BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1
TINJAUAN APARTEMEN
2.1.1 PENGERTIAN APARTEMEN Suatu ruangan atau kumpulan ruang yang digunakan sebagai unit rumah tinggal yang sifatnya dapat digunakan untuk milik pribadi atau disewakan. (Pei, 1973) Suatu ruang hunian , sekarang merupakan suatu kumpulan ruangan yang digunakan sebagai hunian atau suatu gedung yang terdiri dari sejumlah kumpulan ruang hunian. (Samuel, 1976) Bangunan dalam suatu lingkungan , yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam area yang horizontal maupun vertikal dan merupakan satu kesatuan yang masing-masing dapat digunakan terpisah, terutama untuk tempat hunian yang di lengkapi bagian bersama , benda-benda bersama dan tanah bersama. (Hornby, 1995) Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa apartemen adalah suatu bangunan yang terdiri dari unit-unit rumah tinggal untuk memenuhi kebutuhan hunian yang di bangun secara vertikal.
11
12
2.1.2 JENIS APARTEMEN Berdasarkan tingginya, (Samuel, 1967) : •
Low rise apartmen (<6 lantai)
•
Medium rise apartmen (6 - 9 lantai)
•
High Rise apartmen (>9 lantai)
Berdasarkan pelayanan koridor (Samuel, 1967) : •
Exterior corridor system Memiliki koridor yang berada di sisi luar, dan hanya terdiri dari satu lapis unit hunian. Sistem ini memaksimalkan terjadinya pencahayaan dan ventilasi alami.
•
Central corridor system Sering disebut juga doubel loaded corridor. Satu koridor melayani 2 unit hunian di kedua sisi.
•
Point block system Sistem pelayanan dengan mempergunakan core yang dikelilingi unit-unit hunian. Biasanya bentuk bangunan persegi meninggi ataupun tabung.
•
Multicore system Gabungan dari beberapa point block system.
Berdasarkan bentuk hunian (Samuel, 1967): •
Simplex apartment / Flat
13 Satu unit keluarga dilayani dalam satu lantai yang terdiri dari beberapa unit. Unit apartemen ini perlantai. Maka bukaan lift harus ada melayani setiap lantai.
Gambar 2.1 Skema simplex apartement Sumber: Hasil olahan peneliti
•
Duplex apartment Kebutuhan satu unit hunian keluarga dilayani dalam dua lantai.Unit yang memiliki dua lantai biasanya disediakan ruang servis yang letaknya di lantai bawah.Setiap unit dapat dicapai melalui koridor pada tingkat yang bawah, dan jika disediakan lift maka bukaan lift terletak pada lantai ini.
Gambar 2.2 Skema duplex apartemen Sumber: Hasil olahan peneliti
•
Triplex apartment Kebutuhan satu unit keluarga yang dilayani tiga lantai. Dalam setiap lantai biasanya terdapat beberapa hunian keluarga, tapi pencapaiannya hanya pada satu tingkat. Jika terdapat lift maka bukaan pintu lift disediakan pada lantai ini.
14
Gambar 2.3 Skema triplex apartement
Sumber: Hasil olahan peneliti
Berdasarkan sistem kepemilikan (Samuel, 1967):. •
Sistem Sewa (Rental Project) Apartemen yang disewakan tiap bulan oleh pemiliknya. Pemeliharaan gedung menjadi tanggung jawab pemilik apartemen. Sistem sewa terbagi atas: o Sistem sewa biasa Penghuni membayar sewa secara periodik kepada pemilik sesuai dengan perjanjian tanpa batas waktu tertentu. o Sewa beli Uang sewa yang dibayarkan oleh penghuni bersifat angsuran pembelian, dan jika angsuran telah terpenuhi dari harga yang telah ditetapkan, maka unit menjadi milik penghuni. o Sewa kontrak sistem dimana penghuni membayar sewa secara berkala sesuai perjanjian. Jika kontrak telah berakhir maka dapat dilakukan perjanjian baru sesuai kesepakatan bersama.
15
•
Sistem Koperasi (Cooperative) Sistem ini tidak ada keuntungan seperti rental project, setiap penghuni merupakan pemilik. Fasilitas seringkali lebih mewah dari rental project, seperti adanya ruang pertemuan, club house, dan sebagainya.
•
Sistem Sewa Beli (Condominium) Sistem dimana kepemilikan apartemen diperoleh dari angsuran setiap calon penghuni. Setiap penghuni mempunyai surat hipotik dan fasilitas yang dimiliki adalah milik bersama. Apartemen ini disewakan kepada penghuni yang menempatinya, karena dengan sistem sewa dinilai lebih praktis. Dimana pemeliharaan gedung menjadi tanggung jawab pemilik apartemen, serta kelengkapan furniture dan peralatan lainnya yang akan mempengaruhi penampilan apartemen.
Berdasarkan golongan sosial (Savitri & Ignatius & Budiharjo & Anwar & Rahwidyasa, 2007) •
Apartemen sederhana
•
Apartemen menengah
•
Apartemen mewah
•
Apartemen super mewah
16
Berdasarkan fasilitas penunjang: Tabel 2.1 fasilitas apartemen berdasarkan letak fasilitas dan jenis apartemen Kriteria Fasilitas Penunjang Letak Fasilitas Low Medium High Doorman dan telepon, balkon Keamanan, yang besar, AC Dalam intercom, door central, service Keamanan Apartemen signal, balkon, entrance, unit AC pelayanan tempat tinggal pertemuan, parkir tambahan, tempat Laundry, ruang perbelanjaan, lift, Dalam Laundry, komersil, doorman, security Bangunan minimum lobby community room, system, circuit TV, central storage pelayanan kamar, health club,indoor swimming pool Kolam renang, playground and Taman, area Lapangan parkir sitting area, rekreasi, country Tapak terbuka, ruang ruang parkir yang club, kolam jemur aman dan renang terbuka terlindungi Sumber: ‘Solo Tower Apartemen’ Jurnal
2.1.3 PERSYARATAN TEKNIS APARTEMEN Dalam perancangan sebuah apartemen ada sebuah standar teknis kelengkapan bangunan yang di buat oleh Peraturan Menrteri PU NO. 60/PRT/1992, antara lain: •
Alat transportasi vertikal, terdiri dari: a. Lift, untuk bangunan dengan ketinggian di atas 4 lantai. b. Tangga, untuk bangunan dengan tinggi maksimal 4 lantai.
•
Pintu dan tangga darurat
•
Alat dan sistem pemadaman kebakaran.
17
2.2
•
Penangkal petir
•
Jaringan air bersih yang terdiri dari
•
Underground tank, roof tank, dan pompa.
•
Saluran pembuangan air hujan
•
Saluran pembuangan air limbah
•
Sistem pembuangan sampah
•
Tempat jemur
•
Jaringan listrik dengan generator cadangan
•
Jaringan gas
•
Jaringan telepon
TINJAUAN KEBISINGAN Bangunan seharusnya didesain dengan mempertimbangkan aspek akustik
lingkungan yang matang, dalam hal: Pengelompokan ruang, pemilihan site, Lay out bangunan, pemilihan bentuk massa bangunan, serta Finishing Bangunan, Vern O Knudsen, Cyril M. Harris (1979 – 296). Untuk membahas lebih jauh tentang aspek kebisingan lingkungan terhadap bangunan, akan dibicarakan secara berturut-turut pengertian kebisingan itu sendiri, bagaimana kebisingan itu merambat, dan bagaimana kebisingan itu dikurangi, sehingga memberikan pengaruh positif bagi pemakai banguan. 2.2.1 DEFINISI KEBISINGAN Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia
18 (Sasongko, dkk, 2000) Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep.MenLH. N0. 48 Tahun 1996) Semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat- alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kep.MenNaker. No. 51 Tahun 1999) Gangguan yang ditimbulkan noise tidak harus berupa bunyi yang keras. Bagi mereka yang sedang sakit gigi dan sangat membutuhkan istirahat, bahkan bunyi tetesan air pun dapat menjadi gangguan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian kebisingan bersifat subjektif, sehingga batasan kebisingan bagi orang yang satu bisa saja berbeda dengan batasan kebisingan bagi orang yang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian. 2.2.2 TIPE & JENIS KEBISINGAN Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam Keputusan Menteri LH (1996) menyatakan kebisingan sebagai suara yang tidak di inginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Keputusan Menteri LH No.48 Tahun 1996. Tentang: Baku Tingkat Kebisingan menyatakan bahwa kebisingan sebagai suara yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan
19 gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Sedangkan Wardhana (2001) membagi kebisingan atas tiga macam berdasarkan asal sumbernya yaitu: a. Kebisingan impulsive kebisingan yang datangnya tidak secara terus-menerus akan tetapi sepotong-sepotong. b. Kebisingan kontinyu kebisingan yang datang secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. c. Kebisingan semi kontinyu (intermittent) kebisingan kontinyu yang hanya sekejap, kemudian hilang dan mungkin akan datang lagi. Tipe kebisingan lingkungan yang tertuang dalam KMNLH (1996) dapat dilihat pada Tabel di berikut ini.
Definisi Jumlah kebisingan Kebisingan spesifik Kebisingan residual Kebisingan latar belakang
Tabel 2.2 Definisi Kebisingan Uraian Semua kebissingan di suatu tempat tertentu dalam suatu waktu tertentu pula Kebisingan di antara jumlah kebisingan yang dapat dengan jelas dibedakan untuk alasan-alasan akustik. Seringkali sumber kebisingan dapat diidentifikasikan. Kebisingan yang tertinggal sesudah penghapusan seluruh kebisingan spesifik dari jumlah kebisingan di suatu tempat tertentu dalam suatu waktu tertentu. Semua kebisingan lainnya ketika memusatkan perhatian pada suatu kebisingan tertentu. Sumber: Keputusan Menteri LH No.48 Tahun 1996
2.2.3 STANDART TINGKAT B AKU KEBISINGAN Standar
dan
kriteria
kebisingan
biasanya
ditentukan
berdasarkan
pertimbangan kebisingan terhadap manusia. Cara untuk menyatakan standar atau kriteria kebisingan dinyatakan secara jelas dalam Baku Tingkat Kebisingan yang
20 ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup atau oleh Menteri dari Departemen Teknis yang terkait. Untuk menjamin kelesatarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya maka diperlukan upaya pengendalian pencemaran atau perusakan lingkungan. Kebisingan merupakan salah satu dampak kegiatan yang dapat mengganggu kesehatan dan lingkungan sehingga untuk pengendalian kebisingan lingkungan diperlukan Baku Tingkat Kebisingan. Baku Tingkat Kebisingan ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP/48/MENLH/11/1996 tanggal 25 November 1996. Berikut merupakan lampiran dalam Keputusan Mneteri tesrebut: Tabel 2.3 Persyaratan Batas Maksimum Kebisingan Berdasarkan Fungsi Kawasan Peruntukan Kawasan Lingkungan Tingkat kebisingan kegiatan (dB A) 1. Peruntukan Kawasan a. Perumahan & pemukiman 55 b. Perdagangan & jasa 70 c. Perkantoran & perdagangan 65 d. Ruang terbuka hijau 50 e. Industry 70 f. Pemerintahan & fasilitas umum 60 g. Rekreasi 70 2. Lingkup Kegiatan a. Rumah sakit atau sejenisnya 55 b. Sekolah atau sejenisnya 55 c. Tempat ibadah atau sejenisnya 55 Sumber: Keputusan Menteri LH No.48 Tahun 1996
Dengan begitu kita dapat mengetahui standar dari kebisingan yang diperuntukan untuk bangunan apartemen sebesar 55 dB(A). Sedangkan untuk SNI 03-6368-2000 yang berjudul ‘Spesifikasi Tingkat Bunyi dan Waktu Dengung dalam Bangunan dan Perumahan’ di buat berdasarkan Surat
Keputusan
Menteri
tersebut.
21
2.2.4 P RINSIP DASAR PENGENDALIAN KEBISINGAN Dalam pengandalian kebisingan terdapat tiga (3) elemen dasar yang harus dipertimbangkan: a. Pengandalian kebisingan pada sumbernya (source) b. Pengendalian kebisingan sepanjang jalurnya (path) c. Pengendalian kebisingan pada penerima suara (receiver) Dengan demikian hal tersebut disebut pengendalian SPR (Source, Path & Receiver). Dalam setiap pengendalian kebisingan membutuhkan satu, dua, ataupun ketiga elemen tersebut untuk dipertimbangkan. 2.2.5 PENGENDALIAN KEBISINGAN LUAR B ANGUNAN Pengendalian
kebisingan
pada
luar
bangunan
adalah
usaha
untuk
menghambat rambatan suara agar intensitas suara tersebut menjadi lemah (Richard, K.M, 1978) Sehingga penjelasan berikut ini merupakan penjelasan cara-cara mengenai penghambatan udara: Pengurangan oleh serapan udara Suara yang merambat melalui udara, sebagian kecil energi suaranya akan diekstraksi oleh udara dan di ubah menjadi panas. Banyaknya energi suara yang diserap tergantung pada frekuensi, suhu dan kelembaban udara, Cyril M.H (1979,3-10) Pengurangan kebisingan karena serapan udara ini akan signifikan apabila jarak sumber dan penerima beberapa ribu meter dan terutama apa bila
22 frekuensinya tinggi. Karena kondisi atmosfer yang selalu berubah-ubah (suhu dan kelembaban) maka pengurangan ini tidak bisa dijadikan patokan dan penyerapan energi suara oleh atmosfer tidak efektif digunakan sebagai faktor pengurangan dampak kebisingan. Pengurangan oleh hujan, salju, dan kabut Adanya hujan, salju, kabut dan partikal debu yang tersuspensi di atmosfer hanya sedikit mengurangi tingkat kebisingan di bandingkan dengan serapan atmosfer sehingga pengurangan kebisingan bisa diabaikan (Richard K.M. 1978). Pengurangan oleh vegetasi Pengurangan kebìsingan oleh adanya vegetasi bergantung pada kondisi tanah, jenis dan struktur vegetasi, tinggi sumber dan penerima kebisingan dari atas tanah. Menurut Leslie Doelle (1993,162) bahwa semak-semak dan deretan pepohonan pada dasarnya tidak mcngurangi bising pada frekuensi-frekuensi rcndah sedangkan pada frekuensi-frekuensi hanya dapat mereduksi sekitar l sampai 2 dB. Ketidakhomogenan Atmosfer Rambatan gelombang suara di atmosfer akan dìbiaskan oleh angin dan adanya gradien suhu atmosfcr. Pengaruh angin dan gradien suhu ini bisa mempengaruhi intensitas bunyi yang didengar. Cyril M. Harris (1979.342) menyatakan bahwa : Kondisi atmosfer, terutama angin dam temperatur, biasanya menjadi faktor terpenting di dalam mempengaruhi propagasi suara, dekat pada permukaan, untuk jarak
23 horisontal yang lcbih besar dari 50 m. Efek utama yang disebabkan oleh temperatur dan angin ini discbut sebagai ‘Refraction’ (Refraksi ), perubahan arah gelombang bunyi/ suara. Pada waktu siang , semakin tinggi pernukaan tanah , maka temperatur semakin kecil. Kondisi ini disebut ‘temperature lapse', Pada waktu malam hari, semakin rendah kctinggian, semakin turun temperatur, kondísi ini discbut ‘temperature inversion’. Dua kondisi ini diperlihatkan pada ketinggian sekitar beberapa ratus ‘feet’, suara membelok (berefraksi) ke bawah, pada saat propagasi angin turun ‘downwind’ atau selama ‘temperature invasion’. Kondisi ini menguntungkan untuk propagasi karena: terjadi pengurungan tingkat intensitas bunyi. Suara menolak (berefraksi) ke atas, pada saat propagasi angin naik ‘upwind’ atau selama ‘temperature lapse’. Kondisi ini menyebabkan terciptanya ruang bayangan (shadow – zone) dekat dengan permukaan tanah. Pengurangan ini secara tipikal dapat mencapai 20 dB.
Gambar 2.4 Efek Ketidakhomogenan Atmosfer Atau Udara Terhadap Suara (A). Refraksi Gelombang Bunyi Saat ‘Temperatur Inversion’ (B). Refraksi Gelombang Bunyi Saat ‘Tempareatur Lapse’
24 Sumber: Hanbook of Noise Control, Cyril M. Harris, 1979
Pada perencanaan tata ruang dan tata guna lahan terutama di daerah pemukiman, perlu mempertimbangkan aspek pengendalian kebisingan dari sumber kebisingan yang ada di lingkungan. Pada kebisingan yang di akibatkan oleh transportasi perlu direkduksi dengan menggunakan penghalang, yaitu: •
Bukit
•
Vegetasi
•
Tembok penghalang
•
Reflektor yang dapat memantulkan gelombang suara.
Pengaruh kebisingan transportasi dengan adanya penghalang dan dengan tidak adanya penghalang disajikan pada gambar-gambar berikut:
Gambar 2.5 Pengaruh Kebisingan Dnegan Adanya Pengahalang Suara Sumber: Kebisingan Lingkungan, Dwi P. Sasongko, Agus H., 2000
Gambar 2.6 Pengaruh Kebisingan Tanpa Adanya Penghalang Suara Sumber: Kebisingan Lingkungan, Dwi P. Sasongko, Agus H., 2000
Selain itu sekarang ini juga dikembangkan adanya reflektor sebagai pemantul gelombang suara yang di pasang dipinggir jalan (biasanya pada jalan bebas
25 hambatan) dan pemantulannya di arahkan ke atas sehingga tidak kembali ke sumber atau mengganggu lingkungan sekitarnya.
Gambar 2.7 Pengendalian Kebisinan Transportasi Sumber: Kebisingan Lingkungan, Dwi P. Sasongko, Agus H., 2000
2.2.6 PENGENDALIAN KEBISINGAN MELALUI B AHAN A BSORBER Menurut Szokolay dalam mekanisme fisika tentang penyerapan terbagi atas 3 mekanis, yaitu: refleksi, absorsi, dan transmisi. Sehingga penyerapan dapat dibedakan menjadi: Penyerapan Berpori Seperti mineral wool, fiberboard, busa plastik, mempunyai struktur pori terbuka. Konversi panas dihasilkan oleh gesekan antar molekul udara yang bergetar dan dinding berpori. Hal ini efektif untuk terutama pada frekuensi tinggi, gelombang suara yang pendek. Bila ketebalan (b) < ¼ panjang gelombang, akan mepunyai efek yang tidak seberapa, akan tetapi bila material itu di beri jarak tertentu terhadap dinding solid, maka hal ini akan berefek dengan material berpori yang tebalnya > dari panjang gelombang bunyi.
26
Gambar 2.8 Penyerap Berpori Sumber: Environment Science Handbook, S.V. Szokolay, 1984
Bahan berpori sebenarnya efesiensi untuk frekuensi tinggi, namun semakin membaik pada frekuensi rendah, dengan bertambah tebalnya lapisan. Jenisjenis penyerap ini di antaranya: karpet, strofoam, goni, karet busa. Pemberian karpet pada lantai menunjang penyerapan bunyi, sebagai berikut: a. ‘cut piles’ memberikan penyerapan yang lebih banyak dari pada ‘loop piles’; b. Semakin tebal, semakin menyerap; c. Bantalan bulu, rami bulu dan karet busa menghasilkan penyerapan bunyi lebih tinggi. Pemberian karpet pada lantai seperti di atas, menunjang reduksi bising benturan sebagai berikut; a. Makin berat karpet, makin mencegah bising benturan; b. Makin tebal karpet, dan lapisan bawahnya, makin tinggi insulasi bising benturan.
27 Pemberian karpet pada dinding, menunjang penyerapan bunyi, karpet dengan papan mineral, rockwool, Styrofoam, atau tectumboard yang digunakan sebagai pengisi antar lapisan menghasilkan penyerapan lebih tinggi daripada tanpa pengisi. Disamping pengendalian pada cahaya, silau dan panas matahari, kain – kain fenestrasi (Fenestration fabrics) dan bahan gorden juga menunjang penyerapan bunyi. Makin berat kainnya, makin banyak penyerapan bunyi. Makin lebar ruang udara antaragorden dengan dinding belakangnya penyerapan frekuensi rendah makin bertambah, dan hal ini sangat menguntungkan. Penyerap Berbentuk selabung atau selubung Merupakan suatu lembaran yang dipasang dengan jarak tertentu terhadap dinding solid di belakangnya. Konversi panas akan terjadi melalui resistensi dari selaput untuk membengkok secara rapi untuk resistensi pada rongga udara untuk berkompresi. Hal ini akan menjadi sangat efektif apabila terjadi pada frekuensi resonansi (SV. Szokolay, 1980). Getaran lenturan (flexural) dari panel akan menyerap sejumlah energi bunyi datang dengan mengubahnya menjadi energi panas ( Leslie Doelle, 1993, 39). Panel merupakan penyerap frekuensi rendah yang efesiensi. Penyerap panel yang berperan dalam penyerapan frekuensi rendah seperti ; panel kayu dan hardboard, gypsum board, langit-langit, plesteran yang di gantung, plesteran berbulu, plastic board, jendela, kaca, pntu, lantai kayu dan panggung, pelatpelat logam.
28 Bahan berpori yang diberi jarak dari lapisan penunjangnya yang pada juga berfungsi sebagai “penyerap panel yang bergetar” dan dapat mendukung penyerapan pada frekuensi rendah.
Gambar 2.9 Penyerap Berbentuk Selaput Atau Selubung Sumber: Environment Science Handbook, S.V. Szokolay, 1984
Penyerapan Resonator Resonator berongga-mengandung udara pada leher yang sempit. Udara pada rongga mempunyai efek lompatan pada tiap frekuensi serapan yang tinggi, pada frekuensi yang sempit. Dan hal ini dapat lebih diperbesar apabila kita mnempatkan material berpoti di dalam rongga.
Gambar 2.10 Penyerap Resonator Sumber: Environment Science Handbook, S.V. Szokolay, 1984
29 Kauntungan resonator rongga di antaranya adalah: a. Daya tahannya tinggi b. Memungkinkan digunakan untuk ruang-ruang olah-raga, atau ruang – ruang bersidat basah lainnya. c. Dapat digunakan untuk ruang-ruang mekanikal elektrikal d. Dapat diaplikasikan pada jalan raya yang padat. Beberapa penyerap resonator telah siap pakai yang ada di pasaran seperti; dampa, luxalon, linear – plan.
Gambar 2.11 Kain Goni Dalam Suatu Desain Akustik Resonator Celah Sumber: Akustika Lingkungan. Leslie Doelle, 1993
Gambar 2.12 Ventilasi Jendela Dengan Bahan Absorber Sumber: Environment Science Handbook, S.V. Szokolay, 1984
30
Gambar 2.13 Penyerap Pada Pemipaan Bangunan Sumber: Environment Science Handbook, S.V. Szokolay, 1984
Gambar 2.14 Pelapis Penyerap Bunyi Pada Kanopi Bangunan Atau Pada Louver (Kisi-Kisi) Sumber: Environment Science Handbook, S.V. Szokolay, 1984
31 Pada daerah iklim panas, dimana jendela selalu terbuka, pelapis penyerap yang ditempatkan pada titik kritis perefleksi bunyi, akan secara tepat mengurangi bunyi yang masuk ke dalam ruang. 2.2.7 P OSISI BANGUNAN TERHADAP KEBISINGAN Dalam buku kebisingan lingkungan yang di tulis oleh Dwi P. Sasongko dan Agus H. pada tahun 2000, menjelaskan bahwa posisi bangunan sangat mempengaruhi kebisingan yang terjadi. Kebisingan yang terjadi dipengaruhi oleh pantulan antar bangunan. Sehingga pengaturan bangunan dengan bangunan lainnya harus sangat diperhatikan agar tidak saling bersinggungan dan menciptakan pantulan kebisingan yang tidak di inginkan. Gambar di bawah ini menunjukan posisi bangunan terhadap pantulan kebisingan:
Gambar 2.15 Posisi Bangunan Yang Tidak Memperhitungkan Aspek Kebisingan Sumber: Kebisingan Lingkungan, Dwi P. Sasongko, Agus H., 2000
32
Gambar 2.16 Posisi Bangunan Yang Memeperhitungkan Aspek Kebisingan Sumber: Kebisingan Lingkungan, Dwi P. Sasongko, Agus H., 2000
2.2.8 DESKRIPSI KEBISINGAN JALAN R AYA (TRAFFIC) Tingkat intensitas kebisingan suatu jalan atau trafik merupakan tingkat intensitas kebisingan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka umumnya penggunaannya terbatas untuk membentuk tingkat kebisingan rata-rata dengan pengambilan pembacaan tingkat intensitas kebisingan untuk beberapa menit dengan alat sound Level Meter (Leslie Doelle 1993, 162). Model kebisingan jalan raya merupakan model prediksi dari sumber kebisingan garis. Pengukuran kebisingan jalan raya dapat dilakukan secara langsung dengen mempergunakan Sound Level Meter pada periode tertentu. Data pengukuran kemudian diolah secara statistik dan ditransformasikan ke dalam skala kebisingan.
33 Perhitungan secara tidak langsung dikembangkan oleh Federal High Way Administration (FHWA) dengan menghitung frekuensi kendaraan yang lewat, kemudian ditansformasikan ke tingkat kebisingan rata-rata jalan raya terdiri dari banyak macam kendaraan dengan tipe bermacam-macam pula. Jenis kendaraan yang ada di jalan raya adalah: heavy Truck, Medium Truck, Automobil, dan Motor Vehicles (Cyril M.Haris, 1979, 32-5). Metode Prediksi Kebisingan Jalan raya Metode prediksi untuk kalkulasi tingkat kebisingan jalan raya bervariasi dari prosedur yang sederhana seampai dengan prosedur yang paling kompleks dengan menggunakan komputer. Proses secara langsung dapat diaplikasikan terhadap elemen jalan lurus. Jalan melengkung dapat dipertimbangkan sebagai jalan lurus apabila penyimpangan dari garis lurus tidak lebih dari 10%, dari jarak pengamat (d) untuk jarak 5d. (Cyril, M. Haris, 1979, 32-8)
Gambar 2.17 Model Kebisingan Jalan Raya, Kelengkungan Yang Boleh Di Anggap Sebagai Jalan Lurus Sumber: Handbook Of Noise Control, Cyril M. Haris, 1979
Jenis Kendaraan di Jalan Raya Kendaraan yang berada di jalan raya adalah: truk berat, truk sedang, dan mobil serta sepeda motor. Untuk mendapatkan tingkat kebisingan total, maka
34 masing-masing tingkat kebisingan ekivalen untuk masing-masing kendaraan di jumlahkan dengan skala logaritmis. Kebisingan yang di pancarkan oleh sepeda motor di jalan raya tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingkat kebisingan ekivalen jalar raya, bukan karena tingkat kebisingan yang lebih rendah daripada kendaraan bermotor lain, namun karena di jalan bebas hambatan mereka tidak terhambat sama sekali. Untuk jalan umum, sama sekali lain, mereka menempati prosentase terbesar dari semua kendaraan yang lewat, bahkan di dalam lingkungan kampus, mereka menempati ranking teratas dari segi kuantitas. Sumber kebisingan utama dari sepeda motor adalah: exhouse, intake, dan mesin. Tingkat kebisingan yang diproduksi oleh sepeda motor terngantung pada jalan yang digunakan daripada jenis kendaraan jalan raya lain. Tingkat kebisingan maksimum dihasilkan selama akselerasi kecepatan rendah. Pada kondisi seperti ini, rata-rata tingkat kebisingan untuk contoh sepeda motor tahun 1976 adalah 87,5 dBA, di ukur pada jarak 15 meter dengan mikrofon 1,2 m diatas tanah. Tingkat Kebisingan Siang Malam Metode pengukuran tingkat kebisingan sinambung setara yang di pakai dalam penelitian untuk menggunakan ‘cara
sederhana’ (Kep.Men.LH/KEP-
48/MENLH/11/1996). Cara sederhana dengan sebuah Sound Level Meter biasa diukur dengan tingkat tekanan bunyi dB(A) selama 5 menit untuk tiap pengukuran, pembacaan setiap 5 detik.
35 Pada penelitain ini akan diteliti di jalan sekitar tapak, dengan aktivitas sampai dengan sore hari, untuk itu perhitungan tingkat intensitas kebisingan siangmalam ini akan di bahas dan dibatasi hanya untuk tingkat intensitas kebisingan siang (Ls) saja. Menurut Kep. Men.LH/KEP-48/MENLH/11/1996, setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling seditikit 4 waktu pengukuran pada siang hari. L1 diambil jam 07.00, mewakili jam 06.00 – 09-00 L2 diambil jam 10.00, mewakili jam 09.00 – 11.00 L3 diambil jam 15.00, mewakili jam 14.00 – 17.00 L4 diambil jam 20.00, mewakili jam 17.00 – 22.00 2.3
TINJAUAN ADAPTIVE BUILDING
2.3.1 DEFINISI ADAPTIVE BUILDING Semua arsitektur beradaptasi pada tingkat tertentu, karena bangunan selalu dapat disesuaikan 'secara manual' dalam beberapa cara. Penggunaan istilah 'Arsitektur Adaptif' harus dilihat dalam konteks keseluruhan antara beradaptasi dan adaptif : Arsitektur Adaptif berkaitan dengan bangunan yang secara khusus dirancang untuk beradaptasi (dengan lingkungan mereka, untuk para penghuninya, dan objek di dalamnya) baik secara otomatis maupun melalui campur tangan manusia. Hal ini dapat terjadi pada berbagai tingkat dan seringkali melibatkan teknologi digital (sensor, actuator, pengendali, teknologi komunikasi).
36 2.3.2 TEORI ADAPTIV MENURUT H OLGER SCHNÄDELBACH Menurut Holger Schnädelbach, Adaptive Architecture berkaitan dengan bangunan yang didesain untuk beradaptasi dengan lingkungannya, penghuninya, dan obyek termasuk bangunan itu sendiri yang keseluruhannya dikendalikan oleh data internal. Bangunan dalam konteks adaptif ini digambarkan dengan fleksibel, interaktif atau dinamis, menmberikan kesan bahwa arsitektur itu adaptif dan bukan merupakan artefak statis, hal ini seringkali didukung oleh adaptasi komputer. Semua arsitektur dapat diadaptasikan pada tingkatan tertentu, karena bangunan dapat selalu diadaptasikan secara manual dalam berbagai cara. Penggunaan istilah ‘Adaptive Architecture’ dapat diartikan sebagai bangunan yang secara spesifik dirancang untuk beradaptasi, baik secara otomatis ataupun melalui intervensi manusia. Pendorong atau motivasi untuk mendesain sebuah bangunan yang adaptif dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Cultural b. Societal c. Organisational d. Communication Untuk elemen yang diadaptasikan pada bangunan dapat meliputi beberapa hal berikut : a. Permukaan Dalam hal ini, permukaan merujuk pada permukaan luar bangunan atau selimut bangunan yang dapat diadaptasikan, biasanya fasad. Adaptasi
37 mekanis mengubah tampilan dan properti secara keseluruhan pada selimut bangunan. b. Komponen atau modul Komponen yang dapat dipakai ulang yaitu konstruksi bangunan yang focus pada penggunaan kembali komponen-komponen yang sudah ada seperti karya Santiago Cirugeda di Spanyol (2005). Penggunaan ulang modul merupakan kemungkinan lain dan sudah memiliki sejarah panjang dalam desain arsitektur. Contohnya Nakagin Capsule Tower karya Kurukawa. Setidaknya pada dasarnya mereka didesain untuk dapat dipindahkan dan dihilangkan. c. Fitur spasial Fitur spasial dapat ditransformasikan , mulai dari lokasi, topologi, dan orientasi, hingga bentuk, hubungan antara ruang luar dan dalam serta partisi internal. Lokasi bangunan dapat berubah selama siklus kehidupan penghuni. Salah satu contoh yang menarik yaitu Markies karya Bohtlingk, yaitu camper trailer yang dapat diperluas dengan melipat keluar sisinya untuk menciptakan penutup yang lebih besar. d. Sistem teknis Dalam arsitektur adaptif terdapat sistem tertentu meliputi sensor, software, dan actuator yang sesungguhnya menciptakan adaptasi ketika tidak sepenuhnya berada di bawah intervensi manusia. Sistem teknis merupakan elemen yang beradaptasi sekaligus metode untuk beradaptasi.
38 2.4
STUDI BANDING
2.4.1 PEARL GARDEN
Gambar 2.18 Pearl Garden Sumber: Brosur Pearl Garden
Data Proyek Arsitek
: PT Bias Tekno Art Kreasindo
Arsitek Prinsipal
: Sardjono Sani
Nama
: Pearl Garden
Lokasi
:Jend Gatot Subroto, Jakarta
Selatan Klien
: PT Wiranusa Grahatama
Konsultan Manajemen Konstruksi
: PT Putra Satria Prima
Konsultan Struktur
: PT Wiratman & Associates
Kontraktor ME
: PT Pradiptaya
Selesai
: 2006
Luas Lahan
: 3,5 Ha
Luas Apartemen
: ±34.000m²
Total Unit Apartemen
: 235 unit
39 Luas Perkantoran
: ±127.000m².
Besmen
: 4 Lapis (±1.300 unit mobil)
Gambar 2.19 Block Plan Apartemen Pearl Garden Sumber: Brosur Pearl Garden
Pearl Garden merupakan sebuah kawasan hunian perkantoran yang teridiri dari apartemen mewah low-rise, town house, dan office tower yang memiliki nuansa resort. Memiliki beberapa fasilitas seperti fasilitas bisnis, rekreasi, club house, dan lain-lainnya. Berikut ini merupakan fasilitas yang dimiliki Pearl Garden: •
Fasilitas Utama o Elevator, Lift Lobby, Lift Service o Landscape Garden and Gazebo for outdoor
40 o function & socials o Water Garden o Club House & Facilities (5 Star Class) o Telephone & Fax o Broadband Internet o Cable TV •
Fasilitas Bisinis o Lobby Lounge o Function Hall & Pre Function o ATMs
•
Fasilitas Rekreasi o Outdoor / Indoor Swimming Pool o Resort type borderless pool Adult: Upper Pool Children: Lower Pool Pool Side Bar
•
Club House dan fasilitasnya o Outdoor Jacuzzi o Steam Room & Sauna o Fitness / Aerobic Area o Shower & Changing Room o Coffee Shop
•
Timber Deck Sitting Area o Outdoor Terraces
41 o Outdoor BBQ Area
Gambar 2.20 Lokasi Pearl Garden Sumber: Brosur Pearl Garden
Gambar 2.21 Siteplan Apartemen Pearl Garden Sumber: Brosur Pearl Garden
42 Apartemen ini memiliki 4 bagian bangunan dengan 7 tipe unit yang berbedabeda. Berikut ini merupakan unit-unit tersebut.
Gambar 2.22 Apartemen Bagian Badan (A). Tiper Standar 2BR (B). Studio Sumber: Brosur Pearl Garden
43
Gambar 2.23 Apartemen Bagian Front Type Hook (A). Tipe120m2 (B). Tipe 110m2 (C). Tipe 115 M2 Sumber: Brosur Pearl Garden
Gambar 2.24 Tipe Panaromic Sumber: Brosur Pearl Garden
44
Gambar 2.25 Tipe Standar 3BR Sumber: Brosur Pearl Garden
Apartemen ini merupakan hunian bergaya modern dengan konsep bangunan low rise apartment yang memiliki ketinggian 4–11 lantai dengan tampak yang berbeda-beda yang memungkinkan pemakain kompleks mempunyai individual karakter tiap unit. Sehingga bisa tampil eksklusif, karena memiliki 12 tampak yang mewakili blok-blok yang terkait. Berlainan dengan apartemen pada umumnya, yang berbeda lantai tapi tipe unitnya sama.
45
2.4.2 COSMOPOLIS RESORT APARTEMENT
Gambar 2.26 Cosmopolis Resort Apartement Sumber: Brosur Cosmopolis Resort Apartement
Data Proyek Pengembang
: PT. Kreatifitas Putra Mandiri
Lokasi
: Jl arif rahman hakim 147 surabaya
Lantai
: 6 Lantai
Unit
: 181 unit
Apartemen memiliki konsep resort dengan lokasi yang berletak di tengah kota Surabaya dan juga single coridor. Memiliki akses yang mudah dicapai dan dekat dengan beberapa mall di Surabaya. Sehingga bisa dikatakan bahwa apartemen ini memiliki lokasi yang strategis. Fasilitas-fasilitas yang dimiliki berupa kolam renang, gym dan tempat parkir yang luas.
46
Gambar 2.27 Fasilitas apartemen cosmopolis resort apartement Sumber: Brosur Cosmopolis Resort Apartement
Gambar 2.28 Siteplan cosmopolis resort apartement Sumber: Brosur Cosmopolis Resort Apartement
Apartemen ini memiliki 5 tipe unit yang berbeda-beda berdasarkan jumlah kamar tidurnya: Tabel 2.4 Jumlah Unit Dan Tipe Unit Apartemen Cosmopolis Resort Apartemen Luas (m2) Total Unit Tipe Studio
29.27
42
Deluxe
30.30
2
1 Bedroom
42.27
50
2 Bedroom
65.72
77
3 Bedroom
97.80
10
Sumber: Brosur Cosmopolis Resort Apartement
2.4.3 KESIMPULAN STUDI B ANDING
47 Dari studi banding tersebut di dapatkan beberapa kesimpulang mengenai apartemen low-rise yang berada di Indonesia: •
Memiliki luas di atas 100m2
•
Lokasi di pusat kota dan di daerah strategis
•
Bergolongan menengah ke atas atau mewah
48
2.5
UNSIR KEBARUAN Penelitian mengenai pengendalian akan kebisingan masilah sedikit,
dikarenakan rata-rata penanganan dalam kasus ini menggunakan barrier atau permainan pada zoning bangunan sehingga tidak terlalu banyak. Namun penggunaan barrier selama ini besrifat massive atau menutup, membuat pemandangan terganggu ataupun memblok view.Walaupun penggunaan barrier natural ataupun mengenai tanaman masilah menghalangi pemandangan. Sehingga dalam penelitian ini akan menggunakan sistem kinetic barrier ataupun kinetic fasade yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan untuk mengurangi maupun suara-suara yang tidak di inginkan atau kebisingan yang masuk ke dalam bangunan dan juga yang tidak menghalangi pemandangan.