BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
SEPSIS
2.1.1. Epidemiologi
Dalam salah satu studi pertama epidemiologi besar terhadap sepsis, yang diterbitkan pada tahun 2001, Angus dkk, memperkirakan kejadian sepsis sebanyak 751.000 kasus (3,0 per 1.000 penduduk dan 2,26 per 100 pasien rumah sakit). Dalam studi tersebut, lebih dari setengah pasien yang menerima perawatan di ICU dan insiden sepsis pada orang dewasa meningkat secara substansial terhadap usia (mulai dari 5,3 / 1.000 untuk usia 60 sampai 64 tahun menjadi 26,2 / 1.000 untuk usia ≥ 85 tahun). Secara keseluruhan, mortalitas yang terjadi adalah 26,6% dan peningkatan substansial dalam kematian akibat sepsis dikaitkan dengan usia.2 Studi berikutnya menunjukkan perkiraan yang konsisten yaitu 0,51-2,4 kasus per 1.000 penduduk.28,29 Dalam penelitian lain, para peneliti menguji hubungan antara umur dan sepsis dan menunjukkan bahwa pada usia 65, risiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua dari 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi d ibandingkan mereka yang lebih muda dari 65 tahun. Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total kasus sepsis.30 Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode penelitian, yang sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat. Sebuah penelitian selanjutnya menggunakan data nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kejadian sepsis meningkat dari tahun 1979 (0,83 / 1,000) dengan tahun 2000 (2,4 / 1.000) tetapi ada sedikit penurunan angka kematian 27,8-17,9%.29 Insiden sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah pasien immunocompromised, dan meningkatnya tindakan invasive procedure, dan antibiotik
10 Universitas Sumatera Utara
yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar dolar dihabiskan untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan, lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat tiap tahunnya. Dan terdapat perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain (gambar 2.1).2
Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain. (Dikutip dari Angus DC dkk, Crit Care Med. 2001)
Pasien dengan keganasan yang terdiagnosis dengan sepsis, memiliki resiko relatif peningkatan sampai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan mereka yang tidak terkena kanker. Kanker pankreas memiliki risiko yang terkait tertinggi sepsis, diikuti oleh multipel myeloma, leukemia, dan kanker paru-paru, sedangkan kanker saluran cerna dan keganasan payudara berhubungan dengan kecenderungan yang jauh lebih rendah untuk sepsis (Tabel 2.1).30
11 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
2.1.2. Definisi Definisi sepsis yang diambil dari konfrensi Internasional tentang Definisi Sepsis tahun 2001 (tabel 2.2).31
Infection
Sebuah proses patologis yang disebabkan invasi terhadap jaringan steril atau cairan oleh mikroorganisme patogen atau yang berpotensi patogen.
Sepsis
Kejadian infeksi, yang terlihat atau sangat dicurigai, dengan respon inflamasi sistemik, yang telah ditunjukkan oleh adanya beberapa tanda infeksi
Severe sepsis
Sepsis yang diperberat dengan keberadaan disfungsi organ
Septic shock
Sepsis berat yang diperumit oleh kegagalan akut sirkulasi yang ditandai dengan hipotensi arteri secara terus-menerus, meskipun volum resusitasi cukup, dan sebab lainnya yang tidak dapar dijelaskan
(Diambil dari Jonathan M. Siner, MD Sepsis: Definitions, Epidemiology, Etiology and Pathogenesis PCCSU 2009) (31)
12 Universitas Sumatera Utara
Di bawah ini akan dipaparkan defenisi penyakit yang berkaitan dengan sepsis menurut jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2.3).32 Tabel 2.3. Defenisi Penyakit Systemic
Dua atau lebih :
inflammatory
Suhu tubuh > 38.5°C atau < 36.0°C
response syndrome
Laju nadi > 90 kali per menit
Laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mmHg atau membutuhkan ventilasi mekanik
Jumlah sel darah putih > 12000/mm3 atau < 4000/mm3 atau bentuk immature > 10%
Sepsis
Systemic inflammatory response syndrome dan ada infeksi (kultur atau gram stain of blood, sputum, urin atau cairan tubuh yang normalnya steril positif
terhadap mikroorganisme patogen ; atau
fokus infeksi diidentifikasi dengan penglihatan spt: ruptured bowel dengan free air atau bowel contents didapati pada abdomen saat pembedahaan, luka dengan purulent discharge) Severe sepsis
Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau disfungsi organ :
Areas of mottled skin
Capillary refilling time ≥ 3detik
Urin output < 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal replacement therapy
Laktat > 2mmol/L
Perubahan kesadaran tiba-tiba atau electroencephalogram tidak normal
Jumlah
trombosit
<
100000/mL
atau
disseminated
intravascular coagulation
Acute lung injury - acute respiratory distress syndrome
Cardiac disfunction ( echocardiography )
13 Universitas Sumatera Utara
Severe sepsis dan salah satu :
Septic shock
Systemic mean blood pressure < 60mmHg (< 80mmHg jika ada hipertensi sebelumnya) setelah pemberian 20-30 mL/kg starch atau 40-60 mL/kg normal salin, atau
pulmonary capillary
wedge pressure antara 12 dan 20 mmHg
Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau norepinephrine atau epinephrine < 0.25µg/kg per menit untuk mempertahankan mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )
Refractory
septic
Butuh
dopamin > 15µg/kg per menit atau
norepinephrine
atau
epinephrine > 0.25µg/kg permenit untuk mempertahankan mean blood
shock
pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya ) (Tabel dikutip dari Annane dkk. The Lancet 2005)
2.1.3. Patofisiologi 2.1.3.1.
SIRS dan SEPSIS
SIRS merupakan kondisi yang menyebabkan disfungsi organ multipel dan merupakan penyebab kematian tertinggi di unit perawatan intensif. Kejadian sepsis di Amerika diperkirakan sekitar 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian sebesar 35 %. Sepsis terletak diurutan ke-13 penyebab utama kematian di Amerika Serikat.33 Meskipun pemahaman tentang patofisiologi dari SIRS meningkat namun angka kematian akibat SIRS belum menurun. Hal Ini mungkin diakibatkan oleh semakin
meningkatnya
resistensi
terhadap
organisme,
pasien
yang
immunocompromised dan pasien usia tua dengan penyakit kronis. Infeksi merupakan penyebab dari SIRS, yang didalamnya terdapat bakteri dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya sepsis. Bakteri yang teridentifikasi dapat berupa gramnegatif atau gram-positif, terutama Staphylococcus aureus dan enterococci.34 Endotoksin diproduksi oleh bakteri gram-negatif yang dapat memicu terjadinya peradangan. Meskipun infeksi yang dianggap sebagai penyebab mendasar mayoritas pasien dengan SIRS, organisme infektif sering tidak teridentifikasi juga dapat menyebabkannya.33 Terdapat banyak kondisi klinis non-infeksi yang dapat 14 Universitas Sumatera Utara
menyebabkan SIRS; termasuk pankreatitis, trauma multipel, luka bakar, aspirasi, iskemia dan syok hemoragik. Dalam setiap kasus SIRS karena penyebab non-infeksi, sepsis tampaknya berkaitan erat dengan kejadian respon inflamasi yang berlebih. Respon inflamasi merupakan kaskade yang melibatkan komponel sel dan molekul tubuh, dan banyak fungsinya yang tumpang tindih antar satu dan yang lainnya. Terdapat regulasi dalam sistem ini, di samping adanya mediator pro-inflamasi, ada juga yang berfungsi sebagai anti-inflamasi. Respon tubuh bisa meningkatkan atau menurunkan regulasi sehingga toleransi dapat terjadi tergantung pada aktivasi inflamasi sebelumnya. Masalah ini lebih rumit disebabkan adanya variasi genetik dalam respon terhadap rangsangan pro-inflamasi. Oleh karena itu mungkin bukan hanya sifat genetik yang memulai terjadinya cidera tetapi juga respon inflamasi dari inang
yang
menentukan
hasil
akhirnya.
Biasanya
peradangan
lokal
dan
penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Ini menimbulkan gambaran klinis SIRS.35 Biasanya peradangan terjadi secara lokal dan penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan tertentu aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Hal ini menimbulkan gambaran klinis SIRS. Tingkat peradangan sistemik yang ringan mungkin akan bermanfaat bagi seorang individu yang memerangi penyakit. Namun, ketika proses inflamasi di luar kendali dan tidak lagi menguntungkan. Terjadi disregulasi proses inflamasi yang kemudian terjadi peradangan pada organ selain organ pro-inflamasi yang mengarah untuk terjadinya MODS. Respon anti-inflamasi dirancang untuk menurunkan regulasi peradangan dan mencegah efek merusak lainnya. Hal ini juga dapat menjadi tidak terkendali yang menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya infeksi dan dapat menyebabkan the compensatory antiinflammatory response syndrome (CARS). Campuran aktivasi antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi dapat terjadi bersama-sama dan hal ini disebut the mixed antagonist response syndrome (MARS). Hanya jika tubuh mampu mengembalikan keseimbangan terhadap kekacauan imunologi ini. Dan pemulihan kemungkinan dapat terjadi.36 Systemic inflammatory respon syndrome (SIRS), apapun penyebabnya memiliki patofisiologi yang sama. Sindrom yang timbul pada SIRS merupakan pertahanan hidup. Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap penyebab nonspesifik, sedangkan kaskade inflamasi adalah proses kompleks yang melibatkan sistem imunologi seluler dan humoral, komplemen, dan kaskade sitokin. 15 Universitas Sumatera Utara
Bone meringkaskan interaksi komplek ini menjadi 3 tahap proses :
Tahap I : setelah terjadi cedera jaringan, sitokin lokal diproduksi yang bertujuan untuk merangsang respon inflamasi sehingga mulai terjadi perbaikan luka dan pengaktifan sistem endotelial retikular.
Tahap II : sejumlah kecil sitokin lokal dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk memperbaiki respon lokal. Hal ini akan mengakibatkan rangsangan terhadap Growth factor dan pengerahan makrofag serta trombosit. Fase akut ini biasanya dapat terkendali dengan berkurangnya mediator proinflamasi dengan pelepasan antagonis endogen. Tujuannya adalah homeostatis.
Tahap III : jika homeostatis tidak tercapai, reaksi sistemik yang cukup signifikan akan terjadi. Sitokin yang dilepas akan bersifat merusak dari pada melindungi (proteksi). Konsekuensinya adalah pengaktifan sejumlah kaskade humoral dan pengaktifan sistem endotelial retikular, selanjutnya akan terjadi kehilangan integritas sirkulasi. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ.37
Gambar 2.2..Respon inflamasi terhadap sepsis (dikutip dari Russel JA
16 Universitas Sumatera Utara
Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan yang bermakna, masih tetap tidak dimengerti (Annane dkk. 2001). Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon tuan rumah akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane dkk. 2005)38
Gambar 2.3. Respon prokoagulasi pada sepsis(41).TFPI : tissue factor pathway inhibitor, PAI-1: Plasminogen-activator inhibitor 1, t-PA:tissue plasminogen activator, EPCR:Endothelial protein C reseptor. (dikutip dari Russel JA)
17 Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2. Disfungsi mikrosirkulasi pada sepsis39 2.1.3.2.1. Penggunaan oksigen dan ATP Disfungsi mitokondria selama sakit kritis telah diakui diketahui selama ini. Disfungsi mitokondria yang disebabkan hipoksia pertama kali diidentifikasi oleh Barcroft dkk. pada tahun 1945. Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab hipoksia yang menyebabkan disfungsi mitokondria yaitu, penurunan tekanan oksigen arteri (hypoxic hypoxia), penurunan konsentrasi hemoglobin sistemik (anemia hypoxia), dan disfungsi mikrovaskuler yangmenyebabkan hipoperfusi (stagnant hipoxia). Namun, efek dari sepsis pada tingkat ATP selular tidak jelas. Hotchkiss dkk. menemukan bahwa sepsis menghabiskan ATP di sel pada otot rangka, bukan dari kekurangan oksigen melainkan karena kadar fosfat berenergi tinggi yang berkurang]. Sebaliknya, studi tentang otot dan hati oleh Brealey dkk. tidak menunjukkan deplesi dari ATP di sel. Yang paling penting, penyelidikan baru-baru ini jelas menunjukkan bahwa sepsis merusak produksi dari ATP.
Gambar 2.4 Proses Glikolisis
18 Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2.2. Mikrovaskuler disfungsi vs cytopathic hypoxsia Penelitian awal mengenai mendorong klinisi untuk mengusulkan bahwa patofisiologi sepsis sebagai kunci untuk terjadinya disfungsi mikrovaskuler. Hal ini pertama kali dijelaskan oleh Weil dkk. pada tahun 1971 yang menemukan perubahan perfusi
secara
heterogen.
Ketidakseimbangan
perfusi
akan
mengakibatkan
penggunaan oksigen di perifer gagal. Pada gambaran elektron juga menunjukkan terganggunya mikrosirkulasi pada pasien sepsis. Dengan menggunakan pendekatan ini, Ince dkk. menemukan bahwa perfusi kapiler pada sepsis dapat mengambil kombinasi dari lima bentuk (Tabel ). Fink dkk. melaporkan bahwa efek yang timbul adalah kegagalan pengiriman oksigen pada sepsis yang menyebabkan disfungsi mikrovaskuler bukan abnormalitas yang meyebabkan gangguan respirasi mitokondria selama sepsis. Namun sebaliknya, aliran mungkin normal atau bahkan berlebih akan tetapi kekacauan iintrinsik sel mempengaruhi metabolisme energi sel yang dapat menghalangi penggunaan oksigen. Cacat ini disebut cytopathic hypoxia dan hal ini didukung oleh pemeriksaan oksigen di tingkat jaringan dan pemeriksaan langsung respirasi di tingkat sel dan mitokondria. Mekanisme yang menjelaskan cytopathic hypoxia selama sepsis meliputi gangguan pengiriman piruvat , penghambatan enzim yang terlibat dalam siklus Krebs dan rantai transpor elektron, aktivasi dari poli-(ADP)ribosylpolymerase (PARP) dan kegagalan pemeliharaan dari trans-mitochondrial membrane proton-gradient dengan ATP sintase yang tidak terikat.
Tabel 2.4 Pola aliran mikrovaskular pada pasien sepsis
19 Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2.3. Disfungsi piruvat dehydrogenase Pyruvate dehydrogenase (PDH) E1 adalah enzim katalitik multimeric pyruvate dehydrogenase complex (PDC) yang bertanggung jawab untuk sintesis asetil - CoA dari piruvat. PDH diaktivasi oleh insulin, asam phosphoenolpyruvic dan AMP dan dihambat oleh ATP, NADH dan asetil - CoA. Inaktivasi PDC akan merusak produksi dari ATP. Disfungsi PDC digambarkan dengan peningkatan produksi laktat meskipun normal namun cenderung meningkat di aliran darah otot. Demikian pula dilaporkan Kantrow dkk. pada tikus yang dibuat oleh sepsis, ditemukan konsumsi oksigen yang menurun dan dikaitkan dengan produksi substrat ( glutamat , malat , suksinat ) untuk siklus Krebs atau rantai transport elektron. Fokus tehadap PDH dan unsur-unsur siklus Krebs telah berkurang telah beralih ke komponen rantai transpor elektron. Namun seperti yang akan dibahas bawah, kelainan pada transpor elektron mungkin adaptif. Hal ini membuat semakin diperlukannya untuk mengidentifikasi kerusakan yang lainnya.
Gambar 2.5 Siklus asam sitrat
20 Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2.3. Gangguan oksidatif fosforilasi Gangguan produksi ATP dapat terjadi akibat disfungsi dalam salah satu dari empat kompleks dari rantai transpor elektron. Hal ini membuat gradien proton menciptakan potensi energi yang digunakan oleh ATP sintase untuk mengubah ADP menjadi ATP. Siklus produksi dan konsumsi berlanjut asalkan glukosa tetap masuk ke dalam sistem dan fungsi respirasi tidak terhambat. Sitokrom C oksidase, kompleks IV rantai transpor elektron, terdiri dari subunit 13 yang berbeda, tiga di antaranya menempati tempat aktif di mana O-2 bergabung dengan molekul 2 H+ untuk membentuk air. Reaksi ini juga membantu menghasilkan potensi antarmembran listrik untuk membentuk ATP. Tempat aktif tersebut ditandai dengan pusat dari rantai yang mengandung tembaga dan dua pusat heme (heme a, a3) di mana molekul oksigen terikat. Karena perannya sebagai akseptor akhir elektron dan rantai kompleks yang menggunakan oksigen, kompleks IV merupakan hal yang sangat penting dalam rantai transport elektron. Studi dalam terhadap mencit sepsis menunjukkan penghambatan non-kompetitif pembentukan sitokrom c. Pada waktu tertentu, konten heme akan hilang dan terjadi kegagalan pembentukan subunit I. Subunit aktif dikodekan oleh mtDNA. Penurunan dari subunit ini cenderung menunjukkan kegagalan biogenesis dan disfungsi mitokondria yang ireversibel. Telah diteliti bahwa sulit untuk memisahkan aktivitas Cof kompleks II dari Kompleks III. Beberapa penyelidikan menunjukkan sepsis terkait disfungsi kompleks II/ III. Brealey dkk. mempelajari transpor elektron kegiatan dengan menggunakan model tikus sepsis. Mereka tidak dapat mengidentifikasi cacat di Komplek II/III baik di hati atau otot rangka selama periode 72 jam. Namun, aktivitas Kompleks I dan Kompleks IV di hati menurun dari waktu ke waktu. Pada akhir waktu hewan septik tersebut, semua aktivitas kompleks protein tercatat jauh lebih rendah baik itu di hati dan jaringan otot. Fredriksson dkk. mempelajari disfungsi metabolik mitokondria pada pasien sepsis di ICU yang membandingkan pasien sehat ini menjalani operasi elektif. Pada pasien sepsis yang menderita MODS, mereka mengamati penurunan dua kali lipat dalam semua aktivitas kompleks mitokondria dalam otot interkostal dan otot tungkai. Penghambatan baik di Kompleks I atau Kompleks IV dapat meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) dan nitrit oksida (NO). Produksi radikal bebas ini meningkat seiring proses penuaan serta pada individu dengan imunitas yang 21 Universitas Sumatera Utara
kurang. Kedua hal ini dihubungkan dalam patogenesis sepsis ketika produksi berlebih dapat memperberat mekanisme perlindungan endogen dan dapat merusak produksi bioenergi mitokondria. Produksi ROS dan NO yang berlebihan juga dapat menyebabkan apoptosis dari mitokondria.
Gambar 2.6 Rantai transport elektron
2.2.
SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN40
Untuk menurunkan angka kematian akibat sepsis berat dan syok sepsis, kolaborasi dari the European Society of Intensive Care Medicine, the International Sepsis Forum dan The Society of Critical Care Medicine mengeluarkan panduan yaitu Surviving Campaign Guidelines (SSC) for management of Severe Sepsis and Septic Shock. Pada tahun 2005, SSC bersama dengan Institute for Health-care Improvement (IHI) menyusun panduan pengelolaan pasien sepsis berat dan syok sepsis yaitu Severe Sepsis Bundles yang terdiri dari dua bundle. Pertama, The Sepsis Resusitation Bundle, resusitasi yang harus segera dimulai dan diselesaikan dalam 6 jam pertama sejak pasien didiagnosis sepsis berat atau syok sepsis. Kedua, The
22 Universitas Sumatera Utara
Sepsis Management Bundle, harus segera dimulai dan selesai dalam 24 jam pada pasien dengan sepsis berat atau sepsis berat. Namun pada akhir tahun 2012, Dellinger dkk. menerbitkan kembali pembaruan terhadap Surviving Campaign Guidelines (SSC) yang terkahir di terbitkan pada tahun 2008. Pedoman ini adalah praktek klinis yang merupakan revisi dari SSC tahun 2008 yang berisi tentang pengelolaan sepsis berat dan syok sepsis. Pedoman terbaru ini didasarkan pada pencarian literatur yang baru yang kemudian dikumpulkan sampai akhir musim gugur 2012. Tabel 2.5.Surviving Sepsis Campaign Bundles 2012 Hal- hal yang harus dilakukan segera dan diselesaikan dalam 3 jam pertama sejak diagnosis sepsis ditegakkan : 1. Pemeriksaan kadar laktat serum 2. Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotika 3. Pemberian antibiotik spektrum luas 4. Pemberian cairan 30cc/kgBB kristaloid untuk hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L
Hal- hal yang harus diselesaikan pada waktu jam ke-6 : 5. Pemberian vasopressor (untuk hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan) untuk menjaga tekana darah rerata (MAP) ≥ 65 mmHg 6. Pada kondisi hipootensi arterial yang menetap walaupun sudah dilakukan resusitasi volum (syok sepsis) atau laktat awal ≥ 4 mmol/L (36 mg/dL) -
Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)
-
Pengukuran tekan oksigen saturasi vena sentral (Scv02)
7. Pengukuran laktat jika laktat awal meningkat Target dari resusitasi yang termasuk dalam pedoman adalah CVP > 8 m Hg, ScvO2 > 70%, dan laktat yang menuju nilai normal
23 Universitas Sumatera Utara
2.3 Laktat 2.3.1. Definisi Laktat adalah senyawa kimia yang merupakan hasil proses glikolisis di dalam sel. Kadar laktat dalam plasma merupakan hasil kesimbangan antara produksi dan bersihan yang dipengaruhi beberapa faktor. Bila penyediaan oksigen tidak dapat mencukupi pasokan oksigen seperti pada hipoksia dan syok, maka sel akan melakukan mekanisme adaptasi untuk menghasilkan ATP sebagai sumber energi. Pada kondisi tersebut laktat menjadi salah satu hasil metabolit perantara yang berperan untuk kelangsungan metabolisme dalam sel. Hiperlaktatemia pada kondisi sakit kritis dinilai sebagai penanda terjadinya metabolisme anaerob sel yang mengalami stres akibat ketersediaan oksigen yang tidak adekuat. Laktat merupakan penyebab utama terjadinya ketidakseimbangan asam basa dan 2/3 dari pasien kritis yang mengalami asidosis metabolik disebabkan hiperlaktatemia. Peningkatan laktat dapat digunakan untuk menilai ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen, dimana intervensi yang tepat sesegera mungkin dapat mengembalikan fungsi sel kembali normal asalkan kondisi mitokondria masih utuh.41,42 2.3.2. Metabolisme laktat Konsentrasi kadar laktat arteri tergantung dari keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kadar normal laktat adalah < 18 mg/dL (2 mmol/L) dengan jumlah produksi 1500 mmol/L per hari. Secara fisiologis laktat diproduksi oleh semua jaringan tubuh, yang terbanyak adalah otot (25%), kulit (24%), otak (20%), usus halus (10%) dan sel darah merah yang tidak memliliki mitokondria (20%). Kadar laktat sering 24 Universitas Sumatera Utara
digunakan sebagai parameter dari metabolisme kerja otot karena otot merupakan organ yang paling besar pengaruhnya terhadap kadar laktat. Laktat dimetabolisme oleh tubuh di hati dan ginjal.43 Laktat diproduksi di sitoplasma, merupakan hasil metabolisme dari piruvat yang dikatalisasi oleh enzim laktat dehydrogenase (LDH) : Piruvat + NADH + H+
LDH
Laktat + NAD+
Reaksi ini menghasilkan laktat dengan rasio laktat banding piruvat 10 kali lipat dan 2 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat. Kadar laktat akan meningkat bila pembentukan piruvat melebihi penggunaannya di mitokondria. Piruvat dibentuk melalui proses glikolisis, sehingga kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan glikolosis akan meningkatkan kadar laktat. Piruvat akan dimetabolisme di mitokondria melalui suatu reaksi oksidasi aerob oleh enzim piruvat dehydrogenase (PDH) dalam siklus krebs : Piruvat + CoA + NAD
PDH
Asetil-CoA + NADH + H + CO2
Reaksi tersebut menghasilkan 36 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat. Laktat yang dihasilkan melalui jalur piruvat akan mengalami proses transaminase menjadi alanine atau proses karboksilasi menjadi oksaloasetat atau malat, atau secara langsung digunakan oleh sel hepatosit periportal hati (60%) untuk pembentukan glikogen dan glukosa melalui proses glikogenesis dan glukoneogenesis atau siklus Cori. Laktat dipakai oleh sel otot yang bekerja sebagai substrat perantara reaksi oksidasi dalam jalur laktat (lactate shuttle). Sehingga laktat sekarang dianggap sebagai substrat perantara metabolisme yang mengalami oksidasi saat kebutuhan
25 Universitas Sumatera Utara
energi tubuh meningkat atau sebagai substrat yang berperan penting dalam glukoneogenesis. Laktat terbukti dapat berfungsi sebagai molekul penanda (signaling) yang ikut mengatur fungsi selular dan sistemik.44,45,46,47 Teori jalur laktat (lactate shuttle) menunjukkan proses pembentukan senyawa laktat secara aerobik. Proses ini merupakan suatu mekanisme berbagai jaringan dan organ menggunakan sumber karbon yang sama untuk reaksi oksidasi atau glukoneogenesis.48
Gambar 2.7. Metabolisme laktat. F-6-P: fruktosa 6 fosfat, F-1,6-P: fruktosa 1,6 bifosfat, G-6-P: glukosa 6 fosfat, gliseraldehid 3P: Gliseraldehid 3-fosfat, p:fosfat. (Dikutip dari Levy B)
26 Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Produksi Laktat pada Kondisi Aerobik Aerobik adalah kondisi tersedianya oksigen yang cukup. Pembentukan laktat pada fase pertama glikolisis di sitosol adalah proses anaerobik. Pada proses anaerobik ini terjadi aktivitas pompa Na-K-ATPase dan proses ini tidak membutuhkan oksigen. Epinefrin melalui reseptor beta-2 adrenergik meningkatkan produksi cAMP yang akan merangsang proses glikolisis yang akan menghasilkan ATP, dan mengaktivasi pompa Na-K-ATPase yang memakai ATP dan menghasilkan ADP. ADP akan merangsang enzim fosfofruktokinase yang mengaktivasi proses glikolisis yang selanjutnya menghasilkan piruvat yang akan berubah menjadi laktat. Jaringan otot yang merupakan 40% dari total jaringan tubuh, 99% reseptornya adalah beta-2, merupakan penghasil piruvat-laktat terbesar. Energi berupa ATP untuk metabolisme sel otot dihasilkan oleh proses metabolisme oksidatif untuk menjalankan fungsi kontraktilitas. ATP yang dihasilkan akan dipakai dalam proses glikolisis (glycolytic flux) sebagai energi transport natrium dan kalium melewati membran sel otot. Epinefrin yang berikatan dengan reseptor beta-2 akan merangsang aktivitas pompa membran Na-K, sehingga kebutuhan energi yang meningkat akan meningkatkan aktivitas enzim Na-K-ATPase yang akan meningkatkan proses ADP, proses glikolisis dan produksi laktat. Mekanisme ini telah dibuktikan oleh penelitian dimana tidak terjadi peningkatan laktat ketika kerja pompa Na-K membran dihambat oleh quabain.49 Laktat yang diproduksi oleh otot akibat efek epinefrin akan dimetabolisme di hati
melalui
proses
glukoneogenesis
menghasilkan
glukosa
(siklus
Cori).
Glukoneogenesis menghasilkan energi sebesar 2 ATP untuk setiap molekul glukosa yang menjadi laktat. Dan satu molekul laktat akan menggunakan 6 ATP untuk 27 Universitas Sumatera Utara
membentuk satu molekul glukosa dari laktat. Siklus Cori menunjukkan kemampuan sel hati menggunakan ATP melalui beta-oksidasi asam lemak bebas untuk menghasilkan glukosa. Hati adalah organ terpenting dalam proses bersihan laktat dan berperan 4050% pada metabolisme laktat setiap hari. Ambilan laktat oleh hati terjadi melalui sistem monokarboksilat trasporter, sedangkan metabolisme laktat dalam hati melalui reaksi oksidasi atau proses glukoneogenesis. Metabolisme laktat sangat tergantung dari kondisi fisiologis hati, sehingga fungsi hati yang terganggu akan mempengaruhi metabolisme laktat namun jarang menimbulkan peningkatan kadar laktat yang bermakna. Banyak penelitian menunjukkan pada fase non hepatik selama transplantasi hepar didapatkan sedikit peningkatan kadar laktat. Hal ini menunjukkan bahwa selain hati ada organ lain yang berperan juga dalam metabolisme laktat.
Gambar 2.8. Proses glikolisis karena stimulasi epinefrin menghasilkan ATP untuk aktivasi pompa NaK-ATPase . (Dikutip dari James dkk)
28 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Siklus Cori : laktat dihasilkan oleh otot dan dimetabolisme di hati (Dikutip dari Leverve dkk)
Ginjal memetabolisme laktat sebesar 30% melalui reaksi oksidasi dan glukoneogenesis. Kontribusi filtrasi glomerulus pada bersihan laktat sangat kecil sebesar < 2% dari total bersihan laktat dari tubuh. Ginjal berperan penting pada metabolisme laktat setelah hati. Pada kondisi hiperlaktatemia ginjal berperan dalam proses bersihan laktat sebesar 25-30%. Proses ini lebih merupakan suatu proses metabolisme dimana proses ekskresi laktat hanya 10-12%. Laktat mengalami filtrasi secara sempurna di glomerulus dan akan hampir semuanya akan direabsorbsi di tubulus proksimal. Ekskresi laktat dalam urin hanya terjadi pada peningkatan kadar laktat yang tinggi > 20 mmol/L atau hanya 2 % dari jumlah laktat yang dimetabolisme di ginjal. Ginjal juga berperan dalam metabolisme laktat melalui proses glukoneogenesis dan medula berperan sebagai penghasil laktat. Medula melalui proses glikolisis akan memetabolisme glukosa menjadi laktat yang kemudian diambil korteks dan mengalami oksidasi untuk menghasilkan energi dan glukoneogenesis menjadi glukosa yang akan dipakai kembali oleh medula sebagai sumber untuk 29 Universitas Sumatera Utara
melakukan proses glikolisis dan laktat dan menghasilkan ATP. Asidosis menghambat metabolisme laktat di hati sebaliknya metabolisme dan ekskresi laktat di ginjal meningkat pada kondisi asidosis. Pada ginjal, asidosis meningkatkan kerja enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase sehingga ambilan laktat dan proses glukoneogenesis di korteks meningkat. Batas ambang kadar laktat akan diekskresi ginjal adalah 5-6 mmol/L, berarti pada kondisi fisiologis normal laktat tidak akan diekskresi melalui urin. Tindakan nefrektomi akan menurunkan klirens laktat sebesar 30%.50 Proses yang berputar seperti ini juga terjadi di otak antara sel neuron dan astrosit, dan di testis antara sel sertoli dengan spermatozoa. Sel glia otak, secara spesifik astrosit memiliki kemampuan menghasilkan laktat pada kondisi normoksia melalui suatu reaksi glikolisis aerobik. Neurotransmitter sinaps glutamat merangsang peningkatan transport dan metabolisme glukosa di astrosit yang mengkonversi glukosa menjadi piruvat dan selanjutnya menjadi laktat yang merupakan metabolit perantara. Laktat akan diambil dan digunakan sel neuron sebagai substrat energi. Konversi piruvat menjadi laktat di astrosit tergantung dari enzim laktat dehydrogenase 5 (LDH5), sedangkan konversi laktat menjadi piruvat di neuron tergantung dari enzim laktat dehydrogenase 1 (LDH1). Laktat merupakan senyawa monokarboksilat yang bersifat hidrofilik, sehingga pergerakan transmembran sel mereka memerlukan perantara yaitu monokarboksilat transporter (MCT). Terdapat 14 jenis MCT dimana untuk transport laktat di astrosit mayoritas adalah MCT1 dan dineuron adalah MCT2. Selain memakai glukosa ekstrasel, astrosit juga membentuk glikogen yang akan menjadi sumber glukosa cadangan pada kondisi glikolisis aerobik meningkat. Sel schwann juga memetabolisme glukosa menghasilkan metabolit laktat yang selanjutnya mengalami oksidasi di sel akson. Pada kondisi hipoglikemia mobilisasi
30 Universitas Sumatera Utara
glikogen di astrosit mengkompensasi kebutuhan energi dengan menghasilkan laktat untuk menjamin homeostasis energi di sel neuron.51 Sel otot jantung (kardiomiosit) juga mengalami reaksi oksidasi laktat melalui jalur laktat (lactate shuttle) dan laktat memiliki efek inotropik pada sel jantung. Adanya proses luka juga menimbulkan reaksi oksidasi yang menghasilkan laktat.52,53,54
Gambar 2.10 Proses metabolisme piruvat (gambar dikutip dari Brooks GA dkk)
2.3.4. Hiperlaktatemia Peningkatan laktat merupakan hasil produksi yang melebihi kebutuhan dan metabolisme. Beberapa penelitian terbaru menunjukan bahwa kapasitas penggunaan laktat pada kondisi sakit kritis tidak berbeda dengan kondisi normal. Hal ini menunjukkan bahwa produksi laktat yang meningkat merupakan faktor utama terjadinya hiperlaktatemia dan asidosis laktat.55 Hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat dipakai sebagai penanda diagnostik dan prognosis kondisi kritis yang buruk. Hiperlaktatemia pada pasien kritis adalah kadar laktat > 18 mg/dL (2mmol/L) dan asidosis laktat adalah asidosis metabolik 31 Universitas Sumatera Utara
dengan kadar laktat > 45 mg/dL (5 mmol/L) dengan pH arteri < 7,35. (56) Pembentukan laktat yang meningkat pada pasien kritis tidak hanya terjadi pada kondisi hipoksia tapi juga dapat terjadi akibat dari proses glikolisis aerobik yang meningkat (hipermetabolisme sel) dengan kondisi sediaan oksigen cukup. 50 Namun pada akhir-akhir ini Alistair D. Nichol dkk. meneliti pada pasien sakit kritis, bahwa hiperlaktatemia relatif secara independen terkait dengan peningkatan mortalitas. Konsentrasi laktat darah >0,75 mmol.L-1 dapat digunakan oleh klinisi untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi terhadap kematian. Kesimpulan yang didapat mungkin kisaran referensi untuk laktat pada pasien sakit kritis perlu dikaji ulang kembali.57 Begitu juga dengan Asgar H. Rishu dkk. mendapati bahwa hiperlaktatemia Relatif (nilai laktat 1,36-2,00 mmol/L) dalam pertama 24 jam perawatan ICU merupakan prediktor independen mortalitas di ICU dan rumah sakit pada pasien sakit kritis.58 Cohen dan Woods pada tahun 1976 mengajukan klasifikasi hiperlaktatemia menjadi tipe A dan tipe B. Tipe A adalah hiperlaktatemia yang timbul akibat perfusi jaringan yang buruk atau kadar oksigen yang kurang (tanda klinis anemis, hipotensi, sianosis, ekstremitas dingin) yang terjadi pada kondisi curah jantung yang rendah (low cardiac output) pada syok kardiogenik atau hipovolemik. Tipe B adalah hiperlaktatemia yang timbul akibat tanpa adanya hipoperfusi jaringan, dan dibagi menjadi tiga bagian yaitu tipe B1, tipe B2 dan tipe B3. Tipe B1 adalah hiperlaktatemia yang timbul akibat penyakit dasar seperti keganasan. Tipe B2 adalah hiperlaktatemia yang timbul sebagai efek samping obat atau toksin seperti metformin dan alkohol. Tipe B3 adalah hiperlaktatemia yang timbul akibat kelainan metabolisme kongenital.59,60
32 Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi penyebab hiperlaktatemia. (Tabel 2.6) Tipe A : Hipoperfusi Jaringan Tipe B1 : Penyakit dasar
Tipe B2 : Obat-obatan toksin
Tipe B3 : Kelainan metabolisme kongenital Lain-lain (Dikutip dari Cohen, wood)
Syok sirkulasi Iskemia mesenteric Systemic Inflammation Response Syndrome Gagal Hati Keganasan Defisiensi tiamin (Mesin) pintas kardiopulmonal Hipofosfatemia berat Alkohol Metformin Beta-2 agonis Salisilat Sianida/nitroprusid Karbonmonoksida Propofol Dialisat Hipoglikemia
Faktor yang paling penting pada produksi laktat adalah proses glikolisis (glycolytic flux). Menurut Connet dkk terdapat beberapa faktor yang merangsang perpindahan glukosa selama proses glikolisis yaitu menurun atau terhambatnya proses fosforilasi di jaringan, pengaruh hormon dan stres seperti insulin, epinefrin, efek metabolik dari mediator inflamasi (TNF, IL1) dan alkalosis. Proses fosforilasi menurun atau terhambat karena terjadi penurunan sintesis ATP (akibat dari menurunnya oksigenasi jaringan, disfungsi mitokondria) atau peningkatan kebutuhan energi (kondisi hipermetabolik dan stres). Sakit kritis merupakan kondisi yang mengalami proses hiperadrenergik akibat meningkatnya sekresi katekolamin dan sering terjadi hipoperfusi, hipooksigenasi jaringan, dan disfungsi mitokondria. Hipotesis James dkk menyatakan bahwa laktat yang dihasilkan sel otot pada sepsis atau syok hemoragik bukan semata-mata karena proses glikolisis anaerob akibat hipoperfusi, melainkan dari meningkatnya proses glikolisis aerob akibat dari sekresi katekolamin meningkat. Penelitian Levy dkk pada pasien dengan syok sepsis juga mendukung hipotesis tersebut.61,62,63 33 Universitas Sumatera Utara
Sitokin inflamasi seperti TNF, IL-1 berperan penting sebagai mediator respon inflamasi sistemik (SIRS) pada kondisi seperti sepsis, luka bakar, trauma dan pankreatitis. Efek metabolik dari kerja sitokin inflamasi ini adalah merangsang ambilan glukosa sel dan proses glikolisis yang menghasilkan ATP bagi makrofag untuk bergerak (respiratory burst). Jumlah laktat yang dihasilkan pada proses inflamasi berbeda untuk tiap organ dan tergantung dari banyaknya makrofag yang bekerja, sehingga organ paru-paru, usus dan hati yang kaya akan makrofag merupakan penghasil laktat terbanyak saat inflamasi sistemik terjadi.64 Pada kondisi alkalosis respiratorik terjadi peningkatan laktat ringan akibat dari alkalemia yang merangsang enzim kerja lambat fosfofruktokinase yang berperan dalam proses glikolisis. Kondisi sepsis menyebabkan sel otot melepaskan alanine yang akan dikonversi dalam darah menjadi laktat, sehingga menimbulkan hiperlaktatemia.65 Penelitian Leveraut dkk dengan menggunakan laktat yang diberi label pasien sepsis dengan hemodinamik stabil tanpa obat vasoaktif menunjukkan hiperlaktatemia yang persisten akibat penurunan bersihan laktat dan bukan karena peningkatan produksi laktat. Penelitian Revelly dkk dengan menggunakan metode yang sama menunjukkan bahwa produksi laktat pada pasien sepsis dan syok kardiogenik lebih tinggi namun klirens laktat tidak berbeda dibandingkan orang yang sehat. Peningkatan produksi laktat pada kondisi kritis yang merupakan akibat dari hiperglikemia dan meningkatnya metabolisme glukosa. Perbedaan hasil penelitian keduanya karena Revelly melakukan pemberian laktat secara infus kontinyu sedangkan Leveraut dengan cara bolus. Populasi pasien Revelly juga memiliki kadar laktat yang lebih tinggi dibandingkan populasi pasien Leveraut yang memiliki kondisi lebih baik dan sudah dalam penyapihan dari obat vasoaktif.66,67 34 Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Produksi Laktat pada Kondisi Hipoksia Laktat adalah salah satu senyawa yang dihasilkan pada metabolisme normal dan meningkat akibat terganggunya metabolisme karena hipoksia. Laktat dapat dijadikan salah satu tanda adanya hipoksia jaringan karena dalam hitungan menit kadarnya dapat meningkat tergantung dari derajat gangguan metabolisme oksidatif. Pada kondisi metabolisme normal eritrosit yang merupakan sel tanpa mitokondria dan merupakan anaerob obligat, menggunakan laktat hasil proses oksidasi asam lemak dihati sebagai perantara (energy shuttle) metabolisme. Namun harus dipahami bahwa kadar laktat yang terukur adalah hasil keseimbangan antara produksi dan bersihan, dan telah dibuktikan bahwa gagal hati mempengaruhi bersihan laktat.68 Pada kondisi sediaan oksigen yang kurang (hipoksia) terjadi perubahan metabolisme yang dikenal dengan efek Pasteur, yaitu pada kondisi hipoksia glukosa mengalami konversi anaerob menjadi piruvat yang tidak dapat masuk ke siklus Kreb melalui asetil CoA untuk menghasilkan energi. Hipoksia menghambat proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, sehingga terjadi hambatan sintetis ATP dan reoksidasi NADH yang mengakibatkan turunnya rasio ATP/ADP dan peningkatan rasio
NADH/NAD.
Penurunan
rasio
ATP/ADP
menghambat
kerja
enzim
fosfofruktokinase dan piruvat karboksilase pada jalur metabolisme piruvat, sedangkan peningkatan rasio NADH/NAD juga menghambat kerja enzim PDH yang mengubah piruvat menjadi asetil CoA, dimana semuanya menimbulkan akumulasi piruvat. Akumulasi piruvat akan berubah menjadi laktat (hiperlaktatemia) melaui proses regenerasi NAD+ dan glikolisis menghasilkan energi (2 ATP) yang dalam kondisi anaerob menjadi mekanisme adaptasi utama pada kondisi hipoksia.
35 Universitas Sumatera Utara
Laktat
selanjutnya
glukoneogenesis.
Sebagai
mengalami kesimpulan
metabolisme
di
metabolisme
hati
anaerob
untuk
proses
menimbulkan
hiperlaktatemia (peningkatan rasio laktat/piruvat), peningkatan glikolisis anaerob dan produksi energi dalam jumlah kecil.48,50 2.3.6. Laktat dan Syok Pada kondisi syok terjadi hipoksia sel akibat dari penurunan perfusi jaringan. Pada syok kardiogenik atau hipovolemia, curah jantung yang rendah menimbulkan hipoperfusi dan menghasilkan rasio laktat/piruvat tinggi yang menyebabkan hiperlaktatemia. Revelly dkk melakukan penelitian untuk membuktikan hipotesis peningkatan laktat pada kondisi syok adalah hasil dari glikolisis anaerob akibat hipoksia. Penelitian yang dilakukan pada beberapa pasien syok sepsis dan syok kardiogenik tidak dapat menunjukkan bukti yang bermakna adanya gangguan oksidasi laktat, dan bersihan laktat pada pasien-pasien tersebut tidak berbeda makna dibandingkan dengan populasi normal. Hasil ini menunjukkan pada kondisi syok hiperlaktatemia yang terjadi disebabkan karena sintesis laktat yang meningkat dan tidak selalu disebabkan oleh hipoksia tetapi juga karena metabolisme jaringan yang meningkat. Hal ini ditunjukkan pada tabel 2.7. Derajat stres Rendah Sedang Berat
Kadar Laktat (mmol/L) <1,5 1,5-3,0 >3,0
Konsumsi (ml/min/m2)
oksigen
<140 140-180 >180
Tabel 2.7 Peningkatan metabolisme dan kadar laktat (dikutip dari bakker J. dkk)
Pengukuran kadar laktat darah dapat menjadi alat untuk menentukan prognosis pasien yang mengalami syok, di mana pengukuran serial lebih bermakna untuk menilai keberhasilan resusitasi hemodinamik. Kegagalan klirens laktat selama
36 Universitas Sumatera Utara
resusitasi juga dapat dipakai untuk memprediksi terjadinya gagal organ dan peningkatan mortalitas.17 2.3.7. Laktat dan Sepsis Pada syok sepsis terjadi kegagalan kardiosirkulasi yang resisten terhadap katekolamin yang menyebabkan penurunan curah jantung dan vasodilatasi, mengakibatkan hipoperfusi jaringan, penurunan hantaran oksigen dan peningkatan laktat. Namun pada kondisi sakit kritis seperti trauma, luka bakar, sepsis terjadi hipermetabolisme yang disertai peningkatan kebutuhan oksigen dan proses glikolisis (glycolytic
flux)
yang
mengakibatkan
peningkatan
produksi
laktat
(stress
hyperlaktatemia). Proses inflamasi pada sepsis meningkatkan pembentukan piruvat dan sintesis mRNA GLUT-1 yang berperan sebagai transporter glukosa melalui proses glikolisis aerobik. Proses glikolisis aerobik ini meningkat karena efek dari katekolamin endogen maupun eksogen yang meningkat dan proses inflamasi, menimbulkan metabolisme karbohidrat yang melebihi kapasitas oksidasi mitokondria sehingga terjadi akumulasi piruvat. Gore dkk mengemukakan hipotesis bahwa produksi dan oksidasi piruvat meningkat pada sepsis akibat dari peningkatan influks glukosa pada glikolisis dan disfungsi enzim PDH. Selain itu pada kondisi stres hipermetabolik terjadi katabolisme protein yang menghasilkan asam amino yang diubah menjadi piruvat dan kemudian menjadi laktat. Peningkatan produksi laktat tergantung dari rasio antara aktivitas proses glikolisis dengan kapasitas oksidasi dari enzim PDH. Sintesis laktat meningkat karena proses glikogenolisis dan glikolisis yang meningkat akibat sekresi katekolamin, terhambatnya kerja enzim PDH dan sintesis glikogen pada sepsis dan kondisi 37 Universitas Sumatera Utara
hipoksia. (68) Enzim PDH mengubah piruvat menjadi asetil-CoA agar dapat memasuki mitokondria. Aktivitas enzim PDH menurun pada kondisi sepsis dan diperbaiki oleh dikloroasetat yang bekerja menurunkan kadar laktat. Disfungsi atau terhambatnya PDH akan mengakibatkan peningkatan kadar laktat. 17
Gambar 2.11 Mekanisme peningkatan produksi laktat pada sepsis (dikutip dari Fulvio dkk)
2.4. SISTEM SKOR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF Perkembangan teknologi kesehatan yang sangat pesat terutama di bidang terapi intensif akhir-akhir ini telah membuat pelayanan di UPI membutuhkan sumber daya dan biaya operasional yang cukup tinggi, sehingga UPI hanya diperuntukkan bagi pasien-pasien yang akan mendapatkan manfaat dari terapi intensif dengan resiko kematian yang rendah. Untuk itu diperlukan instrumen objektif yang dapat menentukan keparahan penyakit dan menilai prediksi mortalitas pasien yang masuk UPI. Selama 3 dekade terakhir ini telah dikembangkan beberapa sistem skor atau model prognostik UPI. Sebagian besar sistem skor mempunyai fokus keluaran angka kematian rumah sakit dan sebagian lagi memperkirakan besarnya disfungsi organ.69 Gangguan fisiologis, proses patologis dan cadangan fungsi fisiologis dapat berhubungan terhadap keluaran dengan metode stasistik. Keluaran yang umumnya 38 Universitas Sumatera Utara
diukur adalah mortalitas di UPI atau mortalitas pada 28 hari atau 30 hari (mortalitas rumah sakit). Mortalitas rumah sakit merupakan keluaran yang paling sering dipakai karena dapat digunakan sebagai diskriminator dan mudah diamati.70 Pada awal pengembangan sistem skor, pemilihan variabel klinik dan fisiologik sebagai variabel-variabel prediksi berdasarkan penilaian subjektif dari hasil konsensus para klinisi serta tinjauan pustaka. Selanjutnya tehnik model regresi logistik ganda digunakan untuk memilih variabel prediksi dari sistem skor.69 2.4.1. Defenisi Sistem skor adalah suatu alat atau instrumen untuk menentukan probabilitas mortalitas pasien. 2.4.2. Tujuan Penggunaan Sistem Skor Sistem skor dapat digunakan untuk berbagai hal. Pada penelitian uji acak terkendali (randomized controlled trial, RCT) dan penelitian klinik lainnya digunakan untuk menentukan sampel penelitian. Pada manajemen rumah sakit sistem skor digunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan administrasi sistem pelayanan kesehatan dan rumah sakit seperti menentukan alokasi sumber daya. Pada pengelolaan UPI, sistem skor digunakan untuk menilai tampilan UPI dan membandingkan kualitas pengelolaan pasien pada beberapa UPI yang berbeda, atau pada UPI yang sama dengan waktu yang berbeda-beda. Sistem skor dapat digunakan untuk menilai pengaruh keluaran pasien terhadap perencanaan pengelolaan UPI, seperti penambahan jumlah tempat tidur, rasio staf dan jasa medis. Sistem skor digunakan juga untuk menilai prognosis pasien secara individu sebagai data objektif dalam berkomunikasi dengan keluarga pasien, perusahaaan asuransi kesehatan atau pengelola kesehatan dalam membuat keputusan tentang perawatan di UPI. Selain itu sistem skor digunakan untuk mengevaluasi pantas atau tidaknya pasien mendapatkan novel therapy, seperti menggunakan sistem skor APACHE II sebagai acuan untuk terapi recombinant human activated protein C (drotrecogin alfa) pada pasien sepsis berat/syok septik.69,70,71
39 Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Klasifikasi Sistem Skor69 Secara umum sistem skor yang digunakan di UPI dapat digolongkan menjadi sistem skor model prognostik dan skor disfungsi organ. Ada 4 generasi sistem skor prognostik. Generasi pertama adalah Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation I (APACHE I). Generasi kedua terdiri dari APACHE II, Simplified Acute Physiology Score I (SAPS I) dan Mortality Probability Model I (MPM I). Generasi ketiga adalah APACHE III, SAPS II, dan MPM II. Generasi terakhir adalah APACHE IV, SAPS III, dan MPM III. Sedangkan sistem skor disfungsi organ adalah Multipel Organ Dysfunctiopn Score (MODS), Logistic Organ Dysfuction Score (LODS), dan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) Score. 2.5. Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) 69,70 Dasar dari pengembangan APACHE II yang merupakan penyederhanaan dari APACHE I sebelumnya, adalah hipotesis bahwa derajat keparahan suatu penyakit akut dapat diukur dengan melakukan kuantifikasi derajat penyimpangan dari berbagai variabel fisiologi yang dapat diukur secara objektif. Knaus dkk. pada tahun 1985, menggunakan 12 variabel pengukuran fisiologis (acute physiologic score, APS) yaitu : suhu tubuh, tekanan darah arteri rata-rata, laju nadi, laju nafas, oksigenasi, pH arteri, natrium serum, kalium serum, kreatinin serum,
hematokrit, leukosit, skala koma
Glasgow, ditambah umur dan penyakit kronik dengan bobot nilai tertentu yang dinilai dalam 24 jam pertama pada sejumlah 5815 pasien yang masuk UPI dari 13 rumah sakit di Amerika Utara (tabel 2.9). 2.5.1. Defenisi Skor APACHE II adalah hasil penjumlahan dari APS, umur dan riwayat penyakit kronik. Skor APACHE II bervariasi dari 0 – 71, untuk APS maksimal 60, skor umur maksimal 6, dan untuk skor riwayat penyakit kronik maksimal 5. Pada kasus paska bedah, nilai variabel pH dan kreatinin serum sering dianggap normal. Pada kasus pasien dengan sedasi, bantuan ventilasi mekanik, nilai variabel skor koma Glasgow dianggap 15, bila masalah neurologi tidak ada. Pasien yang
40 Universitas Sumatera Utara
menjalani bedah jantung atau yang berumur <16 tahun dikeluarkan dari analisis APACHE II. 2.5.2. Aplikasi Skor APACHE II Skor APACHE II telah banyak dilaporkan dapat memprediksi mortalitas pasien kritis, dengan alasan ini maka sistem skor ini paling banyak digunakan. Penggunaan sistem skor ini terutama pada pasien dengan infeksi, uji klinis, pemanfaatan sumber daya, peraturan pelayanan kesehatan, dan pada Surviving Sepsis Campaign.4 Tabel 2.8 Skor APACHE II dan tingkat mortalitas pada 5.185 pasien UPI.9 APACHE II Score and Mortality in 5,185 ICU Patients APACHE II Score
Hospital Mortality (%) Nonoperative
Postoperative
0-4
4
1
5-9
6
3
10-14
12
6
15-19
22
11
20-24
40
29
25-29
51
37
30-34
71
71
≥35
82
87
Data from Knaus WA et al. Crit Care Med 1985;13:818-829 (Tabel dikutip dari Knaus WA dkk)
41 Universitas Sumatera Utara
2.6. KERANGKA TEORI
SEPSIS Permeabilitas sel endotel ↑
Edema
Pelepasan mediator inflamasi
Adhesi lekosit
vasodilatasi
Adhesi/agregasi trombosit
Oklusi Kapiler
hipotensi
Maldistribusi aliran darah mikro sirkulasi SEPSIS Berat Hipoperfusi mikrosirkulasi Oksigen deliveri
Laktat
Asidosis Metabolik
Metabolisme anaerob Skor APACHE II
ATP
Inhibisi mitokondria
Metabolisme shut down
Disfungsi sel dan organ
Gagal multi organ
Apoptosis
A.Variabel fisiologi 1 Suhu tubuh (°C) 2 tekanan darah arteri rata-rata 3 laju nadi (respon ventrikel) 4 laju nafas (dengan atau tanpa VM) 5 oksigenasi 6 pH arteri 7 Natrium serum (mmol/L) 8 Kalium serum (mmol/L) 9 Kreatinin serum ( mg/dL) 10 Hematokrit (%) 11 lekosit (1000/mm3) 12 Skala koma Glasgow (GCS) B. Umur C. Penyakit kronik
mortalitas
42 Universitas Sumatera Utara
2.7. KERANGKA KONSEP
SEPSIS BERAT
LAKTAT ARTERI
MORTALITAS
SKOR APACHE II
keterangan: : Hubungan linier : menyebabkan
43 Universitas Sumatera Utara