18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu Caroline Paskarina, dkk (2007) dengan Judul ―Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar Di Kota Bandung‖, mengungkapkan bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung dan bagaimana model revitalisasi pasar tradisional yang dapat meningkatkan daya saing dengan pasar modern. Kajian ini menggunakan metode analisis kebijakan (policy analysis method)
yang
mengarahkan
hasil
studi
komprehensif
menjadi
pertimbangan utama bagi perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perlu dilakukan perubahan paradigma pengelolaan pasar, dimana pasar tradisional ditempatkan sebagai investasi jangka panjang dalam rangka pembangunan properti kota yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap, mendistribusikan kapital bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu peraturan terkuat dengan pengelolaan pasar harus ditegakkan secara konsisten. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI (2007), pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun, sementara pada saat yang sama pasar
19
modern mengalami peningkatan,kontribusi pasar tradisional sekitar 69,9% menurun dari tahun sebelumnya yaitu 73,7%. Sementara
hasil
penelitian
Smeru
Research
Institute
(2007),
keberadaan supermarket memberikan pengaruh terhadap penurunan kontribusi dan kinerja pasar tradisional, namun secara kuantitatif tidak terbukti adanya pengaruh yang nyata. Penurunan pasar tradisional lebih diakibatkan oleh faktor internal yang mengakibtkan kurang daya saing dibandingkan pasar modern, upaya penataan kembali pasar tradisional harus diawali dengan peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan pasar seperti tercukupinya kualitas sumber daya manusia dan sistem operasi standar. Diperlukan penyamaan persepsi dan visi jangka panjang bagi aparat daerah. Aven Januar (2011), tentang kemisikinan absolute karena pasar modern, menemukan ritel tradisional di Yogyakarta telah mengalami penurunan asset rata-rata sebesar 5,9%. Kurun waktu 2009-2010 muncul dua mini market di dekat pasar tradisional telah menurunkan omset pembelian di pasar 7% setiap tahun dan muncul pengalihan profesi pedagang tradisional hingga 1 % setiap tahunnya. Roma Uli Esteria Lumbun Toruan (2010) dengan judul Penelitian menunjukkkan
bahwa
pekerjaan
tertinggi
untuk
pasar
tradisional
didominasi oleh Ibu Rumah Tangga sedangkan untuk pasar modern adalah pegawai swasta. Dilihat dari karakteristik umur, pendapatan dan
20
pendidikan konsumen tidak ada perbedaan yang nyata antara konsumen yang berbelanja di pasar tradisional Sei Sikambing dengan konsumen yang berbelanja di pasar modern Hypermart Sun Plaza Medan dimana diperoleh Ho > H𝛼0,05,1 𝑑𝑓1. Karakteristik jumlah tanggungan konsumen yang berbelanja di pasar tradisional Sei Sikambing dengan di pasar modern Hypermart Sun Plaza Medan berbeda nyata dimana Ho < H𝛼0,05,1 𝑑𝑓1. M. Ali Musri. S. (2005) dengan judul Evaluasi Tingkat Pengelolaan Pasar Tradisional dan Analisis Tingkat Kepedulian Pedagang Terhadap Kebersihan Lingkungan di Kota Medan (Studi Kasus Pasar Tradisional Kelas I-A) Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana tingkat pengelolaan kebersihan lingkungan pada pasar tradisional yang tergolong dalam kelas I-A yang dikaitkan dengan latar belakang pendidikan, tingkat pendapatan,dan status kepemilikian kios bagi para pedagang di lokasi penelitian. Metode penelitian ini menggunakan beberapa metode yakni metode kuesionari, metode survey untuk mendapatkan data lapangan serta metode analisa statistik dengan analisa regresi yang pengolahan datanya dengan bantuan perangkat memakai program SPSS versi 11,5. Faktor yang mempengaruhi sikap peduli pedagang akan kebersihan lingkungan adalah tingkat pendapatannya, sedangkan latar belakang
21
pendidikan dan status kepemilikan kios tidak berpengaruh secara signifikan untuk 𝛼 5%. Berdasarkan penilaian mutlak bahwa pedagang yang dikategorikan belum peduli kebersihan sebanyak 36,7%, sedangkan yang sudah peduli kebersihan sebanyak 63,3 %. Vawensa M. Sihombing (2005),
dalam judul tesisnya ―Peranan
Pasar Tradisional Dalam Pemberdayaan Kesejahtraan Sektor Informal di Kota Medan‖ (Studi Banding Antara Pedagang Pasar Inpres Sei SIkambing dan Pasar Pusat Pasar) menjadikan pasar tradisional sebagai studi penelitian adalah untuk menganalisis kehadiran pasar tradisional dalam meningkatkan kemakmuran masyarakat. Fokus dari studinya adalah beberapa indikator oleh pedagang pasar tradisional. Penelitian ini didasarkan pada analisis statistic induktif dan deduktif. Penggunaan analisis statistic deduktif, penulis bisa menampilkan karakteristik dari pedagang pasar tradisional. Statistik yang lain adalah pendekatan ekonometrika dan analisis non parametric untuk menghitung data. Kharakteristik status modal sendiri yang dimiliki oleh sebagian besar responden pedagang Pasar Inpres Sei Sikambing dan Pasar Pusat Pasar Medan yang masing-masing sebesar 88 % dan 84 % dari keseluruhan jumlah responden pedagang pada kedua pasar tersebut, merupakan tanda bahwa sebagian besar pedagang pada kedua pasar
22
tersebut belum mendapat perhatian baik dari pihak pemerintah maupun pihak swasta dari segi bantuan modal. Agussyah Putra (2004) dalam tesisnya ―Pengaruh Pengembangan Pasar Modern Terhadap Kehidupan Pasar Tradisioal Di Pusat Pasar Modern‖), terdapat beberapa perbedaan antara pasar modern (Modern Mall) dengan pasar tradisional di Pusat Pasar Medan , yakni menyangkut perbedaan dalam hal fasilitas berbelanja, kenyamanan berbelanja serta kualitas barang yang diperjualbelikan. Perbedaan-perbedaan ini diasumsi memberi pengaruh terhadap pengunjung di pasar tradisional Pusat Pasar Medan. Akibatnya daya jual pedagang tradisional di Pusat Pasar Modern menjadi lemah. Khairunnisa Rangkuti (2005) dengan judul Analisis Pengembangan Pasar Tradisional dan Dampaknya Terhadap Pengembangan Wilayah (Studi Kasus Pasar Tradisional di Kota Medan (Tesis), bertujuan untuk menjelaskan
pengeruh
pengembangan
pasar
tradisional
dengan
pengembangan wilayah dalam bentuk terjadinya peningkatan jumlah pengunjung dipasar tradisional kota Medan, serta untuk menjelaskan pengaruh modal usaha, jam kerja, lama berjualan dan lokasi usaha terhadap pendapatan pedagang di pasar-pasar tradisional kota Medan. Penelitian ini menggunakan metode analisa deskriptif dan statistik dengan uji regresi berganda diolah dengan menggunakan komputer SPSS ver 11.
23
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut persepsi responden bahwa
pengembangan pasar tradisional dalam aspek kebersihan,
keamanan dan penataan gerai akan dapat meningkatkan jumlah pengunjung/pembeli di pasar tradisional kota Medan. Dari hasil analisis regresi berganda didapat bahwa pendapatan pedagang pasar tradisional di kota Medan dipengaruhi secara signifikan oleh modal usaha, lama berjualan, jam kerja serta lokasi usaha. Dengan demikian pengembangan pasar-pasar tradisional
di kota Medan dapat menyebabkan terjadinya
pengembangan wilayah di kota Medan diantaranya dapat dilihat dengan bertambahnya aktivitas social ekonomi masyarakat dan terjadinya peningkatan pendapatan pedagang sehingga nantinya penerimaan PD. Pasar dari retribusi yang dibayarkan pedagang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan sarana fisik pasar-pasar tradisional di kota Medan. Tabel 1. Komparasi Hasil Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Disertasi Nama Peneliti dan Tahun Penelitian Caroline Paskarina, dkk (2007)
Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil Penelitian Disertasi
Relevansi
Perlu dilakukan perubahan paradigm pengelolaan pasar, dimana pasar tradisional ditempatkan sebagai
Penelitian ini mengarahkan pada implementasi kebijakan pasar secara
Sama-sama meneliti pasar tradisional dalam rangka untuk mempertahan
Perbedaan
Penelitian terdahulu hanya melihat pasar tradisional
24
Sosilo Zauhar & Dwi Sulistya (2007)
Toni Djogo,dkk
investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan property kota. yang bertujuan untuk meningkatkan, menangkap & meredistriksikan kaital bagi kesejahtraan masyarakat
internal untuk meningkatkan proses pengelolaan pasar dan pemberdayaa n usahausaha kecil.
kan keberadaan pasar.
dalam pengembang an property kota
1. Pendataan objek retribusi pasar besar untuk dinas pasar 2. Target penerimaan retribusi pasar dan PKL maupun retribusi pemeliharaan kebersihan diterapkan PEMDA rendah dibandingkan dengan potensi yang tersedia. 3. Pemungutan retribusi pasar dan PKL maupun retribusi pasar dan PKL maupun retribusi pemeliharaan kebersihan tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah mengatur tata
Menemukan adanya potensi pasar PAD dengan target PAD perusahaan daerah pasar Makassar Mal sebesar 400 juta perbulan, retribusi pasar terong 25 juta perbulan.
Sama-sama mengamati retribusi pasar yang pemerintah kota siap mempertahan kan pasar tradisional
Penelitia terdahulu hanya menekankan pada target retribusi pasar, perlu dilakukan peminjaman ulang atas kebijakan target penerimaan retribusi yang sudah diterapkan.
Menemukan bahwa dalam
Sama-sama meneliti
Penelitian teerdahulu
25
(2003)
organisasi di departemen yang mandatnya berkaitan dengan komponenkomponen penyusun agroforestri. Dua departemen semestinya menjadi pioneer (perintis) dalam pengembangan agroforestri. Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan organisasi dalam pembangunan agroforestri lebih menekenkan pada struktur organisasi dari pada fungsi organisasi.
kelembagaan, proses pasar sangat terkait erat dengan kebijakan dan unsure vital dalam organisasi
kelembagaan dan kebijakan dalam pengembang an
hanya menekankan pada pengembang an organisasi dalam pembanguna n agroforestri.
La Ode Amaluddin (2007)
Pemanfaatan potensi retribusi hanya mencapai rata-rata 30% dari potensi yang tersedia. Objek retribusi yang relative tidak stabil dan rendahnya kesadaran wajib retribusi dalam melaksanaakn kewajiban, sebagai faktor utama yang menghambat
Implementasi kebijakan melihat dari retribusi pasar apakah target dan realisasi dapat terpenuhi, kalau tidak terpenuhi berarti kebijakan pasar tidak terimplementa si dengan
Sama-sama melihat retribusi pasar sebagai faktor utaa dalam pemasukan.
Penelitian terdahulu retribusi pasar tidak maksimal dan menjadi salah satu faktor signifikan yang mengahmbat optimalisasis penerimaan retribusi.
26
Daniel Surya Darma, dkk (2007)
Syatria (2002)
pelaksanaan pengelolaan retribusi pasar. Temuan menunjukkan bahwa kelesuhan yang terjadi di pasar tradisional kebanyakan bersumber dari masalah internal pasar tradisional yang memberikan keuntungan pada supermarket. Untuk menjamin keberlangsunganny a pasar tradisional yang memungkinkan dapat bersaing dan tetap bertahan bersama kehadiran supermarket
baik
Menelusuri dan melihat 2 intensitas pasar modern dan pasar tradisional, apakah kebijakannya berjalan atau tidak.
Sama-sama membahas pasar tradisional dan pasar modern.
Penelitian terdahulu melihat dampak yang terjadi pada supermarket terhadap pasar pasar tradisional.
Minimnya fasilitas sehingga berimplikasiterhadap rendahnya pendapatan pasar penyebab lainnya adalah pengelola pasar yang tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah menjadi tanggung jawabnya masing-masing tak jalannya fungsi
Penelitian ini menemukan adanya implementasi kebijakan yang berhubungan erat kelembagaan dalamperoses pasar yang terjadi keterkaitan dengan struktur
Sama-sama melihat pengelolaan pasar tradisional dalam tinjauan kelembagaan
Penelitian terdahulu melihat pasar tradisional petugas tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan tanggung jawabnya.
27
Apriwan, dkk (2006)
pengelola pasar ini mempengaruhi oleh minimnya insentif ysng diterima, karena tekana birokrasi dan lemahnya posisi tawar, sumber daya manusia dan organisasi local.
administratif yang terintegrasi secara hirarkis.
Tepat kebijakan secara substansial substansi dari pendirian kebijakan pembangunan pasar Amur sudah tepat, memakai perinsip how excellent is the policy. Pemerintah hanya berusaha untuk mengakomodir keinginan masyarakat tanpa memberikan legitimasi, Perinsip Tepat Pelaksana bahwa adanya dominasi peran koperasi dalam implementasi kebijakan ternyata tidak menjamin keberhasilan dalam implementasi kebijakan tersebut. Perinsip Tepat target kebijakan pembangunan
Penelitian ini menemukaan implementasi kebijakan antara pemerintah atau dengan dinas-dinas yang terkait dengan kapasitas lembaga
Sama-sama melihat implementasi kebijakan pasar.
Penelitian terdahulu membahas kebijakan pembanguna n pasar secara kerjasama dan kemitraan antara masyarakat.
28
pasarbAmur sudah sesuai dengan target yang direncanakan yaitu sebagai peruntukan pasar konveksi, akan tetapi target tersebut tidak mempertimbangkan kondisi pasar yang ada di regional yang samasehingga tepat target ini menjadi tidak terpenuhi. Perinsip Tepat Lingkungan Implementasi kebijakan pembangunan pasar Amur telah menunjukkanketerlib atan actor-aktor yang terkait tidak sinergis, dominasi peran pengurus koperasi, dan pemerintah hanya terlibat secara parsial ketika kegagalan koperasi pasar Amur dalam mengeksekusi kebijakan yang di buat.
B. Perspektif Administrasi Publik Perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
terus
melaju
mengikuti dinamika kehidupan masyarakat dunia. Perubahan global
29
yang begitu dahsyat membawa pengaruh dalam pranata sosial dan berimplikasi pada nilai-nilai yang bergeser manusia. Pergeseran ini terus berlanjut mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi yang mewarnai kehidupan masyarakat intemasional. Salah satunya ilmu administrasi yang merupakan hasil pemikiran dan penalaran manusia yang disusun berdasarkan dengan rasionalitas dan sistimatika yang mengungkapkan kejelasan tentang objek formal, yaitu pemikiran untuk menciptakan suatu keteraturan dari berbagai aksi dan reaksi yang dilakoni oleh manusia dan objek material, yaitu manusia yang melakukan administrasi dalam bentuk kerjasama menuju terwujudnya tujuan tertentu (Makmur, 2007). Esensi mendasar objek forma dan material administrasi adalah terciptanya hubungan antar pengatur dengan yang diatur dalam konteks kerjasama manusia. Perkembangan ilmu, administrasi memberikan kontribusi terhadap ilmu administrasi publik yang terus mengalami perubahan terutama sejak tahun 1990an. Administrasi publik yang semula dianggap sebagai konsep ekslusif yang berfokus kepada masalah efisiensi dan efektifitas telah bergeser menjadi konsep yang multidisipliner. Administrasi publik tidak saja berfokus kepada efisiensi tetapi lebih luas lagi seperti isu demokrasi, pembedayaan, dan affirmative action. Secara garis besar perkembangan ilmu administrasi publik dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode pertama : disebut administrasi negara
30
klasik (Shaftitz,1978), atau disebut administrasi negara lama/old public administration (Denhardt dan Denhardt, 2003), Periode kedua adalah management publik baru atau new public managemen, dan periode ketiga adalah new public service (Thoha, 2010: 83) Perkembangan di atas berawal dari kritik pendekatan public choice pada tahun 1970-an terhadap model birokrasi pada negara negara yang menganut ideologi ―Wellfare state". Para akademisi dan praktisi di negara negara barat terdorong untuk menerapkan pendekatan manajemen sektor privat ke dalam sektor publik. Cara kerja sektor swasta, yang menekankan kinerja, efisiensi, dan fleksibilitas dianggap merupakan formula yang tepat untuk memperbaiki masalah pemborosan, inefisiensi. iresponsifitas pemerintah yang banyak dikritik oleh para akademisi public choice. Pada pihak lain, menguatnya manajerialisme di sektor publik mendorong pendekatan baru yang dikenal sebagai pendekatan new public management. Istilah "new" ini digunakan untuk membedakan dengan public management yang lama. Belakangan ini, diartikan sebagai tindakan
manajerial
di
dalam
konteks
kebijakan
tertentu
dan
kelembagaan. Hood (1995), menyatakan bahwa semua ini membawa banyak perubahan dan kemajuan, yaitu pimpinan eksekutif yang diwajibkan melakukan proses akuntabilitas terhadap tercapainya tujuan organisasi, menciptakan proses baru untuk mengukur produktivitas kerja dengan
31
melakukan reengineering system yang merefleksi terhadap kuatnya komitmen
pada
akuntabilitas publik (Barzelay,
2001;
Boston
et.
al.,1996;Pollitt itt dan Bouckaert, 2000). NPM mendorong pendekatan baru dengan memandang administrasi publik sebagai governance, dengan fokus utama bukan lagi pada pemerintah (government) sebagai sebuah institusi yang diberikan kewenangan untuk mengatur masyarakat dan menjadi penyedia utama pelayanan publik melainkan lebih pada proses Frederickson (1980). Governance merupakan proses pemecahan masalah publik yang melibatkan instrumen hukum, kebijakan, kemitraan pemerintah dengan swasta maupun pemberdayaan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan secara efektif dan efisien. Kemudian Osborne dan Gaebler (1992), menerbitkan buku Reinventing Government yang pada hakikatnya adalah upaya mentransformasikan jiwa dan kerja wiraswasta (entrepreneurship)
ke
dalam
birokrasi
pemerintah.
New
public
management menghasilkan perubahan yang positif dan telah banyak dilakukan di kalangan sektor publik (Osborne dan Plastrik, 1997; Kettl, 2000; Kett dan Gaebler, 1992; Lynn, 1996; Bouckaert, 2000; Ferli, E, et al, 1996). Menurut Ott, Hyde dan Shafritz dalam bukunya Public Management: memberikan tekanan bahwa "administrasi publik merupakan suatu profesi dan para public managers sebagai praktisi dari profesi tersebut". Kendati
32
menekankan aspek manajerialisme dalam penyelenggaraan kebijakan, konsep public management secara tegas berbeda dengan private sector management (1991: 34). Menurut Metclafe dan Richards (1993: 115), "what distinguishes public ,management is explicit acknowledgement of responsibility for dealing with structural problems at the level of the system as a whole ". Public management adalah penerapan manajemen oleh para manajer publik di birokrasi dalam rangka melaksanaan kebijakan publik. Berbeda dengan konsep public management "lama", nenurut Hood (1991) new public management lebih menekankan pada pengukuran kinerja daripada proses penerapan kebijakan, lebih menitikberatkan pada pelayanan yang kompetitif yang dijalankan melalui organisasi publik semi otonom atau sistem kontrak dengan swasta ketimbang melalui pelayanan oleh birokrasi dan memberikan kebebasan kepada manajer publik bekerja seperti rekannya di sektor swasta. Ini sejalan dengan paradigma baru dalam teori organisasi, yaitu pembenahan hubungan di dalam organisasi dan pengembangan network dengan organisasi lain yang mengarahkan perhatian kepada realitas dan kebutuhan. Pendekatan NPM berfokus utama pada pemerintah (government) sebagai sebuah institusi yang bukan lagi memberikan kewenangan untuk mengatur. Masyarakat dan menjadi penyedia utama pelayanan publik melainkan lebih menekankan pada proses. Governance merupakan
33
proses pemecahan masalah publik yang melibatkan instrumen hukum, kebijakan, kemitraan pemerintah dengan swasta maupun pemberdayaan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan secara efektif dan efisien. Adapun implikasi dari pendekatan ini adalah: 1. Kaburnya batasan konsep pemerintah sebagai lembaga yang ekslusif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai bentuk penguatan gagasan demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah diharapkan mampu mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam memecahkan masalah masalah publik. Dalam konteks ini, konsep kunci pemerintahan telah bergeser dari konsep pemerintah sebagai "ruler" atau penguasa kepada konsep pemerintah sebagai pemberdaya (enabler). Demikian halnya gambaran proses pemerintahan yang bersifat hirarkis dan ekslusif bergeser kepada proses interaksi dalam sistem jejaring (network) dan kemitraan. 2. Menguatnya pendekatan multidispliner dalam studi ilmu administrasi publik, memberikan pengaruh yaitu mengaburnya batasan lembaga pemerintah yang tidak lagi bersifat ekslusif dan membawa implikasi dalam dimensi keilmuan. Studi administrasi publik semakin bersifat multidipliner dengan kontribusi terutama dari displin ilmu politik, manajemen dan hukum. Ilmu politik memberikan pemahaman terhadap
konteks
operasional
administrasi
publik,
sedangkan
34
manajemen dan hukum memperkuat pemahaman atas sarana bertindak dari para manajer publik. 3. Menguatnya gagasan bahwa manajemen publik adalah sebuah profesi,
memberikan
pemahaman
bahwa
penyelenggaraan
pemerintahan merupakan proses pemecahan masalah yang menuntut kemampuan konseptual dan teknis. Hal ini menciptakan kebutuhan untuk memperkuat profesionalisme tidak saja bagi para manajer publik tetapi juga para pimpinan organisasi swasta dan masyarakat yang menjalankan kerjasama dengan institusi (Komara's, 2011). Governance hanya akan terwujud jika muncul kolaborasi, kemitraan, dan jejaring antar elemen-elemen governance, yaitu negara, sektor swasta dan masyarakat sipil. Kebijakan publik saat ini juga tidak lagi merupakan proses eksklusif yang melibatkan aktor-aktor negara saja, tetapi merupakan produk dari jejaring, kolaborasi, dan kemitraan antara elemen-elemen governance (policy network). Bagaimana model kemitraan ini dibedakan dengan model kerjasama sebelumnya. Apa prasarat yang harus dipenuhi agar kemitraan di perusahaan daerah dapat berkembang . Beberapa teori yang menjadi dasar pertimbangan antara lain: 1. Teori Institusional (Michael Hill ) 2. Teori Institution and Organizations (W.Richard Scott)
35
C. Kebijakan Publik Secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani ―polis‖ berarti negara, kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi ―politia" yang berarti negara. Kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris ―policie" yang artinya berkenaan dengan
pengendalian
masalah-masalah
publik
atau
administrasi
pemerintahan. Istilah "kebijakan" atau "policy" dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu badan pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Stephen R. Covey mengatakan bahwa kebijaksanaan adalah anak dari integritas yaitu integritas terhadap prinsip, dan ibunya adalah kerendahan hati dan ayahnya adalah keberanian. Kemudian kebijakan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Sedangkan kata publik (public) sendiri sebagian mengartikan negara. Misalnya saja Islami (2007) dan Wahab
(2008)
tetap
mempertahankan
istilah
negara
ketika
menerjemahkan kata publik. Namun demikian, kebijakan publik (public policy) merupakan konsep tersendiri yang mempunyai arti dan definisi khusus akademik. Definisi kebijakan publik menurut para ahli sangat beragam. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Eyestone. la mengatakan bahwa "secara luas" kebijakan publik dapat didefinisikan
36
sebagai ―hubungan (satu unit) pemerintah dengan lingkungannya". Menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Raksasataya (2001) mengemukakan kebijakan sebagaii suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan memuat tiga elemen, yaitu: (1) identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai, (2) taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (3) penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi kebijakan publik. Kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar bisa dibedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain, seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan tersebut akan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan
pemerintah,
seperti
misalnya
kelompok-kelompok
penekan
maupun kelompok-kelompok kepentingan. Keterlibatan
aktor-aktor
dalam
perumusan
kebijakan
kemudian
menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang disebut oleh Easton sebagai "penguasa" dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi
suku,
anggota-anggota
eksekutif,
legislatif,
yudikatif,
37
administrator,
penasihat,
raja
dan
semacamnya.
Menurut
Islami
memberikan pengertian kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Ditegaskan lagi bahwa kebijakan publik dibuat benar-benar atas nama kepentingan publik, untuk mengatasi masalah dan memenuhi keinginan dan tuntutan seluruh anggota masyarakat. Kebijakan publik mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki tujuan tertentu, (2) merupakan pola kegiatan yang tersistem, (3) merupakan pekerjaan pemerintah, (4) berbentuk positif maupun negatif, dan (5) berdasar hukum dan mengikat. Studi kebijakan merupakan hasil kontribusi dari empat tokoh besar, yaitu: Caswell (1956) dengan mendirikan, "think-tank", dan mendekati persoalan menggunakan pendekatan multidisipliner melalui tahap-tahap dalam proses kebijakan publik. Simon dengan menekankan pada proses pengambilan keputusan dipusatkan pada ide rasionalitas, Lindblom (1959) mendukung pendekatan "incrementalism", dan Easton (1965) yang mengonseptualisasikan
hubungan
antara
masukan,
pembuatan
kebijakan, luran kebijakan, dan lingkungannya yang lebih luas. Lebih jauh Allison mendeskripsikan empat model kebijakan, yaitu: (1) Synoptic model, merupakan model yang ideal dengan melihat proses kebijakan sebagai suatu proses yang sangat rasional di mana policy maker atau
38
aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dianggap memiliki persepsi yang jelas tentang tujuan yang akan dicapai (Levine, Peters, Thompson, 1990: 82); (2) Incremental model, merupakan kebijakan yang dimulai dengan melihat kebijakan yang ada, apa yang menjadi tantangan masa depan, apa perlu kebijakan direvisi atau direform. Proses kebijakannnya sering kali tidak dimulai dari titik nol karena selalu dimulai dengan kebijakan yang ada sehingga standard operating procedurenya terlalu kuat; (3) Garbage Can Model, merupakan kebijakan yang mencari tujuan yang pasti, akan tetapi hubungan antara tujuan dan kebijakankebijakan utama tidak selalu jelas. Pendekatan ini sering juga disebut organisasi anarki. Menurut model ini, hasil pembuatan keputusan secara kebetulan dipengaruhi empat komponen,
yaitu:
para
partisipan,
solusi,
masalah-masalah
dan
kesempatan untuk memilih (Levine, Peters, Thompson, 1990: 83-84); (4) Model birokratik politik, merupakan proses pengambilan keputusan dalam melibatkan banyak aktor/kelompok-kelompok kepentingan yang masingmasing punya nilai atau kepentingan sendiri, punya agenda masingmasing, memperjuangkan atau membangun strategi sendiri dengan koalisi, bergaining atau kompromi sesuai dengan tujuan yang ia miliki (Levine, Peters,Thompson, 1990: 84). Berdasarkan uraian beberapa model diatas, jika kita mengacu ke negeri sendiri yaitu Indonesia, maka ada kecenderungan kita memakai
39
model incremental yang tambal sulam , yang juga banyak diterapkan di pemerintahan daerah dimana terlalu banyak perosedur terlalu dinomor satukan dijadikan sebagai salah satu instrument yang digunakan oleh pemerintah. D. Implementasi Kebijakan Publik Dalam kamus Webster pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana ―to implement‖ (mengimplementasi) berarti to provide the means for carrying out (menyajikan alat bantu untuk melaksankaan; menimbulkan dampak / berakibat sesuatu). Sementara terjemahan yang lebih sederhana tentang implementasi atau dalam bahasa aslinya to implement adalah ‗melaksanakan‘ (Echols dan Shadily, 1989:313). Dalam studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusankeputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan sebagai sebuah disiplin atau objek studi pertama kali diperkenalkan oleh Pressman and Wildavsky (Parson, 1995), (Hill, 1993). Dia menemukan adanya keganjilan pelaksanaan kegiatan dari
40
apa yang dirumuslkan oleh pemrintahan federal. Kemudian berkembang menjadi beberapa elemen riset dan studi yang hingga saat ini tidak hanya melihat aspek struktural atau lebih dikenal dengan aspek top-down tetapi para
pakar
menganggap
juga
melihat
bahwa
berdasarkan
keberhasilan
perspektif
kebijakan
juga
bottom-up
yang
ditentukan
oleh
pelaksanaannya di lapangan. (Lipsky, 1993: Lane, 1979: Gunn, 1989). Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana diungkapkan oleh Jones (1993:32), dimana implementasi diartikan sebagai “getting a job done” dan “doing a”. Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pelaksanaannya, menuntut adanya syarat yang antara lain : adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut resources. Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Pada sisi lain, Meter dan Horn (1979 : 70) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut : Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (and groups) that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions”. Definisi tersebut memberi makna bahwa implementasi kebijakan adalah
41
tindakan – tindakan yang dilaksanakan oleh individu – individu (dan kelompok – kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Tindakan-tindakan ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusankeputusan menjadi pola-pola operasional, serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil, yang diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan mengacu pada pendapat tersebut dapat diambil pengertian bahwa sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, di dalamnya mencakup manusia, dana dan kemampuan organisasi; yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta (individu ataupun kelompok). Tahap – tahap Implementasi Kebijakan Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap – tahap implementasi kebijakan. Menurut Islamy (1994 : 102 - 106) membagi dalam dua bentuk, yaitu : a. Bersifat Self – Executing yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.
42
b. Bersifat Non – Self – Executing, bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai fihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. Dalam konteks ini kebijakan pajak dan retribusi daerah termasuk kebijakan yang bersifat Non – Self – Executing karena perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai fihak supaya tujuan tercapai. Ahli lain, Gunn
(dalam
Islamy,
1994:103)
mengemukakan
sejumlah
tahap
implementasi sebagai berikut : Tahap I ini terdiri atas kegiatan – kegiatan : (a) Mengabungkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas (b) Menentukan standart pelaksanaan (c) Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan Tahap II merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode. Tahap III meliputi kegiatan – kegiatan : (a) Menentukan jadual (b) Melakukan pemantauan (c) Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program.
Dengan
demikian
jika
terdapat
penyimpangan
pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai, dengan segera.
atau
43
Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan, penetapan waktu dan pengawasan. Dengan demikian ada perbedaan konsep antara Gunn dengan Mazmanian dan Sabartier, dimana Gunn menitik beratkan pada langkah–langkah / tindakan yang dilakukan oleh agen yang mengimplementasikan kebijakan. Sedangkan Mazmanian dan Sabatier lebih menitik beratkan pada 1) Out put dari agen – agen, 2) Ketaatan, 3) Pengaruh sesungguhnya, 4) Pengaruh yang dirasakan, 5) Bersifat evolusi, revisi kebijakan. Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik dalam suatu negara. Biasanya, implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dan disahkan. Orang sering beranggapan bahwa implementasi hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan; seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam dalam kenyataan dapat kita lihat bahwa betapa pun hebatnya rencana yang telah dibuat tetapi tidak ada gunanya apabila itu tidak direalisasikan dengan baik dan benar. Disini membutuhkan pelaksanaan yang benar-benar jujur, memiliki kompetensi yang sesuai, komitmen yang tinggi untuk menghasilkan apa yang menjadi tujuannya, dan benar-benar memperhatikan rambu-rambu Peraturan Pemerintah yang berlaku (Keban, 2004:72). Berkaitan dengan hal tersebut, Grindel (dalam Abdul Wahab, 2005:59),
mengemukakan
bahwa
Implementasi
Kebijaksanaan
44
sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu ia menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa yang memperoleh dari apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak selalu salah jika di katakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijaksanaan.
Bahkan
Udoji
(1981:32),
dengan
tegas
mengatakan : ‗The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policies is remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented”...(pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Selanjutnya,
kamus Webster (dalam Abdul Wahab, 2005:64),
merumuskan secara singkat bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryng out (menyediakan sarana untuk melakukan
sesuatu).
to
give
practical
effect
to
(menimbulkan
dampak/akibat tehadap sesuatu). Bila pandangan ini di ikuti, maka implementasi
kebijakan
dapat
dipandang
sebagai
suatu
proses
melaksanakan keputusan publik (biasanya dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan atau perintah eksekutif). Hal
45
lain seperti yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier (dalam Abdul Wahab, 2005:65), makna implementasi sebagai berikut : ―memahami apa senyatanya terjadi suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian‖. Lebih
lanjut
Mazmanian
dan
Sabatier
merumuskan
proses
Implementasi kebijakan publik dengan lebih rinci, yaitu : ‗‗Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang, namun pula dapat berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai di presepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan) terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan‖. Suatu kebijakan yang telah dirumuskan dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan atau sasaran tertentu (Nugroho, 2004:158). Kebijakan tidak akan sukses, jika dalam pelaksanaanya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan. Karena implementasi
46
kebijakan tidak bersangkut dengan mekanisme operasional kebijakan kedalam prosedur-prosedur birokrasi, melainkan juga terkait dengan masalah konflik keputusan dan bagaimana suatu kebijakan itu diperoleh kelompok-kelompok
sasaran.
Birokrasi
publik
diharapkan
perlu
memperhatikan aspek-aspek beragam dimensi yang dicakup dalam kebijakan publik, sekaligus mampu pula merefleksikan nilai-nilai sosial, politik dan keakraban psikologi dan kultural. Dengan demikian dalam kasus ini birokrasi eksitensinya bukanlah hanya berperan sekedar pelaksana (simple implementation) yang dalam kesehariannya hanya menangani pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sepele dan bersifat rutin. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa efektifitas implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh perilaku birokrasi pelaksananya (Wibawa dkk, 1994:17). Implementasi kebijakan publik merupakan tindakan nyata (course of action) yang kompleks dan perlu ditata dalam kerangka kebijaksanaan lokal/desentralisasi. Berkaitan dengan hal tersebut diatas Syaukani dkk; (2003:295), mengemukakan bahwa : ―Implementasi merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut mencakup pertama, persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang merupakan interpretasi dari kebijaksanaan tersebut. Dari sebuah undang-undang muncul sebuah peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan
47
daerah dan lain-lainnya. Kedua, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan kegiatan implementasi termasuk didalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan dan tentu saja penetapan siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut. Dan ketiga adalah bagaimana menghantarkan kebijaksanaan tersebut secara kongkrit dimasyarakat ‖.
Oleh sebab itu, Anderson (1979:92), mengungkapkan ada 4 (empat) hal penting dalam proses Implementasi kebijakan yaitu sebagai berikut : 1. Who is involved in policy implementation (siapa yang di libatkan dalam implementasi); 2. The nature of the administrative process (hakekat proses administrasi); 3. Complience with policy (kepatuhan atas suatu kebijakan); 4. The effect implementation on policy content and impact (efek atau dampak dari isi kebijakan). Keempat aspek tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terputus, dan setiap kebijakan telah diimplementasikan selalu didahului oleh penentuan unit pelaksana ―administrative unit ” yaitu jajaran birokrasi publik mulai level atas sampai pada birokrasi paling rendah. Sebagai konsekwensi logis dengan ditetapkan unit-unit organisasi sampai level bawah, maka secara otomatis mereka akan mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkan. Dalam konteks penelitian ini, kebijakan pengembangan pasar tradisional dan penataan pasar modern bersifat Non-self-executing karena
48
perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak agar tujuan dapat tercapai. E. Memposisikan Studi Implementasi (Akar Historis) Sejak dahulu kala aktivitas manusia tidak lepas dari penetapan tujuan. Tak terlalu penting berspekulasi sejauh mana capaian aktivitas bertujuan hari ini, namun hubungan antara aksi dengan tujuan sebelumnya sulit kita asumsikan bila mengamati perilaku orang lain. Yang harus dianalisa adalah (a) Aksi individu menentukan aksi individu lainnya dan (b) Informasi yang ditinggalkan yang dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka ada tujuannya. Bukti yang kita dapatkan dari aksi-aksi kolektif terdahulu didapat dari peninggalan yang bertahan hingga hari ini. Kemajuan luar biasa yang dapat kita amati antara lain cincin bebatuan, piramida, istana, dan sebagainya yang semuanya adalah produk dari aksi-aksi kolektif dan pada sejumlah kasus kemudian ditemukan bukti bahwa aksi-aksi ini dipimpin individu atau kelompok dominan. Belum dihasilkan basis definisi mengenai implementasi yang mengikat kepada, seperti disampaikan dalam buku-buku modern, ide-ide kebijakan publik. Fakta ini membuktikan bahwa studi atau analisis implementasi harus dilihat sebagai bagian dari studi perilaku organisasional atau perilaku manajemen. Paling masuk akal dari pandangan modern bahwa manajemen kebijakan publik tidak ada bedanya dengan manajemen
49
aktivitas lainnya (Dunshire 1995; dan Gray dan Jenkins 1995). Studi implementasi kebijakan publik tidak lain adalah studi manajemen perilaku terorganisir. Karena itu yang harus kita perhatikan yaitu apa yang menjadi pembeda implementasi kebijakan publik. Dalam keadaan bagaimana kita bisa menemukenali aktivitas implementasi berbeda dengan usaha-usaha pribadi dalam mengelola upaya-upaya kolektif? Lalu kasusnya adalah bahwa sejak dahulu kala, sejumlah aktivitas yang bertahan dalam masa yang cukup lama atau berlangsung di wilayah yang cukup luas dipimpin oleh orang-orang yang berusaha menerapkan suatu sistem pemerintahan. Pada tahapan ini, analisis impelementasi tidak akan terlalu berhasil tanpa bergelut dengan dua topik yang sangat sentral bagi sains politik otoritas dan negara. Bukti yang kita dapatkan dari ―negara‖, ―kerajaan‖ atau ―kekaisaran‖ masa lalu berupa peninggalan yang ia wariskan. Tidak ada catatan tertulis, yang tertinggal adalah sisa-sisa bangunan. Dengan semua ini, kita mengetahui implementasi sistem politik paling kuno. Setelah itu, barulah ada catatan tertulis, meskii berbeda-beda namun sudah beranjak modern yang dapat membantu kita mengetahui akan prestasi organisasional. Buku-buku dari zaman Yunani dan Romawi menyangkut masalah implementasi yang dihadapi mereka yang berusaha mengorganisir masyarakat dan melakukan perang. Material masa lalu ini umumnya berkenaan dengan ―kekuasaan‖ penguasa atau efektivitas sistem demokrasi semu (quasi-democratic).
50
Sulit menginterpretasi hubungan antara penetapan tujuan dengan pencapaian
tujuan.
dipertahankan
Sistem
dalam
suatu
aturan kurun
dapat waktu
dikatakan lalu
dibangun,
dimodifikasi
atau
disederhanakan. Perang harus dilakukan dengan tingkat keberhasilan berbeda-beda. Kota-kota datang dan pergi, sistem perniagaan dijalankan dengan prestasi beraneka ragam. Fenomena paling menarik adalah masalah koordinasi. Sistem untuk mengendalikan air mencegah banjir, menyediakan irigasi, dan sebagainya menarik perhatian khusus. Sejak awal berkembangnya studi implementasi kebijakan, menurut Goggin,dkk (1990) penelitian implementasi telah berkembang dalam tiga generasi, yaitu: 1. Penelitian generasi pertama (First-Generation Research). Pada generasi ini penelitian implementasi hanya difokuskan pada: a. Bagaimana suatu aturan dijadikan (diwujudkan) sebagai hukum dan bagaimana suatu hukum dijadikan suatu program. b. Upaya
menunjukkan
sifat
kekomplekan
dan
dinamika
implementasi. c. Menekankan
pentingnya
subsistem
kebijakan
dan
sulitnya
susbsistem tersebut melakukan koordinasi dan pengawasan. d. Mengidentifikasikan beberapa faktor yang menentukan hasil suatu program.
51
e. Mendiagnosis beberapa ―penyakit‖ (pathologies) yang sering mengganggu pelaksana kebijakan.
2. Penelitian generasi kedua (Second-Generation Research). Penelitian implementasi kebijakan pada generasi kedua, memusatkan perhatiannya pada: a. Jenis dan isi kebijakan. b. Organisasi pelaksana dan sumberdayanya. c. Pelaksana
kebijakan
(people):
motivasi,
sikap,
hubungan
antarpribadi, pola komunikasi dan sebagainya. Dari penelitian yang telah dilakukan pada generasi kedua ini hasil yang diperoleh adalah: a. Pengakuan bahwa implementasi kebijakan dapat berubah setiap saat, bagi semua kebijakan, sekarang maupun yang akan datang. b. Identifikasi berbagai faktor penentu keberhasilan implementasi dan menjelaskannya. c. Membahas berbagai masalah yang sulit dalam proses implementasi kebijakan. 3. Penelitian Generasi ketiga (Third-Generation Research). Penelitian pada generasi ketiga ini memusatkan perhatiannya pada: a. Komunikasi kebijakan.
antarlembaga
pemerintahan
dalam
implementasi
52
b. Penyusunan disain penelitian yang lebih komprehensif guna mengkaji implementasi kebijakan. Terutama melalui pendekatan teoritis dan empiris. c. Mengkaji variabel-variabel prediktor dalam penelitian implementasi kebijakan. Beberapa contoh yang dapat dirujuk untuk mempelajari penelitian implementasi kebijakan antara lain adalah: (1) Studi yang dilakukan oleh Horn dan Meter. Studi ini secara khusus menggunakan pendekatan teori organisasi dan menekankan pada faktor manusia dan psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku dalam arena implementasi. Dari analisis yang dilakukannya, mereka mengembangkan sebuah model proses implementasi kebijakan yang didasari oleh enam “cluster variabels” (variabel utama) yang memiliki keterkaitan antara kebijakan dan kinerja. Variabel-variabel tersebut adalah: 1. Policy a. Standard and objectives b. Resources. 2. Linkage. a. Interorganizational communication and enforcement activities b. Characteristics of the implementing agencies c. Economic, sosial, and political conditions d. The disposition of implementers
53
3. Performance. (2) McLaughlin (1975) dalam bukunya “Implementation as Mutual Adaptation”, memusatkan perhatiannya pada hubungan interpersonal antara implementers dengan policy formulators sebagai faktor kunci keberhasilan
program.
Ia
menyimpulkan
bahwa
dalam
arena
implementasi , ―the amount of interst, commitment, and support evidenced by the principal actors had a major influence on prospects for success”.
F. Pendekatan Implementasi Kebijakan Pendekatan yang biasa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah a. Pendekatan Struktural (Peran Organisasi) b. Pendekatan Prosedural dan Manajemen (Network Planning and Control/NPC; Programme Evaluation and Review Technique/ PERT). c. Pendekatan Perilaku (Behavioural) : Komunikasi, Infromasi lengkap pada setiap tahap. d. Pendekatan Politis (Aspek-aspek interdepartemental politik).
Banyak pakar kebijakan menilai dari keseluruhan siklus kebijakan, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit. Seperti Grindle (1980) misalnya, telah mengantisipasi kesulitan tersebut sebagai berikut:
54
―Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan‖. Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada implementability dari program tersebut. Implementability suatu kebijakan, menurut Grindle (1980: 8-12) sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Isi kebijakan mencakup (a) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (b) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (c) derajat perubahan yang akan diinginkan, (d) kedudukan pembuat kebijakan, (e) siapa pelaksana program, dan (f) sumberdaya yang dikerahkan. Sedang konteks kebijakan mencakup : (a) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (b) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (c) kepatuhan serta daya tangkap pelaksana terhadap kebijakan. Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut
55
sedikit
kepentingan.
Oleh
karenanya
tinggi-rendahnya
intensitas
keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran
dan
sebagainya)
dalam
implementasi
kebijakan
akan
berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi setelah suatu kebijakan dibuat dan dirumuskan adalah subyek dari implementasi kebijakan. Mazmanian dan Sabatier (1983:3-6) menyebutkan adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi. Yaitu dari sudut pandang ilmu administrasi negara dan dari sudut pandang ilmu politik. Dari sudut pandang ilmu administrasi negara, pada awalnya implementasi hanya dilihat dari semata-mata sebagai pelaksanaan kebijakan secara efektif dan efisien. Namun pandangan ini semakin tidak populer karena pada saat menjelang dan akhir Perang Dunia II dari hasil berbagai penelitian administrasi negara, ternyata badan-badan administratif tidak hanya dipengaruhi oleh perintah atau mandat resmi yang berasal dari badanbadan pemerintah, tetapi juga oleh tekanan-tekanan dari kelompokkelompok kepentingan, intervensi lembaga legislatif, dan oleh berbagai faktor lain di dalam lingkungan politik mereka. Sedangkan dari sudut pandang pendekatan sistem terhadap kehidupan politik, ternyata mematahkan perspektif organisasional dari administrasi negara, sehingga mulai dipikirkan mengenai masukan yang berasal dari luar bidang administrasi negara. Seperti ketentuan kebijakan administratif dan
56
legislatif yang baru, perubahan-perubahan preferensi publik dan teknologi baru (Mazmanian dan Sabatier, 1983: 5). Adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi kebijakan ini juga dikemukakan oleh Ripley (1984:134-135), bahwa studi implementasi mempunyai dua foci pokok yaitu kepatuhan (complience) dan apa yang terjadi
setelah
suatu
kebijakan
dilaksanakan
(what’s
happening).
Kepatuhan ini muncul dari literatur administrasi publik dan perspektif ini lebih memusatkan perhatiannya pada apakah badan dan individu bahwahan mematuhi perintah badan atau individu atasannya. Perspektif ini lebih merupakan analisis karakter dan kualitas dari perilaku organisasional. Menurut Ripley (1984:135), paling tidak ada dua kekurangan dari perspektif ini, yaitu banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh dan ada program-program yang tidak disusun dengan baik (maldesigned). Sedangkan perspektif yang kedua, yaitu perspektif what’s happpening, sangat berbeda dengan perspektif kepatuhan. Perspektif ini berasumsi adanya banyak faktor yang dapat dan telah mempengaruhi implementasi
kebijakan.
Faktor
tersebut
utamanya
berasal
dari
lingkuangan luar kebijakan. Berdasarkan kedua perspektif ini, maka kajian terhadap implementasi kebijakan haruslah memperhatikan faktor eksternal dari kebijakan yang diimplementasikan (lingkungan non organisasional dan non birokrasi), maupun faktor internal. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Meter dan Horn
57
(1975: 462-474), bahwa kinerja implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan. Untuk mewujudkan standar dan sasaran tersebut, terdapat beberapa variabel penting yang mempengaruhinya, yaitu: (a) ukuran dan tujuan kebijakan, (b) sumbersumber kebijakan, (c) karakteristik badan atau lembaga pelaksana, (d) komunikasi antarorganisasi terkait dan aktivitas pelaksanaan, (e) kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan (f) sikap para pelaksana kebijakan. Sedang Sabatier dan Mazmanian (1986:9-11) melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktorfaktor di luar peraturan kebijakan. Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut sebagai model top-down. Model implementasi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Edward III (1980), yang menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh faktor (a) komunikasi; (b) sumberdya; (c) sikap implementor (disposisions); dan (d) struktur birokrasi pelaksana. Lebih lanjut Edward III (1980: 147 – 148) mengemukakan faktor-faktor
58
komunikasi, sumberdaya, sikap implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor. Dengan kata lain, masingmasing faktor tersebut saling pengaruh mempengaruhi, kemudian secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan. Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada variabel tunggal dalam suatu kegiatan implementasi kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik menyangkut kebijakan yang diimplementasikan, pelaksana kebijakan,
maupun
diimplementasikan
lingkungan
(kelompok
di
sasaran).
mana
kebijakan
Namun
tersebut
demikian,
melihat
berbagai model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan politik) di mana kebijakan itu diimplementasikan, komunikasi antarorganisasi dan birokrasi pelaksana menjadi faktor dominan bagi penentu keberhasilan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah tindakan sebuah kebijakan
dapat
mengatakan
mencapai
bahwa
tujuannya.
implementasi
Sabatier
kebijakan
dan
adalah
Mazmanian pelaksanaan
keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif
yang
penting
atau
keputusan
badan
peradilan.
Maka
59
seharusnya i) keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, ii) menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai dan
iii)
berbagai
cara
untuk
menstruktur
/mengatur
proses
implementasinya. (Yulianto Kadji, 2008:29). Implementasi adalah untuk mengulas pendekatan yang berbeda-beda untuk
analisis
dipraktekkan.
tentang Problem
bagaimana implementasi
kebijakan
dilaksanakan
diasumsikan
sebagai
atau
sebuah
deretan keputusan dan interaksi sehari-hari yang tidak terlalu perlu mendapat perhatian dari para sarjana yang mempelajari politik. Implementasi itu dianggap sederhana meski menurut Parsons bahwa anggapan ini menyesatkan. Dengan kata lain kelihatannya implementasi menurut Van Meter dan Van Horn, 1975 tidak mengandung isu-isu besar. (Parsons, 2001:463). Jenkins, 1978 mengatakan bahwa Studi implementasi merupakan studi perubahan,
yaitu
bagaimana
perubahan
terjadi, bagaimana
kemungkinan perubahan bisa dimunculkan.Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik, bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain, apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda. (Parsons, 2001:463).
60
Studi implementasi kebijakan mulai berkembang sejak tahun 1960, ini adalah era ‗pascakeputusan‘ dari kebijakan publik. Pergeseran studi ini terjadi karena tampak jelas bahwa pembuatan kebijakan di banyak bidang ternyata tidak dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan atau tujuan yang tidak dapat didefinisikan dengan baik, hal inilah yang menyebabkan mahasiswa kebijakan publik menggeser perhatiannya dari input dan proses menuju ke output dan hasil. Studi implementasi adalah studi perubahan bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik ; bagaimana organisasi di diluar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain ; apa motivasi mereka bertindak seperti itu, koma dan apa yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda. (Jenkins, dalam Parsons, 2001:463). Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau disetujui, seperti yang dikatakan oleh Anderson: ―kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat dia sedang dibuat‖ (Anderson, dalam Parsons, 2001:464). Sama seperti ―politik‖, politik tidak hanya berhenti ketika keputusan atau output berhasil dibuat, politik juga tidak hanya berbicara tentang bagaimana proses itu dibuat tetapi juga implementasinya di dalam sistem politik tersebut.
61
Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam implementasi kebijakan. Di mana implementasi kebijakan merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersamasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan (arti luas). Implementasi kebijakan meliputi proses dari input, output, dan outcomes, sehingga dari implementasi kebijakan tersebut,
mengubah
keputusan
atau
kebijakan
menjadi
tindakan
operasional Implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa yang timbul dari program kebijakan itu. Di samping itu implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan. Implementasi sendiri diartikan sebagai cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tujuan yang juga telah diformulasikan atau yang menjadi pertimbangan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Output dari kebijakan publik bisa menjadi umpan balik bagi perumusan suatu kebijakan, sehingga kebijakan publik tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan publik penjelas yang mencakup dalam implementasi kebijakan publik adalah program yang dibuat terkait kebijakan tersebut. Lalu proyek-proyek kebijakan, kemudian pengadaan kegiatan yang berkaitan dengan proses implementasi kebijakan dan yang terakhir
62
adalah pemanfaat. Dari implementasi tersebut, dapat dilihat bahwa, apakah kebijakan publik tersebut bermanfaat atau sebaliknya. Implementasi kebijakan meliputi: (1) perilaku badan atau lembaga administratif yang bertanggung jawab terhadap suatu program. Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah badan-badan atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses perumusan hingga pengimplementasian kebijakan publik tersebut. (2) target group merupakan pengertian dari, siapakah yang menjadi sasaran-sasaran dibentuknya kebijakan publik tersebut, sehingga kelompok-kelompok tersebut menjadi target yang menerima implementasi kebijakan. (3) jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Mengingat bahwa dalam implementasi ada faktorfaktor prndukung lainnya
yang tidak bisa
diabaikan dan harus
dipertimbangkan baik saat perumusan maupun implementasi kebijakan tersebut. (4) yaitu dampak, dari implementasi kebijakan publik, dampak apa yang ditimbulkan, sehingga kita mengetahui apakah kebijakan tersebut berjalan efektif dan bermanfaat.
G. Tujuan Studi Implementasi Kebijakan Setelah suatu program dirumuskan dan dampak – dampak yang timbul dari kebijakan tersebut dirasakan maka perlu adanya suatu pemahaman akan apa yang terjadi. Disinilah studi implementasi akan digunakan untuk memahami apa yang terjadi pada saat maupun setelah kebijakan tersebut
63
dilaksanakan.
Menurut
Jenkins
studi
implementasi
adalah
studi
perubahan : bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan
bisa
dimunculkan.
Ia
juga
merupakan
studi
tentang
mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda (Parsons 2001:463). Sehingga studi implementasi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, studi ini bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap salah satu atau lebih kekuatan-kekuatan yang menentukan dampak kebijakan (Winarno 2007: 147). Lebih lanjut menurut Winarno, studi implementasi ini ada untuk menutupi kekurangan yang ada, seperti kekurangan dalam usaha memahami proses kebijakan dan mendorong adanya saran yang kurang baik pada para pembentuk kebijakan (Ibid :148). Sehingga bila dilihat dari sisi sebaliknya, maka tujuan dari implementasi kebijakan untuk menutupi dua kekurangan diatas, yaitu untuk lebih memahami proses kebijakan dan mendorong saran – saran yang lebih baik bagi para pembentuk kebijakan.
64
Bila melihat dari analisis kebijakan pada era 1970-an dan era 1980-an dapat dipahami tujuan dari implementasi kebijakan ini lebih mendalami factor-faktor yang ada dalam kebijakan publik. Bila pada era tersebut analisis kebijakan melupakan dampak birokrasi dan penyedia layanan terhadap efektivitas suatu kebijakan maka studi implementasi akan menutupi kekurangan analisis kebijakan tersebut. Secara sederhana sebagai sebuah cara untuk mengidentifikasi factor-faktor yang menjadikan implementasi berhasil (Parsons 2001: 464-5). Bila dibandingkan dengan Sabatier dan Mazmanian (1986), terdapat detail akan implementasi kebijakan ini. Mereka melihat implementasi sebagai
sebuah
problem
kontrol
dan
organisasi
sehingga
studi
implementasi akan bertujuan untuk menangkap elemen-elemen seperti : pendefinisian objek dan perumusan rencana; jalannya monitoring rencana; analisa akan apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi; dan perubahan – perubahan yang ada untuk memperbaiki kegagalan (Ibid: 476). H. Model-Model Implementasi Kebijakan Analisis suatu kebijakan, akan lebih mudah dipahami apabila dipergunakan model. Namun demikian, kiranya perlu diperhatikan bahwa masing-masing model memberikan fokus perhatian tersendiri. Suatu model, kemungkinan merupakan beberapa gabungan dalam arti bahwa beberapa unsur dalam model yang satu, terintegrasi ke dalam satu unsur
65
pada model yang lain. Yang perlu disikapi ialah memahami peranan unsur tersebut dalam model yang bersangkutan. Model-model implementasi kebijakan, ada yang bersifat abstrak, ada pula yang bersifat lebih operasional. Berkenaan dengan kepentingan analisis, yang perlu disikapi ialah bahwa semakin kompleks masalah dan semakin dalam analisis yang dilakukan, diperlukan model yang lebih bersifat operasional. Istilah model implementasi sebenarnya ada kaitan, hubungan atau ada bagian dari standar yang biasa diterapkan dalam model kebijakan pbulik,
digunakan
untuk
memodelkan
implementasi
kebijakan.
Pertimbangannya adalah bahwa model kebijakan publik juga berusaha mencakup dan menjelaskan proses kebijakan publik yang di dalamnya terdapat tahap implementasi. Dalam kajian administrasi publik (Waldo, 1989:53), menyatakan banyak model adalah saran untuk meredusir semua konsepsi tentang sifat, realitas atau universal, yang berfungsi untuk
menyederhanakan
pemahaman
terhadap
sesuatu
atau
menggunakan analogi, dimana pengkonsepsian sesuatu yang belum diketahui didasarkan pada sesuatu yang sudah diketahui, serta dengan menggunakan metafora untuk memperoleh kejelasan tentang suatu fenomena. Sehubungan dengan implementasi yang merupakan yang merupakan siklus kebijakan, model dipandang sebagai unsur pelengkap atau pengganti yang penting bagi model kebijakan dengan alasan bahwa
66
model kebijakan lebih meletakan porsi pada proses pengambilan keputusan, yang kemudian perlu dilengkapi dengan model yang menggambarkan
pelaksanaan
program-program
kebijakan
atau
pengimplementasian kearah tujuan kebijakan (Meter dan Horn, 1975 dalam Lane, 1995:100). Model
implementasi
yang
inklusif
dalam
model
kebijakan
sebagaimana dikemukaka di atas, menurut Lane beranjak dari asumsi yang naif tentang administrasi publik dengan memandang bahwa sekali kebijakan diputuskan, maka akan secara otomatis mencapai tujuannya seolah-olah implementasi adalah sesuatu yang sederhana dan berjalan secara otomatis. Menganggap implementasi sebagai sesuatu yang secara otomatis bergerak ke arah tujuan kebijakan tanpa berusaha memahami hubungan antara cara dan tujuan, sama halnya dengan ―the mising link between policy decision-making on the one hand and policy execution and policy implementation on the other” (Hargrove, 1975 dalam Lane, 1995:100). Apa
yang
terjadi
setelah
perumusan
kebijakan
bisa
saja
menunjukkan perbedaan antara tujuan asli dengan apa yang senyatanya dicapai, sehingga dengan memodelkan implementasi sebagai ―state the goals, derive the means, excutethe programmes and find the outcomes,‖ adalah pengabaian terhadap realita implementasi.
67
Implementasi yang selama ini diangap begitu sederhana ternyata menjelma menjadi sesuatu yang kompleks, melibatkan begitu banyak partisan dengan berbagai perspektifnya melalui serangkaian jalan panjang dan berliku atau ruwet (Pressman and Wildavsky, 1973 dalam Denhardt, 1991:249). Implementasi dikarakteristikan sebagai ―multiple and conflicting interest, each trying to influence the program’s direction to suit their many and divergent needs” (Denhardt, 1991:249). Gambaran di atas mekanisme implementasinya yang berusaha menyadari bahwa implementasi tidak sesederhana sebagaimana yang dibayangkan, berbagai model yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi setelah perumusan kebijakan atau selama tahapan implementasi kemudian dikembangkan. Lane (1995:101:107) memaparkan beberapa model implementasi kebijakan dengan deskripsi ringkas mengenai masing-masing model, yaitu sebagai berikut : a. Implementation as perfect Administration. Penggagas model ini adalah Cristoper Hood, 1976. Model ini memandang sistem administrasi sebagai sebuah kesatuan dengan jalur kewenangan yang tunggal dan jelas, pelaksanaan dan penerapan aturan atau tujuan yang seragam, seperangkat tujuan yang jelas dan dapat diimplementasikan atas dasar kewenangan, atas dasar kepatuhan yang sempurna atau kontrol administratif, koordinasi dan informasi yang sempurna di dalam dan
68
antara unit-unit administrasi, tidak berpacu dengan waktu, tersedia sumberdaya material yang tidak terbatas untuk mengatasi berbagai masalah, serta tujuan-tujuan yang jelas dengan akseptabilitas politik atas kebijakan yang hendak dijalankan. Model ini adalah tipe ideal, sebagaimana dikatakan oleh Hood, untuk menemukan sumber-sumber kegagalan implementasi, dengan model pendekatan implementasi pada lingkup yang sempit atau dalam sebuah organisasi yang memiliki hubungan kewenangan yang jelas, hirarki, kepatuhan, kontrol dan koordinasi yang sempurna serta dipandang sebagai mekanisme bagi pencapaian implementasi yang sukses. Model ini dikritik oleh Lipsky, 1980 dan Barett & Fudge, 1981, yang menyatakan bahwa dalam implementasi terjadi pertukaran dan negoisasi serta bukan hanya berhubungan dengan masalah otoritas dan berbagai konsekuensinya. Bardach 1977 dan Pressman & Wildavsky (1984) juga mengemukakan pentingnya ―bargaining mechanisems‖ dalam implementasi seperti hanya masalah-masalah seputar struktur dan kewenangan. Begitu juga
dengan
kesempurnaan
Hanf
&
model
Scharpf tersebut
1978
yang
sebagai
mempertanyakan versi
―top-down
implementation‖ yang jarang berhadapan atau diterapkan dalam suasan implementasi inter dan antar organisasi yang penuh dengan kompleksitas;
69
b. Implementation as Policy Management. Model ini diintrodusir oleh Sabartier dan Mazmanian 1979 dengan berisikan panduan bagi keberhasilan implementasi. Mereka menyatakan bahwa program didasarkan atas seperangkat teori menyangkut hubungan antara perilaku kelompok sasaran dengan pencapaian kearah tujuan yang dikehendaki, dimana program atau kebijakan tersebut berisikan tujuan dan arah atau panduan serta struktur proses implementasi sehingga kelompok
sasaran
akan
menunjukkan
perilaku
sebagaimana
diinginkan. Para peimpin dalam organisasi pelaksana memiliki keahlian manajerial dan politik serta komitmen terhadap tujuan kebijakan. Selain berangkat dari hipotesa kausal atau hubungan antar cara dan tujuan yang jelas serta strategi manajemen yang nadal, apa yang terjadi dalam proses implementasi adalah apa yang dicapai oleh implementasi itu sendiri. Untuk itu kata Sabatier dan Mazmanian 1979, hal ini juga dibutuhkan adalah dukungan aktif dari kelompok-kelompok di dalam organisasi disertai dengan pejabat eksekutifnya, lembaga peradilan yang bersifat netral atau memberi dukungan, prioritas terhadap tujuan tidak terkesampingkan oleh pertentangan dengan kebijakan-kebijakan lain atau kondisi sosial ekonomi yang stabil disertai dengan teori yang handal dan dukungan politik. Singkatnya, kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi keberhasilan implementasi adalah teknologi, tujuan yang jelas, keahlian, dukungan dan
70
konsensus. Teori atau model ini masih perlu dihadapkan pada pertanyaan menyangkut teknologi kebijakan yang masih perlu dihadapkan pada pertanyaan menyangkut teknologi kebijakan yang seperti apa, keahlian kebijakan yang bagaimaan dan dukungan atas kebijakan yang seberapa serta kapan kebijakan harus berhadap dengan konflik; c. Implementation as evolution. Diintrodusir oleh Majone & Wildavsky 1984 dengan beranjak dari karya Wildavsky yan telah mempekenalkan teori tentang proses implementasi yang mencakup pendefinsian kembali tujuan-tujuan dan reinterpretasi atas dampak kebijakan yang berarti
itu
implementasi
adalah adalah
proses bahwa
evolusi. proses
Konsep
evolutif
implementasi
daripada
tidak
dapat
dipisahkan dari prose formulasi kebijakan, redefinisi dan reinterpretasi atas tujuan-tujuan dan dampak kebijakan. Implementasi adalah proses yang berlangsung terus menerus seiring dengan terus belangsungnya reformulasi kebijakan; d. Implementasi as learning. Diintrodusir oleh Browne & Wildavsky 1984 dengan beranjak dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wildavsky tentang interpretasinya yang cukup menarik mengenai sifat daripada proses implementasi yang dimodelkan sebagai proses pembelajaran yang berlangsung terus-menerus dimana implementor terlibat dalam proses yang secara terus-menerus memperbaiki fungsi pencapaian
71
tujaun dan teknologi yang sesuai bagi program atau kebijakan yang bersangkutan. Tidak ada akhir yang secara jelas bagi proses implementasi karena setiap tahap berarti atau merupakan improvisasi dari tahap sebelumnya, begitu juga dengan tujuan awal yang ditransformasikan pencapaiannya.
berdasarkan Teori
tentang
penyesuaian
atas
implementasi
sebagai
cara-cara proses
pembelajaran adalah penjelasan yang optimistik atas hipotesis yang menyatakan bahwa implementasi adalah proses evolusi. Model proses implementasi ini dipandang sebagai bagian dari versi pendekatan ―topdown-naïve implementation, perfect administration, a hierarchical model‖, kondisi-kondisi bagi keberhasilan implementasi dan dipandang sebagai sesuatu yang sub-optimal atas model-model tersebut di atas karena asumsinya mengenai proses implementasi yang searah; e. Implementasi as structure. Diintrodusir oleh Hjern & Porter 1981 yang memandang struktur implementasi sebagai unit analisis administratif yang strukturnya terdiri dari anggota-anggota organisasi dengan pandangan atas program yang didasarkan pada kepentingan utama mereka. Struktur implementasi mencakup seperangkat aktor yang hanya terpaut dengan satu struktur implementasi. Pendekatan struktur implementasi beranjak dari penekanan atas apa yang tersangkut paut dengan proses implementasi, bukan seperti perspektif pendekatan topdown yang menyangkut kompleksitas organisasi, partisipan yang
72
diseleksi sendiri, keragaman motif dan tujuan serta penyesuaian dengan kondisi lokal dimana implementasi itu berjalan. Hjern dan Porter
mengemukakan
bahwa
struktur
implementasi
dikonseptualisasikan sebagai unit yang tujuan tindakannya secara khusus diarahkan untuk mengimplementasikan suatu program; f.
Implementation as outcome. Di introdusir oleh Fudge & Barrett 1979 yang menyatakan bahwa teori tentang proses implementasi beranja dari
sebagian
konsep
implementasi
yang
menyatakan
bahwa
implementasi bukanlah ―putting policy into effect‖ yang menekankan pada pengabaian atas interaksi antara perumus dan pelaksana kebijakan. Konsep tentang proses implementasi merupakan unit analisis yang terpisah. Untuk menganalisis proses implementasi, perlu dipahami
bahwa
yang
dianalisis
adalah
bukan
kompleksitas
pertukaran dan negoisasi serta apa yang kondusif bagi proses implementasi. Singkatnya, pandangan ini lebih memusatkan perhatian pada apa yang menjadi akibat atau dampak daripada proses implementasi; g. Implementation as perspective. Diintrodusir oleh Wallter Williams 1982 yang berargumentasi bahwa perspektif yang secara khusus mengenai suatu kebijakan adalah langkah awal bagi pelaksanaan atau implementasi kebijakan. Perspektif implementasi adalah ilmu dan pengetahuan praktis di bidang administratif yang dimiliki oleh perumus
73
dan
pelaksana
kebijakan
mengembangkan
pendekatan
yang
memungkinkan
terhadap
implementasi
mereka kebijakan.
Perpektif implementasi ini biasanya dimiliki oleh para praktisi bukan oleh sembarang aktor yang berpartisipasi dalam proses implementasi. Beberapa studi implementasi menunjukkan bahwa aktor-aktor dapat melaksanakan kebijakan dengan keyakinan bahwa tindakan mereka adalah
sesuai
terkadang
dengan
mereka
keliru
tujuan atau
pengimplementasian melakukan
walaupun
kesalahan.
Untuk
menyatakan bahwa perspektif implementasi berhasil, diperlukan perspektif implementasi yang berbeda, dan itu adalah teoritisi; h. Implementation as backward mapping. Diintrodusir oleh Elmore 1978, yang berargumentasi bahwa sebagian besar analisis implementasi difokuskan pada mereka yang menduduki posisi tinggi pada struktur otoritas
publik.
menghendaki
Padahal
dipusatkannya
analisis
implementasi
perhatian
pada
sebenarnya
mereka
yang
bertanggung jawab atas dampak yang terjadi dari aktivitas atau pelaksanaan tugas dari sehari-hari. Proses implementasi sebenarnya bersangkut paut dengan perilaku mereka yang secara langsung berhadapan dengan output, yaitu mereka yang berada jauh dari puncak hierarki. Elmore mengemukakan bahwa mereka yan dimaksud disini adalah yang berada pada level operasional. dalam perspektif ini, akan lebih menguntungkan bila fokus perhatian justru dimulai pada
74
perilaku yang secara nyata ditunjukkan oleh mereka yang berada atau bersangkut paut secara langsung dengan ―delivery-level mechanism‖. Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh perumus kebijakan mungkin tidak jelas dan tujuan itu terus berubah dalam kerangka konflik dengan tujuan-tujuan para implementor; i. Implementation as symbolism. Dintrodusir oleh Edelman 1971 yang menyatakan bahwa studi implementasi tidak hanya menyadari bahwa para implementor dapat saja menghalang-halangi perubahan ataupun pendekatan, baik menyangkut tujuan-tujuan ataupun program-program dalam
kerangka
interpretasi
mereka,
kadang-kadang
perumus
kebijakan sendiri menganggap perlu dan menguntungkan untuk mengabaikan implementasi kebijakan. Fakta menujukkan bahwa proses implementasi adalah bentuk nyata dari simbolisme politik dengan jalan melontarkan pernyataan bahwa mereka seolah-olah bersungguh-sungguh hendak mengimplementasikan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan mampu atau tidaknya gagasan tersebut diwujudkan, mereka kemudian mengesampingkan tujuan yang satu karena tergoda oleh tujuan yang lain, bercampur dengan perilaku politik yang semu, dan akhirnya hanya akan menambah ketidakpastian; j. Implementation as ambiguity. Diintrodusir oleh Baier 1986 dengan tujuan mengemukakan bahwa ambiguitas kebijakan adalah instrumen
75
strategi yang dimanipulasi oleh para politisi. Dalam pandangan ini, implementasi gagal karena birokrasi tidak cukup mampu atau terlalu otonom. Kesulitan di dalam mencapai keberhasilan implementasi disebut dengan istilah ―implementation deficit‖, dimana keadaan ini mencerminkan merajalelanya
hambatan ambiguitas
serius dalam
bagi
implementasi
berbagai
kebijakan
akibat sehingga
implementasi gagal bukan karena kesenjangan atau ―gap‖ antara perumusan kebijakan yang rasional dan implementasi yang tidak sempurna, tapi justru dianggap sebagai kekalahan kebijakan itu sendiri. Ham dan Hill 1984 juga berpendapat bahwa kebijakan tidak dapat dipisahkan dari implementasi, sementara kebijakan hanya dapat diidentifikasi dalam proses implementasi dan jika benar maka seluruh ide-ide tentang pendekatan kebijakan dapat digeser kearah analisis organsiasional atau studi tentang administrasi publik; k. Implementation as coalition. Di introdusir oleh Sabatier 1986 dengan mengemukakan bahwa dalam proses implementasi terdapat sesuatu yang disebut dengan ―advocacy coalition‖, yaitu aktor-aktor yang berasal dari organisasi publik dan privat yang saling berbagi seperangkat keyakinan atau kepercayaan dan berusaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan mereka. Model baru ini disebut dengan istilah ―hybrid model‖ yang dikembangkan dari dua sumber yaitu ―policy network framework‖ dari Richardson & Jordan 1979, Dunleavy
76
1985, Sharpe 1985 dan hipotesis bahwa implementasi itu pada dasarnya adalah pembelajaran yang dikembangkan oleh Browne & Wildavsky 1984. Sabatier menyatakan bahwa output pada level operasional dihasilkan oleh berbagai macam faktor terutama validitas program, yang kemudian muncul dalam beragam dampak atas berbagai masalah yang dituju termasuk juga akibat sampingan. Komponen lain dari teori implementasi ini adalah penekanan pada proses belajar jangka panjang yang terjadi di dalamnya. Perubahan kebijakan adalah sebagai hasil dari ―policy oriented learning‖ melalui sejumlah koalisi atau ―policy brokers‖. Jika implementasi dipahami sebagai proses jangka panjang dimana koalisi-koalisi berinteraksi belajar tenatng teknologi program atau kebijakan dan dampaknya, maka mungkinkah implementasi adalah segalanya. Koalisi kebijakan tidak dengan sendirinya membuat implemntasi berjalan atau berhasil dengan sendirinya, bahkan terlalu banyak aktor atau terlalu banyak koalisi dapat menghambat proses implementasi. Adapun model-model implementasi kebijakan dapat kita kutip dari beberapa ahli, seperti: Van Meter & Van Horn, Mazmanian & Sabatiar, Grindle, dan George Edward.
77
1. Model Van Meter dan Van Horn Model ini merupakan model yang paling klasik, diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn pada tahun 1975. Model ini menyatakan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah: 1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi 2. Karakteristik dari agen pelaksana/implementor 3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik 4. Kecenderungan dari pelaksana/implementor Gambar 1. Model Implementasi Meter Horn (MH) (1975) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan Tujuan Kebijakan Ciri Badan Pelaksana
Sikap Para Pelaksana
Prestasi Kerja
Sumber-sumber Kebijakan Lingkungan : Ekonomi, Sosial dan Politik
2. Model Mazmanian dan Sabatier Model ini dinamakan model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis), diperkenalkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier pada tahun 1983. Mereka
78
mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka: ―Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives‘ orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a variety of ways, ‗structures‘ the implementation process‖. Proses implementasi kebijakan kebijakan diklasifikasikan ke dalam tiga variabel yaitu: a. Variabel independen (mudah tidaknya masalah dikendalikan) b. Variabel intervening (kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses
implementasi dan
variabel di
mempengaruhi proses implementasi)
luar
kebijakan
yang
79
c. Variabel dependen (tahapan dalam proses implementasi) A.
Mudah / tidaknya masalah dikendalikan
-
Kesukaran – kesukaran teknis Keragaman perilaku kelompok sasaran. Prosentase kelompok sasaran dibanding dengan jumlah penduduk Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan
-
B. Kemampuan Kebijakan untuk menstruktur proses implementasi
-
C. Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses Implementasi
kejelasan dan konsistensi tujuan digunakan teori kausal yang memadai
-
-
kondisi sosio-ekonomi dan teknologi dukungan publik
ketepatan alokasi sumber dana
-
Sikap dan sumber – sumber yang dimiliki kelompok – kelompok
-
-
Dukungan dari pejabat atasan
Aturan – aturan keputusan dari badan pelaksana
-
Rekruitment pejabat pelaksana
keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana
Komitment dan kemampuan kepemimpinan pejabat – pejabat pelaksana
Akses formal pihak luar
D. Tahap – tahap dalam proses implementasi (Variabel tergantung) Output kebijaksanaan Badan – badan pelaksana
Kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijaksanaan
Dampak nyata output kebijaksanaan
Dampak output kebijaksanaan sebagai dipersepsi
Perbaikan mendasar dalam Undang Undang
Gambar 2. Model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier (1981)
80
3. Model Grindle Model ini diperkenalkan oleh Merilee S. Grindle pada tahun 1980. Model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya, di
mana
implementasi
ditransformasikan.
kebijakan
Keberhasilannya
dilakukan
setelah
ditentukan
kebijakan
oleh
derajat
implementability dari kebijakan tersebut. Model ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan. 4. Model Edward George C. Edwards melihat implementasi kebijakan sebagai sebuah studi yang krusial terutama untuk administrasi
publik dan
kebijakan publik. Bagi Edward, implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi
–
konsekuensi
kebijakan
bagi
masyarakat
yang
dipengaruhinya. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards memulai dengan dua buah pertanyaan dasar: prakondisi – prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan – hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, dia mengajukan empat variabel krusial dalam implementasi kebijakan
81
publik, yaitu : komunikasi, sumber – sumber, kecenderungan atau tingkah laku, dan struktur birokrasi. Menurut Edwards, keempat variabel ini bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan. Secara umum, Edwars membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan. Faktor pertama adalah trasmisi, dimana sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu
keputusan
telah
dibuat
dan
suatu
perintah
untuk
pelaksanaannya telah dikeluarkan. Faktor kedua yaitu konsistensi, yang menekankan pada pelaksanaan – pelaksanaan yang konsisten dan
jelas
sehingga
memudahkan
para
pelaksana
kebijakan
menjalankan tugasnya dengan baik. Dan faktor yang ketiga adalah kejelasan, yang menjadikan petunjuk – petunjuk kebijakan sebagi sesuatu yang jelas untuk diterima oleh para pelaksana kebijakan. Menurut Edwards, dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi maka dapat diambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan – keputusan kebijakan dan perintah – perintah tersebut dilaksanakan. Dan dalam situasi seperti ini, penyimpangan transmisi merupakan sebab utama bagi kegagagalan implementasi.
82
Sumber-sumber merupakan faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Sumber tersebut meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas – tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan
usul-usul
diatas
kertas
guna
melaksanakan
pelayanan-pelayanan publik. Staf yang dapat mengimplementasikan kebijakan dilihat dari sisi kuantitas
dan
kualitas
yang
dapat
menjadi
administrator
–
administrator yang kompeten. Dari sisi informasi, terdapat dua bentuk yang harus diperhatikan yaitu informasi mengenai bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, dan sebagai data tentang ketaatan personil – personil lain terhadap peraturan pemerintah. Dan bentuk lain dari sumber adalah wewenang yang berhubungan pada keterbatasan atau kekurangan bagi pejabat untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Hal yang terakhir adalah fasilitas – fasilitas fisik untuk memjembatani pelaksanaan kebijakan tersebut, misal sebagai tempat koordinasi, perlengakapn dan perbekalan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber – sumber ini sebagai bentuk realisasi dari perencanaan kebijakan yang telah dibuat. Pada
faktor
yang
ketiga
terdapat
kecenderungan
–
kecenderungan, yang menekankan pada tanggapan – tanggapan dari para pelaksana kebijakan. Jika pelaksana kebijakan menanggapi baik
83
suatu kebijakan, maka dapat diharapkan adanya dukungan dan kemungkinan besar terjadi pelaksanaan kebijakan yang dimaksud. Demikian pula jika terjadi perbedaan persepsi antara para pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dan faktor yang terkahir, yaitu Struktur Birokrasi yang secara keseluruhan menjadi badan pelaksana kebijakan. Karena terdapat banyak ragam struktur birokrasi maka hal ini
akan
berpengaruh
pada:
perubahan
dalam
kebijakan,
memboroskan sumber – sumber, menimbulkan tindakan-indakan yang tidak diinginkan, menghalangi kondisi, membingungkan pejabat – pejabat pada yuridiksi tingkat yang lebih rendah, menyebabkan kebijakan – kebijakan berjalan dengan tujuan yang berlawanan, dan menyebabkan beberapa kebijakan menempati antara keretakan – keretakan batas – batas organisasi. 5. Model Goggin Sesuai
dengan
teori
Goggin
tentang
menguraikan
model
komunikasi kita pada implementasi kebijakan antar pemerintah. Ini mengkonsepkan proses implementasi pada level Negara bagian, sebaik apa yang diproduksikannya (keluaran dan hasil), sebagai hasil dari pembuatan pilihan oleh negara bagian. Pilihan negara bagian tidak dibuat vakum, bagaimanapun, keputusan kebijakan negara bagian tergantung pada pengaruh pemerintahan eksternal sepadan
84
dengan pengaruh antar negara bagian. Perilaku implementasi negara bagian adalah sebuah fungsi dari dorongan dan hambatan yang disediakan untuk atau dikenakan pada negara bagian dari mana saja dalam sistem federal-atas atau bawah tingkatan negara bagian- serta dari kecenderungan pribadi negara bagian untuk bertindak dan kepasitasnya dalam menyelenggarakan preferensinya. Dorongan adalah faktor – kondisi dan tindakan- yang merangsang implementasi; hambatan memiliki efek berlawanan. Pendekatan kita adalah perkiraan pada anggappan yang tidak ada faktor yang bisa menjelaskan perbedaan dalam implementasi. Keputusan nasional yang memicu sebuah pengaruh proses implementasi oleh polanya dan isinya, untuk menvariasikan derajat, pilihan dan perilaku dari agen dibebankan dengan eksekusi. Jika keputusan ini hanyalah faktor, implementasi akan meragamkan sedikit dari Negara bagian ke negara bagian yang lain. Tapi negara bagian adalah unit yang berlainan, dengan agenda kebijakan mereka masingmasing, negara bagian merespon pada dorongan dan hambatan dari federal, tergantung pada kealamian dan intensitas dari preferensi kunci partisipan
(termasuk, penting, agen tingkat lokal) dalam proses
kebijakan Negara bagian. Akhirnya, negara bagian juga dipengaruhi oleh kepasitas Negara bagian dalam bertindak.
85
Hasil pendekatan sitensisi pada model konsep yang diperlihatkan pada gambar di
tiga kelompok pengaruh variabel implementasi
negara bagian: Dorongan dan hambatan dari ―atas‖ (federal), dorongan dan hambatan dari ―bawah‖ (Negara bagian dan lokal), dan hasil keputusan negara bagian dan kapasitasnya. Pada point yang diberikan pada beberapa negara bagian, interaksi dari ketiga kelompok menentukan tujuan dari implementasi yang akan diambil. Pengalaman implementasi mengatur gerakan proses timbal balik yang pada agen-agen (politikus subnasional
dan administrator)
mengirimkan pesan kepada yang utama (pembuatan kebijakan federal).Mendesain ulang kebijakan dapat menjadi sebuah hasil. Sebagai
catatan
pada
pengenalan,
kurangnya
teori
besar
mengaburkan apakah implementasi itu atau tidak ada. Teori komunikasi menyediakan sebuah arti dari pemahaman tentang hubungan pada implementasi kebijakan antar pemerintah . impelementor negara bagian memolakan perhubungan untuk saluran komunikasi.
Implementor-implementor
ini
adalah
target-target
implementasi-penyaluran pesan dari kedua federal – dan pengirimpengirim di tingkat lokal. Sebagai penerima , implementor tingkat negara bagian harus menafsirkan tampungan pesan-pesan. Potensi untuk gangguan itu ada. Pembentukan proses penafsiran adalah pola dan isi dari pesan dan legitimasi dan reputasi adalah pengirim.
86
Gambar 3. Model Komunikasi Implementasi Kebijakan Intergovernmental
I. TEORI INSTITUSIONAL (MICHAEL HILL - IMPLEMENTING PUBLIC POLICY) Teori institusional Isu yang digali memunculkan pertanyaan soal sejauh mana proses implementasi
perlu
diletakkan
dalam
konteks
konstitusional
dan
institusionalnya. Tema ini tidak diindahkan oleh teoritikus implementasi arus utama, yang penelitiannya akan dieksaminasi di dua bab berikutnya. Namun demikian, sekumpulan teori tentang dampak institusi terhadap proses kebijakan yang berkembang selama dekade terakhir abad dua
87
puluh dapat dikatakan memiliki dampak lain terhadap pemikiran mengenai implementasi. Sebuah perbedaan diambil dari penelitian sosiologi ini, antara ‗organisasi‘ dengan ‗institusi‘. Salah satu pengaruh kunci disini adalah Selznick yang mengatakan bahwa: Istilah ‗organisasi‘ … yang berarti suatu sistem aktivitas yang dikoordinasikan secara sadar. Organisasi adalah suatu perangkat yang dapat diperluas, instrumen rasional yang dirancang untuk menjalankan suatu tugas. Institusi di lain pihak adalah suatu produk alamiah dari kebutuhan dan tekanan sosial—suatu organisme adaptif yang responsif (1957:5). Organisasi formal dicetak oleh kekuatan bersumbu kepada struktur dan tujuannya yang diperintahkan secara rasional. Setiap organisasi formal-serikat dagang, partai politik, angkatan bersenjata, korporasi— berusaha memobilisasi sumberdaya manusia dan teknik senagai sarana untuk mencapai hasil akhirnya. Namun demikian, individu-individu di dalam sistem tersebut cenderung menolak untuk dijadikan sebagai sarana. Mereka berinteraksi secara bersatu, diembankan masalah dan tujuan khusus; selain itu organisasi dibentuk dalam suatu matriks institusional dan karena itu tunduk pada tekanan lingkungan terhadapnya, dimana penyesuaian umum harus dilakukan. Akibatnya, organisasi dapat dikatakan sebagai suatu struktur sosial adaptif, yang menghadapi masalah tidak lain hanya karena mereka eksis sebagai satu organisasi
88
dalam satu lingkungan institusional, masing-masing dengan tujuan yang menjadi cita-citanya (ekonomi, militer, politik) (ibid:251). Meski
sosiolog
terakhir
melihat
pendekatan
Selznick
sangat
deterministik, kekuatan utama argumennya masih bertahan. Penelitian berikutnya menitikberatkan perlunya melihat institusi sebagai ―cultural rule‖ (Meyer dan Rowan 1977) dan mengindentifikasi cara terjadinya ‗isomorpisme struktural‘ sehingga organisasi bekerja di bidang yang sama cenderung memainkan peran kunci dalam mengembangkan teori institusional secara sistematis, menuliskan tiga pilar institusi: 1. regulatif, berpijak pada ‗kelayakan‘ sehingga banyak orang yang memaklumi kekuatan memaksa sistem berkuasa 2. normatif, berpijak pada kewajiban sosial 3. kognitif, bergantung pada asumsi kultural yang dipedomani (1995:35) Penelitian sosiologi ini menyerang issu-issu implementasi kebijakan dari
arah
yang
agak
berbeda
dengan
arah
ilmuan
politik.
Ia
memperhatikan pertanyaan soal bagaimana organisasi bekerja, apa yang terjadi dalam organisasi dalam hal tanggung jawab implementasi kebijakan publik. Oleh karena itu tidak mengherankan bila penelitian ini harus
mengatakan mengapa
organisasi tidak reseptif
melakukan
perubahan praktek dan mengapa mereka tidak berkolaborasi satu sama lain (baca Aldrich 1976; Benson 1982). Demikian juga, individu yang kita anggap sangat penting bagi studi implementasi, misalnya birokrat level
89
jalanan harus juga menjadi fokus atensi sosiolog organisasional dalam menggali isu kepatuhan dalam organisasi (baca kontribusi Gouldner 1954; Merton 1957; Etzioni 1961). Dalam ilmu politik, institusi cenderung dianggap (sebagai organisasi). Ini terbukti dalam penekanan tradisional terhadap hak prerogatif mereka yang merumuskan kebijakan dan dalam masalah ‗the rule of law‘. Dalam buku Hill (2009:36), Pengamatan menunjukkan bahwa pemeriksaan proses kebijakan dan pelaksanaan sesuai proses-harus dipandang sebagai konteks terorganisir yang terjadi di mana ada ditetapkan
norma-norma
(norms),
nilai-nilai
(values),
hubungan
(relationship), struktur kekuasaan (power structures) dan standar operasi prosedur (standard operating procedures). Konteks tersebut dianggap sebagai faktor yang menjadi kendala dan pendorong dalam proses implementasi kebijakan tertentu, sehingga memberikan pengaruh pada pencapaian kinerja kebijakan yang dimaksud.
Sebagaimana diindikasikan oleh pernyataan bagian pertama, kedua jenis pendekatan ini masih harus digali untuk mengungkap lebih jauh elemen implementasi untuk tujuan pengajaran. Terlebih lagi, dikotomi menawarkan
formulasi
bagi
pertanyaan-pertanyaan
eksaminasi—
sehingga mahasiswa menyadari mereka diharapkan berada pada posisi tengah yang adil. Namun demikian, kepedulian terus menerus terhadap
90
debat dan terutama tantangan bottom-up, tetap masih penting. Hal ini terutama karena tendensi terus menerus pernyataan setiap hari—dari politisi, media dan sebagainya—yang menyatakan implementasi harus dirumuskan
dalam
batasan
top-down.
Mereka
melihat
masalah
implementasi semata-mata soal menemukan kesesuaian: ‗penyerahan‘ kebijakan yang eksplisit dan tidak mendua (baca Peck 2006). Normatif atau empiris, proses atau output Eksplorasi perbedaan top-down/bottom-up dalam menemukan sintesa masih relevan. Kontribusi dalam kaitan ini adalah esay yang dipublikasi oleh Paul Sabatier tahun 1986. Kita menganggap Sabatier adalag tokoh kunci dalam penciptaan perspektif top-down terhadap implementasi. Dalam esay tahun 1986, Sabatier bermaksud menyatukan beberapa kekuatan metodologi pendekatan bottom-up: penggabungan efektif ke dalam studi jejaring; kekuatannya dalam mengevaluasi pengaruh lain terhadap outcome kebijakan disbanding program pemerintah dan nilainya ketika sejumlah program kebijakan berbeda berinteraksi. Karena itu Sabatier mengusulkan bahwa ‗pilihan metodologi akan tergantung pada ada tidaknya legislasi dominan dalam membangun situasi‘ (Sabatier 1986, 1999, 2007). Perhatian yang sama untuk mengadopsi pendekatan pikiran terbuka (open- minded) terhadap metodologi diungkapkan oleh Richard Elmore, yang menyeurukan penggunaan metode campuran. Dalam ‗Organizational Models of Social Program Implementation‘ (1978), Elmore menggunakan pijakan dari
91
pengambilan keputusan berpengaruh, atau perumusah kebijakan, studi krisis rudal Kuba (Allison 1971). Ia menganjurkan bahwa dalam studi terhadap peristiwa-peristiwa pelik, ada gunanya melakukan triangulasi kekuatan. Maksudnya menggunakan beberapa metode teoritis berbeda untuk mencoba menemukan penjelasan memuaskan dari apa yang terjadi. Karenanya ia membedakan ‗implementasi sebagai proses birokrasi‘, ‗implementasi sebagai pengembangan organisasi‘, ‗implementasi sebagai konflik dan perundingan‘. Meski dikotomi Lane banyak kesamaannya dengan perbedaan topdown/ bottom-up, namun tidak separalel. Dikotomi lebih menyoroti normatif dikotomi top-down/bottom-up. Dikotomi ini hampir sama dengan apa yang dibuat
Hjern
dan
Hull
antara
‗analisa
output
kebijakan‘
dengan
‗kecencerungan kepada teori organisasi‘. Lane terus menitik beratkan kepada dua pertimbangan alternatif dalam kaitan dengan dikotomi ini: tanggung jawab dan kepercayaan. Menurutnya ‗tanggung jawab‘ adalah soal ‗hubungan antara tujuan dan hasil akhir‘ (Lane 1977:542) sementara ‗kepercayaan‘ menyangkut ‗proses peletakan kebijakan menjadi berwujud‘ (ibid: 542). Lane berpendapat bahwa ‗model top-down lebih menitik beratkan sisi tanggung jawab, sementara model bottom-up menggaris bawahi sisi kepercayaan‘ (ibid 543). Ia kemudian menegaskan bahwa: Proses implementasi adalah kombinasi tanggung jawab dan kepercayaan… Tanpa memahami implementasi sebagai penyelesaian kebijakan tidak ada dasar untuk mengevaluasi kebijakan dan menuntut politisi, administrator dan profesional untuk bertanggung jawab. Di lain pihak, implementasi sebagai eksekusi kebijakan berdasarkan
92
kepercayaan atau sejumlah kebebasan bagi politisi dan implementer mengambil pilihan dari sejumlah alternatif untuk menyelesaikan tujuan itu. … Teori implementasi lebih dari sekedar pencarian pola atau cara menyusun proses implementasi dalam cara-cara yang paling memungkinkan tercapainya kebijakan. Hal ini timbulkan kontroversi antara mereka yang mempercayai kontrol, perencanaan dan hirarki pada satu sisi, dengan mereka yang mempercayai kespontanan, pembelajaran dan adaptasi sebagai teknik pemecahan masalah. Reorientasi teori implementasi perlu dengan menelusuri bagaimana tanggung jawab ditegakkan dalam implementasi kebijakan dan berapa besar kepercayaan dalam satu kesepakatan yang dibutuhkan suatu tanggung jawab (ibid 543). Sama dengan Lane, Rothstein juga mengeksplorasi isu tentang legitimasi dan kepercayaan; menurutnya tema inilah yang banyak dilupakan peneliti implementasi. ‗Tanpa kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang bertanggung jawab mengimplementasi kebijakan publik, implementasi akan gagal‘ (1998:100). Ini poin penting, yang diharapkan membantu kita memahami beberapa perbedaan antara buku-buku implementasi Amerika. Implementasi sebagai terjemahan atau perubahan Pada saat menyoroti metodologi dan isu normatif masih ada pertanyaan yang belum terjawab mengenai perbedaan gambar proses implementasi yang diberikan oleh dua jenis pendekatan tersebut. yakni potret top-down mengenai probabilitas terjemahan beralasan kebijakan menjadi tindakan dan penekanan bottom-up terhadap perubahan sehingga tindakan pada akhirnya sedikit banyaknya sama persis dengan kebijakan di awal. Namun ada pertanyaan empiris yang dapat dijawab dengan beberapa metodologi. Pressman dan Wildavsky yang menggambarkan tindakan di
93
Oakland menunjukkan betapa berbedanya ekspektasi di Washington? Sabatier sangat tidak setuju dengan Barret dan Fudge yang cenderung melenyapkan perbedaan antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan. Menunjuk kritik terhadap Barret dan Fudge di atas adalah menarik mengetahui bagaimana Sabatier ingin mengurai model implementasi yang dalam
beberapa
hal
menggabungkan
analisa
implementasi
dengan
eksplorasi bagian lain proses kebijakan. Winter anjurkan Sabatier ‗pindahkan fokus analisanya kepada perubahan kebijakan dan formulasi dan menjauhi implementasi‘ (Winter 2006:155). Sabatier berpandangan bahwa pendekatan yang ia adopsi dari Mazmanian tidak hasilkan kendaraan konsep yang baik untuk menelusuri perubahan kebijakan dalam satu periode atau lebih. Sebagai alasannya ia mengatakan bahwa ‗terlalu fokus pada perspektif proponen
program,
maka
aktor
lain
mengabaikan
strategi
(dan
pembelajaran). Penelitiannya kemudian berusaha memperbaiki kesalahan ini. Karena itu setelah esay 1986, Sabatier alihkan atensinya ke perkembangan pendekatan ‗koalisi advokasi‘ dengan menawarkan pandangan yang lebih menyeluruh mengenai proses kebijakan. Dalam esay pengantar dalam Theories of the Policy Process ([1999] 2007), Sabatier menantang ―tahap heuristik‖ yang dengannya eksaminasi implementasi cenderung dianut. Ia menyebut bahwa proses kebijakan terdiri dari berikut ini:
94
multiplisitas aktor (individu dan korporat), dengan kepentingan, nilai, persepsi dan preferensi kebijakan masing-masing
rentang waktu satu dekade atau lebih
dalam domain kebijakan ada lusinan program yang melibatkan multi lapis pemerintah
beragam debat mengenai kebijakan, terutama yang berkarakter teknis tinggi dan dalam berbagai forum
banyak pihak yang terlibat yang memperkaya perilaku politik dan kekuasaan politik dalam dan sekitar proses kebijakan. Meski semua elemen di atas terus berinteraksi dari waktu ke waktu,
Sabatier menyebutkan ‗sebuah gugus yang rumit‘ (2007:3). Ini yang mendekatkan Sabatier dengan perspektf bottom-up, oleh karena ‗koalisi advokasi‘ bisa dikatakan terdiri atas sejumlah aktor dari semua lapisan. Namun pertanyaan sejauh mana konsep ‗koalisi‘ berhubungan dan sejauh mana tidak berhubungan, cenderung menggambarkan signfikansi konflik dalam proses kebijakan itu sendiri. Dalam esay terakhr tahun 1986, Sabatier menggaris bawahi apa yang ia lihat sebagai cara melibatkan ‗kerangka koalisi advokasi‘ dengan mengambil: Unit analisa bottom-up teratas—kumpulan aktor publik dan privat yang terlibat dalam masalah kebijakan—termasuk mereka yang ingin memahami perspektif dan strategi kelompok aktor utama. Lalu
95
mengombinasi starting point ini dengan top-down terendah yang konsentrasi terhadap cara dimana kondisi ekonomi sosial dan instrumen
hukum
membatasi
perilaku.
Perspektif
sintesa
ini
diaplikasikan ke analisa perubahan kebijakan dalam kurun waktu satu dekade atau lebih (1986:39). Tentu
ada
dilema;
sebuah
masalah
bagi
studi
implementasi
bagaimana menyetir arah antara dua malapetaka studi (Scylla) besar namun sempit dan studi (Charybdis) yang merefleksikan lama dan rumitnya karakter proses kebijakan namun kemudian meluas dan membentuk diri. Apa yang digeluti Sabatier adalah sulitnya membedakan antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan. Dennis Palumbo dan Donald Calista dalam Implementation and the Policy Process (1990), meski koleksi editan namun belum sebagai pendirian yang utuh, bertujuan ‗menempatkan implementasi ke dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih luas.
II. TEORI W.RICHARD SCOTT (INSTITUTION AND ORGANIZATIONS) Tiga pilar institusi Sistem regulatif, sistem normatif, dan sistem kultural-kognitif—adalah tiga elemen yang oleh teoritikus sosial dianggap sebagai unsur vital institusi. Ketiga elemen ini membentuk hamparan (kontinum) gerak ―dari sadar ke tidak sadar, dari berkekuatan hukum hingga pembenaran‖ (Hoffman 1997:36).
Pendekatan
yang
memungkinkan
seluruh
keadaan
itu
96
berkontribusi, baik secara interdependen maupun secara saling menguatkan, untuk berpengaruhnya suatu praduga sosial, adalah pendekatan yang memuat dan memperlihatkan kekuatan dan kemenonjolan struktur tersebut. Dalam konsep terpadu ini, institusi diibaratkan sistem yang overdetermined (sangat ditentukan), menurut D‘Andrade (1984), sangat ditentukan dalam artian bahwa sanksi sosial plus paksaan untuk patuh, plus balas jasa langsung menarik, plus nilai, sangat mungkin bertindak bersama memberikan sistem makna pada kekuatan direktifnya (p 98). Pilar regulatif Dalam artian luas, semua ilmuan menitik beratkan aspek regulatif institusi. Institusi membatasi dan meregulasi perilaku. Ilmuan tersebut lebih spesifik lagi dengan pilar regulatoris yang menjabarkan proses regulatoris secara eksplisit: penetapan aturan, monitoring, dan aktivitas memberi sanksi. Dalam konsep ini, proses regulatoris adalah menggunakan kapasitas untuk menciptakan aturan, menginspeksi kepatuhan sesuatu kepada regulasi, dan bila perlu, memanipulasi sanksi—balas jasa atau hukuman—dalam rangka memengaruhi perilaku akan datang. Proses ini beroperasi bisa melalui mekanisme penyebaran informal, melalui cara-cara tradisional seperti aktivitas menimbulkan rasa takut atau menjauhkan, atau beroperasi dengan cara-cara sangat formal dan terbatas pada aktor-aktor tertentu, misalnya polisi atau pengadilan.
97
Tabel 2. Tiga Pilar Institusi Pilar Normatif Kewajiban sosial
Basis kepatuhan
Regulatif Kelaikan
Kultural-kognitif Pembenaran / kesepahaman bersama
Basis aturan
Aturan regulatif
Ekspektasi mengikat
Skema konstitutif
Mekanisme
Pemaksaan
Normatif
Meniru-niru
Logika
Instrumentalitas
Kepatutan
Ortodoksi
Indikasi
Aturan Hukum Sanksi
Sertifikasi Akreditasi
Keyakinan bersama Tindakan logis yang diakui bersama
Basis legitimasi
Disanksi hukum
secara Diarahkan secara Mudah dipahami moral Dapat diketahui Didukung oleh kultur
Ekonom, termasuk sejarawan ekonomi, adalah kalangan yang paling condong melihat bahwa institusi sangat berpijak pada pilar regulatoris. Sejarawan ekonomi seperti Douglass North (1990), menggambarkan sistem aturan dan mekanisme penegakan hukum dalam konsepnya sebagai berikut: Institusi diibaratkan sebagai aturan main dalam suatu kompetisi tim olahraga. Institusi berisi aturan tertulis termasuk kode-kode tak tertulis bertindak yang mendasari dan menopang aturan formal. … aturan dan kode informal tersebut kadang-kadang dilanggar dan hukuman pun
98
dikenakan. Karena itu bagian esensial fungsi institusi adalah memastikan pelanggaran dan beratnya hukuman (p.4). Penekanan ini sebagian disebabkan karakter obyek yang diteliti. Mereka curahkan atensi pada perilaku individu dan perusahaan dalam situasi pasar dan situasi persaingan lainnya, dimana kepentingan berlawanan menjadi hal umum dan karena itu aturan eksplisit dan pengadil sangat perlu mempertahankan ketertiban. Ekonom melihat bahwa individu dan organisasi mematuhi aturan karena ingin mengejar kepentingan masing-masing. Mekanisme utama pengendalian, yang berlaku dalam tipologi DiMaggio dan Powell adalah pemaksaan (koersi). Kekuatan, takut, dan manfaat adalah unsur utama pilar regulatoris, tetapi eksistensi aturan tetap dibutuhkan, apakah adat istiadat informal maupun aturan dan hukum formal. Sebagaimana Weber (1924) (1968) tekankan, kalaupun ada sangat sedikit pengatur sejalan dengan rezim yang berkuasa, semua upaya menanam kepercayaan menurut legitimasinya. Orang-orang berkuasa kadang memaksakan keinginannya kepada orang lain, dengan mengenakan atau memberi sanksi. Atau membujuk untuk mau patuh. Dapat dicontohkan dari banyaknya program federal yang kurang memiliki otoritas programatis tetapi memperoleh dukungan lokal setelah memberi dana untuk mendukung program-program spesifik. Namun, yang paling banyak terjadi adalah penggunaan otoritas dimana hak memaksa dilegitimasi oleh kerangka normatif yang selain mendukung juga membatasi
99
penggunaan kekuasaan (baca Scott 1987). Pilar regulatif dan normatif bisa saling menguatkan. Penelitian terbaru di bidang ekonomi menitik beratkan biaya regulasi. Teori keagenen menekankan mahal dan sulitnya memonitoring kinerja kontrak-kontrak terkait secara akurat, implisit atau eksplisit, dan dalam mendesain insentif yang pas (Pratt dan Zeckhauser 1985; Milgrom dan Roberts 1992). Namun demikian, di beberapa situasi, kontrak-kontrak tersebut dapat dimonitor dan diperkuat bersama oleh pihak-pihak yang terlibat, di banyak kejadian, melindungi mesin-mesin pendukung pihak ketiga yang diharapkan bisa jalan bersama. Sejarawan ekonomi melihat ini sebagai fungsi penting negara. North (1990) berargumen: Karena pada akhirnya pihak ketiga menggunakan negara sebagai sumber pemaksaan, maka teori institusi pun harus melakukan analisa terhadap struktur politik masyarakat dan sejauh mana struktur politik itu mampu menghasilkan praduga hukum yang efektif (p.64). North (1990) juga meminta perhatian atas masalah yang muncul karena ―penegakan hukum diselenggarakan oleh agen-agen yang fungsi utilitasnya mempengaruhi hasil penegakan‖ (dalam hal ini pihak ketiga yang tidak netral) (p.54). Dugaan ini diperkuat oleh banyak institusionalis sejarah, misalnya Skockpol (1985): yang berpendapat bahwa negara membangun kepentingan dan beroperasi agak otonom dari aktor kemasyarakatan lainnya. Atensi terhadap aspek regulatif institusi menciptakan kepentingan terbarukan mengenai peran negara sebagai pembuat undang-undang, pengadil, dan
100
penyelenggara. Teoritikus hukum dan kemasyarakatan meminta sebaiknya analis tidak mencampur-aduk fungsi koersif dengan dimensi normatif dan kognitif. Jangankan beroperasi secara otoritatif dan eksogen, hukum banyak yang kontroversial dan ambigu karena pasal-pasalnya banyak yang tidak jelas. Hukum dapat dikonsepkan sebagai suatu keadaan penciptaan dan interpretasi kolektif makna, lebih berpijak pada elemen kultural-kognitif dan normatif daripada elemen koersif untuk tegaknya hukum itu (Suchman dan Edelman 1997). Pilar normatif Kelompok teoritikus kedua melihat institusi berbasis pada pilar normatif (lihat kembali Tabel 2). Penekanan disini diberikan kepada aturan normatif yang memperkenalkan dimensi preskriptif, evaluatif, dan obligatoris ke dalam kehidupan sosial. Sistem normatif mencakup nolai dan norma. Nilai adalah konsepsi terhadap apa yang diinginkan atau dikehendaki, bersama-sama gagasan standar yang dengannya struktur atau perilaku yang berlaku dibandingkan dan ditetetapkan. Norma menentukan bagaimana sesuatu harus dilakukan, ia mendefinisi alat yang sah untuk mencapai hasil akhir. Sistem normatif mendefinisi tujuan atau sasaran (misalnya memenangkan permainan, mendapat laba) tetapi juga menentukan cara yang tepat untuk mencapainya (misalnya aturan yang menspesifikasi bagaimana permainan dimainkan, konsepsi mengenai cara-cara bisnis yang adil).
101
Sebagian nilai dan norma dapat berlaku ke semua anggota suatu kolektivitas, sebagian lagi hanya berlaku pada aktor atau posisi tertentu. Nilai dan norma kedua ini hasilkan peran: konsepsi mengenai tujuan dan aktivitas yang pantas bagi individu tertentu atau posisi sosial tertentu. Pandangan ini bukan hanya antisipasi atau prediksi tetapi preskripsi—ekspektasi normatif— bagaimana aktor diasumsi melakukan tindakan. Ekspektasi ini diemban kepada aktor lain yang menonjol dalam situasi dan telah berpengalaman menghadapi tekanan dari aktor-aktor eksternal. Sistem
normatif
umumnya
dipandang
sebagai
batasan
yang
dikenakan kepada perilaku sosial dan terhadap yang dilakukannya. Namun di saat yang sama, sistem normatif pula yang menguatkan dan memudahkan aksi-aksi sosial. Sistem normatif selain dianugerahi hak juga tanggung jawab, hak istimewa dan juga tugas, lisensi, dan amanat. Dalam esainya tentang profesional, Hughes (1958) mengingatkan kita betapa banyak kekuatan dan mistik yang terkait dengan tipe-tipe peran yang berasal dari lisensi yang diberikan untuk terlibat di dalam aktivitas-aktivitas ―terlarang‖ atau penting: eksaminasi hubungan fisik atau menjatuhi seseorang dengan hukuman penjara atau hukuman mati. Konsepsi normatif institusi dianut banyak sosiolog terdahulu—dari Durkheim sampai Parsons dan Selznick—mungkin karena sosiolog ini cenderung fokuskan atensi pada tipe-tipe institusi misalnya kelompok keluarga, kelas sosial, sistem keagamaan, dan asosiasi sukarela, yang
102
memang sudah memiliki kepercayaan dan nilai bersama. Selain itu, konsepsi normatif
terus
membimbing
dan
menginformasi
penelitian-penelitian
kontemporer tentang organisasi oleh para sosiolog dan ilmuan politik. March dan Olsen (1989) misalnya menganut konsepsi primer normatif institusi: Dalil bahwa organisasi mengikuti aturan, bahwa banyak perilaku dalam satu organisasi ditentukan oleh standard operating procedure (SOP), adalah umum dalam literatur birokrasi dan organisasional … Dalil ini dapat diperlebar ke institusi politik. Banyak perilaku yang kita amati dalam institusi politik mencerminkan cara-cara rutin dimana orang melakukan apa yang diwajibkan kepadanya (p.21) Meski konsepsinya mengenai aturan sangat luas, termasuk kulturalkognitif juga elemen normatif—―rutin, prosedur, konvensi, peran, strategi, bentuk organisasional, dan teknologi … keyakinan, paradigma, kode, kultur, dan pengetahuan‖ – fokusnya masih pada kewajiban sosial: Untuk menyebut bahwa perilaku ditentukan oleh aturan adalah melihat aksi sebagai mempertemukan suatu situasi dengan permintaan dari satu posisi. Aturan mendefinisi hubungan antar peran dalam artian apa kewajiban seorang pejabat kepada pejabat yang lain (March dan Olsen 1989:23). Indikator kehadiran dan kekuatan sistem normatif berbeda-beda sesuai level analisa. Untuk organisasi, analis seperti Selznick (1949) mengkaji perubahan tujuan (nilai-nilai) dan batasan-batasan interpersonal
103
atas perilaku. Pada level yang lebih luas, ilmuan meneliti aturan dan konvensi yang dikeluarkan oleh asosiasi perdagangan dan profesional (Stern 1979, Starr 1982). Teoritikus penganut konsep institusi normatif menitik beratkan penstabilan pengaruh kepercayaan dan norma sosial, yang diinternalkan dan diterapkan pihak lain. Menurut teoritikus normatif sebelumnya seperti Parson, norma dan nilai bersama adalah basis kestabilan tatanan sosial. Dan, seperti sering diutarakan Stinchcombe (1997), institusi memiliki akar moral: Kekuatan institusi adalah karena di manapun seseorang berkarir sepanjang tunduk pada standar organisasi ia akan digaji. Setelah di dalam organisasi, ia mempertahankan kompetensinya. Contoh lainnya adalah seseorang yang berwenang mengakreditasi, ia mengutus relawan untuk melihat apakah benar ada aljabar dalam pelajaran aljabar.
Dan
kadang-kadang
ada
orang
yang
dalam
hal ini
komitmennya rendah, sementara pusat tidak bisa mengendalikannya, maka anarki akan menyebar ke seluruh dunia (p.18). Pilar kultural-kognitif Institusionalis kelompok ketiga, terutama antropolog seperti Geertz dan Douglas dan sosiolog Berger dan Meyer dan Zucker, menekankan sentralitas elemen kultural-kognitif institusi: konsep bersama yang menjadi sifat dari realitas sosial dan acuan dimana makna dibuat (baca lagi Tabel 2).
104
Atensi
terhadap
dimensi
kultural-kognitif
adalah
fitur
pembeda
neoinstitusionalisme di dalam sosiologi. Institusionalis tersebut sangat serius memperhatikan dimensi kognitif eksistensi manusia. Mediasi antara dunia stimuli eksternal dengan respon organisme individu adalah koleksi representasi simbolis dunia yang terinternalkan. ―Dalam paradigma kognitif apa yang dilakukan satu makhluk merupakan fungsi representasi internal lingkungan mahluk itu‖ (D‘Andrade 1984:88). Simbol—kata-kata, tanda, gerak tubuh menimbulkan pengaruh lewat makna yang kita berikan ke obyek dan aktivitas itu. Makna muncul dari interaksi dan bertahan dan tertransformasi ketika ia digunakan untuk menyampaikan maksud atas apa yang sedang terjadi. Menekankan pentingnya simbol dan makna mengingatkan kita kepada pandangan sentral Weber. Weber menilai tindakan bersifat sosial hanya jika aktor melekatkan makna ke perilakunya. Untuk memahami dan menjelaskan suatu tindakan, seorang analis selain harus memperhatikan kondisi obyektif juga interpretasi subyektif aktor terhadapnya. Perspektif kultural baru fokus pada bagian-bagian semiotis kultur, selain memperlakukannya sebagai keyakinan subyektif juga sistem simbolis dinilai sebagai obyektif dan eksternal bagi aktor individual. Sebagaimana Berger dan Kellner (1981) simpulkan, ―setiap institusi manusia adalah sedimentasi makna atau, dalam sudut pandang lebih luas, kritalisasi makna dalam bentuk obyektif‖ (p.31). Label gabungan kultural-kognitif mengakui jika
105
proses
interpretif
internal
ditentukan
oleh
kerangka
kultur
ekternal.
Sebagaimana diusulkan Douglas (1982), kita harus ―memperlakukan kategori kultur sebagai wadah kognitif yang didalamnya kepentingan-kepentingan sosial
ditentukan
dan
diklasifikasi,
dipertahankan,
dinegosiasi
dan
diperjuangkan‖ (p.12). Menurut teoritikus kultural-kognitif, kepatuhan terjadi di banyak tempat karena tipe perilaku lainnya tidak dapat dikonsepkan, rutin diikuti karena dijamin ―sebagai cara kita menjalankan sesuatu‖. Interpretasi peran sosial berbeda dengan peran kultural menurut teoritikus normatif. Teoritikus kultural menggarisbawahi kekuatan pedoman bagi aktor tertentu dan skrip bertindak. Bagi Berger dan Luckman (1967), peran muncul dari pemahaman bersama yang berkembang setelah tindakan tertentu memiliki hubungan dengan aktor tertentu. Peran-peran lainnya bisa dan berkembang dalam konteks lokal menjadi pola tindakan berulang yang secara bertahap berubah menjadi kebiasaan dan obyektif, namun penting pula dipahami bahwa operasi kerangka institusi yang luas memberi model pengelolaan dan skrip yang baku (Goffman 1974,1983). Meyer dan Rowan (1977) dan DiMaggio dan Powell (1983) menekankan tingkat terapan dan adopsi sistem keyakinan dan kerangka kultural oleh aktor individual dan organisasi.
106
Tiga pilar dan legitimasi ―Organisasi membutuhkan lebih dari sekedar sumberdaya material dan informasi teknis jika ingin bertahan hidup dan tumbuh subur di lingkungan sosialnya. Ia juga membutuhkan penerimaan dan kepercayaan sosial‖ (Scott et.al 2000:237). Sosiolog gunakan konsep legitimasi untuk menjelaskan kondisi ini. Suchman (1995b) berikan definisi dari konsep sentral ini: ―legitimasi adalah persepsi atau asumsi umum sehingga tindakan entitas disenangi, tepat, atau pas dengan norma, nilai, keyakinan, dan definisi sistem yang dibangun secara sosial‖ (p.574). Sistem yang dibangun secara sosial menurut Suchman tidak lain adalah praduga institusional. Ketiga pilar sebelumnya menjadi basis legitimasi, merki berbeda sifatnya. Berger dan Luckman (1967) menyebut legitimasi sebagai pembangkit makna ―tatanan kedua‖. Pada masa sebelumnya, aktivitas terlembagakan berubah menjadi pola perilaku berulang yang membangkitkan makna bersama sesama partisipan. Legitimasi pada tatanan ini melibatkan koneksi dengan praduga kultur, norma, aturan. ―Legitimasi ‗menjelaskan‘ tatanan institusional dengan mengakui validitas kognitif sebagai makna objtektifnya. Legitimasi menjustifikasi tatanan institusional dengan memberi derajat normatif ke praktek-praktek imperatifnya. Di jalur yang sama, Weber (1924) berargumen bahwa kekuasaan legitimet ketika otoritas yang menjalankannya didukung norma-norma sosial yang berlaku, apakah tradisional, kharismatik, atau birokratik (baca juga Dornbusch dan Scott 1975). ―Legitimasi
107
organisasional adalah seberapa jauh kultur mendukung suatu organisasi‖ (Meyer dan Scott 1983a:201). Dimensi ―vertikal‖ ini melahirkan dukungan signifikan lainnya: berbagai jenis otoritas—kultural juga politik—yakni orang-orang yang dikuasakan untuk menganugerahi legitimasi. Siapa yang diberi kuasa berbeda-beda dari waktu ke waktu dan tempat tetapi, di masa kita, agent negara dan profesional serta asosiasi perdagangan kadang-kadang sangat berpengaruh bagi organisasi. Sertifikasi dan akreditasi oleh lembaga ini seringkali dijadikan sebagai indikator legitimasi (Dowling dan Pfeffer 1975; Ruef dan Scott 1998). Dalam situasi kompleks, individu atau organisasi bisa saja bertikai karena kedaulatannya berlawanan. Aktor menghadapi persyaratan dan standar normatif bertolak belakang sehingga sulit bertindak karena harus tunduk ke sesuatu yang memanfaatkan dukungan normatif lembaga lain. ―Legitimasi organisasi tertentu didampak negatif oleh jumlah kewenangan berbeda di atasnya dan karena perbedaan atau inkonsistensi cara pandang bagaimana ia berfungsi‖ (Meyer dan Scott 1983:202). Stinchcombe (1968) memastikan bahwa, pada akhirnya, nilai-nilai mana yang mendefinisikan legitimasi adalah masalah kekuasaan sosial: Sebuah kekuasaan akan legitimet ke tingkat yang, menurut doktrin dan norma mana yang menjustifikasinya, asalkan pemegang kekuasaan dapat memerintah pusat-pusat kekuasaan lainnya, sebagai cadangan jika dibutuhkan, agar kekuasaannya efektif (p.162).
108
Meski kekuasaan adalah hal penting dalam mendukung proses legitimasi, seperti pada aktivitas sosial lainnya, kekuasaan bukanlah pengadil terakhir. Kekuasaan yang berkubu, dalam jangka panjang, tidak akan menolong dalam menghadapi serangan kekuatan oposisi yang bersekutu dengan ide-ide yang lebih persuasif. Ketiga pilar mendapat tiga basis legitimasi terkait namun berbeda (lihat Tabel 2). Regulatoris menekankan kepatuhan pada aturan. Organisasi legitimet adalah organisasi yang dibentuk dan dioperasikan sesuai dengan hukum atau ketentuan semi hukum. Konsep normatif menitik beratkan basis moral untuk menentukan legitimasi. Kendali normatif lebih terinternalkan daripada kontrol regulatif, dan insentif untuk patuh biasanya meliputi balas jasa intrinsik dan ekstrinsik. Pandangan kultural-kognitif menitik beratkan legitimasi yang muncul dari adopsi praduga umum referensi atau definisi situasi. Untuk mengadopsi struktur ortodoks atau identitas yang terkait dengan situasu spesifik adalah mencari legitimasi yang berasal dari konsistensi kognitif. Modal kultural-kognitif adalah level ―paling dalam‖ karena berpijak pada preconscious, yakni pemahaman yang menjadi dalil umum. Basis legitimasi ketiga elemen itu berbeda-beda dan kadang-kadang berlawanan. Pandangan regulatif memandang apakah organisasi dibentuk secara legal atau apakah ia bertindak mematuhi hukum dan regulasi relevan. Orientasi
normatif,
menitikberatkan
tanggung
jawab
moral,
mungkin
menyetujui tindakan-tindakan yang berangkat ―hanya‖ dari persyaratan
109
hukum. Banyak profesional yang menjalankan standar normatif memaksa mereka berangkat dari persyaratan berbasis hukum organisasi birokrasi. Dan whistle-blower mengklaim tindakannya atas dasar otoritas tertinggi ketika ia melawan aturan organisasional atau perintah atasan. Geng jalanan mungkin diakui keberadannya di urban Amerika, menunjukkan bahwa mereka hasilkan moda berorganisasi yang dibentuk secara kultural untuk mencapai tujuan tertentu, dan dianggap sebagai cara berorganisasi yang legitimet oleh anggotanya. I. Perspektif Kelembagaan Menurut Uphoff (1986: 8-9), istilah Kelembagaan dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan, sosial institution' dan 'social organization' berada dalam level yang sama, untuk menyebut apa yang kita kenal dengan kelompok sosial, grup, social form, dan lain-lain yang relatif sejenis. Namun, perkembangan akhir-akhir ini, istilah "Kelembagaan" lebih sering digunakan untuk makna yang mencakup keduanya sekaligus. Kata "kelembagaan" merupakan padanan dari kata Inggris 'institution", atau lebih tepatnya "social institution",- sedangkan "organisasi" padanan dari "organization" atau "social organization". Meskipun kedua kata ini sudah umum dikenal masyarakat, namun pengertian dalam sosiologi berbeda. Sebagaimana kata Horton dan Hunt (1984: 211): "What is an institution? The sociological concept is different from the common usage".
110
Kedua kata tersebut pada mulanya digunakan secara bolak balik, baur dan luas, namun akhirnya lebih menjadi tegas dan sempit. Tujuannya adalah membangun suatu makna yang baku secara keilmuan, Keduanya ,memiliki hubungan yang kuat, sering sekali muncul secara bersamaan, namun juga sering digunakan secara bolak balik, karena menyangkut objek yang sama atau banyak kesamaannya. Kata "institution" sudah dikenal semenjak awal perkembangan ilmu sosiologi. Frasa seperti "capital institution" dan "family intitution" sudah terdapat dalam tulisan sosiolog August Comte sebagai bapak pendiri ilmu sosiologi, semenjak abad ke 19. Di sisi lain, konsep organisasi dalam pengertian yang sangat luas, juga merupakan istilah pokok terutama dalam iimu antropologi. Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan di antara para ahli. Persoalannya terletak pada tekanan masing-masing orang yang berbeda-beda, atau sering mempertukarkan penggunaannya. "What contstitutes an 'institution' is a subject of continuing debate among social scientist..... The term institution and organization arecommonly used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion" (Norman Uphoff, 1986: 8). Menurut Soemardjan dan Soemardi (1964: 61) belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan Para sarjana sosiologi untuk menerjemahkan istilah Inggris "social institution". Ada yang
111
menerjemahkannya dengan istilah 'pranata', ada pula yang "bangunan sosial". Ketidaksepahaman tersebut dapat diurai, dengan pertama-tama melihat, apa sesungguhnya yang menjadi objek perhatian. Dimana pada hakikatnya, objek ini mengkaji dua hal yang berbeda dengan dua istilah yang satu sama lain tidak konsisten. Dua istilah yang dimaksud adalah 'kelembagaan" dan "organisasi", dan dua aspek tersebut adalah "aspek kelembagaan" dan "aspek keorganisasian". Jika melihat pada konsep sosiologi akhir abad 19 sampai awal abad 20, para ahli menggunakan entry istilah yang berbeda, namun membicarakan hal yang sama, namun sebagian ahli mendefiniskan kelembagaan yang mencakup aspek organisasi, dan sebaliknya ada yang memasukkan aspek-aspek kelembagaan dibawah topik organisasi sosial. sesungguhnya ada dua objek pokok yang berbeda yang dibicarakan dalam hal ini. Pertama adalah apa yang disebut Koentjaraningrat dengan wujud ideal kebudayaan" atau Colley menyebutnya dengan public mind (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75). Pandangan yang lain mengenal aspek kelembagaan dari dua definisi berikut antara yang menggunakan social institution dengan Cooley yang menggunakan social organization. Sumner memasukkan aspek struktur ke dalam pengertian kelembagaan (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67).Sebaliknya Cooley dalam buku Social Organization yang terbit
112
:shun 1909, memasukkan objek mental dalam pembahasannya tentang grup primer. Jika dicermati sesungguhnya, maka ada dua hal yang menjadi 3.ian dalam kelembagaan sosial (ataupun organisasi sosial). Menurut Knight (1952: 51): "The term institution has two meanings ..... One type ... may be said to be created by the 'inveisible hand'. .….. The other type is of course the deliberately made …‖.Kelembagaan memiliki dua bentuk yaitu sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, serta yang datang dari luar yang sengaja dibentuk. Meskipun ia membedakannya berrdasarkan asal terbentuknya, namun di sana melekat berbagai keadaan pokok. Sementara, bagi Norman Uphoff, apa yang datang dari luar ini disebut dengan organisasi. Pernyataan bahwa kelembagaan atau organisasi memiliki dua bentuk, juga dinyatakan oleh Uphoff (1986: 9), bahwa: "Some kinds of institution have an organizational form with roles and structures, whereas others exist as pervasive influenced on behaviour". Dua hal yang dimaksudkan disini adalah organisasi dalam bentuk (peran) dan struktur, serta sesuatu yang mempengaruhi perilaku. Sesuatu yang terakhir ini adalah 'norma' yang diturunkan, dari 'nilai' yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat. Lebih jauh Uphoff menyatakan, bahwa intitusi memiliki dua orientasi, yaitu role-oriented dan rule-oriented, namun kelembagaan lebih fokus kepada rules. Secara jelas Uphoff
113
mengakui
adanya
pengembangan
aspek
organisasi
kelembagaan"
dalam
kelembagaan;
namun
(institutional
development)
hanya
difokuskan kepada kelembagaan yang memiliki struktur, serta organisasi yang potensial untuk dikembangkan. Selaras dengan itu, Beals (1977: 423-4) yang masuk melalui organisasi sosial menyatakan bahwa suatu organisasi dapat dipandang dari sisi struktural dan proses. Melihat secara struktural, adalah bagaimana
hubungan
atau
cara-cara
bagaimana
anggota
diorganisasikan, yang menyangkut posisi masing-masing anggota. Sedangkan secara proses dalam arti berbagai aktifitas atau perilaku yang diharapkan dari anggota, yaitu batasan berperilaku yang boleh atau tidak boleh. Perlunya pembedaan makna untuk `institution` dan `organization` timbul dari ketidaksepakatan tentang penggunaan istilah institution. ―………. Some authors consider than an institution, whatever the scope of behavior referred to, also involves a structure and perhaps a `material elemen`. Others writers emphatically reject this suggestion` (Mitchell, 1968;100). Bahwa institusi perlu dibedakan dengan organisasi juga dinyatakn secara gambling oleh Horton dan Huntt (1984:211). ―An institution is not a building; it is not a group of peole, it is not an organization‖.
114
Kesadaran perlunya perbedaan ini terlihat jelas dalam E. Chinoy dalam buku Society, tahun 1962. Lebih jauh lagi, ia bahkan menegaskan bahwa kelembagaan cenderung hanya membicarakan perilaku, dan yang lain tentang aspek organisasinya. Sikap yang membedakan secara tegas kemudian juga dapat dilihat pada Mac Iver dan Page, pada bukunya Society yang terbit tahun 1949. Mereka membedakan objek yang dilihat pada institution dengan association. ―Institution are established form or conditions of procedure characteristic of group activity. The group which performs the standardized action is termed an association. Thus a church is an association, and services are its institution‖. Beberapa yang menjadi perbedaan dalam pemahaman antara kelembagaan dan organisasi, yaitu:
Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern. Kelembagaan merupakan sesuatu yang tradisional, atau tidak modern. Cara berpikir seperti ini merupakan ciri khas ideologi modernisasi yang menuntut keseragaman dalam segala hal, baik manajemen maupun kelembagaan. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt (1984:211): ―…. Institution do not have members, they have followers‖.
Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan ini relative mirip dengan pembedaan di atas,
115
namun ini tidak dalam konteks tradisional-modern, namun bawah-atas. Kelembagaan dan organisasi merupakan bipolar yang secara diametral dapat dipertentangkan. Keduanya merupakan social form yang berada pada dua ujung garis kontinum; kelembagaan berada di sebelah kiri, dan organisasi di sebelah kanan. Pendapat ini muncul dalam pembahasan Tjondronegoro ketika membicarakan fenomena interaksi masyarakat desa dengan tekanan pihak atas secara politik. Ia berpendapat, bahwa kelembagaan adalah satu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memilki ciri-ciri tradisional dan non-formal, sementara organisasi lebih modern dan formal karena dibentuk dari atas. ― ….lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota.
Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Norman Uphoff (1986:8), tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan dilembagakan.
116
Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Dari kacamata ekonomi,
Binswanger
dan
Ruttan
(1978:329)
mengemukakan
pandangan, bahwa : ―An organization is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular pattern of section and relationship. An organization is generally seen as a decision making unit- a family, a firm, a bureau- that exercise control of resources……. The concept of institution will include that of organization‖. Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi mejadi bagian teknis yang penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan. Kelembagaan merupakan sebutan yang lebih tinggi, yang mencakup perilaku dan struktur, yang sejajar kedudukannya dengan sebuatan organisasi. Sedangkan perilaku dibentuk dari norma, nilai dan lain-lain. Sementara struktur berperan sebagai aspek statis yang menjamin berlangsungnya suatu kelembagaan. Terjadi kecenderungan penggunaan istilah yang membedakan antara ―kelembagaan‖ dan ―organisasi‖. Pemberian makna yang terpisah dan semakin tegas terhadap kedua kata tersebut, merupakan aplikasi dari kelembagaan konseptualnya masingmasing yang berbeda secara fundamental, dengan membedakannya, maka ia dapat membantu penganalisian sistem-sistem sosial, betapapun lemah ataupun ketat sistem sosial tersebut.
117
Kelembagaan memiliki dua bentuk (Uphoff), yaitu organisasi dalam bentuk peran dan juga dalam bentuk struktur, serta dapat mempengaruhi perilaku yang dalam hal ini adalah norma yang diturunkan dari nilai yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat. Demikian halnya, dengan apa yang menjadi pandangan Max Weber, bahwa kelembagaan atau organisasi merupakan wewenang hirarki bagi anggota yang terdapat didalamnya dengan pembagian kerja berdasarkan fungsi guna mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Terdapat perbedaaan dengan apa yang menjadi pandangan Beanard Chester, bahwa organisasi atau kelembagaan merupakan aktifitas yang secara sadar dan terkoordinir dan mempunyai peranan bagi masingmasing anggota dengan kewenangan yang berbeda. Dalam hal ini antara pandangan
yang
dikemukakan
oleh
Max
Weber
terhadap
kelembagaan/organisasi lebih mengarah kepada sistem dan Barnard Chester kelembagaan lebih diarahkan kepada fungsi keanggotaan. Selanjutnya teori lain yang membahas tentang aspek kelembagaan yang dikemukakan oleh Beals dengan pandangan social organization, dimana pandangannya menyatakan bahwa suatu organisasi dapat dipandang dari sisi struktural, adalah bagaimana hubungan atau caracara bagaimana anggota diorganisasikan, yang menyangkut posisi masing-masing anggota, sedangkan secara proses dalam berbagai
118
aktifitas atau perilaku yang diharapkan dari anggota yaitu
batasan
perilaku yang boleh atau tidak boleh. Aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian sebagai satu sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Dimana pandangan berbagai ahli yang menggunakan istilah yang berbeda, namun membicarakan hal yang sama, sepeti apa yang dikemukakan oleh Koentjaningrat dengan wujud ide kebudayaannya (culture). Demikian juga, dengan pandangan Gillin yang menyebutnya dengan cultural dan yang kedua adalah struktur. Arturo Israel (1990) memberikan suatu ―Teori Pengembangan Kelembagaan‖ berdasarkan tingkat teknologi yang digunakan dalam kelembagaan tersebut. Setiap teknologi menuntut bentuk kelembagaan yang berbeda-beda, karena butuh struktur peran dan disiplin kerja yang berbeda
dari
orang-orang
yang
berada
di
dalamnya.
Dengan
menggunakan konsep kekhususan dan persaingan sebagai perangsang untuk lembaga agar dapat meningkatkan kemampuan dirinya. Kelembagaan sebagai suatu social form ibarat organ yang terdapat dalam tubuh manusia, dimana kata kelembagaan itu menunjukkan: a. Sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup dalam masyarakat. b. Suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok organisasi c. Merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola
119
d. Berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat e. Ditemukan dalam sistem tradisional dan modern f. Berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial g. Merupakan kelompok-kelompok sosial yang menjalankan masyarakat h. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu (misalnya kelembagaan pendidikan, ekonomi, agama, dan lain-lain) Pembangunan lembaga sebagai suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan dan dibina, dimana menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam norma-norma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan perorangan dan hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Pembangunan lembaga sebagai suatu proses yang generik, dalam arti bahwa ia dapat diterapkan pada tiap bentuk inovasi sosial yang tidak dipaksakan dalam sektor masyarakat dan tiap kebudayaan tiap saat, tetapi ia bukanlah suatu model perubahan sosial yang eksklusif, karena ia tidak menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi oleh proses-proses yang sembarangan atau penyeberangan yang tidak direncanakan, maupun yang terjadi melalui tindakan revolusioner. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang:
120
a. Mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik dan sosial b. Menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan-hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru c. Memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan tersebut. Kelembagaan
yang
dibentuk
dalam
masyarakat
kemudian
pengelompokkan menjadi delapan kebutuhan hidup manusia, yakni : 1. Kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi hidup kekerabatan misalnya
kelembagaan
pelamaran,
perkawinari,
poligami,
pengasuhan anak-anak, perceraian dan sebagainya. 2. Kelembagaan
untuk memenuhi kebutuhan
pencaharian
hidup
misalnya pertanian, peternakan, berburuan, feodalisme, industri, barter, Koperasi, penjualan dan sebagainya. 3. Kelembagaan untuk pendidikan berupa pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan keagamaan, perpustakaan, pers, dsb. 4. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia misalnya metode ilmiah, penelitian, pendidikan ilmiah dsb. 5. Kelembagaan untuk menyatakan rasa keindahan misalnya seni rupa, seni suara, seni gerak, kesusasteraan, olahraga dsb. 6. Kelembagaan untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib melalui mesjid, gereja, doa, kenduri, upacara, pantangan-pantangan, ilmu gaib.
121
7. Kelembagaan untuk kehidupan berkelompok atau bernegara yaitu sistem pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian dsb. 8. Kelembagaan untuk mengurus kebutuhan jasmaniah manusia misalnya salon, kedokteran dsbnya. Aspek kelembagaan dalam kajiannya adalah suatu aspek yang sangat dinamis dengan hal-hal yang abstrak yang dapat dikaji didalamnya
yaitu
berupa
nilai-nilai,
aturan-aturan,
norma,
kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain (Sayuthi 2003). Perihal tentang lembaga memang
belum
terdapat
kesamaan
faham
karena
menurut
Koentjaraningrat, 1997 menyatakan : "Belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk menerjemahkan istilah inggris ―social institution‖ ada yang menerjemahkan dengan istilah pranata dan adapula yang menerjemahkan dengan bangunan sosial‖. Berkaitan dengan local institutions, Mc Iver mengemukakan bahwa
kelembagaan
masyarakat
menyangkut
hubungan
antar
manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan. Pembangunan lembaga adalah suatu perspektif tentang perubahan sosaial yang direncanakan dan yang dibina, menyangkut inovasiinovasi yabng menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam
122
norma-norma, dan pola-pola kelakukan, dan dalam hubunganhubungan perorangan dan kelompok, dan dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara (Esman, 1986). Kelembagaan
yang
dimaksud
berkaitan
dengan
wadah/kelompok-kelompok jejaring yang memiliki aturan main (norms) dan mekanisme non pasar yang mengorganisasikan dan mengatur pengelolaan sumber daya agar memberi manfaat seperti yang dikehendaki (Nugroho dan Dahuri, 2004). Penguatan Kelembagaan dan Pemberdayaan Pemahaman akan ciri kelompok sangat menunjang dalam proses penguatan kelembagaan yang menjadi indikator keberhasilan kelompok. Penguatan kelembagaan merupakan suatu cara untuk mengaktifkan dinamika kelompok. Penguatan kelembagaan terfokus pada tiga unsur utama (Ohama, 2003) yaitu: a) Aturan dan prosedur, yaitu dimana norma dan perilaku/rules terkait dengan pelaporan dinamis dan anggota kelompok yang didukung oleh aturan/norma dan prosedur kerja kelembagaan. Aturan yang dibuat bersama ini bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup kelompok, karena itu haruslah menjadi acuan
perilaku
eksternal.
kelompok
baik
secara
internal
maupun
123
b) Organisasi
yaitu
menyangkut
bagaimana
mengatur
dan
mengelola kelembagaan agar anggota dapat berperan secara penuh dan memahami hak-hak dan kewajibannya. Organisasi kelembagaan
hendaknya
menjadi
wadah
dalam
proses
pembelajaran yang disebut pembelajaran sosial. (Salman, D, 2003). c) Sumberdaya yaitu yang menyangkut sumberdaya pada individu maupun secara kolektif yang dibutuhkan untuk bekerjanya kelembagaan kelompok secara optimal dengan mengacu pada norma dan prosedur yang telah disepakati bersama. Penguatan kelembagaan perlu didukung dengan kekuatan hubungan internal dengan pihak-pihak terkait, seperti dinas-dinas, institusi wilayah, dunia usaha swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta perguruan tinggi yang merupakan eksternal sistem yang perlu diidentifikasi konstribusinya bagi interaksi norma dan prosedur, organisasi dan sumberdaya untuk eksistensinya kelembagaan dalam kelompok. Pemahaman kelembagaan memberi tekanan kepada lima hal berikut. Pertama,
kelembagaan
berkenaan
dengan
seuatu
yang
permanen. la menjadi permanen, karena dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan. Cooley (dalam Soemardjan
124
dan Soemardi, 1964: 75) secara sederhana menyimpulkan bahwa:. "....institution defined as established norm or rocedures. It is sometime the practice to refer to anything which is socially established as an institution". Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap tersebut berada dalam suatu kelembagaan. Sejalan dengan itu, Uphoff juga menyatakan bahwa kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang telah berjalan lama. Namun, Uphoff tidak menyebut sesuatu yang bersifat tetap tersebut norm dan procedure, tapi norm dan behaviour. "In general, institutions, are complexes of norm and behaviour that persist over time by serving colletively valued purpose" (Uphoff, 1986: 9). Meskipun
dalam
batasan
Uphoff
'norma'
dan
'perilaku'
merupakan dua hal pokok dan berada dalam satu kalimat, namun keduanya bukanlah sesuatu yang selevel. Atau, bukan dua hal yang dapat dipisahkan saja dengan mudah begitu saja. Menurut struktur peristilahan, 'perilaku' diturunkan dari 'norma', sehingga norma berada di level yang lebih tinggi. Dalam batasan Johnson (1960: 48), perilaku selain dipengaruhi oleh apa yang disebutnya dengan 'culture', also chemical, physical, genetic, and physiological". Sesuatu yang tetap tersebut berguna untuk menyediakan stabilitas dan konsistensi di masyarakat, yang berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku. Selain itu, aspek yang tetap tersebut
125
menjamin situasi akan berulang atau dapat diperkirakan (predictable), sehingga perilaku tersebut menjadi efektif. Perilaku yang teratur dan predictable merupakan hal yang penting dalam masyarakat sehingga menjadi teratur, bukan perilaku yang spontan dan unpredictable. Kedua,
berkaitan
dengan
hal-hal
yang
abstrak
yang
menentukan perilaku. Sesuatu yang abstrak tersebut merupakan suatu kompleks beberapa hal yang sesungguhnya terdiri dari beberapa bentuk yang tidak selevel. Hal yang abstrak ini kira-kira sama dengan spa yang disebut Cooley dengan public mind, atau 'wujud ideel kebudayaan' oleh Koemjaraningrat atau cultural menurut Johnson. Secara garis besar, hal yang dimaksud terdiri dari nilai, norma, hukum, peraturan-peraturan, ide-ide, belief, dan moral. Kumpulan dari hal-hal yang abstrak tersebut, terutama norma sosial, diciptakan untuk melaksanakan fungsi masyarakat (Taneko, 1993). Fungsi-fungsi yang dimaksud merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Karena tingkat kepentingannya yang tinggi, maka seiring berjalannya waktu, akhirnya ia mempunyai kedudukan
pasti,
atau
terkristalisasi
menjadi
semakin
tegas.
Sebagaimana juga ditambahkan W. Hamilton (dalam Johnoson, 1960: 22): "Social institution .... a complex normative pattern that is widely accepted as binding in particular society or part of a society".
126
Bahwa kelembagaan lebih fokus kepada aspek kultural, juga merupakan kerangka berpikir Gillin dan Gillin. la mendefinisikan kelembagaan dalam cultural concept sebagai: "A Social institution is a functional configuration of cultural patterns (including actions, ideas, ,udes, and cultural aquipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt social eed" (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67). Ketiga, berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci peteraturan hidup. Sebagaimana menurut Hebding et al. (1994), institusi sosial merupakan sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai panting. Jika masyarakat ingin survive, maka insitusi sosial harus ada. Keluarga misalnya, merupakan institusi sosial pokok yang mempertemukan kebutuhan sosial yang diniliai vital. Koentjaraningrat juga termasuk salah satu penulis
yang
lebih
menekankan
kepada
aspek
perilaku.
la
menggunakan kata "pranata" sebagai padanan kata 'institution", dan pranata sosial untuk "'social institution". Pranata diartikannya sebagai kelakukan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Sedangkan, pranata sosial diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan
127
hubungan yang berpusat kepada aktivitas- aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam • Kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1964: 113). Jelas terlihat bahwa definisi ini lebih menekankan kepada aspek tata kelakuan yang memiliki fungsi-fungsi khusus dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun aspek 'perilaku' merupakan inti kajian pranata, namun Koentjaraningrat menyatakan bahwa terwujudnya suatu pranata berada dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideal kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakukan kebudayaan, dan (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, maka pranata terdiri dari empat komponen ters but yang saling berinteraksi satu sama lain. Keempat,
kelembagaan
juga
menekankan
kepada
pola
perilaku disetujui dan memiliki sanksi. Untuk penjelasan ini dinyatakan oleh E. Chinoy bahwa: "An institution is an organization of conceptual and behaviour pattern in manifested through social activity and its material products. Thus it may be regarded as a 'cluster of scout usages' and as composed of custom, folkways, mores, and trait complexes organized, consciously or unconsciously, into afunctioning unit" (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 68).
128
Kelima, kelembagaan merupakan tara-cara yang standar untuk memecahkan masalah. Tekanannya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan masalah. Hebding et a/.(1 994: 407) menyatakan bahwa institusi sosial adalah nilai-nilai yang melekat pada masyarakat yang menyediakan stabilitas dan konsistensi di masyarakat, yang berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku. Menjamin situasi akan datang, sehingga menjadi efektif. Efektifilas merupakan perhatian utama dalam apa yang dikenal dengan pemahaman "ekonomi kelembagaan". Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa kelembagaan' memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola sebagian besar datang dari norma-norma yang dianut. Kelembagaan berpusat pada sekitar tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial utama. Lebih jauh, kelembagaan merefer kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan untuk melakukan sesuatu. Elemen penting lainnya dalam kapasitas organisasional adalah sumber daya manusia, atau personalia. Ekspektasi awalnya adalah bahwa
semakin
banyak
personalia
per
kapita
yang
state
persembahkan untuk mengimplementasi suatu program (lainnya seimbang), maka gaya implementasi akan lebih mengarah dan program akan lebih efektif dalam memproduksi output dan outcome. Ekspektasi tambahan lainnya, agak sensitif ke kualitas dan kuantitas
129
bauran sumberdaya manusia yang ditargetkan pada salah satu proses implementasi, adalah bahwa jika jumlah staf profesional per kapita meningkat, implementasi akan lebih maju dan lebih produktif. Sumberdaya
finansial
untuk
kebijakan
intergovernmental
mengalir tidak semata-mata dari pundi-pundi nasional namun juga dari state (dan kadang-kadang dari sumber lokal). Untuk program yang kompleks atau inovatif (misalnya treatment air limbah swasta), banyak kontribusi dari sektor swasta. Program tertentu hasilkan beberapa penerimaan operasi dari fee user, seperti yang terjadi pada transportasi massal perkotaan. Semua sumber penerimaan tersebut perlu dipertimbangkan. Kedua,
literatur
tentang
implementasi
kebijakan
mempertahankan tema konsisten bahwa sumber pendanaan yang diberikan untuk implementasi adalah krusial untuk sukses. Efek memberi sumber finansial bisa digambarkan dari beberapa temuan riset kita tentang pertanyaan ini. J. Pasar 1. Pengertian Pasar Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti
130
uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa contoh termasuk pasar petani lokal yang diadakan di alun-alun kota atau tempat parkir, pusat perbelanjaan dan pusat pertokoan, mata uang internasional dan pasar komoditas, hukum menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan pasar ilegal seperti pasar untuk obat-obatan terlarang. Dalam ilmu ekonomi mainstream, konsep pasar adalah setiap struktur yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk menukar jenis barang, jasa dan informasi. Pertukaran barang atau jasa untuk uang adalah transaksi. Pasar peserta terdiri dari semua pembeli dan penjual yang baik yang memengaruhi harga nya. Pengaruh ini merupakan studi utama ekonomi dan telah melahirkan beberapa teori dan model tentang kekuatan pasar dasar penawaran dan permintaan. Ada dua peran di pasar, pembeli dan penjual. Pasar memfasilitasi perdagangan dan memungkinkan distribusi dan alokasi sumber daya dalam
131
masyarakat. Pasar mengizinkan semua item yang diperdagangkan untuk dievaluasi dan harga. Sebuah pasar muncul lebih atau kurang spontan atau sengaja dibangun oleh interaksi manusia untuk memungkinkan pertukaran hak (kepemilikan) jasa dan barang. Secara historis, pasar berasal di pasar fisik yang sering akan berkembang menjadi - atau dari - komunitas kecil, kota dan desa.
2. Klasifikasi Pasar a. Pasar tradisional Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan
umumnya
terletak
dekat
kawasan
perumahan
agar
memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo
132
di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern. b. Pasar modern Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah hypermarket, pasar swalayan (supermarket), dan minimarket. Pendirian Pasar Modern dikota Makassar mengalami perumbuhan yang pesat setiap tahunnya, hal tersebut membuat keberadaan pasar tradisional semakin
tersudutkan. Pandangan
yang diperoleh dari pedagang pasar tradisional semakin hari semakin menurun, Kondisi ini berlangsung
karenaa strategi
predatory praicing yang diterapkan oleh pasar modern yang mengakibatkan market share berubah, yang awalnya konsumen membeli kepasar tradisional beralih kepasar modern.
133
Setelah terbitnya Perda No. 15 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pasar modern
kurang memberikan dampk signifikan terhapap
pengendalian pasar modern. Konsep perlindungan hanya menjadi aturan formal belaka
tanpa bisa ditegakkan. Aturan mengenai
pendirian pasar modern harus menyertakan dampak
sosial
ekonomi dari pasar tradisional dan usaha kecil yang telah terlebih dahulu berada disekitarnya tisak serius, indikasi ke arah permainan antara kelompok pengusaha pasar modrn pemerintah
semakin
menguak
tersebut menyisahkan kesedihan
kepermukaan,
bersama
segala
faktor
tersendiri pada keberadaan
pasar tradisional dan pedagang didalamnya Beberapa pengamat mencatat dari tahun ketahun dimulai dari tahun 2000 pangsa pasar retail tradisional terrus terus menurun karena semakin mengguritanya retail-retail modern. Hal tersebut diperparah dengan adanya ergeseran kondisi social ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku retail modern yang pada awalnya haya
dikunjungi konsumen kelas atas sekarang
merambah ke konsumen menengah dan bawah. Beberapa kalangan menganggap bahwa dengan cara mempeluas pendirian pasar modern di Indonesia, bisa
berdampak makin baiknya
petumbuhan ekonomi serta iklim investasi usaha
karena
134
diasumsikan bahwa pasar modern memiliki segmen yang berbeda dengan pasar tradisional sehingga hal ini tidak menganggu stabilitas pasar tradisional. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, justru antara pasar modern dan pasar tadisional memiliki segmen yang sama dan saling berhadap- hadapan dan laagsung secara jelas menunjukkan bahwa korban utama adalah pasar tradisional akibat dari persaingan
yang sengit antara
sesame pasar modern. Situasi seperti ini dapat berdampak lebih jauh lagi tehadap istilah kegagalan pasar yang akan diderita oleh pasar tradisional. Keunggulan pasar modern atas pasar tradisional adalah pasar modern dapat menjual produk yang relatif sama dengan harga
yang
lebih
murah,
ditambah
dengan
kenyamanan
berbelanja dan beragam pilihan dan cara pembayaran. Tingkat efesiensi yang mereka miliki tak akan dikejar sekuat apapun para pelaku pasar tradisional berusaha mengimbanginya. Tingkat efesiensi yang berjuang pada konpetitif harga, merupakan perpaduan sumber daya yang sangat memdai baikitu uang dan manajemen. Pasar modern memiliki nilai jual karena menawarkan hal-hal yang dicari oleh konsumen, harga yang murah, diskon, hadiah,
135
transaksi yang mudah, serta kenyamanan berbelanja adalah senjata untuk menarik konsumen. Pasar dapat dikategorikan dalam beberapa hal. Yaitu menurut jenisnya, jenis barang yang dijual, lokasi pasar, hari, luas jangkauan dan wujud. 3. Pasar Menurut Jenisnya a. Pasar Konsumsi Pasar konsumsi adalah pasar yang menjual barang-barang untuk keperluan konsumsi. Misalnya menjual beras, sandal, lukisan dan lain-lain. Contohnya adalah Pasar Mergan di Malang, Pasar Kramat Jati di Jakarta dan lain-lain. b. Pasar Faktor Produksi Pasar faktor produksi adalah pasar yang menjual barang-barang untuk keperluan produksi. Misalnya menjual mesin-mesin untuk alat produksi barang, lahan untuk pabrik dan lain-lain. 4. Pasar Menurut Jenis Barang yang Dijual Pasar menurut jenis barang yang dijual dapat dibagi menjadi pasar ikan, pasar buah dan lain-lain. 5. Pasar Menurut Lokasi Pasar menurut lokasi misalnya Pasar Kebayoran yang berlokasi di Kebayoran Lama dan lain-lain. 6. Pasar Menurut Hari
136
Pasar menurut hari dinamakan sesuai hari pasar itu dibuka. Misalnya Pasar Rebo dibuka khusus hari Rabu, Pasar Minggu dibuka khusus hari Minggu, Pasar Senen dibuka khusus hari Senin, Pasar Wage Purwokerto dan lain-lain. 7. Pasar Menurut Luas Jangkauan a. Pasar Daerah Pasar Daerah membeli dan menjual produk dalam satu daerah produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar daerah melayani permintaan dan penawaran dalam satu daerah. b. Pasar Lokal Pasar lokal adalah pasar yang membeli dan menjual produk dalam satu kota tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar lokal melayani permintaan dan penawaran dalam satu kota. c. Pasar Nasional Pasar nasional adalah pasar yang membeli dan menjual produk dalam satu negara tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar nasional melayani permintaan dan penjualan dari dalam negeri. d. Pasar Internasional Pasar internasional adalah pasar yang membeli dan menjual produk
dari
beberapa
negara.
jangkauannya di seluruh dunia.
Bisa
juga
dikatakan
luas
137
8. Pasar Menurut Wujud a. Pasar Konkret Pasar Konkret adalah pasar yang lokasinya dapat dilihat dengan kasat mata. Misalnya ada los-los, toko-toko dan lain-lain. Di pasar konkret, produk yang dijual dan dibeli juga dapat dilihat dengan kasat mata. Konsumen dan produsen juga dapat dengan mudah dibedakan. b. Pasar Abstrak Pasar Abstrak adalah pasar yang lokasinya tidak dapat dilihat dengan kasat mata.konsumen dan produsen tidak bertemu secara langsung.Biasanya dapat melalui internet, pemesanan telepon dan lain-lain. Barang yang diperjual belikan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, tapi pada umumnya melalui brosur, rekomendasi dan lain-lain. Kita juga tidak dapat melihat konsumen dan produsen bersamaan, atau bisa dikatakan sulit membedakan produsen dan konsumen sekaligus.
K. Kerangka Pikir Proses implementasi kebijakan pengembangan pasar tradisional dan penataan pasar modern melalui Perda Kota Makassar tahun 2009 menjelaskan berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam kerangka untuk meningkatkan kualitas pengelolaan pasar baik pada pasar tradisional
138
maupun pasar modern. Di samping itu tujuan kebijakan ini adalah diantaranya dapat menjembati gap
yang terjadi selama ini, di mana
perkembangan kedua pasar tersebut dalam kenyataannya sangat timpang. Pasar tradisional pada satu sisi cenderung tidak mampu bersaing dengan pasar modern oleh karena faktor akses yang membatasinya, sementara pasar modern mempunyai kemampuan untuk melakukan akses ke mana saja terhadap berbagai fasilitas pemerintahan. Kajian
implementasi
terhadap
kebijakan
pengembangan
pasar
tradisional dan penataan pasar modern dimaksudkan untuk mempelajari secara sistematik berbagai kendala kelembagaan (institution) yang dalam pandangan
Hall,
1986
(lihat
Hill,
2009)
telah
merumuskan
kajian
kelembagaan dalam studi implementasi kebijakan dapat dilihat dalam konteks organisasi di mana kebijakan tersebut terimplementasi. Di dalam konteks tersebut berbagai faktor dan variable yang dianalisis meliputi, norms, values, relationships, power and structures, dan standard operational procedures dianggap sebagai faktor yang menjadi kendala dan pendorong dalam proses implementasi kebijakan tertentu, sehingga memberikan pengaruh pada capaian kinerja kebijakan yang dimaksud. Analisis implementasi kebijakan pengembangan pasar tradisional dan penataan pasar modern yang secara faktual ditemukan mempunyai perbedaan secara signifikan terhadap indikator keberhasilan kelembagaan itu meskipun telah diinjeksi dengan sebuah kebijakan melalui Perda tahun 2009
139
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Makassar. Namun dalam proses perjalanan kebijakan tersebut nampaknya entitas pasar tradisional sulit mengembangkan diri dan cenderung kurang mampu bersaing. Diasumsikan hal ini lebih disebabkan oleh adanya faktor kelembagaan (institusi) yang dalam analisis implementasi kebijakan publik termasuk di dalam kajian berbagai faktor yang mendorong dan menghambat capaian kinerja implementasi kebijakan publik. Berdasarkan uraian pustaka sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan berdasar pada adopsi kerangka pikir yang digambarkan sebagai berikut.
140
Kebijakan Publik
Perda Kota Makassar No. 15 Tahun 2009
Pengembangan Pasar Tradisional
Gap Implementasi Kebijakan Penataan Pasar Modern
Konteks Kelembagaan Dalam Proses Implementasi Kebijakan
Sasaran Kebijakan:
Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian
Perlindungan dan Pengembangan Pasar Tradisional Penataan Pasar Modern Menciptakan iklim persaingan sehat