BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku 2.1.1 Konsep Perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai kegiatan yang sangat luas sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan seterusnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo 2003). 2.1.2 Bentuk Perilaku Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya tiga ranah perilaku, yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangakan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Pengetahuan (knowledge) b. Sikap (attitude) c. Tindakan (practice) a. Perilaku dalam bentuk Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan
terhadap
objek
tertentu.
Pengindraan
terjadi
melalui
panca
indramanusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau cognitive merupakan domain yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 1993). Selain melalui pendidikan formal dan informal, pengetahuan tentang gizi dan pola makan yang baik dapat diperoleh melalui buku-buku pustaka, majalah, telivisi, radio, surat kabar dan orang lain seperti orangtua, dokter dan ahli gizi. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda secara garis besarnya dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu : 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesutau yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Universitas Sumatera Utara
2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secar benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatau kemampuan seseorang untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukan pada kemampuan seseorang untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyususn suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Universitas Sumatera Utara
6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003). b. Perilaku dalam bentuk Sikap Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, berprestasi dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berprilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek. Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimunus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat, dan emosi yang bersangkutan senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya. Menurut Newcomb, yang dikutip Notoatmodjo (1993) salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesedian untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu : 1.
Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
Universitas Sumatera Utara
2.
Menanggapi (responding) Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3.
Mengahargai (valuing) Menghargai diartikan subjekatau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti membahasnya dengan orang lain bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain merespons.
4.
Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan.Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “ tidak setuju “ terhadap pernyataan-pernyataan terhadap objek tertentu. c. Perilaku dalam bentuk Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap ,menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan factor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apayang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut pratik (practice) kesehatan. Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi
tiga tingkatan menurut
kwalitasnya, yakni :
Universitas Sumatera Utara
1. Praktik terpimpin (guided response) Apabila suatu subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. 2. Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mem[praktikan sesuatu hal secara otomatis, maka disebut praktik atau tindakan mekanis. 3. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,atau bulan yang lalu (recall). Pengkuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2005). 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menurut Green bahwa factor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu : 1. Faktor-faktor
redisposisi
(disposing
factors),
adalah
faktor
yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. 3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
2.2 Perilaku Makan Remaja Perilaku
merupakan hasil dari segala macam pengalaman secara instansi
manusia dengan lingkungan yang berwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku makan adalah cara seseorang berfikir, berpengetahuan dan berpandangan tentang makanan. Apa yang ada dalam perasaan dan pandangan itu dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Jika keadaan itu terus menerus berulang maka tindakan tersebut akan menjadi kebiasaan makan (Khumaidi, 1994). Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Pada usia ini fisik seseorang terus berkembang, demikian pula aspek sosial maupun psikologisnya. Perubahan ini membuat seorang remaja banyak ragam gaya hidup, perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makan apa yang dikonsumsi yang sangat berpengaruh terhadap keadaan gizi seorang remaja.
Ketika memasuki masa remaja, khususnya masa pubertas, remaja sangat peduli atas pertambahan berat badan mereka. Terjadi perubahan
Universitas Sumatera Utara
fisiologis tubuh yang kadangkala menggangu. Biasanya hal ini lebih sering dialami oleh remaja putri daripada remaja putra. Bagi remaja putri mereka mengalami pertambahan jumlah jaringan lemak sehingga mereka akan mudah gemuk apabila mengonsumsi makanan yang berkalori tinggi (Raymond, 2000). Adapun perilaku makan (dalam hal pola makan) yang ditunjukkan remaja adalah mengonsumsi makanan fast food (cepat saji). Kini makanan fast food telah menjadi bagian dari perilaku sebagian anak sekolah dan remaja di luar rumah diberbagai kota. Jenis makanan siap santap (fast food)yang berasal dari negara barat seperti KFC, hamburger, pizza dan berbagai jenis makanan berupa kripik (junk food) sering dianggap sebagai lambang kehidupan modern oleh para remaja. Padahal fast food dan junk food mempunyai kandungan tinggi kalori, karbohidrat dan lemak, jika makanan fast food dan junk food dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menyebabkan obesitas ( Mudjianto, 1993). Berdasarkan hasil penelitian Padmiari (2005) terhadap konsumsi fast food di Denpasar. Ternyata prevalensi obesitas di Denpasar cukup tinggi (13,6%). Prevalensi obesitas lebih tinggi di sekolah swasta (18,2%) daripada di sekolah negeri (12,4%). Semakin beranekaragaman jenis fast food yang dikonsumsi, semakin tinggi pula resiko seseorang menderita obesitas. Anak yang memperoleh intake energi dari fast food sebanyak 75% lebih berpeluang untuk menjadi obesitas daripada anak yang memperoleh intake energi yang dikonsumsi dari fast food, semakin tinggi resiko obesitas seseorang.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Pola Makan Ada beberapa definisi mengenai pola makan menurut beberapa pakar, yaitu Yayuk Farida Baliwati, dkk (2004:69) mengatakan pola makan atau pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Sedangkan Soegeng Santosa dan Anne Lies Ranti (2004 : 89) mengungkapkan bahwa pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat dua pakar yang berbeda-beda dapat diartikan secara umum bahwa pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Kebiasaan makan sangat dipengaruhi gaya hidup. Faktor-faktor yang merupakan input bagi terbentuknya gaya hidup keluarga adalah penghasilan, pendidikan, lingkungan hidup kota atau desa, susunan keluarga, pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama, pendapat tentang kesehatan, pendidikan gizi, produksi pangan dan ditribusi, serta sosial politik (Almatsier, 2003). Pengukuran konsumsi makanan untuk tingkat individu dapat dilakukan metode food recall 24 jam, estimated food record, penimbangan makanan, dietary history dan food frequency (Cameron, 1988 dan Supariasa dkk, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Pola Makan Remaja Menurut Hoang (1985) berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Makanan yang dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai cara pengolahannya. Di masyarakat dikenal pola makan dan kebiasaan makan di mana seseorang atau sekelompok orang tinggal. Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologi sosial dan budaya (Soehardjo, 1996).
Kebiasaan makan menurut Guthe dan Mead (dalam Khumaidi, 1994) adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia yang didasarkan kepada faktor-faktor social dan budaya dimana ia/mereka hidup. Khumaidi lebih lanjut menyimpulkan, bahwa kebiasaan makan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi asosiasi emosional, keadaan jasmani dan rohani yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap makanan. Faktor ektrinsik meliputi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Berdasarkan hasil penelitian Frank Ge yang dikutip oleh Moeji (1992), mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan anak dengan ukuran tubuhnya. Makan siang dan makan malam remaja menyediakan 60% intake kalori, sementara makanan jajanan menyediakan 25%. Anak obesitas ternyata akan sedikit makan pada waktu pagi dan lebih banyak makan pada waktu siang dibandingkan dengan anak kurus pada umur yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Arnelia (2005), ada beberapa pola makan remaja yang sangat khas dan berbeda dibandingkan usia lainnya, yaitu : 1. Tidak makan terutama makan pagi atau sarapan. 2. Kegemaran makan snacks dan kembang gula serta softdrinks. Snacks (makanan kecil) umumnya dikonsumsi pada waktu sore hari setelah pulang dari sekolah. 3. Makanan cepat saji sangat digemari, baik yang langsung dibeli atau makanan yang dibawa dari rumah. Makanan modern ini dikonsumsi sebagai bagian dari life style (gaya hidup). Makanan ini mengandung zat gizi yang tinggi energi, lemak, serta protein. 4. Gemar mengonsumsi minuman ringan (soft drink). Banyak remaja memiliki kebiasaan tidak sarapan pagi. Mereka sering menggantikan makan pagi dengan makan siang yang berlebih atau memakan makanan kecil yang tinggi lemak dan kalori dalam jumlah yang relatif banyak. Berdasarkan hasil penelitian Djoyonegoro (1995) yang dikutip Khomsan (2003), bahwa ada sekitar 60% anak Indonesia tidak sarapan pagi sebelum berangkat kesekolah dan itu menjadi perhatian penuh, sebab sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Selain kebiasaan tidak sarapan pagi, saat ini remaja lebih menyukai mengonsumsi makanan jajanan cepat saji (fast food). Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1999, menunjukkan bahwa persentase pengeluaran rata-rata per kapita penduduk
Universitas Sumatera Utara
perkotaan untuk makanan jajanan (termasuk fast food) meningkat dari 9,13% pada tahun 1996 menjadi 11,37% pada tahun 1999. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta pengeluaran untuk makanan jadi lebih besar yaitu seperempat dari total pengeluaran pangan (Asdie, 2005). 2.5 Aktivitas Fisik Remaja Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang mulai dari bangun sampai tidur kembali. Aktivitas fisik berarti menggunakan otot untuk menggerakkan badan. Perbaikan tingkat hidup dan kemajuan teknologi telah memacu perubahan pola kebiasaan hidup atau gaya hidup. Dalam kehidupan masyarakat modern dengan dukungan teknologi dan sarana yang mutakhir, meyebabkan menurunnya aktivitas fisik. Penggunaan elevator telah menggantikan fungsi tangga diberbagai sarana umum. Adanya remote kontrol juga menyebabkan remaja kurang bergerak dan tidak perlu beranjak dari tempat menonton televisi. Penggunaan alat transportasi bermotor juga telah menggeser peran sepeda (Nadesul, 1997). Aktivitas fisik yang sesuai, aman dan efektif dalam upaya menurunkan berat badan adalah dengan berolah-raga, karena akan membantu memelihara berat badan yang optimal. Gerak yang dilakukan saat berolah-raga berbeda dengan gerak saat menjalamkan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, duduk atau hanya menggunakan tangan, hal ini merupakan gerak anggota badan yang tidak seimbang.
Universitas Sumatera Utara
Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik tersebut diperlukan untuk membakar energi dari dalam tubuh. Apabila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik akan memudahkan seseorang memiliki berat badan berlebih. Aktivitas (kegiatan) fisik biasanya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu (Khumaidi, 1994) : 1. Ringan: 75% waktu untuk duduk atau berdiri, 25% waktu untuk berdiri sambil bergerak. 2. Sedang: 40% waktu untuk duduk atau berdiri, 60% waktu untuk melakukan pekerjaan khusus. 3. Berat:
25% waktu untuk duduk dan berdiri, 75% waktu untuk melakukan pekerjaan khusus.
Menurut Leane (2007), saat berangkat sekolah remaja lebih menyukai menggunakan alat transportasi ketika berangkat sekolah, daripada menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Selain itu banyak diantaranya yang malas mengikuti kegiatan ekskul kalau tidak ada yang mengantar. Mereka merasa lebih nyaman dengan mendekam dikamar sambil main play station atau menonton televisi. Remaja lebih menyukai pergi ke mal sewaktu weekend, padahal di mal jarang ada resto yang menyediakan makanan sehat. Hal tersebut yang menyebabkan tidak adanya output energi atau sedikit sekali kalori yang dibakar akibat aktifitas fisik yang minim.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Gizi Remaja Sedikit sekali yang diketahui tentang asupan pangan remaja. Meski asupan kalori dan potein sudah tercukupi, namun elemen lain seperti besi, kalsium dan beberapa vitamin ternyata masih kurang. Ketidakseimbangan asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan satu faktor resiko penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit. Masa remaja adalah masa yang menyenangkan, namun juga merupakan masa yang kritis dan sulit, karena merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (Dariyo, 2004). Berkaitan dengan pertumbuhan fisik tersebut, bentuk tubuh yang ideal dan wajah yang menarik merupakan hal yang diidam-idamkan hampir oleh semua orang, apalagi bagi banyak remaja yang mulai mengembangkan konsep diri dan juga hubungan heteroseksual. Untuk itu kecenderungan menjadi gemuk atau obesitas, dapat mengganggu sebagian anak pada masa puber dan manjadi sumber keprihatinan selama tahun-tahun awal masa remaja (Hurlock, 2004). Oleh karena itu, konsumsi pangan remaja sangat penting diperhatikan karena kebiasaan para remaja mengonsumsi makanan fast food. Kebiasaan makan remaja 40% terdiri dari snack yang berkalori tinggi seperti hamburger, pizza dan junk food.
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu konsumsi makanan remaja sangat penting diperhatikan karena pada masa ini merupakan masa pertumbuhan sel-sel yang sangat cepat. Adapun kebutuhan akan zat gizi pada golongan remaja sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan dikhususkan pada kecukupan kalori dan protein dapat digambarkan pada tabel berikut: Tabel 2.1 Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Remaja per Kelompok Umur Golongan Umur (tahun) Pria 10-12 13-15 16-19 Wanita 10-12 13-15 16-19
Berat Badan 30 45 56 35 46 50
Tinggi Badan 135 150 160 140 153 154
Energi (kkalori) 2000 2400 2500 1900 2100 2000
Protein (Gr) 45 66 66 54 62 51
Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. LIPI. Jakarta, 2004. Sedangkan kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. WHO menganjurkan komsumsi lemak sebanyak 15-30% dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Jumlah ini memenuhi kebutuhan akan asam lemak esensial dan untuk membantu penyerapan vitamin larut lemak (Almatsier, 2002). 2.7 Berbagai Pengertian Obesitas Kegemukan dan obesitas merupakan dua hal yang berbeda. Namun, keduanya sama-sama menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan didalam tubuh, yang ditandai dengan peningkatan nilai indeks massa diatas normal. Penderita obesitas mengalami penumpukan lemak yang lebih banyak dibandingkan dengan penderita kegemukan untuk jangka waktu yang lama, berisiko lebih tinggi untuk terkena beberapa penyakit degeneratif (Asdie, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Kegemukan berhubungan dengan kelebihan berat badan daripada berat badan yang diinginkan. Obesitas berhubungan dengan kelebihan lemak tubuh. Obesitas biasanya didefinisikan sebagai kelebihan berat lebih dari 20% berat badan ideal (BBI) atau berat badan yang diinginkan. Obesitas merupakan keadaan patologik dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Dari sudut ilmu gizi, defenisi obesitas yang baik adalah bila tercakup pengertian terjadinya penimbunan trigliserida yang berlebihan dan terdapat di seluruh tubuh (Moehji S, 2003). Obesitas terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obesitas) yang disebabkan penumpukan adipose (adipocytes : jaringan lemak khusus yang disimpan tubuh) secara berlebihan. Jadi obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih dibandingkan berat badan yang idealnya yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak tubuhnya (Mutadin, 2002). Kelebihan berat badan (overweight) merupakan suatu keadaan terjadinya penimbunan lemak secara berlebih, yang menyebabkan kenaikan berat badan. Seseorang dikatakan mengalami kegemukan (obesitas) jika terjadi kelebihan berat badan sebesar 20% dari berat badan ideal (Wirakusumah, 2001). 2.8 Penyebab Obesitas Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan seseorang menderita kelebihan berat beadan atau kegemukan. Beberapa faktor tersebut yaitu faktor genetik, difungsi salah satu bagian otak. Pola makan yang berlebih, kurang gerak, olahraga, emosi dan faktor lingkungan (Mutadain, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya seringkali dijumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel dalam lemak tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar. Orang yang kegemukan lebih responsif dibandingkan dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan saat ia lapar. Pola makan berlebih ini yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan. Faktor lingkungan juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk adalah simbol kemakmuran dan kehindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan. 2.9 Resiko Obesitas pada Remaja Telah diketahui bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya obesitas bersifat multi faktor dan apabila tidak cepat dicegah serta dilakukan upaya penanggulangannya, maka akan terjadi resiko-resiko yang berhubungan dengan kesehatan. Resiko-resiko yang terjadi bila obesitas tidak segera dicegah adalah : 1.
Pertumbuhan dan perkembangan fisik akan lebih cepat matang, misalnya pertumbuhan rambut kelamin dan ketiak, anak mendapat menstruasi menard (haid pertama kali) pada usia yang lebih dini.
Universitas Sumatera Utara
2.
Gangguan psikososial, yaitu keterbatasan dalam pergaulan dan partisipasi dalam berbagi jenis kegiatan olah raga. Anak lebih suka menyendiri dan memuaskan dirinya dengan santai dan makan.
3.
Berlanjut menjadi obesitas dewasa yang merupakan faktor resiko timbulnya beberapa penyakit seperti penyakit jantung koroner, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia, diabetes mellitus, hipertensi, batu empedu dan penyakit kanker.
4.
Rendahnya daya tahan tubuh sehingga mudah mendapat gangguan pernapasan dermatitis, sehingga tidak disukai oleh teman dan pergaulannya.
2.10 Cara Penentuan Obesitas Cara untuk menentukan seseorang menderita obesitas perlu dilakukan penilaian status gizinya. Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi atau kondisi yang dapat diukur. Penilaian status gizi apat dilakukan dengan dua cara yaitu cara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisika, sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga cara yaitu survei konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2002). Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal ditentukan berdasarkan nilai body mass indeks (BMI). Di Indonesia istilah BMI diterjemahkan menjadi indeks massa tubuh (IMT). Khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengukur IMT akan diketahui apakah berat seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk dengan menggunakan rumus : Berat badan (kg) IMT = Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Batasan ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan, dan penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berusia diatas 18 tahun. Tetapi timbullah masalah yang diterapkan oleh WHO NCHS dengan keterbatasan tinggi badan yakni, laki-laki maksimal 145 cm dan perempuan maksimal137 cm. Dengan keterbatasan satu hal di atas, maka dibutuhkan batas ambang IMT yang dapat ditentukan berdasarkan baku IMT meurut umur (CDC 2000) yang membedakan batas ambang untuk remaja lakilaki dan perempuan (Anonim, 2000). Sedangkan untuk menghitung konsumsi zat-zat gizi, seperti energi digunakan suatu metode. Metode yang sering dipakai adalah metode recall, yang dilakukan dalam waktu 24 jam dan sebaiknya dilakukan 2 (dua) hari berturut-turut. Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jmlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Selain mudah dilakukan, murah dan cepat. Metode ini juga memberi gambaran yang nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Universitas Sumatera Utara
2.11 Kerangka Teori Dari beberapa teori maupun hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat disusun gambaran terjadinya obesitas dalam bentuk kerangka teoritis sebagai berikut :
Error! Karakteristik - Pengetahuan - Sikap
- Pola makan
Obesitas
- Aktivitas fisik
anak SMU
pada
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
2.12 Kerangka Konsep Perilaku makan meliputi pengetahuan, sikap dan pola makan sebagai tindakan. Pengetahuan dan sikap dapat mempengaruhi pola makan, sedangkan aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi pola makan. Pola makan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas. Variabel yang diteliti adalah: Perilaku Makan, Aktivitas Fisik, dan Obesitas.
Perilaku Makan : - Pengetahuan - Sikap - Pola Makan Obesitas pada anak SMU
Aktivitas Fisik : - Ringan - Sedang - Berat
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara