diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan obyek. 2) Merespon (responding) Merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah. 3) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap menghargai. 4) Bertanggung jawab Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
24
d.
Pengukuran sikap Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Misalnya, bagaimana pendapat responden tentang keluarga berencana, atau juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan setuju atau tidak setuju terhadap
pernyataan-pernyataan
terhadap
obyek
tertentu,
dengan
menggunakan skala Lickert (Notoatmodjo, 2005, p.57).
Ada beberapa skala pengukuran dalam sikap, diantaranya: 1) Skala Likert Skala ini dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang tentang gejala atau masalah yang ada dimasyarakat atau dialaminya. Beberapa bentuk jawaban pertanyaan atau pernyataan yang masuk dalam kategori skala Likert adalah sebagai berikut: (1) Pernyataan positif meliputi: sangat setuju, setuju, tidak setuju atau sangat tidak setuju atau SS- S- TS –STS dengan nilai 4, 3, 2, 1. (2) Pernyataan negatif meliputi: sangat setuju, setuju, tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan nilai 1, 2, 3, 4 (Hidayat, 2007, p.102).
2) Skala Guttman Skala ini merupakan skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari pertanyaan atau
25
pernyataan: ya, dan tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala ini pada umumnya dibuat seperti checklist dengan interpretasi penilaian, apabila skor benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0 dan analisisnya dapat dilakukan seperti skala Likert (Hidayat, 2007, p.103).
3) Skala Diferensial Semantic Merupakan skala perbedaan semantic yang berisi pernyataan sikap seseorang, yang memberikan jawaban rentang dari positif ke negatif. 4) Rating Scale Merupakan skala sikap yang memberikan pernyataan dengan jawaban yang yang berupa angka yang telah disediakan, yang hampir sama dengan skala Likert akan tetapi tersedia jawaban berupa interval angka (Hidayat, 2007, p.104). 5) Skala Thrustone Merupakan skala yang memberikan sejumlah pernyataan pada responden. Responden diminta untuk memilih sebagian dari pernyataan, kemudian dihitung oleh peneliti sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan (Hidayat, 2007, p.105).
5.
Perawatan organ genetalia eksterna
26
a.
Organ genetalia eksterna Sistem reproduksi perempuan terdiri atas genetalia eksterna dan genetalia interna (Setiadi, 2007, p.100). Alat kandungan luar (genetalia eksterna) dalam arti sempit adalah alat kandungan yang dapat dilihat dari luar bila wanita dalam posisi litotomi. Fungsi alat kandungan luar dikhususkan untuk kopulasi atau koitus (Mochtar, 2002, p.5). Organ genetalia eksterna yaitu bagian organ reproduksi yang berada di bagian luar badan, pada wanita merupakan struktur kompleks yang keseluruhanya disebut vulva. Bagian paling luar dari vulva terdiri atas lipatan kulit mengandung lemak disebut labia mayora (sepasang), disebelah dalamnya terdapat sepasang lipatan kulit, banyak jaringan vascular tanpa lemak disebut labia minora. Di sebelah kaudo-anterior masih terbungkus oleh labia minora terdapat satu organ erektil yang homolog dengan penis pada pria disebut klitoris. Diantara klitoris dan rongga vagina yaitu pada vulva bermuara saluran uretra (1 buah). Pada seorang gadis, ada lapisan tipis di vagina yang disebut himen (Syahrum, 2000). Menurut Setiadi (2007) genetalia eksterna secara kesatuan disebut vulva atau pudendum. Genetalia eksterna terdiri dari: 1) Mons pubis, adalah bantalan jaringan lemak dan kulit yang terletak di atas simpisis pubis. Bagian ini tertutup rambut pubis setelah pubertas. Berfungsi untuk melindungi alat genetalia dari masuknya kotoran selain itu untuk estetika.
27
2) Labia mayora (bibir mayor), adalah dua lapisan kulit longitudinal yang merentang kebawah dari mons pubis dan menyatu pada sisi posterior perineum. Labium mayus analog dengan skrotum pada alat kelamin laki-laki. Berfungsi untuk menutupi organ-organ genetalia di dalamnya dan mengeluarkan cairan pelumas pada saat menerima rangsangan seksual. 3) Labia minora (bibir minora), adalah lipatan kulit diantara labia mayora, tetapi mengandung kelenjar sebasea dan beberapa kelenjar keringat. Pertemuan lipatan-lipatan labia minora di bawah klitoris disebut prepusium dan area lipatan di bawah klitoris disebut frenulum. Berfungsi untuk menutupi organ-organ genetalia didalamnya serta merupakan daerah erotik yang mengandung pambuluh darah dan syaraf. 4) Klitoris, homolog dengan penis pada laki-laki, tetapi lebih kecil dan tidak memiliki mulut uretra. Klitoris terdiri dari dua krura (akar), satu batang dan satu glans klitoris bundar yang mengandung banyak ujung syaraf dan sangat sensitif. Batang klitoris mengandung dua corpora kavernosum yang tersusun dari jaringan erektil. Saat mengembung dengan darah selama eksitasi seksual, bagian ini bertanggungjawab untuk ereksi klitoris. Merupakan daerah erotik utama pada wanita yang akan membesar dan mengeras apabila mendapatkan rangsangan seksual. 5) Vestibula, adalah area yang dikelilingi oleh labia minora yang menutupi mulut uretra, mulut vagina dan duktus kelenjar bartholini. Kelenjar
28
bartholini homolog dengan kelenjar bulbouretral pada laki-laki. Kelenjar ini memproduksi beberapa tetes sekresi mukus untuk membantu melumasi orifisium vaginal saat eksitasi vaginal seksual. Bulbura vestibular adalah massa jaringan erektil dalam disubstansi jaringan labial. Bagian ini sebanding dengan corpora spongiosum penis. Berfungsi untuk mengeluarkan cairan apabila ada rangsangan seksual yang berguna untuk melumasi vagina pada saat bersenggama. 6) Orifisium uretra, adalah jalur keluar urine dari kandung kemih, tapi lateralnya mengandung duktus untuk kelenjar parauretral (skene), yang dianggap homolog dengan kelenjar prostat pada laki-laki. 7) Mulut vagina, terletak dibawah orifisium uretra. Himen (selaput darah) adalah suatu membran yang bentuk dan ukuranya bervariasi, melingkari mulut vagina. Merupakan lapisan tipis yang menutupi sebagian besar dari introitus vagina, membentuk lubang sebesar ibu jari sehingga darah haid maupun sekret dan cairan dari genetalia interrnal dapat mengalir keluar. 8) Perineum, yaitu kulit antara pertemuan dua lipatan labia mayor dan anus yang merupakan area berbentuk seperti intan yang terbentang dari simpisis pubis di sisi anterior sampai ke koksiks disisi posterior dan ke tuberositas iskial disisi lateral (Setiadi, 2007, p.101). b.
Tujuan dan manfaat perawatan organ genetalia eksterna Alat reproduksi merupakan salah satu organ tubuh yang sensitif dan memerlukan perawatan khusus. Pengetahuan dan perawatan yang baik
29
merupakan faktor penentu dalam memelihara kesehatan reproduksi (Siswono, 2001). Menurut Siswono (2001) perawatan vagina memiliki beberapa manfaat, antara lain : 1) Menjaga vagina dan daerah sekitarnya tetap bersih dan nyaman 2) Mencegah munculnya keputihan, bau tidak sedap dan gatal-gatal 3) Menjaga agar Ph vagina tetap normal (3,5-4,5) Sedangkan tujuan perawatan alat reproduksi eksternal antara lain: 1) Menjaga kesehatan dan kebersihan vagina. 2) Membersihkan bekas keringat dan bakteri yang ada di sekitar vulva di luar vagina. 3) Mempertahankan Ph derajat keasaman vagina normal, yaitu 3,5 sampai 4,5. 4) Mencegah rangsangan tumbuhnya jamur, bakteri, protozoa. 5) Mencegah munculnya keputihan dan virus (Siswono, 2001). c.
Cara merawat organ genetalia eksterna Tinggal di daerah tropis yang panas membuat kita sering berkeringat. Keringat ini membuat tubuh kita lembab, terutama pada organ seksual dan reproduksi yang tertutup dan berlipat. Akibatnya bakteri mudah berkembang biak dan ekosistem di vagina terganggu sehingga menimbulkan bau tidak sedap serta infeksi. Untuk itulah kita perlu menjaga keseimbangan ekosistem vagina.
30
Ekosistem vagina adalah lingkaran kehidupan yang ada di vagina. Ekosistem ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu estrogen dan laktobasilus (bakteri baik). Jika keseimbangan ini terganggu, bakteri laktobasilus akan mati dan bakteri phatogen akan tumbuh sehingga tubuh akan rentan terhadap infeksi. Sebenarnya di dalam vagina terdapat bakteri, 95 persenya adalah bakteri yang baik, sedang sisanya adalah bakteri phatogen. Agar ekosistem seimbang, dibutuhkan tingkat keasaman (ph balance) pada kisaran 3,8-4,2. Dengan tingkat keasaman tersebut, laktobasilus akan subur dan bakteri phatogen mati. Banyak faktor yang menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem vagina, antara lain kontrasepsi oral, diabetes mellitus, pemakaian antibiotik, darah haid, cairan mani, penyemprotan cairan ke dalam vagina (dounching) dan gangguan hormon (pubertas, menopause dan kehamilan). Dalam keadaan normal, vagina mempunyai bau yang khas. Tetapi, bila ada infeksi atau keputihan yang tidak normal dapat menimbulkan bau yang mengganggu, seperti bau yang tidak sedap, menyengat, dan amis yang disebabkan jamur, bakteri atau kuman lainya. Jika infeksi yang terjadi di vagina ini dibiarkan, bisa masuk sampai ke dalam rahim (Wijayanti, 2009, p.37). Struktur kemaluan perempuan bersifat khas. Saluran vagina senantiasa terbuka dengan dunia luar. Kemungkinan dimasuki benda apa pun, termasuk oleh bibit penyakit selalu ada. Hanya karena suasana masam
31
yang terbentuk di mulut saluran vagina, dan posisi saluran vagina yang senantiasa terkatup (mingkem), sehingga tidak sembarang barang, atau bibit penyakit berhasil masuk. Maka, sebagaimana halnya “mantel” alami yang sengaja dibentuk sebagai pelindung kulit, saluran vagina juga membentuk suasana masam. Ini dimungkinkan oleh hadirnya kuman Doderlein yang hidup berdampingan secara damai dengan tubuh. Kuman ini yang memproduksi asam, perintang masuknya bibit penyakit (Nadesul, 2008, p.50). Cara membersihkan daerah kewanitaan yang terbaik ialah membasuhnya dengan air bersih. Satu hal yang harus diperhatikan dalam membasuh daerah kewanitaan, terutama setelah buang air besar (BAB), yaitu dengan membasuhnya dari arah depan ke belakang (dari arah vagina ke arah anus), bukan sebaliknya. Karena apabila kita terbalik arah membasuhnya, maka kuman dari daerah anus akan terbawa ke depan dan dapat masuk ke dalam vagina (Wijayanti, 2009, p.40). Apabila menggunakan sabun untuk membersihkan daerah intim, sebaiknya gunakan sabun yang lunak (dengan ph 3,5), misalnya sabun bayi yang biasanya ber-ph netral. Sebaiknya hindari pemakaian berbagai jenis pembersih vagina, sebab di dalam vagina sebenarnya telah ada suatu mekanisme alami yang akan mempertahankan keseimbangan keasaman vagina. Mekanisme ini diperankan oleh bakteri normal yang secara alami terdapat di dalam vagina. Apabila keseimbangan tersebut terganggu, bakteri baik di dalam vagina
32
akan mati dan justru menyebabkan perkembangbiakan bakteri jahat yang dapat menimbulkan penyakit. Apabila membersihkan daerah kewanitaan dengan sabun dan sejenisnya, sebaiknya hanya di bagian luarnya saja. Misalnya bagi wanita yang sudah bersuami, setelah berhubungan suami-istri, boleh menggunakan pembersih vagina, yaitu untuk mengembalikan keasaman vagina, karena sifat sperma laki-laki adalah basa. Tapi sekali lagi hanya di bagian luarnya saja, jangan disemprotkan ke dalam vagina. Sebaiknya gunakan sabun bayi karena biasanya sabun bayi memiliki ph netral. Setelah memakai sabun, hendaklah dibasuh dengan air sampai bersih (sampai tidak ada lagi sisa sabun yang tertinggal), sebab bila masih ada sisa sabun yang tertinggal dapat menimbulkan penyakit. Setelah dibasuh, harus dikeringkan dengan handuk atau tissu, tetapi jangan digosokgosok (Wijayanti, 2009, p.41). Pemakaian celana yang terlalu ketat juga sebaiknya dihindari, karena hal ini menyebabkan kulit sulit bernafas dan akhirnya bisa menyebabkan daerah kewanitaan menjadi lembab dan teriritasi. Pemilihan bahan juga tidak kalah pentingnya, dianjurkan menggunakan bahan yang nyaman dan menyerap keringat, misalnya katun. Pemakaian pantyliner setiap hari secara terus menerus juga tidak dianjurkan. Pantyliner sebaiknya hanya digunakan pada saat keputihan banyak saja atau lebih baik membawa celana dalam untuk ganti (Wijayanti, 2009, p.43).
33
Begitu juga dengan pemilihan pembalut wanita, sebaiknya pilihlah pembalut yang tidak mengandung gel, sebab gel dalam pembalut kebanyakan dapat menyebabkan iritasi dan menyebabkan timbulnya rasa gatal. Menurut Wijayanti (2009) cara merawat organ intim wanita antara lain: 1) Mandi dengan teratur dengan membasuh vagina dengan air hangat dan sabun yang lembut. 2) Cuci tangan sebelum menyentuh vagina 3) Setelah buang air besar dan kencing, selalu “cebok”dengan arah dari depan ke belakang (ke arah anus). Jangan arah sebaliknya, karena hal ini akan membawa bakteri dari anus ke vagina. 4) Selalu gunakan celana dalam yang bersih dan terbuat dari bahan katun. Bahan lain misalnya nylon dan polyester akan membuat gerah, panas dan membuat vagina menjadi lembab. Kondisi ini sangat disukai bakteri dan jamur untuk berkembang biak. 5) Hindari penggunaan deodoran, cairan pembasuh (douches), sabun yang keras, serta tissu yang berwarna dan berparfum. 6) Hindari juga menggunakan handuk atau waslap milik orang lain untuk mengeringkan vagina. 7) Mencukur sebagian dari rambut kemaluan untuk menghindari kelembaban yang berlebihan di daerah vagina (Wijayanti, 2009, p.50).
34
Secara
umum,
menjaga
kesehatan
berawal
dari
menjaga
kebersihan. Hal ini juga berlaku bagi kesehatan organ-organ seksual. Untuk menjaga kebersihan vagina, yang perlu kita lakukan adalah secara teratur membasuh bagian di antara vulva (bibir vagina) secara hati-hati menggunakan air bersih dan sabun yang lembut (mild) setiap selesai buang air kecil, buang air besar, dan ketika mandi. Kalau kita alergi juga dengan sabun yang lembut sekalipun, cukup basuh dengan air hangat. Yang penting adalah membersihkan bekas keringat dan bakteri yang ada disekitar vulva di luar vagina. Bagian dalam vagina biasanya akan mampu menjaga kebersihannya sendiri. Ingat, cara membasuh yang benar adalah dari arah depan (vagina) ke belakang (anus), jangan terbalik, karena akan menyebabkan bakteri yang ada di sekitar anus terbawa masuk ke vagina. Gunakan air bersih, lebih baik lagi air hangat, tetapi jangan terlalu panas karena bisa menyebabkan kulit yang sensitif di daerah vagina melepuh dan lecet. Setelah itu, sebelum memakai celana lagi, keringkan dahulu menggunakan handuk atau tisu yang tidak berparfum. Penggunaan deodoran, sabun antiseptik yang keras, atau cairan pewangi (parfum) untuk menghilangkan bau di daerah kewanitaan bukanlah tindakan yang bijaksana, bahkan bisa berbahaya untuk kesehatan. Hal ini disebabkan: 1) Pada vagina yang sehat, juga hidup berbagai bakteri dan organisme termasuk yang merugikan dan bisa menyebabkan vaginitis. Terlalu sering membasuh vagina dengan cairan kimia (douching) dan
35
penggunaan deodoran dan parfum akan merusak kesimbangan yang ada sehingga akan memungkinkan terjadinya infeksi. Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang terjadi karena perubahan keseimbangan normal bakteri yang hidup disana. Tanda atau gejala paling umum adalah munculnya cairan yang berwarna putih keruh keabuan dan berbusa serta menimbulkan bau kurang sedap. 2) Penting diketahui bahwa selalu akan ada bau khas yang muncul dari daerah vagina, karena dinding vagina serta leher rahim memproduksi cairan. Cairan ini, yang berwarna putih atau kekuningan, adalah sehat dan normal. Bau, rasa, dan tingkat kekentalan cairan ini bisa berubahubah seiring dengan siklus menstruasi kita (Siswono, 2001).
d.
Efek perawatan yang salah pada alat reproduksi eksternal Syarif (2007) mengatakan bahwa efek samping dari kesalahan dalam merawat alat reproduksi eksternal, yaitu: 1) Jika ada pembersih/sabun berbahan daun sirih digunakan dalam waktu lama, akan menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu. 2) Produk pembersih wanita yang mengandung bahan povidone iodine mempunyai efek samping dermatitis kontak sampai reaksi alergi yang berat.
36
B. Kerangka Teori Berdasarkan teori di atas disusun kerangka teori sebagai berikut: Faktor predisposisi: a. Pendidikan b. Pengetahuan c. Sikap d. Persepsi e. Tradisi f. Sistem nilai g. Sosial ekonomi
Faktor pemungkin: Sarana prasarana
Perilaku perawatan organ genetalia eksterna
Faktor penguat: a. Sikap petugas b. Perilaku petugas c. Undang-undang d. Peraturanperaturan
Sumber: Teori Lawrence Green (Notoadmojo, 2003)
37
C. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Variabel bebas
Variabel terikat
Pengetahuan perawatan organ genetalia eksterna Perilaku perawatan organ genetalia eksterna Sikap perawatan organ genetalia eksterna
D. Hipotesis 1.
Ada hubungan antara pengetahuan perawatan organ genetalia eksterna dengan perilaku perawatan organ genetalia eksterna pada siswi SMA Futuhiyah Mranggen Demak
2.
Ada hubungan antara sikap perawatan organ genetalia eksterna dengan perilaku perawatan organ genetalia eksterna pada siswi SMA Futuhiyah Mranggen Demak